Share

Part 4

last update Last Updated: 2022-03-31 19:23:21

Part 4

Kembali ke Laptop

Dan ... Angel, wanita yang sudah aku anggap layaknya saudara sendiri rupanya bagaikan ular berkepala dua. Jika tahu akan seperti ini, mungkin aku tidak akan merekomendasikannya.

Rasa empatiku pada Angel ternyata disalahgunakan. Aku terpaksa merekomendasikan Angel sebagai pengisi lowongan kerja di kantor Mas Arfan. Terlebih Mas Arfan memang membutuhkan sekretaris, dikarenakan sekretaris sebelumnya sudah resign pasca lahiran.

Mahkota yang seharusnya disuguhkan di malam pertama pasca ijab kabul, akan tetapi Angel menyerahkannya sebelum ada ikatan suci. Wanita yang mempunyai dua lesung pipi itu hampit depresi, sempat kehilangan semangat dalam menjalani hidup, mengurung diri berbulan-bulan karena ditinggalkan calon suaminya.

Atas dasar itulah aku merekomendasikan Angel, agar wanita yang bertalenta itu punya semangat hidup. Namun ... nyatanya sekarang dia salah satu pisau belati yang menusukku dari belakang.

Pergelutan Mas Arfan dan Angel di hotel tadi masih menari di pelupuk mataku, membuat rongga dadaku terasa sempit hingga sulit bernapas. Aku masih tidak menyangka jika Mas Arfan sejahat itu. Padahal dulu dia begitu memuja dan memujiku, bahkan mulut manisnya itu pernah berujar ....

"Mas, apa niatmu menikahiku sudah karena Lillahi Ta'ala setelah kamu tahu segala kekurangan yang ada pada diriku?" tanyaku penuh keraguan dengan menatap dalam kedua netra pria berkacamata itu. Alunan musik pilu senantiasa masuk di sanubariku. Aku dan Mas Arfan janjian untuk makan malam bersama di sebuah restoran yang tak jauh dari kantorku.

"Kenapa kamu nanya seperti itu, Lani? Kamu meragukan keyakinan, Mas? Kita sudah lamaran, tetapi kamu masih ragu tampaknya?" Dia membalas tatapanku dengan sendu.

"Iya, karena kkurangan yang ada pada diriku ini sangat berhubungan dengan penopang hasratmu nanti Aku mengangguk pelan, "memang ada terbesit keraguan di hatiku padamu, maaf." ujarku lalu menunduk.

"Lan ... Lani ... tataplah kedua mataku! Kita akan melengkapi satu sama lain. Dan ... kamu tahu aku pun punya kekurangan. Janjiku akan selalu setia padamu sampai kapanpun."

"Mbak ... Mbak ...." panggilan seseorang membuyarkan lamunanku.

"Iya, Mbak."

"Mau pesan apa?" tanya sang pelayan sopan.

"Kwetiau siram seafoodnya satu, air mineral biasa satu, dan jus mangganya satu."

"Oke, ada lagi, Mbak?"

"Tidak, itu saja."

Sebelum pulang ke rumah, aku memutuskan untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Ada kafe yang tak jauh dari apotek tempat aku menebus obat yang diresep oleh dr. Kimmi.

Menetralkan emosi dan pikiranku yang belum stabil, untung masih ada kewarasan yang tersisa. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depan mertua, ipar, bahkan mas Arfan. Lagian, aku juga sudah mulai terbiasa menghadapi mulut kasar mertua dan ipar.

"Lan, menurut mama kamu menyerah saja deh sama pernikahan ini. Lebih baik kamu tinggalin Arfan, biar dia bisa menikah lagi," ucap mama ketika aku baru pulang dari kerja. Mas Arfan sedang pergi ke luar kota karena ada urusan kantor.

'Ma, kenapa mama ngomong seperti itu?" tanyaku heran sembari berjalan mendekati mama.

"Kamu itu keguguran terus, sedangkan mama pengen nimang cucu!" sergah mama.

Bentakan mama membuat aku terkesiap, ini kali pertama dia membentakku di saat usia pernikahan baru menginjak dua tahun.

"Kenapa harus itu pilihannya, Ma? Aku tidak akan menyerah begitu saja. Anggap saja kehamilan kemarin-kemarin ini belum rezekiku dan Mas Arfan," jawabku lirih. Ruang tamu menjadi saksi perbincanganku dengan mama.

