Kania berteriak sekuat tenaga sambil menggedor pintu meminta tolong. Ia berharap suaminya ataupun bi Imas, asisten rumah tangganya mendengar dan membukakan pintu. Namun sudah hampir sejam tak jua membuahkan hasil.
Kania yang terbangun dengan sakit kepala yang hebat mendapati dirinya berada dikamar tamu yang berada terpisah dari rumah utama. Kamar tamu itu dipisahkan dari rumah utama dengan pemisah berupa sebuah taman kecil dengan kolam ikan dan air terjun kecil yang gemericik disisinya. Kamar tersebut berupa paviliun kecil yang dulu ia bangun untuk saudaranya jika ada yang ingin menginap dirumahnya. Paviliun kecil yang berupa kamar tidur dengan kamar mandi didalamnya dan sebuah teras kecil diluar. Kamar yang hampir tak pernah digunakan itu tiba tiba saja menjadi kurungan baginya. Entah sudah berapa lama ia tertidur atau mungkin lebih tepatnya pingsan. Jam di dinding menujukkan pukul dua dan dari cahaya jendela ia bisa memastika bahwa sekarang pukul dua siang. Namun ia tak yakin apakah ini masih dihari yang sama atau mungkin sudah berganti hari. Yang ia ingat hanyalah saat itu ia sedang sarapan bersama suaminya. Lelah karena sedari tadi berteriak, Kania terduduk lemas mengamati ruangan yang berukuran setengah dari kamar utama. Ia tak tahu sejak kapan Cakra merubah kamar tamu ini. Jendela kamar yang sebelumnya bisa terbuka lebar menjadi terkunci rapat ditambah dengan teralis berlubang kecil yang membuat dirinya tak bisa membuka jendela ataupun berteriak meminta pertolongan keluar. Bahkan suaminya itu memasang peredam suara pada sisi sisi temboknya. Pintu ruangan ini juga sepertinya sudah diganti karena sebelumnya tak ada lubang berbentuk kotak pada pintu yang hanya bisa dibuka dari luar. Pintu kamar ini juga sepertinya ditambahkan gembok diluar sehingga tak bisa dibuka sama sekali. Beruntung ada kamar mandi kecil yang bisa ia gunakan. Ia seperti hidup didalam penjara yang berada dirumahnya sendiri.Kania menggeledah seisi kamar mencari ponselnya namun sepertinya Cakra sudah lebih dulu menyembunyikannya. Di dalam lemari hanya berisi beberapa helai pakaian. Bahkan televisi yang sebelumnya ada diruangan ini juga sudah ditiadakan.Tok tok.Suara ketukan pintu membuat Kania berlari ke pintu. "Nyonya, ini bibi. Ini bibi bawakan makan." Kania pikir bi Imas akan membukakan pintu untuk memberinya makanan, ia sudah bersiap untuk melarikan diri. Segala rencana sudah berputar diotaknya namun ternyata ia salah duga. Bi Imas ternyata membuka lubang berbentuk kotak yang berada disisi bawah pintu. Hal itu membuat Kania harus berjongkok dan berharap bisa melihat sosok si pembawa makanan."Bi! Tolong buka pintunya. Tolong saya bi!" Kania memohon agar bi Imas membantunya. Dengan suara yang teramat memelas, Kania berharap bi Imas tergugah perasaannya. "Maaf nyah, bibi ga bisa. Maafin saya nyah." Bi Imas baru saja hendak menutup lubang, Kania menahan tangan bi Imas. "Tolong cariin hp saya aja..." Belum selesai bicara, terdengar suara lelaki menghalau Kania. "Hei, sudah, sudah! Tak perlu banyak bicara." Lelaki itu sepertinya orang suruhan Cakra, ia langsung menutup lubang dan menguncinya dari luar. "Bi! Tolong saya bi!! Bi Imas!!" Kania kembali menggedor pintu dan berteriak sekencang mungkin. Ia harap asisten rumah tangganya yang telah ia anggap saudara sendiri itu mau membantunya.Imas memutar