"Adara elyzia desan!" Teriakkan lantang menggema di seisi ruangan.
Siswa yang mengenakan lencana ketua OSIS itu berjalan menghampiri seorang siswi di tengah riuh anak-anak lain yang mulai sibuk saling berbisik."Ra, sadar dong. Itu kak Saga jalan kesini. Jangan sampai lagi-lagi lo harus kena omelan dia." Oceh Farah, menyikut lengan sahabatnya yang tertidur dengan menyembunyikan kepala di balik tas."Aduh maaf kak, Dara kayaknya kecapean deh. Semalam di asrama ada kegiatan bersih-bersih." Farah menghela napas, memberi alasan supaya Sagara, Ketua OSIS yang terkenal dengan sebutan Ketos galak itu segera pergi menjauhi sahabatnya yang kini tertidur pulas layaknya kebo."Kalau dia bangun, suruh langsung ke ruang OSIS!"Sorot mata tajam, hidung mancung, bibir kecil, alis tebal dan pipi tirus ditambah dengan postur tubuh tegap menjadi keistimewaan dari seorang Sagara Januarta. Kesempurnaan fisik lengkap dengan kemampuan diberbagai bidang pelajaran menjadi daya tarik bagi seluruh siswi Incheon education school. Sayangnya, biarpun siswi-siswi di sana sangat mengidolakan lelaki itu. Sagara memiliki lingkaran tameng kokoh, yakni hanya cukup dengan fakta panggilannya saja adalah Ketos galak ditambah lelaki sedingin hujan."Ya ampun nih anak kenapa nggak bangun-bangun juga sih? Ra, bangun dong!"Setelah Sagara pergi, keadaan Adara masih tetap sama. Karena tidak ada lagi pilihan lain, Farah dengan terpaksa memercikkan air ke wajah gadis yang tetap terlelap di tengah hiruk pikuk ocehan siswa-siswi. Gadis itu seperti sedang bermimpi melakukan perjalanan jauh."Ya!" Akhirnya gadis itu menggerakkan tubuh, walau matanya masih dalam kondisi terpejam."Untuk hari ini saja, aku mohon Tuhan, biarkan aku tidur lebih lama.""Ra, bangun cepetan. Lo kenapa sih?"Perlahan mata Adara terbuka, mengerjap beberapa saat lantas memastikan suasana sekeliling tempatnya berada.Terkejut begitu mendapati keadaan di sekelilingnya yang tampak asing. "Lah, aku dimana? Seragam sekolah ini? Semua orang? Dan, Farah?" Memegang pundak siswi berambut sebahu di hadapannya, memastikan bahwa ini bukan mimpi semata."Lo kenapa, Ra?" Farah kebingungan melihat sikap sahabatnya yang berbeda dari biasanya."Sekarang lo harus buru-buru ke ruang OSIS, Ra. Tadi kak Sagara marah besar sama lo.""Sagara?" Mengerutkan kedua alis, mengingat nama itu hadir lagi di kehidupan Adara. Ia yang masih tidak mengerti atas apa yang sedang terjadi saat ini. Bahkan, penampilan dirinya dari kaki sampai kepalanya benar-benar seperti saat ia masih menjalani usia remaja."Far, sekarang tahun berapa?""Nggak biasanya lo kayak gini. Masa tahun aja lo lupa sih. Lo masih tujuh belas tahun, masa udah pikun Adara." Farah sudah tidak dapat memahami sikap aneh yang ditunjukkan Adara."Tujuh belas tahun, Far? Itu artinya, sepuluh tahun yang lalu."Bagaimana bisa dirinya yang berusia 27 tahun, sudah berkeluarga di tahun 2035 dan seingatnya ia baru saja memejamkan mata tapi sekarang begitu membuka mata dirinya sudah berada di tahun 2025? Masa dimana cinta dan mimpinya sedang mekar beriringan."Gue ingetin sekali lagi ya Adara elyzia desan, sahabat gue yang paling cantik. Jangan sampai buat kak Saga tambah murka, yuk lupain dulu penyakit pikun yang kambuh tiba-tiba ini. Cepetan ke ruang OSIS dulu, gue beneran