"Itu bukan belum rezeki, Lani! Kamu-nya saja yang tidak ditakdirkan untuk punya anak. Lagian penyakit kamu itu sudah kronis. Percuma juga kamu berharap, lebih baik kamu berpisah dengan Arfan!" bentak mama dengan mata menyalang sempurna. Sorot matanya begitu tajam, sebenci itukah dia padaku?

"Ma ... jangan berkata seperti itu lagi. Pernikahanku dengan Mas Arfan masih seumur jagung. Aku akan lakukan supaya bisa hamil lagi dan berharap kandunganku bertahan hingga lahiran." Aku bersimpuh di hadapan mama, akan tepis kasar oleh mama.

"Jangan terlalu banyak berharap, Laniara. Setahun yang lalu pasca keguguran yang pertama kamu juga berkata demikian. Tapi, nyatanya apa? Tidak terbukti, 'kan?" cecar mama sembari berkacak pinggang di hadapanku.

"Tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah yang berkehendak, Ma. Aku akan berhenti bekerja, supaya bisa fokus untuk program hamil dan segera memberikan mama cucu."

"Resign!" mama terpekik seakan tidak menyangka aku akan mengatakan hal demikian. "Kalau kamu resign siapa yang akan bayar cicilan mobil Arfan, uang semester Ayudia, dan belanja bulanan Mama! Kamu tahu 'kan, Arfan hanya pegawai biasa, mana mungkin bisa mencukupi seluruh kebutuhan di rumah ini.

"Tenang saja, Ma. Aku akan mencarikan pekerjaan yang baru untuk Mas Arfan dengan gaji yang lebih banyak dari posisi sekarang," jawabku antusias. Wajah garang tadi perlahan mulai berubah sedikit manis walau samar.

"Ya sudah, kamu boleh resign asal Arfan dapat dulu pekerjaan yang lebih baik dan gajinya lebih gede!" Mama berlalu meninggalkanku dan masuk ke dalam kamarnya.

"Mbak ... Mbak ..." Kembali aku terkejut dalam lamunan seperti ada yang memanggil dan memukul pelan pundakku.

"Silakan dinikmati, Mbak. Jangan lupa dihabisin, Mbak terlihat begitu pucat," ujar Mbak pelayan dengan tersenyum. Aku mengangguk.

Cukup selama ini aku diam, bahkan seperti baik-baik saja ketika Mas Arfan pulang dari kerja. Cukup selama ini obat yang diresepkan dr. Kimmi menjadi teman untukku melewati pergantian malam setiap harinya. Aku pikir dulu selepas resign akan bisa fokus untuk program hamil demi menyenangkan dan memenuhi keinginan mertua. Nyatanya tidak, aku malah dijadikan babu di rumah sendiri.

Hari ini dan seterusnya kalian tidak akan melihat Laniara yang dulu lagi. Laniara yang sering ditindas tanpa membalas. Laniara yang sering disiksa secara bathin atau pun fisik. Kalian harus membayar semua pengorbanan yang kulakukan selama ini!

Hari ini aku akan menghargai diri sendiri, sudah cukup bukan selama ini aku menerima tingkah mertua dan iparku. Namun, sebuah pengkhianatan yang dilakukan Mas Arfan tidak ada kesempatan kedua bagiku. Semuanya terlihat nyata, dia membersamai perempuan yang sangat kukenal. Perlakuan senonohnya sama saja dia merendahkan harga diriku dan keluargaku. Bukankah selama ini keluarga ku sudah cukup lapang dada menerima dia apa adanya.

Kesakitan apapun itu selain pengkhianatan masih bisa aku toleransi, tapi tidak untuk yang ini. Maaf, aku bukan istri yang akan mau dibersamai ketika lelaki yang ku anggap setia sudah membersamai perempuan lain. Aku bukan makhluk Allah yang akan berusaha menerima pengkhianatan itu. Sejatinya bukan aku yang menghancurkannya tapi dialah yang membuat semua yang dibina menjadi hancur lebur, aku hanya menarik diri dan tentunya akan menyelamatkan diri.

