Share

5. Sindiran

Part 5

Kuletakkan handphone di atas meja, rasanya ingin kupergoki mereka berdua, tapi apalah daya, bagaimana dengan anak dan bayiku. Membayangkan Mas Damar dan Melinda tengah bermesraan saja rasanya begitu sakit.

Kuhela nafas yang terasa begitu berat, sangat berat bahkan terasa sakit meski hanya untuk menghempaskannya.

Aku menoleh ke arah dua malaikat mungilku yang tengah tertidur pulas. Butiran bening menitik tak bisa dibendung lagi. Lelaki yang seharusnya jadi panutan, tapi ternyata tak lebih dari seorang pembohong besar.

Namun kuakui, Mas Damar adalah seorang ayah yang baik. Hal ini yang membuatku bingung, bagaimana dengan anak-anak bila tanpa kehadiran seorang ayah.

Aku kembali memungut ponsel dan mengirim pesan pada Mbak Rasti dan Mas Niko.

[Assalamu'alaikum, Mbak. Malam-malam maaf ganggu waktu istirahatnya]

[Waalaikum salam, oh iya, kebetulan aku belum tidur. Ada apa ya, Mbak?] Balas Mbak Rasti.

[Mas Niko lembur gak ya, Mbak?]

[Enggak kok. Pulang seperti biasa. Itu orangnya sedang nonton tv di rumah]

[Oh. Suamiku belum pulang, Mbak. Dia bilang lembur sampai jam 12 malam]

[Astaga! Mas Damar kok keterlaluan, punya anak bayi malah gak pulang. Pergi kemana dia?] Balas Mbak Lastri.

[Aku juga gak tahu, Mbak. Bisakah besok pagi datang ke rumah kami dan pura-pura sandiwara denganku? Aku ingin memancing reaksi Mas Damar, kemana dia pergi semalam?]

[Beres, Mbak, bisa diatur! Sebelum sarapan deh aku kesana. Aku ikut sedih dengar cerita, Mbak. Yang sabar ya, harus kuat. Mbak Wulan punya dua anak kecil yang masih sangat membutuhkan ibunya]

[Iya, Mbak. Terima kasih]

[Kalau butuh bantuan, WA saja. Kalau bisa insyaallah kami akan membantu]

Bersyukur, aku masih punya teman yang bisa diajak sharing. Terima kasih, Allah.

***

Aku terperanjat kaget mendengar suara ketukan pintu. Tanpa terasa aku tertidur karena kelelahan. Melihat di dinding, jam bundar yang bertengger manis di sana menunjukkan pukul setengah satu malam.

"Dek, buka pintunya!" teriak suara dari luar.

Kuperiksa lebih dulu siapa yang datang, rupanya benar Mas Damar baru pulang selarut ini. Pintu terbuka pelan, aku memasang wajah malas untuk menyambutnya.

"Dek, maaf membangunkanmu. Kamu sudah tidur ya?"

Aku diam saja, meraih tas kerja dan jas yang ia lepaskan.

"Aduuuh, aku capek banget!" pungkasnya lagi sembari menjatuhkan tubuhnya di sofa.

Ia memijat pelipisnya sendiri. "Gimana anak-anak, Dek? Mereka gak rewel kan?"

"Ya namanya anak-anak ya past0i begitu Mas, kadang rewel kadang enggak."

Mas Damar tersenyum. "Kamu yang sabar ya menghadapi anak-anak. Maaf kalau mas gak ada waktu buat kalian. Nanti hari minggu jalan-jalan ya, kamu mau 'kan?"

"Sudahlah, Mas, aku ngantuk mau tidur."

Kutinggalkan dia begitu saja. Dia menyusulku dan langsung merangkul dari belakang.

"Lepasin aku, Mas!" tukasku. Entah kenapa rasanya makin marah saat ia menyentuhku. Bukan tak mungkin dia sudah menyentuh wanita itu. Jijik rasanya membayangkan berbagi suami dengan wanita lain.

"Lho kenapa? Aku bau keringat ya?" ucapnya tanpa rasa bersalah.

Aku mengibaskan cekalan tangannya.

"Dek, kamu kenapa?"

Kembali aku menarik nafas dalam-dalam. Aku hampir lupa kalau saat ini harus berpura-pura tidak tahu lebih dulu.

"Maaf Mas, mungkin aku yang terlalu lelah. Capek seharian ngurus si kecil dan rumah gak ada yang bantuin. Aku mau tidur dulu."

Mas Damar mengangguk dan membiarkanku pergi, meski tatapan matanya penuh tanya.

***

Pagi hari mulai menyapa. Suasana pagi masih terasa segar kala aku membuka jendela. Sedari subuh aku terbangun, kulihat Mas Damar pun sudah mandi dan rapi. Ia menggendong bayi kami yang tadi menangis.

Kesempatan bagiku untuk mengecek WA-nya.

