Retta dengan bodohnya mengangguk. Dia menajamkan telinganya untuk merasakan lebih dalam lagi apakah sang mama sudah pergi atau belum. Rylan masih menikmati pelukannya. Merasakan tubuh Retta yang menempel sempurna di tubuhnya. Jika tadi malam dia memeluk Retta dari belakang, kali ini dia memeluk Retta dari depan. Hal itu membuatnya sedikit puas sekali. Memeluk istrinya yang begitu dicintai. Retta yang cukup lama menunggu suara sang mama, akhirnya menyadari jika ternyata ini sudah terlalu lama. Dia pun berusaha melepaskan diri. Namun, tangan Rylan yang kuat memeluknya, membuatnya tidak dapat melepaskan diri. Retta menengadah ke arah Rylan. Dilihatnya suaminya itu tersenyum menikmati pelukannya. Hal itu membuat Retta segera mencubit Rylan. “Auch ….” Kembali Rylan berteriak seraya melepaskan pelukannya. Namun, belum sempat Rylan mengeluarkan suaranya, Retta sudah membungkamnya. “Apa kamu mau mama dengar lagi?” tanyanya ketus seraya melepaskan tangannya dari mulut Retta. “Jika mama da
“Kemarin kamu bilang akan melakukan selayaknya sebagai istri, sekarang lakukan.” Rylan menyodorkan dasi pada Retta. Retta yang melihat Rylan dari pantulan cermin merasa heran. Bagaimana bisa dia terjebak dengan perjanjiannya sendiri. Dia hanya minta Rylan pindah ke apartemen. Hanya satu hal saja. Namun, Rylan meminta dirinya menjadi istri sesungguhnya, dan itu terlalu luas artinya. Seperti sekarang, memakaikan dasi adalah hal yang biasa dilakukan oleh seorang istri. Dengan tubuh lemas, Retta bangkit dari duduknya. Menghampiri Rylan yang sedang berdiri menyodorkan dasi padanya. Dengan kasar dia meraih dasi itu lalu mengalungkan di leher Rylan. “Astaga kamu kasar sekali. Aku jadi takut kamu mencekik aku dengan dasi ini.” Rylan bergidik ngeri. Merasa takut sekali dengan apa yang dilakukan oleh Retta. Retta menatap Rylan. Pagi-pagi sudah membuatnya naik darah. “Aku belum mau menjanda sekarang.” Retta bergerak membuat simpul dasi. Dengan kasar dia menarikkan dagu Rylan ke atas agar mu
Retta menggososok-gosok hidungnya yang geli karena kakaknya, dia yang melihat sang kakak berada di lantai tepat di depannya merasa curiga. “Apa yang kamu lakukan saat aku tidur?” tanyanya. Shera tertawa. “Kamu tidur pulas sekali, jadi aku gemas.” “Kamu tidur, Ta?” Papa Sean menatap Retta. Retta menundukkan kepalanya merasa malu karena ketahuan tidur. “Jika kamu masih lelah, sebaiknya kamu pulang saja. Jangan tidur di kantor seperti itu.”“Maaf, Pa.” Retta merasa tidak enak. “Baiklah, nanti siang kalian berdua ikut Papa ke hotel. Ada beberapa yang harus kita cek.” Papa Sean langsung berbalik. Meninggalkan ruangan Retta. Retta dan Shera mengangguk. Mengiyakan apa yang dikatakan oleh papanya. Selepas papanya pergi, Retta menatap sang kakak kesal. Dia kemudian melempar bantal sofa. “Makanya jangan tidur di kantor.” Shera berdiri, kemudian berlalu keluar dari ruangan Retta. Dia merasa jika apa yang dilakukannya tidaklah salah. Retta hanya menatap malas pada Shera. Kakaknya itu suda
“Sudah cepat makan. Jangan mengoceh terus.” Retta yang malas menanggapi pujian sang suami pun memilih mengakhirinya. Menarik kursi dan mendudukkan tubuhnya. Rylan hanya bisa tersenyum. Dia mengikuti Retta yang akan makan. Ingin segera merasakan masakan yang dibilang Retta adalah buatannya. Rylan menyodorkan piringnya. Meminta Retta untuk mengisinya dengan makanan. Retta yang melihat itu pun mengisi makanan di piring Rylan. Tak mau berdebat di meja makan. Apalagi dia sudah begitu lapar. Rylan senang ketika sang istri melayani dengan baik. Tak membuang banyak waktu, dia pun bergegas memakan masakan Retta. Rylan akui rasa masakan begitu enak. Jadi membuatnya semakin tidak percaya jika istrinya itu yang memasak. “Rasa masakan ini mengalahkan rasa masakan chef bintang lima.” Rylan benar-benar merasakan masakannya begitu enak. 'Ini yang buat chef bintang lima, bagaimana bisa mengalahkan? Aneh!' Retta hanya bisa menggerutu dalam hatinya. “Ini pakai saus apa?” Rylan menunjuk satu masak
