PERCERAIAN YANG TERINDAH
Part 3PoV Arfan"Mas, gimana nih, Lani sudah tahu semuanya," ucap Angel panik sembari mengambil potongan bajunya yang berserakan di lantai."Entahlah," jawabku pasrah dengan mengendikan bahu. Otakku masih belum stabil setelah dipergoki oleh Laniara tadi. Aku hanya kaget bukan cemas.Selepas Laniara pergi dengan kecepatan turbo aku langsung memakai atribut di tubuh yang penuh dengan keringat dingin dan mengambil kunci serep yang dibuang Laniara sebelum pergi serta tak lupa menutup pintu lalu menguncinya. Aku tidak ingin ada orang lain yang melihat tubuh Angel yang begitu memesona di mataku."Mas, kamu jangan diam aja. Gimana kalau semua rencana kita gagal," ujar wanita berambut pirang dengan body bak gitar spanyol yang masih sibuk memakaikan atribut ke tubuhnya.Aku menghela napas pelan lalu meminum seteguk kopi, "sudah, santai saja. Aku tahu siapa Laniara. Nanti aku akan berakting, pura-pura menyesali semuanya. Kamu tak perlu risau, Sayang.""Serius, Mas?" Angel berjalan cepat menghampiriku dan duduk di atas pangkuanku. Tentu aku sambut dengan hangat sikapnya itu. Kini, tak ada lagi gurat kecemasan di wajahnya yang bening, malah hanya ada senyum menggoda begitu yang tertangkap di kedua netraku.Angel adalah sekretaris pribadiku di kantor, dia baru bergabung selama 4 bulan seiring dengan kenaikan jabatanku sebagai posisi Manager. Ini semua salahnya Laniara, mengapa dia harus merekomendasikan Angel yang notabene adalah sahabat karibnya semasa putih abu-abu dulu. Jangan salahkan aku dan Angel jika kami saling tertarik satu sama lain seiring berjalannya waktu."Iya, aku tahu siapa, Laniara. Jadi. kamu tenang saja tidak perlu cemas," jawabku menyakinkan Angel. Sebenarnya aku tidak ingin kehilangan keduanya, Angel adalah wanita yang paling mengerti akan kesenangan lelakiku, sedangkan Laniara adalah pembawa rezeki di hidupku semenjak kami menikah."Tapi ... aku takut nantinya tidak ampuh sandiwara mu, Mas.""Kamu ragu dengan kepiawaianku dalam berbohong?" Perempuan yang memiliki mata coklat itu menggeleng pelan.Sekalipun Laniara sudah memergokiku saat 'bermain' dengan Angel tadi, akan tetapi sedikit pun tidak ada rasa bersalah yang terlintas dibenakku. Apakah cintaku sudah pudar dengan adanya Angel?"Aku masih kangen, 'kan tadi belum tuntas," rayuku dengan memeluk erat tubuh Angel."Sama, Mas. Yuk, kita selesaikan dulu, aku juga masih kangen sama kamu," bisiknya manja yang membuat aku meronta ingin segera 'bermain' kembali.Kurang lebih setengah jam tuntas sudah pergelutan antara aku dan Angel. Sempurna dan memuaskan, itulah kata yang pantas bentuk penghargaanku pada Angel yang tidak pernah mengecewakan untuk urusan ranjang.Sebelum pulang aku sengaja memasang kancing baju tidak sesuai semestinya dan menggosok-gosok kedua mataku hingga kini tampak memerah, demi menyempurnakan aktingku nanti di depan Laniara.💔💔💔Sesampainya di rumah aku langsung beraksi untuk berpura-pura menyesali semua yang telah terjadi di depan Laniara yang tengah membersihkan meja makan.Namun, ketika kutatap wajah Laniara yang penuh brutusan itu sama sekali tidak terlihat rasa sedih ataupun amarah yang memuncak. Apakah Laniara setegar itu sampai-sampai dengan begitu terlihat tenang seakan tidak memergoki apa-apa? Se-sayang itukah dia padaku, hingga aku melakukan hal fatal dia bersikap biasa saja?Lebih anehnya dia malah menyuruhku untuk menikahi Angel. Apakah dia sudah siap di madu? Atau barangkali dia sudah ikhlas akan dirinya yang tidak bisa memberikan aku seorang anak.Di dalam kamar mandi, aku termenung ...Seketika ada yang mengganjal di pikiranku, "kenapa Laniara bisa datang di saat yang tidak tepat?" tanyaku membathin. Apa ada seseorang yang memberi tahu? Kalau iya, siapa? Dan kenapa