"Beneran pergi." Gumam Ghibran begitu keluar dari kamar mandi dan tidak ada orang sama sekali."Mejanya penuh." Ghibran melihat meja makan. Sarapan untuknya semeja penuh. Lalu tangannya mendekati sebuah catatan kecil.'Ini teh jahe, pakai gula batu. Bagus untuk memulihkan badan. Tolong dihabiskan.'Ghibran tersenyum ceria. Tidak sia-sia dirinya menunggui di luar sampai menggigil kalau ini balasannya. Bahkan teh jahenya belum diminum, tapi hatinya sudah hangat.Ghibran membuka tutup gelas. Menghirup aroma jahe dan teh bercampur. Uapnya mengepul mengembun di wajah. Hangat.Sebelum menyantap sarapannya. Ghibran menyempatkan berkeliling. Melihat rumah mungil itu sangat rapi. Gladis wanita yang rapi rupanya. Perlahan masuk ke kamar tempat Gladis istirahat. Ia tahu ia lancang. Tapi penasaran.Ghibran membuka pintu. Selangkah demi selangkah ke dalam kamar. Melihat nakas kecil di dekat lemari. Ia tersenyum. Semua perlengkapan make up dan skincare terjejer rapi di atas meja. Make up itu masih
"Ghibran sudah berangkat, Pini?" Tanya kakek. Pukul 08.00 beliau sudah duduk rapi di meja makan. Menanti sarapannya siap dan menunggu cucu satu-satunya bergabung dengannya. Sejak semalam, ia tak melihat Ghibran. Sampai pukul 21.00 Ghibran belum juga muncul di rumah."Mas Ghibran belum pulang, Pak. Saya tunggu sampai jam dua belas kok belum pulang-pulang." Jawab Mbok Pini sembari menyiapkan sarapan untuk tuannya. "Pagi tadi saya lihat di kamarnya juga masih kosong."Tidak ada jawaban dari kakek kemudian. Hanya helaan napas panjang nan lelah yang terdengar. Mbok Pini ikut merasa bersalah."Aku nggak selera makan." Ucap kakek lesu. Matanya kosong menatap ke dedaunan di hadapannya. Ruang makan itu setengah terbuka dengan tanaman-tanaman kecil yang sengaja di tanam di sana."Tapi tetap harus dipaksa makan, Bapak. Biar nggak lemes." Jawab Mbok Pini. Beliau sudah mengabdi di rumah itu sejak Ghibran masih bayi. Bisa dibilang, Mbok Pini adalah pengasuh Ghibran.Orang tuanya sering kali melakuk
"Terima kasih atas tawarannya. Saya tidak berminat untuk menjalin hubungan dengan laki-laki apalagi menikah. Malam ini terakhir saya di sini. Seterusnya saya akan cari tempat tinggal sendiri. Terima kasih anda sudah banyak membantu saya. Saya pamit." Gladis membanting pintu mobil. Berdiri di depan pintu, tangannya kasar mengaduk tas mencari kunci pintu."Terlalu banyak terima kasih yang diucapkan pada saya. Saya bisa serakah karenanya." Suara Ghibran sedikit tinggi di malam yang sunyi itu.Gladis terdiam sesaat. Lalu memutar kepala memberi tatapan dingin yang memang seperti itu ia awal mula mengenalnya. Dingin dan misterius.Gladis menghempas tasnya sampai berserak. "Saya sudah dengan rela hati menyerahkan Asma untuk anda. Dan sekarang anda menginginkan menikahi saya sebab tidak ingin direpotkan dengan prosedur adopsi. Bukankah itu sudah serakah?" Langkahnya mantap mendekati lelaki yang malam ini entah mengapa terasa begitu kejam padanya.Padahal belum ada sejam yang lalu, lelaki itu
Makam malam yang hangat.Begitu yang ada di kepala Ghibran dan Gladis. Keduanya memikirkan hal yang sama. Makan malam bersama yang begitu hangat. Bagi Gladis, hal itu lebih berharga dari apapun, yang hampir tak pernah dirasa.Makan malam keluarga? Bukan tidak pernah. Justru Gladis merasakan itu sampai sebelum keluarganya hancur. Tapi suasana hangat itulah yang tidak ia dapatkan. Alih-alih membicarakan keluarga dan cerita ringan, keluarga Gladis lebih sering membahas pekerjaan, perusahaan, acara-acara sosialita sang ibu dan lain sebagainya.Dan lebih dari itu, Gladis hanya menjadi pendengar. Gladis hampir tidak pernah menceritakan kegiatannya di sekolah. Kegiatan saat perkuliahan. Apalagi pertemanan. Semuanya tidak penting. Orang tuanya selalu menanyakan nilai. Lalu memberi nasihat. Jangan ini dan itu. Lalu Gladis kembali menjadi pendengar.Sementara Bagi Ghibran, hal berharga itu telah lama hilang darinya. Kapan terakhir kali ia makan bersama hangat seperti ini? Lima? Atau tujuh tahun
'Bagaimana kalau mama menjadi semakin sulit melepasmu, Nak. Kamu sebaik ini...' Seolah mendengar isi hati mamanya. Asma melepaskan pelukan itu. Mengusap air mata sang ibu dengan jemari kecilnya."Jangan nangis. Nanti Asma ikut sedih. Ibu sedih kenapa? Ada yang nakal?"Tangan Gladis menangkup tangan kecil Asma. "Enggak ada yang nakal.. Ibu nangis karena pasti akan rindu tempat ini." Gladis menerima panggilan itu. Memaksakan Asma memanggilnya 'mama' akan memperburuk suasana."Memangnya ibu mau pergi?"Gladis mengangguk. "Asma suka di sini?"Asma mengangguk. Ibu Yasmin terlihat pergi sebab ia melihat seseorang di seberang sana yang tengah mengintai."Asma suka di sini. Ibu baik. Mbak juga baik. Tapi katanya, kalau mama Asma sudah datang, Asma akan pindah dari sini. Apa ibu tau Asma mau dibawa ke mana?" Asma memang mudah sekali berbaur. Sangat mudah jika itu orang lebih dewasa darinya. Beda dengan anak seumuran. Asma sulit bersosialisasi. Juga, rupanya Asma belum memahami benar bahwa yan
Sudah satu minggu sejak ia keluar dari bui. Waktu berjalan cepat sekali di luar sini, batin Gladis.Dulu, menjalani satu minggu di bui rasanya seperti satu tahun. Lama. Membosankan. Menjenuhkan. Menguras mental. Waktu itu akan terasa semakin lama kalau terjadi perundungan. Kabar eksekusi teman sel, dan atau lainnya.Gladis berhasil melewatinya bukan berarti ia waras. Satu tahun awal, ia berkali-kali melakukan percobaan bunuh diri. Dua bulan pertama. Empat bulan pertama. Mendekati kelahiran Asma. Lalu terakhir saat Asma berhasil diserahkan ke panti asuhan. Hatinya remuk tak bersisa.Gladis melewati semua hal buruk yang biasa terdengar dan biasa terlihat di penjara. Gladis pernah berada di dalam sel isolasi karena ia membalas seseorang sampai orang itu terluka parah.Gladis memang sejak awal bertemu dengan Mbak Rini. Didampingi Mbak Rini. Tapi bukan berarti ia langsung menjadi orang yang baik. Gladis dengan segala kelabilan-nya memberontak. Memancing amarah sekitar. Memicu perkelahian h