Retta tidak bisa berbuat apa-apa ketika Rylan mengajaknya ke supermarket. Saat turun dari mobil, dia memilih mengekor saja di belakang Rylan, sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya. Jika sampai Rylan bertanya akan masak apa, dia pasti akan kebingungan. “Jangan berjalan di belakangku seperti itu.” Rylan menarik tangan Retta. Membawanya ke sampingnya. “Kamu ini adalah pendampingku yang harusnya berjalan di sampingku, bukan di belakangku.” Jika mungkin wanita lain yang mendengar apa yang dikatakan Rylan, pastinya mereka akan terpesona. Terbuai dan merasa begitu berharga dirinya. Sayangnya, bagi Retta, itu tampak biasa saja. Karena belum ada cinta di hati Retta. Mereka masuk ke supermarket. Rylan dengan sigap mengambil troli belanjaan. Kemudian mendorongnya masuk. Retta yang seharusnya berjalan di depan untuk menuntun ke mana mereka harus melangkah, memilih untuk berjalan di samping Rylan. Dia tidak tahu ke mana harus melangkah. Lorong mana yang harus mereka tuju. “Masak apa ki
Rylan langsung tertawa. “Kamu yang menjanjikan akan memasak. Jadi aku mau tahu seberapa besar usahamu untuk memenuhinya. ““Sejak kapan kamu tahu?” tanya Retta yang ingin tahu. “Sejak kita makan di rumah.” Rylan tersenyum. “Kamu tidak sama sekali membantu mama, jadi pasti jelas kamu tidak belajar dari mama.” Dia melanjutkan ucapannya. “Jadi kemarin kamu tahu jika makanan yang aku siapkan bukan makanan yang aku masak?” Retta mencoba menebak kembali. “Iya, jelas aku tahu. Tidak ada sisa masak sama sekali di dapur. Sisa bahan juga tidak ada, lalu bagaimana bisa kamu bilang jika memasak.” Rylan semakin tertawa keras. Sesaat setelah makan kemarin, Rylan memang langsung mengecek keadaan dapur. Mengecek isi lemari pendingin. Sayangnya, tidak ditemukan apa-apa di sana. Sehingga, Rylan memastikan jika istrinya tidak memasak. Retta menekuk bibirnya. “Jika kamu sudah tahu, aku tidak akan repot-repot berusaha masak.” Rasanya Retta benar-benar kesal. “Oke, maaf.” Rylan tersenyum. “Sebagai p
“Tidak masalah apa pun alasannya. Yang terpenting adalah kamu sudah mau masuk ke kehidupanku.” Rylan melebarkan senyumnya. Rasa senangnya kali ini melebihi apa pun.Retta yang melihat Rylan hanya bisa menautkan alisnya keheranan. Sepertinya apa yang dilakukannya sudah membuat Rylan besar kepala. “Terserah apa yang kamu pikirkan.” Retta tidak mau berdebat dengan Rylan. Dia memilih untuk segera kembali ke kamar. Malas jika urusan semakin panjang. Rylan yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum saja. Dia sadar mungkin Retta belum sepenuhnya bisa menerimanya. Namun, jika dia memberikan celah sedikit seperti ini, pastikan dia akan bisa membuatnya masuk ke dalam hati Retta. “Berjuanglah, Rylan.” Rylan memberikan semangat untuk dirinya sendiri. ⭐⭐⭐Rylan dan Retta masih tidur dengan pembatas guling di tengah-tengah. Rylan pun tidak pernah melewati batasannya. Terlebih lagi Retta selalu berjaga karena takut Rylan melakukan apa-apa. Hal itu membuat Rylan akhirnya memutuskan untuk tidak men
Retta duduk di depan cermin. Dia bingung apa yang harus dilakukannya. Hal pertama yang dilakukannya adalah menyalakan hair dryer untuk mengeringkan rambutnya. Namun, tiba-tiba Retta berubah pikiran. Hal yang harusnya dilakukan adalah memoles wajahnya lebih dulu. Hal itu bisa sambil menunggu rambutnya sedikit kering. Saat menatap kaca, dia melihat suaminya dari pantulan cermin. Sang suami masih duduk manis di sofa. Tidak beranjak sama sekali. “Kamu sedang apa di sana?” Retta begitu penasaran dengan yang dilakukan oleh suaminya. “Menunggu.” Rylan dengan tenangnya menjawab. Retta mengerutkan dahinya. Tidak mengerti yang dimaksud oleh Rylan. “Menunggu apa?” “Menunggu sesuatu turun.” Rylan pria normal. Tadi ketika melihat sang istri. Sesuatu yang bawah sana terbangun dari tidurnya. Hal itu membuat Rylan merasakan sesak di celananya. “Apa yang turun?” Retta melihat ke langit-langit kamarnya. Memastikan apa yang dimaksud oleh Rylan. Rylan ikut melihat ke langit-langit. Dia pun langsung