Mereka berbicara di telepon cukup lama, sesekali kudengar mas Suryo bernegosiasi, berkata bahwa ia akan pulang esok pagi namun rupanya ada hal yang benar benar mendesak dan ia tak bisa tinggal di sini lebih lama. Aku tau sesekali matanya meliriku yang masih duduk di dalam tenda dengan tak enak hati.
Aku mencoba tenang sembari meneruskan acara melahap makananku yang memang belum usai, memaksakan diri menelan ayam beserta nasi yang semula terasa nikmat namun kini berganti menjadi hambar. seleraku hilang entah kemana setelah beberapa menit berlalu. Tapi aku terus menyantap makanan yang tersedia tanpa sisa, juga meminum jus jeruk sampai habis dengan tergesa. Rasanya perutku begitu penuh sampai ingin muntah. Aku membekap mulutku kuat untuk menahan mual juga tangis. Orang yang melihat keadaanku sekarang pasti berpikir aku sangat menyedihkan. Tapi biar saja, aku tak perduli. Ini bukannya pertama kali aku ditinggalkan di tengah-tengah acara kencan. Tapi bukan alasan juga untuk terbiasa mendapatkan rasa sakit ketika kamu harus terduduk sendirian. Menatap punggungnya yang membungkuk frustasi di kejauhan, aku tau bukan hanya aku yang tersiksa. Aku tau mas Suryo juga tak mau meninggalkanku. Kami juga masih belum selesai berdiskusi tentang masalah mbak Retno. Tapi kami bisa apa? Aku pun tak berhak mencegahnya untuk tetap tinggal. Aku sadar diri aku ini siapa. Saat datang kembali kedalam tenda setelah menyelesaikan panggilan dengan istrinya, mas Suryo langsung memelukku sembari membisikan ribuan kata maaf. Dia bilang harus pergi sekarang, keluarga mertuanya tiba-tiba datang dan ingin menginap. Akan sangat tak patut jika seorang Lurah yang menjadi suami dari anaknya tak terlihat batang hidungnya di rumah padahal malam telah larut. Mereka pasti akan curiga dan bertanya macam-macam. Semuanya akan semakin rumit jika ayah mertua yang menjadi pemilik perkebunan kelapa itu tau bahwa anaknya tak bahagia selama menjalani pernikahan dengannya, pria paruh baya yang masih terlihat gagah itu pasti tak akan tinggal diam. “Aku baik-baik saja, Mas. Enggak apa-apa, pergilah,” ucapku lirih sembari menepuk pelan punggungnya. “Maaf, ya…” “Iya.” “Aku janji enggak akan kayak gini lagi. Aku janji enggak bakal ninggalin kamu lagi.” Bohong. Janji itu hanya dibuat untuk menenangkanku. Aku tentu lebih tau itu tak akan terpenuhi karena bukan kali ini saja pria itu mengucap janji. “Iya, Mas.” Tapi aku hanya memberinya anggukan, juga berusaha menyunggingkan senyum yang semoga tak terlihat dipaksakan untuk mengurangi rasa bersalahnya. Aku tak apa, batinku berkata pada diri sendiri. Mencoba untuk lebih kuat dan kuat lagi menanggung resiko memiliki kekasih yang telah beristri. Meskipun di satu sisi, perasaan terbuang dan tak dijadikan prioritas pertama selalu mengiris hati. Mengikis percaya diri. Namun aku mencoba sekali lagi untuk bertahan. “Kamu enggak marah kan, Fi?” namun mendengar suaranya yang lirih diliputi ketakutan terang saja langsung membuatku luluh. Sekarang ia seolah menjelma menjadi seorang anak kecil yang ketakutan dimarahi ibunya karena menghilangkan mainan. Langsung saja aku mengurai pelukan dan segera meraih wajahnya yang sendu. “Aku ngertiin kok, Mas,” kataku dengan senyuman. Mengelus wajahnya yang penuh kekhawatiran. “Masih banyak waktu, kita bisa kencan lagi kapan-kapan.” “Makasih ya.” “Iya.” “Aku pergi sekarang.” “Oke.” Aku mengikuti mas Suryo keluar dari warung. Ia masih menggandeng tanganku erat. Tak mau melepaskan. “Aku udah pesanin taksi