Share

Hadiah Yang Menyakitkan

Roda Mercedes-Benz AMG G65 yang Richard kemudikan, berhenti melaju tepat di depan sebuah rumah mungil dengan cat biru. Kyra segera melepas kaitan sabuk pengaman dan membuka mobil pintu. Langkah pendeknya terlihat begitu ringan menapaki halaman yang tidak terlalu luas, berhias jejeran krisan aneka warna.

Richard tersenyum gemas melihat tingkah Kyra tersebut. Richard mengikuti di belakang.

Ketika sampai di depan pintu, uluran tangan Kyra yang hendak mengetuk, urung dan turun kembali ke samping badan. Dia lantas berbalik dengan wajah menunduk. Tingkat kepercayaan diri Kyra menurun drastis, nyalinya menjadi ciut hanya untuk menemui ibu sendiri.

”Kita pulang saja,” ajak Kyra lirih.

”Ada apa, Sayang?” Richard menatap Kyra dengan heran.

Beberapa detik yang lalu, Kyra tampak begitu bersemangat. Akan tetapi, tiba-tiba menjadi lesu seperti ini. Richard yakin ada sesuatu yang mengganggu pikiran Kyra hingga berubah secara mendadak.

”Tidak ada apa-apa,” elak Kyra.

Richard tidak percaya ucapan Kyra. Wajah Kyra menyiratkan sebaliknya.

“Sayang … katakan ada apa?” desak Richard.

Kyra menghela lirih. “Kurasa bukan hari ini waktu yang tepat untuk bertemu dengan ibu,” ucapnya pasrah.

Richard menahan lengan Kyra ketika akan beranjak dari rumah itu. Kepalan tangan kiri Richard tanpa ragu mengetuk pintu berpelitur cokelat itu.

”Richard ….” Kyra gugup setengah mati, padahal dia hanya akan menemui ibu sendiri, bukan ibu tiri.

”Kita tidak akan tahu kapan waktu yang tepat, jika tidak pernah mau mencobanya, Sayang,” bisik Richard.

Kembali pintu itu diketuk oleh Richard lantaran tidak kunjung terbuka. Richard mengeratkan genggaman pada jemari mungil Kyra yang terasa bergetar, mengisyaratkan jika mereka akan melalui semuanya bersama.

“Tidak apa-apa.” Richard berbisik lembut diakhiri senyuman yang meneduhkan.

Setelah beberapa kali mengetuk, pintu itu akhirnya terbuka juga. Menampilkan sang pemilik rumah yang semula menyambut dengan senyum ramah. Akan tetapi, seketika menunjukkan kedataran pada raut wajah setelah melihat tamu yang datang adalah Richard dan Kyra.

Tidak menolak, pula tidak mempersilakan, Nyonya Amber kembali masuk ke rumah, mengabaikan dua orang tamu tidak diundang itu tetap berdiri di ambang pintu yang dia biarkan terbuka lebar.

Kyra menahan lengan Richard saat hendak melangkahkan kaki memasuki rumah. Kepalanya menggeleng kecil. Sorot mata Kyra jelas sekali menyiratkan kegamangan.

“Kita … pulang saja,” ulang Kyra mengajak.

Senyum tipis itu masih bertahan pada bibir tebal Richard,  sementara kedua mata besarnya menatap teduh pada wanita yang tampak sangat risau.

”Tidak apa-apa, Sayang. Kita sudah di sini. Kalau menyerah sekarang, kita tidak akan pernah bisa memperbaiki hubungan dengan ibu,” ucap Richard membujuk Kyra sekaligus meyakinkannya.

Kyra menelan ludah gugup. Genggaman eratnya dielus lembut oleh Richard. Anggukan dari Richard perlahan mengikis keraguan yang menghampiri Kyra.

“Ayo kita masuk,” ajak Richard.

Kyra kemudian ikut melangkah bersama Richard memasuki rumah bernuansa biru itu. Sama sekali tidak berubah sejak kepergian Kyra dari sana.

Nyonya Amber sudah duduk di sofa ruang tamu. Dia masih membungkam mulut rapat-rapat, tidak berbasa-basi sedikit pun untuk mempersilakan dua orang itu duduk. Apalagi menawari mereka minum. Kedua tangan Nyonya Amber bersedekap di depan dada. Dia membangun pertahanan diri sekuat tenaga. Sangat sulit bagi Nyonya Amber untuk berhadapan kembali dengan putri semata wayangnya.

Richard mengambil inisiatif untuk duduk dan menarik Kyra turut duduk di sampingnya. Richard tetap menunjukkan sikap ramah, meskipun Nyonya Amber tampak menahan amarah. Sedangkan Kyra terus saja dilanda gundah.

”Sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabar Ibu?” Richard membuka pembicaraan.