takut kena Imbasnya." Ucap Farah kali ini dengan wajah memelas.Tanpa menunggu lama, Adara segera berlari menyusuri koridor sekolah. Dalam ingatannya masih begitu jelas, setiap tata letak dan keadaan di sekolah yang memberi banyak kenangan baginya."Lurus, di depan belok kanan."Langkahnya berhenti, tepat di depan pintu dengan papan bertuliskan Ruang OSIS. Menghirup napas dan menghembuskannya secara perlahan, berusaha mengontrol perasaan yang campur aduk tidak dapat tergambarkan. "Kak Gara, aku kangen."Setelah mengetuk pintu, suara bariton dari dalam terdengar. Tangan Adara membuka pintu, ragu matanya melihat sekeliling ruangan sebelum berhenti pada sosok siswa yang membelakanginya menghadap ke arah lapangan di bawah sana."Nyenyak tidurnya?""Kak, aku...."Mata mereka bertemu, ketika Sagara berbalik. Gadis itu tanpa sadar menitikkan air mata. Entah takdir apa yang sedang Tuhannya rencanakan, hingga ia berada pada waktu dan keadaan yang tampak indah layaknya sedang bermimpi."Sekarang bersihin ruangan ini. Dan buat pengakuan jujur atas apa yang lo omongin lewat speaker di Perpus." Lihat, bahkan laki-laki di hadapannya tetap sama. Gara yang ia kenal. Lelaki yang dikenal sedingin hujan, tetapi bagi Adara lelaki itu sehangat hujan. Selimut, minuman hangat, pelukan, hoodie biru, payung serta mentari dibalik senyumannya."Aku kangen, Kak." Adara menghambur memeluk Sagara yang terkejut menerima pelukan tiba-tiba. Kedua tangan laki-laki itu berusaha melepaskan tangan adik kelasnya. Bahaya jika seseorang masuk ke ruangan ini, melihat dirinya dan Adara sedang berpelukan. Kemungkinan besar isu yang beredar di kalangan siswa-siswi akan semakin dibenarkan.Dasarnya Adara adalah siswi terceroboh juga menjadi siswi terdepan di barisan pembenci Ketua OSIS SMA Incheon education school, hanya karena Sagara tanpa sengaja membuat gadis itu menahan malu saat perlombaan di masa pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa-siswi baru.Entah sejak kapan dan entah rencana apa yang sedang Adara pikirkan. Siang itu di saat seluruh siswa-siswi sedang padat-padatnya memenuhi seisi kantin dan perpustakaan. Sebuah pengumuman terdengar di setiap penjuru sekolah. Menegaskan bahwa Gadis itu sedang dikejar-kejar oleh Sagara, karangan palsu yang langsung membuat sekolah gempar. Hilang sudah kewibawaan seorang Sagara januarta sebagai seorang ketua OSIS dingin."Lepas, Adara elyzia desan! Lo harusnya minta maaf, bukan bersikap kayak gini. Gue nggak tahu apa rencana lo kali ini buat bales perbuatan gue. Gue udah minta maaf atas kejadian waktu itu. Berhenti ganggu hidup gue dan bersikaplah layaknya orang asing. Gue nggak tertarik sama siswi pemberontak kayak lo! Paham?!""Jadi menurut kakak, aku orang yang kayak gitu? Tapi dulu kita baikan, kak. Bahkan kak Gara selalu senyum buat Dara.""Hah?! Nggak pernah dan selamanya nggak akan pernah terjadi. Semua orang tahu lo musuh gue, Ra. Sekarang lakuin apa yang gue suruh, klarifikasi apa yang lo omongin di Perpus. Setelah itu menjauh dari hidup gue."Berbagai pertanyaan terus bermunculan di benak Adara. Kemunculan dirinya kembali ke masa lalu begitu pula sikap seseorang yang ia cintai berbanding terbalik dengan bayangan yang selalu berada di ingatannya. Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu saat ini bak gadis remaja yang mengalami masa puber untuk kedua kalinya. Saat ini jiwa dan hatinya benar-benar terfokus memikirkan Sagara. Dia berhenti memikirkan mimpi yang tak kunjung tercapai, berhenti memikirkan cinta dan rumah tangga yang gagal, berhenti memikirkan Risa, gadis kecil yang tak pernah ia harapkan, berhenti memikirkan hidupnya di masa depan.Sagara Januarta, laki-laki pemilik senyum mentari yang sanggup menghadirkan kehangatan hujan bagi hatinya yang sering menerima kesakitan dari dua orang yang selalu ia anggap rumah dan surga.teks naratif, biasanya dalam bentuk prosa panjang yang mendeskripsikan cerita fiksi berurutanBahasaPantauSuntingNovel adalah salah satu genre karya sastra yang berbentuk prosa. Kisah di dalam novel merupakan hasil karya imajinasi yang membahas tentang permasalahan kehidupan seseorang atau berbagai tokoh. Cerita di dalam novel dimulai dengan munculnya persoalan yang dialami oleh tokoh dan diakhiri dengan penyelesaian masalahnya. Novel memiliki cerita yang lebih rumit dibandingkan dengan cerita pendek. Tokoh dan tempat yang diceritakan di dalam novel sangat beragam dan membahas waktu yang lama dalam penceritaan.[1] Penokohan di dalam novel menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku dalam kisah yang diceritakan. Novel terdiri dari bab dan sub-bab tertentu sesuai dengan kisah ceritanya.Penulis novel disebut novelis atau ceritawan.Genre novel digambarkan memiliki "sejarah yang berkelanjutan dan komprehensif selama sekitar dua ribu tahun".[2] Pandangan ini melihat novel berawal dari Yu
Angkasa terdiam melihat senyum yang terukir di wajah Devira. “Manis."“Apa, Ka?” Ucap Vira, begitu mendengar gumaman Angkasa.Angkasa kelimpungan mencari alasan yang tepat “I-itu nanti kita beli es cream manis, Lo mau kan?” Sambil menepuk mulutnya dengan sebelah tangan.‘Bodoh lagi, kenapa gue selalu keceplosan sih kalau ngomong di depan nih cewek?’ Batin Angkasa menggerutu atas kesalahannya.Angkasa meneguk ludah susah payah, sedangkan Vira masih terlelap di jok belakang. Dia bingung apakah harus membangunkan tidur Vira yang terlihat sangat damai atau harus menggendong gadis itu sampai kamar.Tanpa sadar Angkasa sedari tadi mengamati wajah Vira yang membuat Adrian menepuk bahu itu cukup keras.“Ngapain?” tanya Adrian setelahnya dengan tatapan penuh intimidasi.Mendengkus, Angkasa buru-buru menutup pintu mobil perlahan, lalu membawa Adrian agar menjauh.Adrian bersidekap dada menantikan kalimat yang akan Angkasa sampaikan. Laki-laki itu menghela napas, lalu berdecak. Melihat Angkasa y
“Loh, bukannya dia udah jutek dari orok,” Canda Vano. Namun sama sekali tidak membuat tawa muncul dari Siswa lain, yang ada tatapan tajam lah yang ia dapatkan dari Angkasa. “Nggak deh, bohong, Sa. Bercanda,”Rianty menggelengkan kepala, melihat kelakuan dua sahabat karib itu. Yang satu sering bertingkah konyol dan yang satu nya lagi cuek, dingin kayak kutub es.“Untung sayang.” Eh… cepat cepat Rianty meralat ucapannya. Menengok kanan kiri, takut-takut ada yang mendengar suaranya.Jadwal jam pertama kosong, membuat beberapa murid sibuk dengan keseruannya masing-masing. Ya, walaupun mereka berada di kelas unggulan bukan berarti termasuk murid yang selalu patuh akan peraturan dan disiplin banget, kan? Terbukti dari barisan meja depan yang penghuninya sudah berpindah ke barisan terbelakang. Berkumpul untuk sekedar menonton, bergosip dan menyontek tugas rumah yang belum sempat dikerjakan. Tidak termasuk Angkasa dan teman-temannya, mereka lebih memilih pergi ke Roftoop untuk membahas rencan