otak mencari cara bagaimana menolong bu Kania. Sembari beres-beres ruangan, ia mencari ponsel bu Kania yang disembunyikan oleh tuan Cakra. Setidaknya untuk saat ini, mendapatkan ponsel sepertinya langkah awal untuk membebaskan bu Kania. Karena untuk sekarang ini, melepaskan bu Kania dari dalam kamar sepertinya tak mungkin apalagi sekarang tuan Cakra menyewa preman preman bertubuh kekar untuk mengawasi kamar bu Kania dan juga rumah ini."Heh, lagi ngapain kamu?!" Suara Della, wanita selingkuhan tuan Cakra mengagetkan Imas yang sedang memeriksa laci meja kerja di ruang kerja tuan Cakra. "Lagi nyari apa kamu, hah?! Berani macam-macam dengan Cakra ya. Akan saya adukan kamu ke Cakra." ancam Della. Imas yang takut akan kekuasaan tuan Cakra, bersimpuh mengiba dihadapan Della."Ampun bu, ampuni saya. Saya cuma sedang beres-beres ruangan saja bu. Saya ga macam-macam kok bu, tolong bu jangan adukan saya." Masih belum puas dengan alasan Imas, Della menarik kakinya membuat Imas terjatuh. "Halah, alasan aja. Kamu pikir saya bodoh. Kamu ingin menolong Kania, wanita bodoh itu kan?!" Jantung Imas berdegup kencang, ia benar-benar takut akan ancaman tuan Cakra menjadi kenyataan jika wanita dihadapannya ini membuka suara dan mengadukannya pada tuan Cakra."Tidak bu, sungguh. Saya hanya beres-beres saja. Tolong bu, ampuni saya. Saya janji mulai sekarang saya akan melayani ibu dengan baik. Tolong bu." Mendengar penuturan Imas, Della tersenyum puas. Sepertinya kata-katanya ditakuti oleh pembantu bodoh ini. "Kita lihat saja nanti, mulai sekarang kamu tidak usah membersihkan ruangan ini. Kalau saya melihat kamu lagi disini, ga segan segan akan saya adukan pada Cakra." Della cukup yakin Cakra menyimpan semua barang berharga Kania diruang kerjanya ini. Dan ia tak ingin seluruh rencananya berantakan. Ia yakin Imas pasti akan membantu Kania, jadi untuk berjaga ia akan melarang siapapun masuk ke ruangan ini. "Dan satu hal lagi, panggil saya nyonya. Karena mulai sekarang, saya yang menjadi nyonya dirumah ini, bukan Kania si wanita bodoh itu." Ucap Della sambil tersenyum puas.Kania merasakan ada pergerakan asing disamping tubuhnya. Ia membuka matanya secara perlahan dan mendapati suaminya berbaring disampingnya. Entah Cakra tertidur atau tidak namun suaminya itu menutul matanya. Menyadari adanya kesempatan untuk kabur, Kania perlahan mencoba bangun."Mau kemana?" Suara berat Cakra mengagetkannya, ternyata Cakra tidak tidur. "Percuma, pintunya dikunci dan diluar juga ada penjaga."Ucapnya lagi. Kania pun mengurungkan niatnya sambil terus memikirkan cara membujuk Cakra agar melepaskannya. Saat Kania terdiam, Cakra menarik tubuh Kania kedalam pelukannya. Kania tak memberontak pun tak berkata apa-apa. Entah sejak kapan Cakra berada dikamarnya, namun Cakra masih memakai pakaian kerjanya. Apa sejak semalam Cakra berada dikamarnya?Cakra menangkup kedua pipi Kania dan menatap mata Kania."Aku kangen. Kita udahan ya berantemnya. Kamu mau nurut kan sama aku." Ucap Cakra tanpa memgalihkan pandangan matanya dari Kania. Hampir saja Kania terlena akan ucapan Cakra, namun