bisa?Sembari bertanya-tanya di dalam hati, aku terus mengguyur tubuh yang sudah terpuaskan oleh Angel tadi. Aku akan berpura-pura menyesal di depan Laniara sampai kepercayaannya ku renggut kembali. Dan menuntaskan misiku lainnya setelah itu baru aku menceraikan wanita pembawa rezeki itu. Untung saja tadi aku bisa berpura-pura merintih ketika Laniara berdiri di ambang pintu hotel. Padahal selepas dia pergi aku dan Angel melanjutkan permainan yang sempat terganggu tadi. Sayang kalau tidak closing, karena aku rela membayar mahal demi melepas dahaga.Lain kali aku akan lebih hati-hati supaya Laniara tidak bisa memergokiku lagi ketika 'bermain' dengan Angel. Apalagi tadi aku malu ketika perempuan yang sedang standby di meja resepsionis menatapku dengan nanar. Masih untung dan masih selamat satpam hotel tidak menggrebek aku dan Angel.Selesai mandi aku sengaja tidak langsung memakai baju, karena aku akan melanjutkan aksi. Jika dia tidak marah padaku, malam ini aku akan memberinya nafkah bathin padanya."Lan ... Mas sangat menyesali soal yang tadi," ucapku dengan lirih, tapi pura-pura. Laniara yang sedang duduk di dekat meja riasnya sontak berdiri."Tak perlu membicarakan itu lagi, Mas. Aku juga tidak mempermasalahkannya, " jawabnya santai sembari berjalan menuju ranjang. Tak sedikit pun dia menoleh padaku."Makasih, ya. Kamu memang istri terbaik, berarti malam ini aku boleh dong ngasih kamu nafkah bathin?" tanyaku pelan dan menduduki bobot di bibir ranjang."Tamu bulanan ku masih ada, Mas." jawabnya singkat, lalu merebahkan diri di peraduan."Oh, nanti sajalah kalau kamu sudah tidak kedatangan tamu bulanan padahal aku ingin sekali kita memadu kasih, Lan," jawabku pura-pura tidak terima.Sebenarnya inilah alasanku akhirnya tergoda dan memadu kasih lebih dalam dengan Angel karena Laniara sering kedatangan tamu bulanan, bahkan dalam sebulan hanya bersih tiga hari. Naluriku sebagai lelaki kurang tersalurkan."Lan ... Laniara," panggilku pelan. Tetapi tidak ada sahutan sama sekali. Dia benar-benar aneh, aku pikir dia akan meronta-ronta bahkan menangis sejadinya di hadapanku dan memohon untuk melepaskan Angel. Rupanya malah sebaliknya di luar ekspetasiku, dia begitu tenang, bahkan tidurnya saja terlihat nyenyak.Setelah memakai baju dan perintilan lainnya aku memutuskan untuk keluar kamar, bosan juga di dalam apalagi ditinggal tidur oleh Laniara."Ma, mama jangan terlalu kasar ngomongnya di depan Laniara," protesku pada mama yang tengah duduk di depan TV bersama Ayudia. Duduki sofa kosong sebelah mama."Siapa yang kasar sih, Fan. Lagian tadi Laniara terlihat baik-baik saja, malah dia menyuruhmu untuk menikahi Angel, 'kan? Kenapa nggak diambil saja kesempatan emas itu?" hasut mama. Aku mendengkus."Iya, nih. Katanya mau punya anak, kalau ditunggu Kak Laniara hamil sampai sembilan bulan bakalan runtuh dunia, Mas. Kamu ikutin saja kata mama. Nggak kasihan sama mama, Mas?" timbrung Ayudia."Tapi, Ma -""Tapi apalagi sih, Fan?" potong Mama. Dia beranjak dari duduknya lalu masuk ke dalam kamar."Udah lah, Mas. Nikahin aja Angel, lagian kalau dibandingkan nih, ya. Angel lebih ketceh ketimbang Laniara," hasut Ayudia sembari mengedipkan kedua matanya padaku. Ayudia adalah adik perempuanku satu-satunya yang baru saja meraih gelar Sarjana Ekonomi yang sekarang sedang sibuk melamar ke beberapa perusahaan.Aku hanya menatap kosong."Apa aku harus menikahi Angel? Dan ... memiliki dua istri?" bisikku dalam hati.Baiknya Arfan diapain yah? Seenak jidat aja ngomongnya.Part 4Kembali ke Laptop Dan ... Angel, wanita yang sudah aku anggap layaknya saudara sendiri rupanya bagaikan ular berkepala dua. Jika tahu akan seperti ini, mungkin aku tidak akan merekomendasikannya.Rasa empatiku pada Angel ternyata disalahgunakan. Aku