online buat nganter kamu ke kota…,” ucap mas Suryo sembari mengotak atik layar ponsel saat kami telah sampai di tempat motor pria dewasa itu terparkir. “Makasih,” sekali lagi aku memberinya senyuman. Melepaskan tangannya yang mencengkeram lenganku perlahan meskipun dalam hati tak rela. ”Hati-hati di jalan, jangan ngebut. Kalo udah sampai kabarin , ya.” Ia hanya memberikan anggukan . Mau tak mau mulai menaiki motor dan memakai helm. selama bersiap mengendarai motor matanya tak pernah lepas menatap ku yang terus menyunggingkan senyum simpul. “I love you.” Ia berkata tiba-tiba, membuatku cukup kaget sebelum kemudian terkekeh. “Love you more, Mamas,” jawabku sembari berjalan mendekatinya yang sudah merentangkan kedua lengan meminta dipeluk. Terkadang sikapnya benar-benar bisa melebihi bocah, manja banget. Untung gemes, untung sayang. ”Udah gih, pulang. Pasti ditungguin sama istri.” Aku menepuk nepuk pinggangnya agar bergegas. Ia menurut walau terlihat begitu enggan. “Kamu enggak mau aku tungguin sampai taksinya datang?” “Enggak usah. Paling bentar lagi datang.” “Ya udah, aku pamit ya.” “ Iya, Mas. Hati-hati, ya.” Kemudian motor matiknya pun meluncur mulus di jalan. Aku terus menatap punggung mas Suryo dan sesekali melambaikan tangan saat kepalanya menoleh. Ya ampun, padahal itu berbahaya, untung saja lalu lintas sedang sepi. Aku tertawa saat ia balik melambai tapi motornya malah sedikit oleng karena melewati jalan berlubang sebelum sosoknya hilang di belokan. Lalu semuanya lenyap. Kosong. Aku seperti ditinggalkan sendiri dalam kegelapan. Ya tuhan, padahal bukan pertama kali, tapi hatiku rasanya masih sakit sekali. Lampu jalanan menyala terang benderang, langit begitu banyak ditaburi bintang- bintang, angin yang bertiup pun sejuk. Semua orang akan berkata bahwa malam ini sangat indah, semua orang pasti sepakat malam ini adalah waktu yang tepat untuk keluar dan bersenang- senang. Tapi aku ingin egois sekali saja, ingin mendung datang dan segera turun hujan. Aku ingin bukan hanya aku yang merasakan kedinginan. Hei angin, bisakah kau membawa awan mendung yang entah berada di mana itu untuk cepat datang? Agar rintiknya jatuh membasahi bumi. Agar air mataku yang kini berlinang menyamarkanku dari perhatian orang yang berlalu lalang. Agar aku, sedikit saja , sejenak saja, berhenti merasa hidupku begitu menyedihkan. Satu yang selalu membuatku bertanya, mengapa sampai saat ini, dengan semua rasa sakit yang aku terima, tidak sekalipun membuatku berpikir untuk berhenti? Aku tak pernah tahu, cinta bisa membuatku kuat begini. *** Malam telah sangat larut saat taksi yang kunaiki sampai di depan gang rumah kosku. Aku mengucapkan terima kasih ketika akan turun dan pak sopir hanya menanggapi dengan senyum dan anggukan. Menyusuri gang sempit yang sepi, pikiranku yang lelah menerawang. Kepala terlempar kebelakang, mendongak dan menatapi langit yang kelam. Bintang-bintang yang semula berkelap kelip telah tiada, tersembunyi oleh bayangan awan yang kelabu. Rupanya tuhan sepertinya mengabulkan doaku, karna mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Aku tertegun ketika didetik selanjutnya kurasakan satu tetes gerimis mengenai permukaan pipi. Tanpa sadar aku tersenyum sebelum berlari karena tetesannya mulai jatuh dengan deras. Kesedihanku pun entah mengapa terkikis sedikit demi sedikit bersama air asin dari langit yang berjatuhan. Tiba di kompleks kos sederhana tempatku selama ini tinggal , aku langsung mengeluarkan kunci dan membuka pintu. Ruangan