Mobil sampai di rumah El. Bian segera turun dari mobil. Dia menurunkan kopernya terlebih dahulu sebelum masuk. Rencananya, dia akan tidur di rumah kakaknya terlebih dahulu malam ini. Besok baru dia akan pulang. Karena jika dia pulang malam, tentu saja daddy dan mommy akan curiga. Karena Bian tidak langsung pulang.
Bian masuk ke rumah sambil menarik kopernya. Dua keponakannya sudah berlari masuk memanggil sang mommy.“Mommy, Uncle Bian sudah datang.” Kean dan Lean yang masuk ke rumah memberitahu sang mommy.Bian hanya bisa tersenyum melihat aksi keponakannya itu. Dia terus mengayunkan langkahnya masuk ke rumah. Saat masuk, dia melihat sudah banyak kakak-kakaknya di sana. Ada Freya-istri El, ada Ghea-kakaknya dan sang suami Rowan, ada Al-kakak sepupunya dan sang istri Shera, dan terakhir ada Dean-sepupunya bersama sang istri Dearra. Mereka semua berkumpul untuk melanjutkan obrolan mereka di chat pesan kemarin.“Uncle Bian.” Anka, Rigel, dan Gemma berlari. Mereka begitu senang sekali melihat pamannya datang. Bian adalah paman yang paling mereka suka. Karena selalu mau bermain dengan mereka semua. Mereka semua memeluk pinggang Bian.Bian langsung memeluk tiga keponakannya itu. “Wah … keponakan Uncle sudah besar sekali.” Bian senang sekali melihat keponakannya.“Apa kabar, Bi?” Al memeluk sepupunya itu.“Baik, Kak.” Bian tersenyum saat di peluk sang kakak.“Lihatlah akhirnya kamu pulang juga.” Di samping Al ada Dean yang menggoda Bian. Selama di London, mereka memang tinggal bersama. Dean pulang lebih dulu karena harus segera bekerja di rumah sakit milik keluarga, sedangkan Bian masih asyik tinggal di London.“Akhirnya aku menyusulmu.” Bian memeluk Dean. Dia tertawa akhirnya pulang juga. Padahal, dia berniat tinggal lama di London. Bian yang melihat anak Dean yang sedang digendong langsung mengambil alih. “Derran kamu lucu sekali.” Dia mendaratkan kecupan di pipi sang anak dua tahun itu. Dari Dean Bian beralih ke kakak iparnya-Rowan. “Apa kabar, Kak?” tanyanya sambil memeluk.“Baik.” Rowan tersenyum. Senang melihat adik iparnya yang sudah kembali.“Rivans mana?” Bian menatap kakak iparnya dan kakaknya-Ghea. Tidak menemukan satu keponakannya.“Dia di rumah mommy. Tadi pagi mommy meminta Rivans dibawa ke sana. Jadi aku belum menjemputnya.” Ghea menjawab ke mana keberadaan anaknya.Bian mengangguk. Satu belum bertemu satu keponakannya. Berharap nanti dia akan segera bertemu.Mereka segera duduk. Bian masih menggendong Derran. Bayi dua tahun itu terlihat mengemaskan sekali.“Sepertinya, jika tidak ada masalah ini kamu tidak akan pulang.” Shera menggoda adik iparnya.“Sepertinya begitu.” Bian membenarkan ucapan kakak iparnya.“Sudah, kamu bersihkan tubuhmu dulu saja. Nanti kita bicarakan lagi.” Freya mengakhiri obrolannya. Meminta Bian untuk ke kamar tamu yang sudah disiapkan. Pasti adik iparnya itu butuh menyegarkan tubuhnya.“Kita tidak bicara sekarang saja?” Bian sudah tak sabar untuk membahas masalah sang daddy.“Kamu harus segarkan tubuhmu dulu. Baru kita bisa bicarakan.” Dearra memberikan nasihat pada Bian.Bian membenarkan apa yang diucapkan Dearra. “Baiklah.” Akhirnya dia mengalah. Memilih untuk menarik kopernya ke kamar.Di saat Bian sedang ke kamar, para wanita memilih untuk menyiapkan makan malam. Mereka akan makan malam dulu sebelum membahas semuanya. Para pria pun mengobrol sambil menunggu makan malam disiapkan.