[Pagi, Mas. Udah bangun belum? Kalau mau sarapan buatanku, ayo datang kesini ya, Mas. Aku mau masakin spesial untukmu] chat dari Melinda.

Kurang ajar, tak cukup kah semalam bersama suamiku? Pagi ini dia justru meminta suamiku datang lagi?

Aku menggeleng pelan. Meletakkan ponsel kembali, padahal tadinya aku ingin bersantai sejenak. Tapi tidak. Aku takkan biarkan Melinda makin merebut perhatian suamiku pada anaknya. Kecuali nanti saat aku sudah benar-benar siap.

"Mas, aku titip Amanda ya. Mau masak dulu."

"Iya Dek, mau masak apa?"

"Emmhh, seadanya bahan di kulkas ya, aku belum sempat belanja lagi."

"Oke, Sayang."

Gegas menuju ke dapur dan memasak ayam yang sudah kuungkep kemarin, bakwan jagung serta tumis bayam.

"Wah, baunya harum, Dek."

"Iya, Mas." Aku menoleh mendapati Mas Damar mengambil air minun sendiri.

"Amanda dah tidur, Mas?"

"Iya udah tidur lagi."

"Aku boleh minta tolong lagi gak, Mas?"

"Apa sayang, katakan saja."

"Bangunin Raffa ya, Mas, sekalian mandiin dia."

"Siap, Sayang."

Saat hendak melangkah, tiba-tiba ponsel Mas Damar berdering. Ia berhenti sejenak, mengambil ponsel yang disimpan di saku celananya seolah orang lain tak boleh memegangnya.

Dia memeriksa ponselnya lalu menatapku cukup lama.

"Telepon dari siapa? Kok gak diangkat?"

"Gak, bukan siapa-siapa. Nomor asing, pasti salah sambung," jawabnya lagi.

"Siapa tahu panggilan penting, Mas."

"Biar ajalah. Ini waktuku bersama keluarga. Tak ingin digannggu dulu.

Mas Damar tersenyum, setelah mengatakan hal itu ia berlalu ke kamar Raffa.

Menu sarapan sudah terhidang di atas meja bersamaan dengan Raffa yang kelar mandi. Dia sudah berganti baju.

Mereka duduk di meja makan, kusiapkan sarapannya.

"Asyiik, ayam goreng lagi ya, Bu?"

Aku tersenyum. Tak lama terdengar suara pintu diketuk.

"Mas, kamu ambil lauk sendiri ya, aku buka pintu."

"Iya, Dek."

Dengan langkah tergesa berjalan ke depan.

"Pagi, Mbak Wulan."

"Pagi, Mbak Rasti."

Mata Mbak Rasti langsung berkedip dan aku mengangguk. Kami saling berbagi kode untuk bersandiwara.

"Ayo masuk sini, Mbak Rasti. Kebetulan kami lagi sarapan."

Kami melangkah masuk. Tak dinyana Mbak Rasti membawa bungkusan plastik berisi apa aku tidak tahu.

"Eh maaf ya, Mas Damar aku malah ikut masuk nih. Ini buat kalian oleh-oleh Mas Niko kemarin habis dari kebon pepaya!" celetuknya. Dia menyerahkan bungkusan plastik itu berisi satu buah pepaya berukuran sedang.

Mas Damar tersenyum. "Mari sarapan, Mbak."

"Walah terima kasih, kok malah repot-repot gini? Memangnya Mas Niko gak kerja, Mbak Rasti?"

"Kerja kok, kami berangkat sepulang Mas Niko kerja, jam setengah lima."

"Lho, Mas Niko gak lembur to? Kok semalam Mas Damar lembur, pulangnya malam banget malah sampai jam setengah satu!" sindirku sembari melirik ke arah Mas Damar.

Mas Damar berhenti mengunyah seketika.

"Whaatt? Yang bener aja, Mas Damar, lembur apa yang sampai tengah malam begitu? Kasihan anak istri ditinggal sampai malam begitu. Lagian nih ya Mbak Wulan, kata suamiku kalaupun lembur, biasanya cuma sampai jam delapan malam doang kok!"

Reaksi Mas Damar makin berubah, tak enak, raut wajahnya mulai memerah.

"Jadi maksud Mbak Rasti semalam gak ada lembur?" pancingku lagi.

"Iya. Mas Niko pastikan hari kemarin gak ada yang lembur, kantor sepi selepas maghrib, dia yang bilang sendiri padaku. Dia juga lihat kok kalau mobil Mas Damar menuju ke arah jalan pulang. Kalau Mas Damar sampai pulang tengah malam berarti ..."

"Uhuukk ... uhuuukk ...!" Tetiba Mas Damar terbatuk-batuk.

"Pelan-pelan dong, Mas, makannya," ujarku sembari menuangkan air putih di gelas minumannya.

"Kalau memang semalam gak lembur, terus kamu pergi kemana, Mas?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
pokoknya Mbak Wulan beresin segala sesuatu yang menjadi hak miliknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status