Share

Bab 7

Sampai di kantor, Dayton langsung masuk ke ruangannya dan duduk menyerendengkan kepalanya di kursi kebesarannya, Joseph masuk ke ruangan atasannya dan melihat kegundangan hati sang atasan.

“Pak.” Joseph membuat Dayton sadar dan memperbaiki duduknya.

“Ada apa?”

“Ada meeting yang akan Anda hadiri pagi ini.”

“Baiklah, kamu bisa pergi.”

Joseph menundukkan kepala lalu berjalan keluar dari ruangan atasannya.

♥♥♥

Alice memilih tak ke sekolah lagi, sedangkan sang ayah dan ibu tak memaksa Alice untuk sekolah, Alice lebih memilih untuk menghabiskan waktunya mempersiapkan pernikahannya, hal yang sangat membahagiakannya adalah hal ini. Menikah dengan pria idaman dan menjalin sebuah hubungan yang sebelumnya tak pernah ia lakukan.

“Apa yang sedang kamu lakukan, Sayang? Kenapa tak ke sekolah? Bukan kah kamu harusnya lulus tahun ini?” tanya sang mommy.

“Sekolah itu sudah tak penting, Mom, sebentar lagi ‘kan aku menikah tentu saja hal yang terpenting adalah mempersiapkan pernikahanku,” jawab Alice membuat sang mommy menggeleng pelan.

“Baiklah. Windra memanggilmu untuk bertemu di butik jadi pergilah, Nak,” ujar Lucia.

“Windra? Kakaknya Zach? Benarkah, Mom?”

“Iya dia barusan telpon di nomor Mommy, jadi Mom sampaikan ke kamu.”

“Kenapa tak menelponku saja?”

“Dia ‘kan tak tau nomor ponselmu, Nak.”

“Oh iya benar juga, baiklah kata Windra aku ke sana jam berapa?”

“Jam 10 pagi, Sayang.”

“Sekarang sudah hampir jam 10, aku tidak boleh membuat kakak iparku menunggu, aku harus bergegas ke sana,” seru Alice. “Thanks, Mom, atas penyampaiannya,” sambung Alice mencium sang mommy sembari berlari menuju lantai atas, Lucia menggelengkan kepalanya ketika melihat semangat sang putri yang akan menikah dengan pria yang akan di jodohkan dengannya. Pernikahan Alice akan menjadi pernikahan yang membahagiakan buat Alice, ia bersemangat sekali untuk mempersiapkan pernikahannya sendiri.

Alice mengambil ponselnya dan menelpon seseorang di seberang sana. Alice begitu bahagia ketika kakak iparnya itu menyuruhnya ke butik setelah sewaktu pertemuan ia tak pernah menunjukkan senyumnya sama sekali, menandakan bahwa Windra tak suka padanya.

Alice bergegas pergi dan melajukan mobilnya menjemput Angelica, Alice tak pernah menyangka jika ternyata penilaiannya terhadap Windra salah.

Sepuluh menit kemudian Alice sampai di suatu tempat di mana Angelica menunggunya, Alice memicingkan mata melihat Angelica yang sedang menatap dengan pandangan kosong, Alice menggeleng karena tau bahwa sahabatnya itu sedang ada masalah, Alice memencet klakson mobil menyadarkan Angelica dari lamunannya yang sejak tadi membawanya pergi, Angelica tersenyum lalu berjalan memasuki mobil mewah milik Alice sahabatnya.

“Ada apa dengan wajahmu itu?” tanya Alice.

“Hem? Oh aku tidak apa-apa, Lice, hanya banyak pikiran saja.”

“Jadi kamu sudah tak ingin curhat padaku lagi?” tanya Alice.

“Bukan gitu.”

“Jika bukan begitu, lalu apa yang kamu khawatirkan sampai tak mau cerita padaku?” tanya Alice yang masih fokus mengemudikan mobilnya menuju butik.

“Aku harus pindah dari apartemen saudaraku.”

“Kenapa?”

“Ingin pindah saja karena apartemen itu sudah akan di jual.”

“Terus apa yang kamu pikirkan? Tinggal ikut dengan saudaramu kan di mana ia akan pindah.”

“Tak semudah mengatakannya, Alice.”

“Terus kamu mencari tempat tinggal?”

“Hem, aku seharian ini sudah keliling mencari tempat tinggal yang murah yang bisa aku bayar sewanya, tapi sangat susah untuk mencari tempat,” ujar Angelica.

“Kamu akan tinggal denganku jika memang kamu tak memiliki tempat.”

“Apa? Haha jangan becanda, Alice, aku tak mau merepotkanmu.”

“Jika tak merepotkanku, bagaimana? Siapa yang akan kamu mintain tolong, jangan menolaknya, Angel, aku sudah menganggapmu seperti saudaraku sendiri, kamu ‘kan tahu aku tak memiliki saudara perempuan jadi akan sangat menyenangkan jika kita tinggal bersama.”

“Kamu akan menikah, tentu saja kamu tak akan tinggal bersama orang tuamu, Alice, jangan mengatakan hal yang tak masuk akal, bantu saja aku mencari jalan keluarnya tanpa melibatkanmu di dalamnya.”

“Atau mau aku pinjamkan uang saja untuk sewa bulananmu?” tanya Alice.

“Tentu saja aku tidak mau, Alice.”

“Aku tahu jawabanmu. Terus kamu mau apa, Angel?”

“Aku harus mencari jalan keluarnya tanpa melibatkan kamu.”

