Home / Romansa / Perishable / 2. TIDAK SEMPURNA

Share

2. TIDAK SEMPURNA

last update Last Updated: 2025-08-08 21:44:18

"Nomor yang anda tuju, tidak dapat menerima panggilan...,"

Merza menurunkan ponselnya, bibirnya berdecak kecil memandang layar persegi panjang itu.

"Kok nggak diangkat terus, sih?" gumamnya bingung. Langkah itu mulai berjalan dari parkiran menuju ruang kelas. Sejak kemarin malam dia mencoba menelpon dan mengirim pesan pada Regan, namun sampai kini cowok itu tak kunjung menjawabnya.

"Davin!" seru Merza sembari berlari kecil kala dia tak sengaja melihat Davin yang berjalan tak jauh dari tempatnya.

Cowok itu mengangkat sebelah alisnya, "Apaan?"

"Lo tau nggak Regan di mana?" tanya Merza langsung.

"Mana gue tau, tanya emaknya gih," jawaban Davin barusan membuat Merza membulatkan sedikit bola matanya, apalagi setelah itu dia pergi begitu saja.

"Ck, ngeselin amat sih lo! Pantes aja jomlo!"

****

Seusai kelas pertamanya Merza memilih untuk mendatangi Coffee shop kampus seorang diri karena Ghea berhalangan hadir. Dia hanya memesan satu cup matcha latte dan kini tengah duduk sembari menunggu pesanannya itu.

Dia bingung mengapa Regan tak menjawab pesan dan mengangkat teleponnya. Padahal sebelumnya, cowok itu pasti membalas walaupun satu atau dua jam setelahnya. Namun kini sudah berjam-jam lebih, dan dia hanya membacanya saja.

Merza pun mulai berpikir apakah dia ada berbuat salah atau hal yang dapat membuat Regan marah. Tapi setelah dia berpikir, dia tidak merasa telah melakukan kesalahan.

Cewek itu mengangkat sedikit wajahnya melirik sekitar. Suasana Coffee shop di siang hari ini tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa mahasiwa yang duduk di sekitarnya. Saat sedang melihat-lihat, Merza tak sengaja menatap seseorang yang berdiri di depan saja, tampak memesan sesuatu.

Cowok itu mungkin merasa diperhatikan sehingga dia menoleh ke arah Merza, hanya sekilas. Dan saat dia hendak berjalan pergi, ada satu tangan yang menarik ujung jaketnya.

Dia menatap Merza datar. Karena tidak ada alasan lagi untuk dia berlaku seperti dulu. Semua sudah terjawab, dan dia yakin jika apa yang dia pikir memang benar.

"Itu luka lo, nggak diobatin lagi?" Merza bertanya sembari melihat luka lebam di pipi cowok itu yang terlihat begitu jelas.

"Nggak."

Merza mengerutkan dahinya, merasa bingung dan asing sendiri karena sikap Arlen tidak seperti kemarin-kemarin yang selalu mendekatinya.

"Tumben sikap lo berubah?"

Arlen tidak menjawab dan sudah ingin berbalik untuk pergi. Namun lagi-lagi Merza menahan tangannya.

"Tunggu dulu. Lo belum jawab pertanyaan gue."

Cowok itu berhadapan dengan Merza, "Pertanyaan lo nggak perlu gue jawab," Arlen menjeda ucapannya. Cowok berambut hitam acak-acakkan dan tindik hitam di telinga kanannya itu melihat Merza dingin.

" Seharusnya lo tenang karna nggak gue ganggu lagi. Duduk aja, tungguin cowok lo. Gue lagi males berantem," lanjutnya.

Bukan merasa tenang, Merza justru bingung sendiri. Tentang sikap Arlen sekarang, dan tentang ucapannya kemarin malam yang mengatakan jika Regan tidak baik.

"Tentang ucapan lo kemarin, apa maksudnya?"

Arlen manarik sudut bibirnya sedikit ke atas, "Lo pikir aja. Lagian gue juga nggak maksa lo buat percaya."

Merza diam. Dia sudah berpikir tentang itu sampai-sampai dia kesulitan untuk tidur. Namun tetap saja dia belum dapat mengerti.

Tiba-tiba saja Arlen menarik tangannya hingga dia maju dan menumbruk dada bidang cowok itu. Arlen melakukan itu karena ada seseorang yang berjalan di dekat Merza dengan membawa satu cup kopi panas tanpa melihat sekitar.