***Rasa segar dirasakan Bian setelah membersihkan tubuhnya. Hal itu membuatnya lebih nyaman dibandingkan tadi. Setelah selesai membersihkan tubuh, Bian segera bergabung dengan kakak-kakaknya.Ternyata kakak-kakaknya telah bersiap untuk makan malam. Alhasil, dia menikmati makan malam bersama lebih dulu sebelum membahas tentang sang daddy.“Ayo kita makan dulu.” Freya mengajak semua untuk segera ke ruang makan.Semuanya ke ruang makan. Anak-anak begitu antusias sekali makan bersama. Mereka semua ingin duduk di dekat Bian. Para orang tua hanya menggeleng heran. Bian memang jadi magnet untuk anak-anaknya.Bian tidak pernah keberatan ketika keponakannya mendekatinya. Dia memang selalu senang. Bian duduk di antara Anka dan Gemma. Di samping mereka ada Kean, Lean, dan Rigel. Derran yang duduk di samping sang mommy ingin ikut juga, tetapi Dearra memintanya duduk di sampingnya saja.“Uncle nanti kita main ya.” Anka menatap Bian penuh harap. Dia merasa begitu tak sabar bermain dengan pamannya.“Mainnya nanti, Sayang. Unlce Bian masih lelah.” Shera memberitahu sang anak. “Iya, Anka tahu. Nanti maksudnya.” Anka membenarkan ucapannya itu.Bian tersenyum melihat keponakannya yang pandai sekali menjawab. “Iya, nanti jika Uncle lelahnya sudah hilang, kita main.”“Ye ….” Anka begitu senang. Dia segera menatap Gemma yang berada di seberang pamannya. “Nanti Kak Gemma ikut ya,” pintanya.“Iya.” Gemma mengangguk setuju.Suasana makan malam begitu hangat. Mereka tertawa sesekali melihat aksi anak-anak. Sudah lama mereka tidak berkumpul seperti ini. Meskipun belum semuanya. Masih ada saudara yang menetap di London.Usai makan malam, mereka semua beralih ke ruang keluarga. Anak-anak diarahkan ke kamar Kean dan Lean lebih dulu agar mereka bisa bermain. Dearra yang bertugas menjaga anak-anak, sekaligus menjaga anaknya yang masih bayi.“Seperti apa gosip yang Kak El dan Kak Al dengar sebenarnya?” Bian begitu penasaran sekali.“Gosip yang aku dengar daddy sering pergi berdua dengan Flavia. Dari mulai makan bersama sampai pergi ke luar kota bersama. Memang Adion sedang mengerjakan proyek hotel milik Davis. Jadi memang sedang dalam proses pembangunan tahap awal. Jadi daddy sering ke lapangan.” El mencoba menjelaskan pada semuanya tentang kabar yang didengarnya itu.“Tunggu-tunggu. Flavia? Namanya seperti tidak asing?” Bian merasa nama itu begitu familiar di telinganya.“Dia anak tetanggaku.” Freya menjelaskan pada Bian.Akhirnya Bian ingat. Jika Flavia itu adalah tetangga kakaknya. Dulu sekali, dia pernah bertemu di pesta pernikahan kakaknya-Ghea. Walaupun sekarang dia lupa wajah gadis itu.“Yang mana orangnya. Setiap aku ke sini tidak pernah lihat.” Ghea menimpali. Merasa tidak pernah bertemu dengan gadis yang dimaksud itu.“Dia tinggal di apartemen sekarang. Waktu itu, aku bertemu dengan mamanya dan saling bercerita.” Shera menjelaskan.