“Aku bosan mendengarnya, sampai kapan kamu akan terus menolak bantuanku?”

“Aku benar-benar tak ingin merepotkanmu, Alice,” kekeh Angelica.

“Ya sudah, pikirkan saja sendiri dan katakan padaku jika kamu membutuhkan bantuan, jangan sungkan-sungkan,” ujar Alice.

Sampai-lah mereka di butik, Angelica dan Alice berjalan masuk ke butik dan di sambut hangat oleh sebagian pegawai butik dengan membungkukkan kepala.

“Temui saja kakak iparmu itu, aku akan melihat-lihat,” bisik Angelica, Alice menganggukkan kepala dan menghampiri Windra yang sedang membaca sebuah majalah.

“Hai, Win,” sapa Alice membuat Windra mendongak kesal.

“Dari mana saja kamu? Aku sudah mengatakan pada ibumu untuk menemuiku jam 10.”

“Maaf jalan macet tadi jadi aku terlambat.”

“Aku tak suka ya sama orang yang tak disiplin waktu, buang tenaga saja, jika aku tak mengingat bagaimana adikku akan menikah, aku tak akan menunggumu di sini karena itu hanya merepotkanku,” omel Windra.

“Aku—“

“Tak perlu banyak bicara, pilih saja mana yang kamu suka dan bungkus lalu bawa pulang-lah, aku tak punya waktu untuk menunggu dan menemanimu di sini,” ujar Windra kesal.

“Jadi, kamu menyuruh saya kemari hanya mau memarahiku? Aku baru telat semenit dan kamu membesar-besarkannya?” tanya Alice yang tak bisa menahan amarahnya.

“Aku sudah mengatakannya barusan jika aku lebih menyukai orang yang lebih disiplin akan waktu, jadi jangan membuang-buang waktuku, pilih saja apa yang kau suka dan bawa-lah pulang,” ujar Windra kesal.

Angelica melihat-lihat deretan gaun pernikahan yang telah menjadi pajangan toko, Angelica juga melihat beberapa pasangan yang sedang mencoba gaun pernikahan dan begitu pun setelah pengantin pria, Angelica membayangkan jika saja dirinya seperti pasangan itu, Angelica tersenyum ketika membayangkan jika wanita itu adalah dia dan pria itu adalah calon suaminya, suara Alice membuat lamunan Angelica buyar seketika, Angelica menghampiri Alice yang sedang beradu mulut dengan calon kakak iparnya itu.

“Ada apa, Alice?” tanya Angelica, melihat sahabatnya itu sedang marah.

“Asal kamu tahu, ya, sejak awal aku tidak pernah meminta bantuanmu untuk menemaniku memilih gaun pengantin, jadi di sini yang aneh siapa? Kamu atau aku? Kamu pikir aku tidak mampu membeli gaun pengantin sampai caramu memperlakukanku seperti ini? Aku bisa membeli toko ini sekaligus jika aku mau, jadi kamu tak usah meremehkanku,” ujar Alice membuat Angelica mencegahnya, namun Alice terlanjur terpancing, tentu saja jika Alice terus mengatakan hal itu, pernikahannya dengan Zach hanya akan menjadi kenangan jika saja Windra melaporkannya pada Zach tentang bagaimana sikap Alice.

“Sombong, kamu pikir hanya kamu yang bisa membeli tempat ini? Aku juga bisa, jadi kamu tak perlu menyombongkan harta orang tuamu,” ujar Windra menyunggingkan senyum.

“Nyonya hentikan, Alice ini adalah calon adik ipar Anda, jadi Anda tak perlu memperlakukannya seperti ini karena tujuan anda memanggilnya kemari bukan untuk beradu argument,” sambung Angelica yang tak tau bagaimana menyikapi suasana yang sudah menjadi tontonan ini.

“Kamu siapa? Kamu pikir aku sudi menjadi kakak iparnya? Dasar!” ujar Windra menyeringai.

“Ayo kita pergi dari sini, lebih baik aku membatalkan pernikahaku dengan Zach di bandingkan harus hidup bersama dengan kakaknya yang seperti ini,” ujar Alice menarik tangan Angelica untuk keluar dari butik.

Alice berjalan meninggalkan butik di susul Angelica, Alice meninggalkan mobilnya yang ia parkir di bahu jalan dan memilih berjalan kaki, Alice dan Angelica masuk ke café.

“Alice, apa kamu yakin akan membatalkan pernikahanmu dengan Zach? Bukankah kamu mencintainya?” tanya Angelica.

“Tentu saja, jika aku tak membatalkannya sekarang, itu hanya akan merugikanku hidup bersama pria yang memiliki saudara sangat lancang,” ujar Alice menitikkan air mata dan Angelica berusaha menenangkannya dengan cara menepuk punggung Alice.

“Jangan memutuskan semuanya berdasarkan emosimu, Alice, kamu tak akan hidup bersama kakaknya itu, kamu akan hidup bersama Zach, hanya kalian berdua bukan kakaknya itu,” ujar Angelica.

“Aku tak bisa, Angel, dia sudah membuat perasaanku hancur dengan mengataiku di depan banyak orang.”

“Apa itu penting? Bagaimana dengan orang tuamu?” tanya Angelica berhasil membuat Alice terdiam.

Alice mengacak-ngacak rambutnya dan mencoba menenangkan perasaannya di pelukan Angelica, sebagai sahabat Angelica hanya bisa menenangkan Alice dengan cara mengelus punggungnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status