Share

Part 5: Hukuman!

Keesokan harinya, pihak sekolah mengadakan rapat untuk menyelesaikan permasalah Eva dan Sindi. Permasalahan Eva dan Sindi harus dihadiri kedua orang yang bersangkutan. Namun, karena Sindi dalam proses pengobatan, Sindi diwakili oleh kedua orang tuanya yang memang wajib hadir di dalam rapat tersebut. Pihak sekolah, orang tua Sindi, dan pihak kepolisian sudah berada di ruangan.

Di sisi lain, Pak Erik masih memaksa Eva memasuki ruang rapat agar permasalahannya cepat selesai. Namun, Eva malah menolaknya dan berusaha melepaskan tangannya yang diseret Pak Erik menuju ruangan.

"Eva, cepat! Aku tak ada waktu mengurus hal sepele ini lagi. Cepat, jalan!" marah Pak Erik terus menarik tangannya hingga ke depan pintu ruangan yang tertutup.

"Eva nggak mau!" tolak Eva melepaskan tangannya.

"Masuk, sekarang juga!" suruh Erik memelototi.

Eva memajukan bibir bawahnya, lalu menunduk. Ia takut saat Pak Erik dalam keadaan marah. Tidak ada yang bisa membantah perkataannya jika sudah memberikan tatapan serius tanpa senyuman. Akhirnya, Eva terpaksa masuk ke ruangan rapat tanpa harus disuruh sekali lagi.

"Kreeek!"

Eva membuka pintu ruang rapatnya dan percaya diri memasuki ruangan itu tanpa rasa gugup hingga ia mengambil tempat duduk di kursi ke lima sebelah kiri berhadapan dengan ibu Sindi. Disusul dengan Pak Erik yang duduk di samping Eva.

"Pura-pura baik!" sahut Ibu Sindi terlihat kesal.

"Maaf, bu. Saya harap tidak ada keributan pada rapat ini," ucap kepala sekolah.

Ibu Sindi terdiam setelah kepala sekolah menyuruhnya diam. Ia melirik Eva dengan raut wajah kesal sambil bergumam seorang diri. Sifat Ibu Sindi yang begitu sembarangan dan tahu malu hingga ia mau bertengkar di mana pun tempatnya tanpa memikirkan resiko apa pun, begitu juga dengan ayahnya.

"Bisa kita lanjutkan," tanya kepala sekolah pada seorang polisi di samping kanannya.

"Silahkan," ucap polisi itu dengan santai.

"Eva Gricia Sukma Negara. Coba kamu ceritakan asal mula pertengkaran itu terjadi, dan apa penyebabnya kamu memukul anak dari ibu dan bapak ini sampai terluka parah?" tanya kepala sekolah menanyakannya perkataan yang bijak.

"Baik pak. Saya akan menjelaskannya dengan sangat jujur," ucap Eva.

***

Saking penasarannya, Cici, Raisa, dan Rena berlari menuju ruangan rapat untuk menguping pembicaraan dan keputusan kepala sekolah kepada sahabatnya itu.

Cici mengintip di celah jendela yang sedikit terbuka. Cici melihat Eva sedang menjelaskan panjang lebar tentang pertengkarannya dengan Sindi di depan kepala sekolah, polisi, guru-guru dan kedua orangnya Sindi. Cici membalikkan badannya dan menatap temannya yang lain dengan raut wajah sedih.

"Ci, bagaimana?" tanya Rena juga penasaran.

"Mereka seperti sedang menginterogasikan Eva," jawab Cici dengan suara lemas.

"Ah, yang benar kamu?" tanya Rena.

"Aku juga mau lihat," sahut Raisa.

Raisa juga mengintip untuk memastikan keadaan Eva di ruang rapat itu. Ia membalikkan badannya setelah memerhatikan beberapa saat. "Iya, Ren. Sepertinya Eva sedang menjelaskan kejadian kemarin," tambah Raisa mulai cemas.

"Waduh. Apa Eva akan di hukum?" tebak Rena.

"Jangan-jangan, Eva di keluarkan dari sekolah ini." Cici semakin cemas.

"Ci, Ren, doakan saja yang terbaik untuk Eva. Kalau memang dia di keluarkan, berarti sekolah ini tidak adil!" tambah Raisa.

***

"Itu yang sebenarnya terjadi pak," tandas Eva. Ia sudah menjelaskan permasalahan itu dengan jujur.

"Dia berbohong, Pak. Anak saya tidak pernah melakukan hal itu!" potong Ayah Sindi.

"Tolong, Om. Jangan tutupi kejahatan anak Om itu!" ucap Eva geram.

"Diam kamu!" cetus Ibu Sindi.

"Dengar Ibu, Bapak, dia belum memperlihatkan bukti yang kuat tentang kejahatan anak Ibu," sahut Pak Erik.

"Kamu dengan keponakan kamu, sama-sama gila!" kata Ibu Sindi lagi.

"Ibu kalau ngomong hati-hati!" kesal Pak Erik.