“Aku punya akun media sosialnya.” Freya segera mengeluarkan ponselnya. Kemudian mencari nama akun di media sosial. “Flavia Claire.” Freya menyebut namanya sambil menulis di ponselnya. “Ini.” Akhirnya ketemu juga akun media sosial Flavia. Freya segera menunjukan pada semuanya. Meletakkan ponselnya di atas meja.Semua langsung melihat ponsel Freya. Melihat seperti apa gadis cantik itu.Bian melihat dengan saksama foto Flavia. Gadis itu semakin cantik dan seksi dibanding dulu waktu dirinya bertemu. Dengan tubuh yang seksi, tentu saja dia akan mudah menggoda pria. Sebagai pria saja, Bian langsung terpesona dengan foto Flavia. Jadi bisa jadi sang daddy juga ikut terpesona.“Cantik.” Satu kata keluar dari mulut Bian tanpa disadari.Bayi Flavia dan Bian masih di ruang NICU karena mereka masih perlu perawatan. Mengingat berat badan mereka masih begitu kecil. Flavia sendiri sudah belajar bangun paska operasi. Dia semangat melakukan itu semua karena ingin segera bertemu dengan anak-anaknya. Flavia pergi ke ruang NICU diantar oleh Bian. Dia duduk di kursi roda didorong oleh suaminya. Flavia ingin menyusui anak-anaknya. Tidak hanya sendiri, Flavia bersama dengan papanya, mertuanya, kakak, dan bibi dan paman mertuanya. Mereka semua melihat anak-anak Flavia dan Bian lebih dulu dari balik kaca. Tiga anak sedang pulas tertidur. Hal itu membuat mereka begitu gemas sekali. “Kalian sudah punya nama?” Mommy Shea menatap Flavia dan Bian. “Sudah Ma.” Flavia mengangguk. “Siapa?” Daddy Bryan begitu penasaran sekali dengan nama cucunya.“Si sulung, namanya Nathan Fabio Adion.” Karena anak laki-lakinya lahir pertama, jadi Bian menyebutnya sulung. “Itu yang bibirnya tebal namanya Fiorenza Claire Adion.” Bian menunjuk satu anak
Bian mengajak Flavia keliling komplek. Kebetulan sore hari. Cuaca tidak terlalu panas, jadi enak untuk berkeliling komplek. “Apa kamu suka?” Bian menoleh sejenak pada sang istri. “Tentu saja aku suka. Ternyata seru sekali.” Flavia begitu berbinar menikmati perjalanan. Angin yang bertiup sepoi-sepoi begitu nikmat sekali. “Kapan lagi kita berlima bisa naik motor ini. Nanti jika anak-anak lahir. Aku rasa hanya cukup mereka bertiga.” Bian tertawa. “Iya, satu di sana, dan dua di sini.” Flavia menunjuk tempat duduk di belakang Bian.“Iya, pasti seru membawa mereka bertiga keliling komplek bersama.” Bian sudah membayangkan akan seseru apa nanti kehidupan mereka dengan tiga anak. Bian dan Flavia menikmati perjalanannya keliling komplek. Bian melihat wajah sang istri yang benar-benar berbinar. Tidak sia-sia akhirnya Bian membelikan motor. Walaupun entah kapan akan dipakai lagi. Puas berkeliling-keliling. Akhirnya mereka kembali ke rumah. Bian membantu Flavia untuk turun dari motor. Tanga
Flavia mengukur perutnya yang sudah semakin membesar. Flavia selalu mencatat berapa ukuran perutnya. Tak hanya itu, dia mengambil foto setiap perkembangan besar perutnya. Itu akan dipakainya untuk dokumentasi.Bian yang masuk ke kamar melihat sang istri yang sedang asyik mengukur perutnya. Rasanya gemas sekali melihat istrinya. Bian menghampiri sang istri. Memeluk dari belakang. “Tanganku sepertinya tidak muat untuk memeluk.” Perut Flavia yang besar membuat Bian kesulitan.“Iya, ternyata besar sekali perutku.” Flavia sendiri merasa jika yang dikatakan sang suami benar. “Dengar, nanti kamu harus duduk diam saja. Aku yang akan memilih.” Rencananya hari ini Bian, Flavia, dan keluarga akan memilihkan baju untuk anak mereka. Mengingat usia kandungan cukup besar, sebenarnya Bian tidak tega untuk membiarkan sang istri memilih baju untuk anak mereka. “Baiklah, aku akan diam saja nanti di sana. Duduk manis, dan membiarkan kalian untuk memilih.” Flavia tersenyum. Dia juga tidak yakin jika ak