Cewek itu membeku di tempat, dia mengangkat wajah dan tepat pada saat itu Arlen menurunkan pandangan. Keduanya diam terpaku. Dan Merza merasa tak asing dengan situasi ini, dan dia baru ingat. Jika dulu dia bertemu Arlen untuk pertama kalinya saat cowok itu menarik tangannya saat sebuah mobil melaju kencang pada malam hari.

Arlen mengalihkan pandangan, dia mundur selangkah karena di depan saja terlihat Regan yang memandang ke arah mereka. Cowok itu berjalan tenang memasuki Coffee shop lalu duduk di sudut, tanpa menoleh lagi ke arah dua orang itu.

Melihat Arlen yang melihat ke arah lain, Merza pun membalikkan sedikit tubuhnya. Matanya membulat kala melihat Regan.

"Jelasin gih ke cowok lo," ucap Arlen pada Merza sebelum dia melangkah pergi.

Perempuan berambut kucir kuda itu tiba-tiba ragu untuk menghampiri Regan. Keberaniannya mendadak hilang karena pasti Regan melihatnya saat Arlen menarik tangannya tadi.

Tapi setelah dipikir-pikir, tidak mungkin Regan marah, kan? Lagi pula cowok itu tidak menyukainya, jadi untuk apa dia marah?

Merza mengangguk menyetujui argumennya sendiri. Kakinya mulai melangkah dan duduk di depan Regan yang sedang fokus pada ponselnya.

"Dari mana aja lo? Gue telepon nggak diangkat," kata Merza pertama kali. Namun cowok itu sama sekali tak melirik ke arahnya.

"Regan. Lo dengerin gue nggak sih?"

Tetap sama. Tidak ada respons.

"Ish, Regan!"

Merza menatapnya kesal. Dia lantas menarik paksa ponsel cowok itu sehingga Regan menatapnya tajam.

"Balikin."

"Nggak. Sebelum lo bilang dulu kenapa lo nggak angkat telpon gue. Lo marah? Gue ada buat salah?"

Regan menghela napas pelan. Marah? Dia tidak marah. Untuk apa dia melakukan itu? Dan apakah Merza ada salah? Ya, salahnya kenapa dekat dengan Arlen sampai-sampai mengabaikan panggilannya kemarin malam.

"Kenapa? Marah karna gue nggak angkat telpon lo?"

"Iyalah!" jawab Merza cepat. Karena Regan tak mengangkat telponnya, Merza jadi tidak fokus mendengarkan penjelasan dosen tadi.

"Yaudah, balikin hp gue."

Gadis itu menatap Regan kesal. Hanya itu jawabannya? Merza berharap Regan mau menjelaskan apakah dia ada salah atau tidak. Karena jika Regan tak mengangkat telponnya, itu berarti dia ada salah bukan?

"Ya jawab dulu, gue ada salah nggak?"

"Lo bisa mikir, kan?"

"Ya bisa, lah! Otak gue ada kali walaupun jarang digunain," jawabnya. Dan beberapa detik kemudian dia menurunkan pandangan melihat ponsel Regan yang berada di genggamannya berdering.

Ly is calling...

"Siniin hp gue."

Merza memberikan ponsel itu dengan perasaan yang campur aduk. Sedangkan Regan, dia langsung bangkit dari duduknya dan pergi dari sana tanpa mengatakan apapun pada Merza.

Kedua netranya mengikuti pergerakkan Regan hingga cowok itu menghilang dari jangkauan matanya. Dia mendengus pelan. Siapa Ly? Dari namanya Merza yakin jika itu perempuan. Apakah adik Regan? Tetapi setahu Merza Regan anak tunggal.

"Jauhi Regan. Dia nggak sebaik yang lo kira."

Seketika ucapan Arlen kemarin terlintas dipikirannya. Tadinya Merza menyangkal keras apa yang cowok itu katakan. Tetapi kini, mengapa dia menjadi ragu?

Namun tak lama kemudian dia menggeleng, menepis hal aneh yang dia pikirkan. Berusaha postif thinking jika Regan tidak seperti yang Arlen katakan, dan seseorang bernama Ly itu adalah saudara atau keluarganya.

Merza harus percaya. Karena dia yakin Regan tidak mungkin menyakitinya.

****

Mobil merah itu memasuki perkarangan rumah setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas menit. Setelah memarkirkan mobil pada tempatnya, Merza turun. Dia mengembangkan senyum saat melihat mobil kedua orangtuanya, itu berarti mereka sudah pulang.

Merza masuk ke dalam rumah dengan senyum merekah, tak sabar untuk menyapa kedua orangtuanya. Namun baru saja satu langkah melewati pintu utama, dia berhenti dan terdiam.

Di depan sana terlihat kedua orangtuanya yang bertengkar, saling melempar tatapan tajam dan berucap kasar.