Pintu pun terbuka begitu lebar dan menampilkan sosok laki laki yang...Yang tadi itu, kan?Laki laki aneh itu, aku nggak salah lihat?Aku pikir ucapannya tadi hanya bercanda. Sesaat tatapan kami bertemu dan dia langsung memalingkan pandangannya, berjalan ke deretan kursi paling belakang. Berkumpul dengan teman-temannya yang menyoraki dan memanggilnya... RADIT."Hayo!! Ngeliatin siapa, Lo? Sampai segitunya banget,"GLEKKetahuan, deh. Emang paling bisa kalau kepo akutnya Sena kumat."Nghak, kok. Aku nggak lihat siapa-siapa," Balasku mengelak."Masa?" Giliran Renita yang mengajukan pertanyaan menjebak. Sejak awal kita berempat memulai pertemanan, kita sudah membuat sebuah perjanjian untuk tidak menyembunyikan sesuatu hal apapun yang berbau rahasia."Yang itu namanya Raditya Sanjaya, An. Anak pemilik Sekolah ini," Balas Ayudya, menjawab kekepoanku yang terpendam.RADITYA SANJAYA"Kenapa, Lo suka ya?" Ucap Sena, asal."Enggak, kok. sebenarnya tadi tuh, aku telat bareng dia," Ucapku sepela
Hati itu ibarat kertasTergores tinta hitam kan sulit tuk dihapusTergores tinta putih kan sulit tuk dipahamiTergores berulang-ulang akan berubah abstrakTak bisa dipulihkan kembali...Senang bertatap muka denganmu, sampai bertemu kembali dipertemuan-pertemuan selanjutnya...Hah, apa sih maksudnya?Siapa yang naruh surat ini?Ku arahkan pandangan ke sekeliling. Nihil. Hanya ada kondektur bus dan para penumpang yang beehimpit-himpitan, mengantri ingin segera keluar dari bus. Walaupun pikiranku masih bingung, sebisa mungkin ku paksakan pikiranku agar tetap berfikir positif. Tanpa membuang waktu terlalu lama, akupun segera berjalan keluar dari bus. Turun dari bus, dengan menaiki angkutan umum pasti akan secepatnya sampai di Rumah Nenek. Jelas aku masih hafal alamatnya, karena tahun lalu ketika libur semester, Ibu mengajakku ke sini meski dengan sedikit pemaksaan."Berhenti, Pak!" Ucapku ketika tepat di depan sebuah gerbang Rumah bercat hitam"Disini aja, Neng?" Balas sopir angkot yang a
Berubah bukan berarti hilang...Karena yang hilang belum tentu selalu terkenang.JUNI 2025Pagi ini kenangan yang ingin segera ku hilangkan, kembali datang dalam bentuk karangan bunga yang seseorang kirimkan melalui seorang kurir.Kenangan yang mulai terkubur dan tertutup rapat, harus terkuak begitu saja. Tanpa tahu akan keadaan hatiku, kini.Usai menandatangani surat tanda terima, langkah kaki kembali memasuki ruang kamar yang menjadi saksi atas kebisuan ku. Perlahan, ku buka kembali kepingan kenangan yang berserakan di laci kejenuhan. Jenuh akan kesedihan yang tiada hentinya mengusikku serta jenuh akan penantian untuk seseorang yang tak kunjung pula memberi kepastian. Seharusnya dia tak perlu memberi harapan semu pada hatiku yang ragu akan hatinya. Setelah kesetiaan yang aku berikan berujung pada kekecewaan, lantas apa semudah ini dia kembali bersama janji yang tak pernah ditepati?Pikiran dan hatiku saling berdebat menyuarakan Argumen atas apa yang harus dan tak harus aku lakukan.