"Saya terima nikah dan kawinnya Della Puspitasari binti Hariyadi dengan mas kawin seratus gram emas dibayar tunai." Cakra mengucap ijab kabul dengan lantang dan lancar diikuti ucapan sah dari sang penghulu. Della tersenyum lebar meski tak banyak tamu undangan yang hadir. Hanya kedua orangtuanya dan orangtua Cakra serta beberapa kerabat dan teman Della. Acara pernikahan dilangsungkan dirumah Cakra. Meski sederhana namun gaun yang dipakai Della harganya mencapai puluhan juta. Belum lagi makanan yang dihidangkan, berdasarkan keinginan Della yang serba mewah Cakra memesan katering dari restoran bintang lima. Della tersenyum bahagia melihat keinginannya dipenuhi oleh Cakra. Meski nikah siri dan tak banyak tamu undangan, namun acara pernikahan ini sudah selayaknya pernikahan impian Della. Orangtua Della pun sama seperti dirinya bahagia melihat kemewahan yang didapat anak perempuannya. Tak hanya Della, mereka pun kecipratan segala kemewahan yang diberikan oleh Cakra. Kemarin setelah Della me
Della sedang bersantai duduk di depan televisi sambil makan buah-buahan ketika suara ketukan pintu terdengar. Dengan enggan ia berteriak memanggil Imas yang nampaknya tak mendengar. 'Dasar pembantu bodoh, lagi ngapain sih. Lagian siapa sih yang datang siang siang gini, ganggu orang aja.' gerutunya dalam hati. Dengan langkah yang lesu bak orang yang sedang sakit, Della terpaksa membuka pintu karena Imas yang tak kunjung datang dan ketukan pintu yang tak jua berhenti."Lama amat sih bukain pintunya." Begitu pintu terbuka Della langsung dihujani ocehan oleh seorang wanita paruh baya yang memiliki paras yang mirip dengan Cakra. "Eh mama, maaf mah ga tau nih si Imas kemana udah dipanggilin dari tadi ga nyahut nyahut. Males banget dia sekarang." ujar Della seolah olah Imas tak becus bekerja meski sejak tadi ia sudah bolak balik meladeni Della. Padahal jelas jelas barusan Imas ia suruh pergi membeli jajanan di ujung jalan.Bu Harti, ibu Cakra, berjalan masuk tak mengindahkan segala ucapan De
Kania meratapi nasibnya yang terkurung di dalam kamar kini. Hari harinya hanyalah menangis, meratapi nasib dan memutar otak mencari cara agar bisa lolos dari sini. Apalagi setelah tiga hari yang lalu ketika sang mertua datang namun ia tak dihiraukan membuat tekadnya untuk pergi dari sini semakin besar. Ibu mertua yang sudah ia anggap bagai ibunya sendiri ternyata tak memperdulikannya. Ia malah mendukung tindakan anak lelakinya itu. Padahal ia sama sama perempuan. Ia harusnya membantu dirinya dan menasehati anaknya agar tak memilih jalan yang salah.Bukannya ia tak mencoba kabur. Sejak kemarin ia sudah berusaha mencari celah yang memungkinkan dirinya bisa keluar. Ia sudah coba mengutak-atik jendela namun teralis yang baru dipasang itu memang masih terpasang kokoh. Plafon di kamar dan kamar mandinya pun juga sama. Tak bisa digunakan untuk kabur. Satu satunya cara agar ia bisa keluar hanyalah dari pintu yang digembok dari luar.Cara seperti membujuk dan menawarkan kesepakatan pada penjag
"MAU KABUR KEMANA HAH?!"Kania dan bi Imas kaget setengah mati mendengar suara teriakan Cakra. Terlebih Kania yang rambutnya dijambak saat sedang ingin merangkak keluar. Sambil berteriak kesakitan, Kania mencoba melepaskan cengkeraman tangan Cakra pada rambut Kania. Bi Imas yang melihat itu pun refleks berusaha menolong Kania. Namun kekuatan laki laki berusia 38 tahun itu lebih kuat dibandingkan keduanya. "Mas, ampun mas. Mas, lepasin aku!!" Cakra tak menggubris jeritan Kania. Bahkan bi Imas pun didorong hingga jatuh oleh Cakra. Diseretnya Kania hingga ke kamar kurungan yang sebelumnya berhasil ia lalui. Penjaga yang tertidur masih tergeletak didepan kamarnya. Jerit tangis Kania menghiasi seluruh ruangan. Karena rumah mereka yang besar dan luas, ia yakin suaranya takkan terdengar oleh tetangga mereka."DIAM!!" Cakra membentak Kania sambil menampar kedua pipi Kania berulang kali. Entah setan mana yang merasuki tubuh Cakra yang membuat dirinya gelap mata. Sambil menahan sakit Kania ter