"Apa?! Kamu nyalahin aku?!" teriak Seina-- Mamanya.

"Sebagai Ibu seharusnya kamu lebih perhatian sama Merza! Tinggalkan pekerjaan kamu!"

"Kamu pikir segampang itu? Sulit buat aku bisa sampai pada titik ini! dan dengan seenaknya kamu bilang tinggalkan?" Seina tertawa hambar.

"Pekerjaan segalanya buat kamu?" Rion bertanya dengan nada tak percaya.

"Iya! Pekerjaan segalanya buat aku!" Seina menjawab lantang. Sudah bertahun-tahun dia berusaha membangun butik hingga akhirnya sukses seperti sekarang. Dan tidak mungkin dia meninggalkannya begitu saja.

"Tidak usah pikirkan ini! Pikir saja pekerjaan kamu! Merza itu anak aku, dia bukan darah daging kamu!"

Deg

Merza menatap tak percaya kedua orangtuanya. Apa yang dia dengar barusan sudah cukup jelas, dan itu benar-benar menyakitkan.

"Merza...bu-bukan anak Papa?" tanya gadis itu dengana nada terputus-putus.

Seina dan Rion sontak menoleh, mereka terkejut karena melihat Merza apalagi saat mendengar pertanyaannya tadi.

"Merza..," Rion berucap, ingin menjelaskan, namun Merza memotong ucapannya.

"Bener, Pa? Bener Merza bukan anak Papa?"  lirih gadis itu. Dadanya sesak mengetahui jika sosok lelaki yang menemaninya sejak kecil ternyata bukan Ayah kandungnya.

"Za, Mama bisa jelasin."

Merza menggeleng lemah, "Kenapa Merza baru tau?"

"Za, dengerin dulu penjelasan Mama," Seina melangkah mendekat, namun Merza melangkah mundur. Dia mengusap kasar air matanya.

"Kalian jahat," setelah mengatakan itu Merza berlari keluar rumah. Hari sudah gelap, dan dia tak peduli.

Terlalu banyak masalah yang dia hadapi. Dan kini, apa yang harus dia lakukan? Kenyataan itu benar-benar menyakitkan. Merza sangat menyayangi Papanya. Dia yang selalu menjemput Merza ke sekolah,  dan menemaninya di rumah jika Mamanya terlalu sibuk di butik.

Mengapa dia bukan orangtua kandung Merza? Padahal Merza sangat menyayanginya?

Gadis itu duduk di trotoar jalan. Memeluk kedua lututnya dan tidak peduli anggapan orang-orang. Sesungguhnya, dia tidak membutuhkan uang jajan berjuta-juta setiap bulan, dia tidak membutuhkan hadiah ulang tahun baju mahal, dia sama sekali tidak membutuhkan itu. Karena yang dia butuhkan adalah, kebersamaan bersama Mama dan Papa.

Cukup mereka ada dan selalu menemaninya. Merza pasti jauh lebih bahagia.

Hidupnya tidak sempurna seperti apa yang orang lain pikirkan. Dia memang punya segalanya, mobil mewah, uang yang berlimpah, dan barang-barang mahal. Dia punya semua itu. Tapi itu semua tak berarti jika dia selalu kesepian.

Sebuah motor tampak berhenti di depannya. Cowok yang duduk di atas kendaraan itu membuka helm full face dan menunduk melihat Merza.

"Ngapain lo di sini?"

Merza mengangkat wajah perlahan, dia mengusap pipinya yang basah, membalas tatapan cowok itu dan tersenyum kecil ke arahnya.

"Regan."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perishable   49. MALAM SEUSAI HUJAN

    "Happy birthday!" seru Ghea dengan tawa gembira kala seorang lelaki yang ia tunggu datang tergesa-gesa dengan wajah khawatir.Aland menghela napas kasar, dia mengacak asal rambutnya yang basah karena keringatnya sendiri. Sedangkan di depannya Ghea masih saja tersenyum seraya berjalan mendekat bersama kue dengan lilin yang menyala di atasnya."Ghe.., nggak lucu," ucap Aland sedikit kesal. Dia hampir menabrak orang dijalan akibat memacu motor dengan kecepatan tinggi karena Ghea mengatakan jika ada lelaki yang mengikutinya sejak tadi. Alhasil, Aland bergegas datang ke rooftop sekolah Ghea. Tapi ternyata semua hanya skenario yang Ghea buat sendiri karena ini adalah hari ulang tahunnya.Gadis dengan t-shirt putih dan rok cokelat selutut itu lant