gelap gulita, segera kucari saklar dengan meraba dinding, setelah menemukannya kutekan langsung dan lampu pun menyala. Kamar kosku hanyalah berupa ruangan sempit tanpa sekat. Meskipun begitu aku bersyukur karena disini terdapat kamar mandi dalam, ranjang dengan kasur yang lumayan empuk, juga almari kayu berukuran sedang. Meski tidak luas, tapi lumayan nyaman ditempati. Merasakan dingin karena bajuku sedikit basah, segera saja aku beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun cermin besar yang tertempel di atas bak mandi membuatku tertegun. Aku menatapi diriku di dalam sana, dengan rambut terurai setengah basah dan wajah kusut. Tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatianku, melainkan kaus yang kupakai. Kaus couple yang kami beli siang tadi. Kaus pasangan pertama kami, saksi bisu dimana aku ditinggalkan lagi dan lagi. Mengingat itu mood ku yang semula mulai membaik kembali buruk. Dengan kesal segera saja kulepas kaus yang kupakai dan melemparnya ke keranjang kotor dengan kasar.Sudah pukul sepuluh malam ketika aku tiba di depan sebuah rumah yang lampunya masih terang benderang. Dihalaman yang tak seberapa luas itu terparkir sebuah mobil hitam mengkilat. aku tak hafal dengan plat nomornya, tapi aku punya dugaan kuat siapa pemiliknya. Turun dari sepeda yang kucuri dari kediaman utama pratama, aku berdiri sejenak untuk mengamati keadaan. Sunyi, karena memang rumah ini cukup jauh dari tetangga lain. Aku menghela nafas. Sesungguhnya aku belum memiliki rencana apapun. Tapi aku sudah di sini. Naluriku berkata aku harus ke sini. Aku yakin aku akan mendapatkan sesuatu malam ini di sini. Memantapkan hati aku pun mengetuk pintu, cukup lama aku menunggu hingga pintu akhirnya terbuka menampilkan sosok mbak Retno yang terkaget kaget melijatku berdiri dihadapannya. "Sufi!" Aku tak peduli dengan ia yang seperti hampir kena seramgan jantung, segera saja aku mendorong tubuhnya untuk menyi gkir dari ambang pi tu dan masuk ke dalam rumahnya begitu saja. Aku memgedarkan
" Belum tidur, Yang?" Aku mengalihkan mataku dari pemandangan gelapnya malam dibalik jendela kaca ketika kudengar mas suryo memasuki kamar. Pria tampan itu kini terlihat lusuh. Kemeja yang ia kenakan dari siang masih ia pakai padajal sudah lecek dan kusut. Sinar wajahnya begitu lelah. Sepertinya obrolan panjang duamiku bersama ayah dan beberapa orang penting di kelurahan cukup alot dan banyak memguras energinya. Ia yang biasanya penuh dengan semangat pun kini hanya bisa terduduk diranjang dengan lesu. "Maaf ya, mas. Aku nggak bisa bantuin apa-apa." Aku mendekatinya dan duduk berhadaoan. "Aku cuma bisa bikin kekacauan." "Sst, sudah beraoa aku bilang sih sayang, ini semua bukan salah kamu." Ia berucap lembut sembari merengkuhku dalam oelukan. "Kamu jangan mikir yang macam-macam. Mas bakalan jagain kamu, nggak bakalan bikin kamu kenapa kenapa. Semuanya bakal mas beresin seceoatnya. " Aku mengangguk, makin merangsek dalam pelukannya yang hangat. "Aku percaya kamu, mas." "Kita bisa