”Aku bukan ibumu!” elak Nyonya Amber bersungut-sungut.

Richard dapat merasakan tangan Kyra gemetar dalam genggamannya. Sudah pasti Kyra terluka mendengar sahutan Nyonya Amber, meskipun kalimat itu ditujukan bukan untuk dirinya.

”Aku sangat membenci orang yang datang dan pergi sesuka hati. Dan aku sedang malas menerima tamu. Jadi sebaiknya kalian pergi. Tidak perlu datang lagi ke sini lain kali.” Nyonya Amber mengucapkan itu dengan nada pelan dan raut wajah datar, tetapi sarat akan pengusiran sekaligus penolakan.

Sebulir cairan bening menetesi punggung tangan kanan Richard yang terpangku di atas paha Kyra. Lelaki itu menoleh. Hati Richard terenyuh mendapati gurat kesedihan pada wajah wanita terkasih.

 Richard sangat memaklumi apabila Nyonya Amber begitu menaruh rasa benci terhadap dirinya, tetapi kebencian itu tidak semestinya dialamatkan juga pada Kyra —putri kandung satu-satunya. Dan Richard tidak suka ketika Kyra bermuram durja seperti saat ini.

”Baiklah. Kami permi— ” Ucapan Richard tidak tuntas lantaran Kyra mendadak melepas genggaman tangannya kemudian lari terbirit ke kamar mandi, sambil menutup mulut.

Nyonya Amber terbengong melihat apa yang Kyra lakukan itu. Namun, pada detik selanjutnya Nyonya Amber tampak begitu kesal saat mendengar suara Kyra dari dalam kamar mandi. Dia seperti sedang memuntahkan sesuatu.

”Apa dia sedang hamil?” tanya Nyonya Amber retorik.

Anggukan Richard menimbulkan dengkusan berat dan lelah dari bibir wanita paruh baya itu.

”Kami datang untuk memberitahukan kabar bahagia itu kepada Ibu,” timpal Richard.

Nyonya Amber mendecih remeh. “Bahagia untuk siapa?”

Richard menahan diri untuk tidak menyahut. Dia tahu, emosi tidak akan bisa diluluhkan dengan cara menentang.

“Bahagia untukmu, bukan berarti bahagia untuk yang lain,” cibir Nyonya Amber.

Richard tertampar telak oleh kalimat yang diucapkan Nyonya Amber. Meskipun Richard sangat meyakini bahwa kebahagiannya adalah kebahagiaan bagi Kyra juga. Dan bagi Richard, tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan dengan keberadaan Kyra dalam hidupnya.

”Ibu … Ibu tahu bukan, kami saling mencintai?”

Nyonya Amber membuang muka, enggan memandang Richard dengan wajah memelasnya.

”Itu sebelum kau menjadi seorang pecundang.” Nyonya Amber kembali bersungut kesal.

”Anda boleh membenci saya, tetapi saya mohon … jangan menghukum Kyra seperti ini,” pinta Richard tulus.

”Kau yang membuat putriku sengsara!” tuduh Nyonya Amber murka.

Richard memejamkedua mata untuk menekan amarah dalam dada. Meskipun Richard mengakui kealpaan sendiri, tetapi dia tidak terima dituduh telah menyengsarakan Kyra. Selama mereka hidup bersama, Richard berusaha merangkai bahagia. Tidak satu kali pun Richard menyakiti wanita itu. Kyra selalu tersenyum dan bahagia bersama Richard.

”Ibu … saya mohon jangan seperti ini pada putri Ibu sendiri.” Richard masih membujuk, tetapi wanita baya itu agaknya memang memiliki hati yang sekeras baja.

Nyonya Amber menggigit bibirnya keras, kemudian berujar, “Putriku sudah lama tiada sejak dia memilih tetap bersamamu tanpa persetujuan dariku.”

“I—ibu ….“ Suara lirih itu terdengar lara. 

Richard menoleh, mendapati Kyra tengah berdiri mematung di ambang pembatas ruang tamu dengan ruang tengah. Kalimat dari bibir Nyonya Amber sungguh membuat hati Kyra semakin hancur.

Lelaki itu segera menyongsong tubuh gemetar Kyra. Richard tahu Kyra adalah wanita tegar, tetapi hormon dalam tubuhnya saat ini membuat dia tidak bisa mengendalikan emosi dengan baik. Kyra menangis tergugu dalam pelukan Richard.

Nyonya Amber menoleh pada Richard dan Kyra, pemandangan itu membuatnya merotasikan kedua mata dengan jenuh. Lagi-lagi Nyonya Amber mendengkus keras.

”Hentikan drama kalian dan segera pergi dari rumah ini!” usir Nyonya Amber lantang.

- To be continued -

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status