"Sabar, Pak Erik," tahan polisi itu. Polisi itu berdiri dari tempat duduknya, "Ibu, Bapak, saya harap kalian bisa tenang dulu, biar bukti yang akan menyelesaikannya."

"Iya, Bu, Pak. Kalian jangan main menghakimi, jika Sindi terbukti melakukan tindakan kriminal, dia bisa dikeluarkan," sahut salah satu guru wanita di sebelah kiri kepala sekolah.

"Tapi, anak saya tidak pernah melakukan kejahatan. Dia anak yang baik," ucap Ibu Sindi mulai lemas.

"Kebenaran yang akan membuktikan perilaku anak bapak. Apapun boleh di jadikan alasan. Yang namanya kekerasan tetap kekerasan. Saya akan menunjukkan bererapa bukti, kalau anak ibu dan bapak lah yang bersalah dalam hal ini," sahut Pak Erik lagi.

"Tidak mungkin. Itu tidak mungkin." Ayah Sindi berusaha menolak.

***

"Wah, Eva menang!" teriak Cico gembira yang baru selesai mengintip.

"Sindi akan di keluarkan dari sekolah," ujar Rena sambil menari di depan ruangan.

***

Pak Erik memberikan flash rekaman CCTV kepada polisi. Polisi itu langsung memutarkan video kejahatan Sindi dalam beberapa tahun terakhir yang dilakukannya dalam lingkungan sekolah. Video tersebut diputar di laptop menggunakan infokus yang menampilkan gambar yang besar dan jelas.

Di dalam video itu, Sindi melakukan tindak kekerasan terhadap para siswa-siswi yang tidak bersalah. Sindi pernah tertangkap kamera CCTV saat memukul, menjambak dan menyiram siswa-siswi seperti boneka yang tak berani melawan tindak kekerasannya itu.

Setelah melihat kejahatan yang di lakukan Sindi. Timbullah rasa malu kedua orang tua dan sadar dengan perilaku jahat yang dilakukan anaknya.

"Kami tidak tahu kalau Sindi akan seperti ini. Kami kira, dia hanyalah seorang anak yang nakal yang sewajarnya saja," kata Ibu Sindi menunjukkan raut wajah sedih, tapi terlihat tidak bersungguh-sungguh.

"Itu sebabnya kami mengajak kedua pihak wali siswa-siswi untuk lebih mengenal anaknya sendiri. Ibu tidak perlu menyesal dengan semua ini. Yang perlu ibu ingat, sekarang ibu harus mengembalikan Sindi ke arah yang lebih baik," jelas Kepala sekolah dengan bijak.

"Baik, Pak. Kami juga minta maaf pada Eva dan Pak Erik," ucap Ibu Sindi menahan rasa malu dan kesal. Sedangkan suaminya menunduk dengan rasa malu.

Eva dan Pak Erik saling menatap menaikkan alis mereka. Batin mereka merasakan kalau kedua orang tua Sindi sebenarnya tidak tulus untuk meminta maaf.

"Iya, Bu, Pak. Kami juga minta maaf," ucap Pak Erik bersikap biasa saja.

"Baik. Permasalahan sudah selesai. Tapi, saya harus memberikan keputusan yang bijak untuk siswa-siswi saya yang sudah melanggar aturan sekolah," kata Pak Kepala sekolah.

"Jadi gimana Pak? Apa hukumannya?" tanya guru lainnya.

"Saya terpaksa mengeluarkan Sindi dari sekolah, Eva diskor untuk tidak diizinkan masuk sekolah selama satu minggu, penghargaannya juara umumnya akan kami cabut," putus kepala sekolah dengan tegas. Ia berdiri dari tempat duduknya.

"Tapi, Pak ...," Eva ingin membantahnya, tapi Pak Erik menahan Eva untuk tetap diam.

"Dan, beberapa siswa-siswi lainnya dari kelompok mereka harus dihukum. Saya serahkan mereka kepada wali kelas masing-masing. Terima kasih atas waktunya, Pak polisi. Ayo kita minum teh bersama di ruangan saya," pungkas kepala sekolah mengajak polisi itu meninggalkan ruang rapat.

Di sisi lain, Kedua orang tua Sindi sangat kesal dengan keputusan kepala sekolah terhadap anaknya. Tapi, kedua orang tuanya harus menerima apa yang telah konsekuensi telah dilakukan anaknya.

***

Suara alarm Rendra berbunyi tepat pada pukul 16:30 sore. Rendra terbangun dari tidurnya kemudian pergi menuju kamar mandi. Suasana rumah baru Rendra terlihat luas, bersih, dan rapi. Setelah Rendra mencuci wajahnya dan mengganti pakaian dengan setelan baju dan celana berkaos.

Ia berjalan menuju dapur untuk mencari beberapa makanan di kulkas. Namun, kulkas Rendra masih kosong dan belum terisi bahan makanan sama sekali.

Rendra menutup kulkasnya kembali sambil menghela napas. "Aku lupa, kalau aku sudah berada di Indonesia. Oh My God!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status