Sebenarnya ada apa? Apa yang sedang terjadi?Aku meremas jemariku dengan hati gekisah. Mas suryo masih bungkam namun dari raut wajahnya yang tegang aku tau bahwa semuanya tidak baik baik saja.Siapa yang menghubunginya tadu? Kabar apa yang diterimanya? Sebegitu buruk ya kah sampai suamiku terguncang seperti ini?"Mas?"Tak sanggup menahan diri lebih lama dalam keterdiaman, akuoun memecah kesunyian yang mencekam itu dengan memanggilnya pelan. "Sebenarnya ada apa?" Aku memegang oengannya lembut.Mas suryo menoleh. Dari raut wajahnya aku tau pikirannya kini tengah berkecamuk."Nanti, yang..." Ia balas menggenggam jemariku, menyalurkan kekuatan. " Nanti aku jelasin semuanya. Yang pentingbkita harus pergi ke tempat yang aman duku."Meskipun belum cukup puas karena beoum mendapatkan jawaban yang aku inginkan namun sekarang aku hanya bisa menurutinya. Aku harus menahan diri dan bersabar sebentar.Tak lama berkendara aku akhirnya tau kemana mas suryo membawaku. Itu adalah kediam utama kedua
hari ini aku bangun dengan tubuh super lemas. Bedanya, kemarin karena aku digemour habis habisan olehas suryo semalaman suntuk, sementara hari ini entah katena apa. Mungkin aku sedang tak enak badan, kena gejala fDualu, atau masuk angin, entahlah. Yang jelas, saat aku terbangun aku sudah tak memikiki energi. Mulutku terasa pahit, mual juga masih sering hilang timbul. Udaea pegunungan yang biasanya kurasakan segar malah kini membuat tububku memggigil bak orang pesakitan. Aneh sekali...aneh... "Makan duku ya? Dari kemarin kamu belum makan yang?" Mas suryo menyendokan sop hangat yang kutolak mentah-mentah. Aku caoek mencoba menelan apapun karena nantina akan kumuntahkan juga semuanya. Lebih baik tak makan saja sekalian walaupun jadinya oemas begimi. "Dikit aja, sayang. Kalo iamu kayak gini terus kaoan sembuhnya?" "Tapi aku mual," aku menatap mas suryo dengan mata berkaca akaca. Mas suryo menghela nafas oanjang, lelah juga mu gkin menghadapiku yang dalam mode keras kepala. "Atau ma
Aku mengerjap dan menghela nafas panjang begitu mendengar mas suryo terus terusan bergerak gelisah di belakang. Ini sudah hampir tengah malam, waktunya untuk terlelap namun pria besar itu dari tadi belum juga mau tidur. Aku yang sudah sangat mengantuk karena seharian lelah jalan-jalan kesana kemari pada akhirnya jadi terganggu oleh tingkah polah suamikuyang entah sedang kesurupan apa sampai tak mau diam bagai cacing kepanasan. "Kenapa sih mas? " Aku yang jengah dengan sikap suamiku pun membalikan badan untuk berbaring menghadapnya. Mas Suryo terkejut. Ia mengerjap beberapa kali sebelum merangsek mendekat. Entah mengapa setelah itu ia beberapa kali kedapatan menghela nafas panjang seolah sedang menenangkan diri. Suamiku ini kenapa sih? "Kenapa bangun? Udah tidur aja gih, " ujarnya singkat. Tangannya mengelus pipiku dengan lembut. Jakunnya naik turun seperti kesusahan menelan air liur. Sikapnya ini benar benar aneh. Apa mas Suryo tengah menyembunyikan sesuatu? "Gimana mau tidur
Tubuhku remuk. Semuanya terasa sakit sekali sampai rasanya aku tak mampu bergerak sedikitpun dari kasur. pergulatan kami semalam sungguh menguras energiku sampai tak bersisa. bahkan mungkin aku harus bersyukur dengan kenyataan tak sampai jatuh pingsan, walapun tentu saja terbaring lemah seperti ini pun sangat menyiksa. "Sarapan dulu, Yang." Aku menoleh penuh kemalasan ketika Mas Suryo memasuki kamar dengan membawa dua mangkuk bubur ayam dan teh hangat. Melihat lelaki itu yang sudah rapi menggunakan stelan kasual, segar bugar dan bahkan wajahnya begitu bercahaya membuatku mendengsus. Tiba tiba saja aku merasa jengkel sendiri. Kenapa suamiku bagai baru disuntik satu ton vitamin sementara keadaanku layaknya korban yang habis hanyut terkena banjir bandang begini sih. "Kenapa lagi? Kok malah cemberut?" Ia duduk di sampingku yang masih rebahan. Tangannya mengelusi wajah yang luar biasa lusuh. "Ya gara gara siapa badanku remuk kaya habis ditabrak gerobak!" Bukannya menyesal mas Su