terpaksa merekomendasikan Angel sebagai pengisi lowongan kerja di kantor Mas Arfan. Terlebih Mas Arfan memang membutuhkan sekretaris, dikarenakan sekretaris sebelumnya sudah resign pasca lahiran.Mahkota yang seharusnya disuguhkan di malam pertama pasca ijab kabul, akan tetapi Angel menyerahkannya sebelum ada ikatan suci. Wanita yang mempunyai dua lesung pipi itu hampit depresi, sempat kehilangan semangat dalam menjalani hidup, mengurung diri berbulan-bulan karena ditinggalkan calon suaminya.Atas dasar itulah aku merekomendasikan Angel, agar wanita yang bertalenta itu punya semangat hidup. Namun ... nyatanya sekarang dia salah satu pisau belati yang menusukku dari belakang.P
PERCERAIAN YANG TERINDAHPart 5Aku mengatur napas setelah memarkir mobil di dalam garasi rumah yang kubeli sebelum menikah dengan Mas Arfan. Sederhana dan tidak begitu luas, akan tetapi ada rasa kebanggaan padaku di usia masih muda sudah diberikan kemampuan oleh Allah untuk berteduh.Alhamdulillah, aku sudah sedikit lebih tenang setelah mengonsumsi obat selepas makan tadi. Dadaku sudah tidak terasa sesak lagi, detak jantungku sudah terasa normal lagi. Selain obat, sepanjang jalan pulang tadi aku selalu beristighfar, agar semakin damai."Assalamu'alaikum.""Heh! Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang? Tuh, rapikan meja makan! Gara-gara kamu terlambat pulang kami harus memesan makan online," sergah mama dengan mata yang menyalang sempurna ketika pintu utama terbuka lebar. Bukannya menjawab salamku terlebih dahulu. Namun, ini memang kebiasaan mama yang sudah bertahun-tahun.
PoV Arfan"Mas, gimana di rumah? Laniara marah nggak?" tiba-tiba Angel menghampiriku yang tengah berjalan di lobi. Mengiringi jalanku di sisi sebelah kanan, jaraknya pun sangat dekat."Sssttttt ... nanti saja bahasnya. Kamu nggak liat karyawan pada liatin. Aku nggak mau memancing kecurigaan mereka. Jaga sikap, Ngel!" ujarku berbisik sembari terus berjalan tanpa menoleh ke Angel. Kondisi lobi kantor memang agak ramai, ya, wajar saja karena sudah menunjukkan pukul setengah delapan lewat ketika mataku tertuju pada sebuah jam besar yang menempel di dinding lobi."Ih ... kamu nyebelin deh, Mas," gerutu Angel lalu terdengar hentakan kakinya. Namun, tak kuhiraukan daripada mengundang segudang tanda tanya para pasang mata. Dia tertinggal di belakang karena aku berjalan dengan cepat.Aku pun sedikit heran mengapa para karyawan di lobi menatap aneh padaku. Hmm ... atau mungkin mereka terkesima melihat ketampananku, tapi aku tak mengacuhkan makanya mereka sakit hati. Ah ... bisa jadi. Ya iyalah,
PoV Angel"Halo, Vita. Gimana, tawaran perihal kemarin? Lumayan lho, buat nambah uang saku kamu." tawarku saat telepon tersambung pada Vita. Aku memang tidak suka basa-basi untuk urusan kerjasama. Kalau tidak sesuai yang nggak masalah. Dan, aku bukan tipe pengemis bantuan.Beda di saat aku meminta direkomendasikan sama Laniara, sebenernya posisi Sekretaris bukan pekerjaannya yang kusukai, akan tetapi demi memiliki seseorang, aku akan melakukan apapun."Iya, aku mau. Tapi kalau nanti aku berhasil jangan lupa kasih lebih!" pinta Vita dari seberang sana."Beres mah kalau urusan itu. Jadi, gimana? Mau 'kan?" tanyaku memastikan."Nanti kalau Laniara curiga gimana? 'Kan semenjak dia resign aku nggak ada lagi komunikasi sama dia, Ngel.""Nggak bakalan curiga mah dia, walaupun secara otak dia pintar. Namun, Laniara itu secara bathin dia bodoh karena terlalu positif thingking pada semua orang. Percaya deh, sama aku. Nggak bakalan ketahuan kok.""Ya sudah, aku coba dulu. Nanti jam berapaan kamu