Aku hanya ingin Allah meridhoi langkah yang diambil kedepannya. Aku hanya ingin Allah mempermudah rasa sakit tiada tara ini kedepannya. Aku hanya ingin Allah memberikan skenario terindah kedepannya. Aku hanya ingin Allah menguatkan apapun yang terjadi di depan nanti. Aku hanya ingin Allah menguatkan keluarga terutama papa dan mama. Sosok yang secara tidak langsung akan kecewa dengan apa yang terjadi di rumah tanggaku. Aku hanya ingin Allah melindungi mereka dari mulut jahat di luar sana. Dan, aku hanya ingin Allah mengajari semua agar bisa berdamai dengan keadaan apapun di depan nanti.

Duh, aduh nggak tahu banget nih mertua. Aaaiiiiissshhh 🤧

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
bukannya mencari kesembuhan dulu tapi menikah yg kau kejar. dasar dungu dan tolol. istri sempurna luar dalam aja udah diselingkuhi apalagi penyakitan kayak kau nyet
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Perceraian yang Terindah   EP 4

    PoV SantosoSelepas Subuh aku sudah bersiap, tentu saja ingin menyelidik perempuan itu. Aku yakin dia pasti akan berbuat hal yang tidak-tidak. Dan, akan kubuktikan pada Sanjaya bahwa dia bukan perempuan yang tepat menjadi istri serta menantu di rumah ini.Langit pekat mulai beranjak perlahan, kukemudikan mobil dengan laju kecepatan sedang. Semoga saja perempuan itu masih ada di wisma. Untung juga tadi ketika aku berpamitan sama Sanjaya dia tidak banyak bertanya dan semoga saja dia tidak menaruh curiga.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, akhirnya aku tiba di wisma tempat Laniara menginap. Kutepikan mobil beberapa sentimeter dari gerbang, kebetulan di tempat aku memarkir langsung tertuju pada pintu masuk utama wisma. Ini sangat membantuku untuk melihat siapa saja yang keluar masuk.Tepat pukul 07. 00 pagi, targetku keluar dari persembunyiannya. Pasti hari ini ada misi buruk yang akan dia lakukan, kalau tidak mengapa dua musti pergi dari rumah. Jikalau dia benar-benar men

  • Perceraian yang Terindah   EP 3

    Santoso menaruh kembali botol yang berisikan air minum di kursi tunggu ruang ICU. Selain membawa bekal makanan, Rita juga membawa dua botol minum berukuran sedang serta yang kecil. Sedang berisi air mineral dan yang kecil berisi kopi yang sudah mulai mendingin, tentunya untuk suaminya tercinta."Kenapa Papa jadi salah tingkah? Apa benar dugaan Mama?" tanya Rita penuh selidik.Derap langkah dr. Laila dan dr. Vincen semakin mendekati pintu ruang ICU. Bobby ditangani oleh dua orang dokter saraf, yang mana sebelumnya ditindak sama dr. Laila, tapi selama Bobby di ICU dr. Vincen pun turut turun tangan. Karena dr. Vincen memang bertugas di ruangan ICU serta beberapa ruangan lainnya.Fokus mereka menjadi buyar yang tadinya tertuju pada Santoso, kini beralih pada dua dokter yang semakin mendekati mereka."Nanti bakal Papa ceritain, itu dokter yang nanganin Bobby sudah datang," bisiknya."Itu 'kan dr. Laila, dokter yang pernah kamu maki-maki, Pa.""Sstttt ... iya," sahut Santoso kesal.Rita, San

  • Perceraian yang Terindah   EP 2

    Kembali ke PoV Laniara ya ..."Terus selama di sana kamu nginap di mana?" tanya Mama Rita sembari melepaskan pelukan perlahan."Tidak jauh dari pemukiman itu ada wisma, di situ aku menginap, Ma."Pakaian kamu bagaimana, Sayang? Bahkan pas pulang tadi kamu tidak membawa apapun dari rumah."Aku menatap kedua manik mata Mas Sanjaya, ada rasa bersalah saat aku memutuskan pergi tanpa minta persetujuannya terlebih dahulu."Mas ... sebenarnya aku ingin cerita sama kamu soal niat aku ini. Cuma ketika melihat Mama terbaring lemah tidak berdaya kuputuskan untuk ngelakuinnya sendiri tanpa melibatkan kamu. Dan ... kalau aku jujur, pasti kamu akan melarang aku, pasti kamu akan selalu bilang ini semua ujian. Lalu, aku akan larut dalam rasa bersalahku ketika mata ini menatap Mama yang lemah dan telinga ini akan mendengar soal Bobby yang belum ada perkembangannya. Dan, semua pakaian ku masih berada di wisma, Mas."Mata Mas Sanjaya makin berkaca-kaca."Aku akan semakin merasa bersalah tanpa melakukan