  • Perishable   48. MELEWATI BATAS

    Arlen mengusap wajahnya mengingat percakapan itu. Tanpa dia minta pun, Arlen akan tetap menjaga Merza, walau itu dari kejauhan. Tapi percayalah, Arlen ikut bahagia melihat betapa senangnya Merza kala berada di dekat Regan.Namun sayang, dikemudian hari lelaki itu akan menyakitinya."Ini udah malem, bahaya kalau lo pulang sendiri. Lagian jam segini taksi juga jarang lewat," ucap Arlen menjawab perkataan Merza tadi.Merza memalingkan wajah ke samping, menatap lampu jalanan dari dinding kaca disampingnya. Benar juga, bisa-bisa dia akan bertemu om-om genit jika berdiri lama dipinggir jalan."Yaudah, deh. Tapi gue nggak ngerepotin lo, kan?"Arlen menggeleng.

  • Perishable   47. PESAN UNTUK MENJAGA

    Pukul 00.15 WIBEntah apa yang berada di pikirannya hingga memilih untuk membawa gadis yang benar-benar ingin dia hindari itu ke Apartemen. Biasanya Gio tidak peduli dengan siapapun, bahkan harus meninggalkan seorang wanita di tempat seperti itu pun dia tak peduli.Tapi kini mengapa berbanding terbalik?Bahkan kini Gio mengambil makanan kesukaannya untuk dia berikan pada gadis itu, seperti roti, susu strawberry dan juga minuman penghilang pengar yang sering ia konsumsi jika minum terlalu banyak.Setelah meletakan makanan itu di atas sofa, dan menempelkan note kecil di sana, dia pun beralih mendekati Grace yang masih tertidur lalu menarik selimutnya untuk menutupi tubuh gadis itu hingga sebatas dada.

  • Perishable   46. MAAF DAN TERIMA KASIH

    Seusai sarapan pagi, Regan tetap berada di restoran hotel menunggu Davin yang beberapa menit lalu masih terlelap. Dia mendengus pelan, padahal semalam Regan sudah mengatakan jika mereka akan pergi pukul 9. Namun nyatanya perkataannya itu tak diindahkan.Kamar mereka berbeda, karena Regan tidak ingin tidur dengan suara dengkuran Davin yang amat menganggu. Maka dari itu dia tidak tahu jika nyatanya Davin belum bangun juga.Regan kembali mengirim pesan ke nomor Davin, dan tak lama kemudian cowok itu membalas jika dia akan turun menuju restoran. Setelah membaca pesan itu, jari Regan beralih membukaroom chat-nya bersama Merza. Awalnya dia ingin mengirim pesan saja, namun yang terjadi dia malah menelepon gadis itu.Namun sudah beberapa detik berlalu, tak ada tan

  • Perishable   45. MENIT TERAKHIR

    Suara bising yang berasal daridance floor, asap vape dan rokok yang bergumpal menjadi satu diudara, sudah cukup menjelaskan tempat dimana gadis itu berada.Tangannya meraih sebotolwine, lalu menuangkannya ke dalam gelas kecil dan menenggaknya hingga habis. Tidak tahu sudah gelas ke berapa, Grace tidak peduli. Pikirannya berkecamuk memikirkan tentang seorang lelaki bernama Daniel Liodan A, itu.Siapa dia sebenarnya? Mengapa identitasnya tidak bisa ditemukan?Grace sudah berusaha mencari tahu, dia bahkan meminta orang kepercayaan di keluarganya untuk menyelidiki kasus tersebut, tapi tetap saja, hasilnya nihil.Semua informasi mengenai dirinya tidak dapat ditemukan. Seolah dia hidup dengan

  • Perishable   44. DATANG ATAU MATI?

    Ruangan kotor dan cahaya lampu yang redup adalah hal pertama kali yang Viola lihat serta ia membuka mata. Merasa aneh dengan kedua tangannya, gadis itu pun mencoba menggerakkan tangannya yang terikat, ia meronta-ronta dan berteriak minta tolong. Namun tak ada suara yang terdengar kecuali suara serangga dimalam hari.Dia seolah berada dirumah yang terletak ditengah hutan.Viola mulai mengingat kejadian terakhir sebelum dia berakhir ditempat ini. Dalam ingatannya dia pergi ke taman belakang kampus karena Andien memintanya ke sana, namun nyatanya Andien tidak mengatakan itu. Lalu tak lama kemudian seseorang memukul kepalanya dari arah belakang hingga dia terjatuh dan tak sadarkan diri.Viola menghela napas panjang, peluh mulai membasahi dahinya. Tubuhnya terasa lemas tak be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status