PoV Arfan"Pak, tolong beri saya kesempatan. Bukan saya yang menggodanya, Pak. Angel sendiri yang menyerahkan diri pada saya, Pak!" sahutku penuh mengiba, kuatur sedemikian rupa dengan bersuara lirih. Tak peduli dianggap lelaki seperti apa, yang jelas, aku tidak ingin kehilangan jabatan sebagai Manager. Aku bertekuk lutut, berharap diberi kepercayaan lagi. Dan Pak Sanjaya menarik semua ucapannya."Mas! Kamu apa-apaan, sih. Kita ngelakuin atas dasar suka sama suka. Kamu saja yang lemah iman!" bentak Angel. Kutatap dia dengan tatapan nanar, lalu menyunggingkan ujung bibir ini padanya."Diam! 'Kan memang begitu adanya, kamu yang duluan menggoda saya, Angel!" telunjukku mengudara pada perempuan yang sudah menangis penuh isakan itu. Air matanya begitu deras membasahi pipi. Baru kali ini aku melihatnya menangis, akan tetapi sedikit pun aku tak luluh. Lebih baik kehilangan Angel, ketimbang kehilangan popuritasku.'Pak, saya mohon beribu mohon, Pak. Tolong beri lagi kesempatan pada saya. Kura
PoV Nina"Abis nelfonan sama siapa, Ma? Kok, senyum-senyum gitu?" tiba-tiba Ayudia masuk ke kamarku. Ya, lagian mana mungkin menantuku itu yang berani masuk ke dalam kamar ini."Ssssssttt ... jangan keras-keras nanyanya. Nanti kedengaran sama Laniara. Tutup pintunya! Ini nih, abis nelfonan sama si Angel-lah. Siapa lagi," sahutku sembari senyum-senyum menatap layar ponselku.Setelah menutup pintu Ayu pun berjalan mendekatiku, kini suaranya pun tidak sekeras tadi, "Angel? Bahas apaan kok sampai senyum-senyum gitu, Ma?" tanya Ayudia penasaran. Aku beranjak, lalu berdiri di depan meja riasku. Kini kami berhadapan."Ya ... seperti biasa lah, Yu. Mama basa-basi kapan diajakin shopping sama si Angel," jawabku semringah. Tentunya, diotakku sudah ada rentetan barang yang akan kubeli jika nanti."Yakin cuma itu aja, Ma. Mana mungkin Kak Angel mau ngasih cuma-cuma, Ma. Sebelumnya dia royal ke kita 'kan ada tujuan juga.""Ya ... apalagi kalau bukan masalah Lani. Mama cum
PoV ArfanBeberapa pasang mata mulai melihat aku dan Angel diseret oleh Pak Terno sepanjang korikor hingga kami sekarang berada di lift. Entah berapa pasang mata yang bersorak, memaki, serta mencaciku dan juga Angel.Aku malu, sungguh malu. Hanya bisa menutup kedua netra ini dengan kedua tanganku. Aku ingin bersuara untuk memohon, tapi takut Pak Terno akan melakukan hal lebih kejam dari ini. Begitu pun Angel, dia hanya terdiam, hanya isakan tangisnya yang terdengar. Lagian percuma juga dia meratapi, semua tidak akan kembali seperti semula."Seret keliling kantor Pak Terno, kapan perlu live streaming biar pada kapok pelaku penzina kayak mereka" sorak salah satu karyawan, aku tidak tahu siapa, yang jelas dia perempuan."Nanggung, sekalian aja adegan biar kami tonton rame-rame," ujar seorang pria."Hu ....""Bikin malu saja kalian.""Hoi ... ngaca dong ngaca.""Heran ya, zaman udah susah masih selingkuh-selingkuh, kayak udah banyak duit aja."Mereka
"Dimana, San? Aku udah mau jalan, nih. Video yang kukirim kemarin sudah kamu lihat, 'kan?" tanyaku lewat sambungan telfon pada Sanjaya ketika baru menghenyakkan bobot di jok mobil."Aku udah di kantor, Lan. Iya, sudah kulihat, suamimu memang b*j*ng*n ya," Sanjaya mengumpat, sepertinya dia juga geram dengan tingkah Mas Arfan. Lagian mana ada manusia waras yang tidak murka melihat tingkah dua manusia tak berakhlak itu."Ya, begitulah kurang lebihnya, San. Oke, aku jalan ya, sembari menunggu kedatanganku, silakan saja cek terlebih dahulu rekaman CCTV di ruangan Mas Arfan, San! Siapa tahu masih ada yang bisa dijadikan bukti lagi.""Siap, Lan. Masalah gampang itu mah, kalau sudah sampai di parkiran kabari aku ya!""Oke, San. Sampai ketemu nanti."Sewaktu menenangkan diri di sebuah kafe, aku kembali teringat dengan nama hotel tempat Mas Arfan dan Angel memadu kasih. Rupanya itu adalah tempat salah satu temanku semasa kuliah menjadi Manager di sana. Aku pun menghubungi