  • Perceraian yang Terindah   EP 1

    Bobby masih terbaring lemas sembari bangun dari koma selama lebih kurang dua Minggu lamanya."Permisi, Mbak," sapa Santoso yang lebih dulu ingin masuk ke ruangan Bobby."Iya, Pak. Jangan lupa cuci tangan dan pakai baju ini dulu, ya!" ucap Sonia, perawat ruang ICU yang berjaga shift malam."Iya, Mbak. Bobby beneran baru sadar, Mbak?""Iya, Pak. Tak lama Bobby sadar, saya langsung menghibungi Bapak. Alhamdulillah banget ya, Pak. Bobby bisa sadar secepatnya ini. Bener-bener takdir Allah itu tak disangka-sangka. Soalnya saya sangat jarang menemukan pasien yang sadar secepat ini sadar dari koma, Pak.""Benarkah, Mbak?" tanya Santoso tidak percaya. Hal yang wajar jikalau Santoso tercengang seperti itu, mengingat belum ada keluarganya yang pernah koma."Iya, Pak. Selama saya mengabdi kurang lebih sepuluh tahun, ini sungguh keajaiban sang Pencipta. Apalagi Bobby mengalami luka cukup parah ditambah kondisi tubuhnya sudah lemah." Ya wajar saja, karena Bobby anak yang punya pergaulan bebas entah

  • Perceraian yang Terindah   Bab 34

    "Gimana, Mama saya, Dok?" tanyaku pada seorang dokter yang berdiri di sisi tempat tidur Mama."Kita berbicara di ruangan saya saja, Pak," jawabnya. Membuat rongga dadaku semakin sempit."Baik, Dokter."Aku mengekori sang dokter menuju ruangannya. Papa? Dia tidak ikut. Aku pun juga tidak menawarinya untuk ikut dengan ku ataupun meminta Papa untuk tegap berada di dekat Mama."Jadi bagaimana keadaan Mama saya, Dok?" tanyaku ketika aku sudah dipersilakan duduk oleh dr. Laura di ruangannya yang tidak jauh dari ruangan IGD."Apa Mama, Bapak sedang lagi dalam masalah besar? Tampaknya beliau depresi berat.""Saya tidak tahu pasti, Dok. Tapi yang jelas, sekarang adik saya masih belum sadar pasca operasi kemarin."Dr. Laura mengangguk paham."Untuk sementara waktu, mamanya dirawat di sini dulu sampai benar-benar pulih. Karena obat penenang yang dia telan melebihi dosis dan itu juga yang menyebabkan pada akhirnya beliau pingsan.""Jadi, Mama minum obat penenang, Dok? Obat yang tadi itu, penenang

  • Perceraian yang Terindah   Bab 33

    PoV SanjayaAku dan Laniara terbelalak melihat Mama tergeletak di lantai. Masih memakai pakaian semalam. Serentak aku dan istri berjalan setengah berlari menghampiri Mama. Kamar Mama cukup luas, berukuran tujuh kali tujuh meter. Ya, cukup besar dan lengkap."Ma ... bangun ... Bangun, Ma ...." Laniara mengguncang serta menepuk lembut pipi Mama sembari terus memanggil. Aku masih terperangah tak berdaya menatap dalam kedua wanita yang sudah melahirkanku itu yang masih terpejam. Mulutku terasa berat untuk berucap. Tanganku gemetar ketika memegang tubuh Mama yang tidak berdaya. Wajah Mama juga pucat pasi."Mas ... ini obat apa?" tanya Laniara sembari memperlihatkan beberapa butir obat yang dia punguti dari lantai.Aku tak menyahut, bibir ini begitu kelu."Denyut nadi Mama masih ada kok, Mas. Kamu jangan panik," ujar istriku menenangkan. Namun, sekalipun begitu tak ampuh bagiku saat ini.Terdengar Laniara kembali memanggil Mama, tapi Mama tak juga sadar. Jangan 'kan menyahut merespon dengan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status