Kehamilan Flavia sudah mencapai enam bulan. Perut Flavia semakin besar. Ukurannya tidak seperti orang hamil pada umumnya. Itu karena di dalam kandungan Flavia ada tiga janin yang tumbuh. Hari ini Flavia akan mengecek kandungannya. Bulan ini rencananya mereka akan mengecek jenis kelamin, karena dua kali pemeriksaan tidak terlihat. Seperti biasa Bian dan Flavia tidak sendiri. Ada mommy, daddy, dan kakak-kakak mereka. Yang penasaran tidak hanya Flavia dan Bian saja. “Setelah ini kira-kira siapa lagi yang akan kita antar untuk ke rumah sakit memeriksakan kandungan?” Mommy Shea menatap anak-anaknya. Semua kakak Bian langsung menggeleng. Karena tidak ada dari mereka yang berniat memiliki anak lagi. Tentu saja Flavia dan Bian adalah yang terakhir diantar oleh keluarga saat memeriksakan kandungan. Tentu saja itu membuat mereka semua memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Mama Lyra sudah menunggu di ruang pemeriksaan. Segera Flavia melakukan pemeriksaan. Mama Lyra segera mengecek keadaan janin
Tidak ada makanan sama sekali di lemari pendingin. Hal itu membuat Bian bingung apa yang bisa dimakan sang istri malam-malam seperti ini.“Bagaimana jika kita ke restoran cepat saja? Mereka buka dua puluh empat jam. Jadi aku rasa kita bisa beli makanan di sana.” Bian pun memberikan ide.“Aku mau.” Sudah hampir sebulan ini Flavia di rumah. Berkutat di rumah terus. Walaupun ada keponakannya, tetap saja dia bosan. Jadi saat diajak keluar, tentu saja dia merasa senang.“Baiklah, kita ambil baju hangat dulu.” Bian mengajak sang istri untuk segera ke kamarnya.Bian dan Flavia menggunakan mobil untuk ke restoran cepat saja. Jalanan begitu lengang sekali. Mengingat sudah malam. Flavia benar-benar senang sekali. Akhirnya setelah sekian lama dia bisa keluar dari rumah, dan lebih menyenangkan adalah melihat suasana luar.“Kamu senang sekali.” Bian melihat jelas sang istri yang begitu senangnya.“Iya, kamu tahu bukan jika aku sudah sebulan jadi tahanan.” Flavia dengan wajah polosnya menatap Bian.
Mama Lyra segera melakukan tindakan untuk menolong Flavia. Beruntung pendarahan dapat diatasi. Setelah pendarahan dapat diatasi, Mama Lyra meminta perawat untuk membawa ke ruangan USG. Dia ingin memastikan keadaan kandungan Flavia. Bian senantiasa menemani Flavia.Mama Lyra memeriksa kandungan Flavia lewat layar USG. Tubuh Flavia yang lemas hanya pasrah saja ketika Mama Lyra melakukan pemeriksaan.Mama Lyra membulatkan matanya ketika melihat kandungan Flavia. Hal itu membuat Bian begitu panik.“Ma, ada apa?” tanya Bian. “Apa anakku kenapa-kenapa?” Bian benar-benar khawatir sekali.“Ada tiga janin di dalam kandungan Flavia.” Mama Lyra menatap Bian. Kemarin dia tidak melihat. Jadi kali ini dia cukup terkejut.Bian membulatkan matanya. Anaknya tidak lagi kembar dua saja, seperti kakaknya, tetapi tiga. Tentu saja itu membuatnya begitu terkejut.“Sayang, anak kita ada tiga.” Bian meraih tangan Flavia. Memberitahu sang istri. Kebetulan saat dibawa ke ruang USG Flavia tersadar.Flavia tidak