Suasana hati Cakra benar benar sedang buruk. Baru saja Kania berusaha kabur, ditambah Imas sang pembantu yang menolong Kania juga ikut kabur. Della yang melihat suaminya masih emosi mencoba meredakannya dengan memberikan segelas alkohol yang tersimpan mini bar yang baru. Dirumah Cakra sebelumnya tak ada mini bar maupun minuman beralkohol. Namun semenjak Cakra mengenal Della yang terbiasa hidup dengan dunia malam, Cakra jadi ketagihan mengkonsumsi minuman beralkohol. Mini bar ini pun keinginan Della. Ditambah lagi sekarang tak ada lagi kuasa Kania untuk melarang suaminya. Selain alkohol, Cakra juga jadi sering pergi ke klub malam. Meski saat ini ia sudah tak lagi pergi ke klub malam semenjak Della hamil."Minum dulu mas." Della membawa segelas wiski denga dua butir es batu untuk Cakra. Sembari memijit kepala Cakra dengan perlahan, Della berusah membuat Cakra nyaman."Udahlah mas ga usah dibawa pusing begitu. Santai aja." Ucapnya lagi. Sambil membuka kancing baju Cakra, Della mengusap p
Imas berlari menuju rumah orangtuanya begitu sampai di kampung kelahirannya dan anaknya. Meski lelah karena menempuh perjalanan selama tujuh jam. Begitu membuka pintu, ia mendapati orangtuanya sedang duduk bersantai di ruang tengah. Orangtua Imas begitu terkejut melihat kedatangan anak mereka tanpa pemberitahuan."Lho neng, kunaon balik teu ngabari? aya naon?" Ibu Imas terkejut mengapa Imas pulang tanpa mengabarkan. Raut wajahnya terlihat panik. Tak jauh berbeda dengan sang ayah."Ardi mana mi?" ucap Imas tak menjawab pertanyaan ibunya sambil menuju kamar sang anak."Kan Ardi ikut study tour. Waktu minggu kemarin telepon ummi udah ngomong kan sama kamu. Emangnya kenapa sih neng, kunaon? carita ka umi. Kamu tiba tiba balik ga ngomong dulu, kamu bikin umi sama abah khawatir. Memangnya ada apa? Kamu teh dipecat?" Berondongan pertanyaan keluar dari mulut ibunya.Mendengar jawaban sang ibu, Imas yang biasa dipanggil eneng oleh ibunya itu yakin ibunya tak tahu bahwa anaknya dijemput oleh ma
Kania terkulai lemah diatas tempat tidurnya. Sekujur tubuhnya masih dipenuhi luka serta lebam. Salah satu matanya bahkan berwarna merah darah dilapisan korneanya. Penampilannya sungguh tak karuan. Sejak kemarin ia hanya rebahan karena seluruh tubuhnya terasa luluh lantak. Untuk sekedar ke kamar mandi saja ia harus menahan sakit yang teramat pada kakinya.Cakra, si pelaku kekerasan, bersamanya didalam kamar sejak kemarin. Bagai pahlawan kesiangan, ia mengobati Kania dengan telaten. Menyuapinya makan, mengoleskan salep bahkan membantunya ke kamar mandi. Adanya Cakra bersamanya membuat perasaan Kania campur aduk. Ia membenci Cakra setengah mati, kesal bahkan penuh amarah. Namun sikapnya kali ini justru membuat amarah Kania jadi sedikit melunak. Cakra bahkan menemani Kania hingga tertidur meski ia tak tidur bersamanya semalam. Namun ketika Kania membuka mata pagi harinya, sosok Cakra kembali muncul dihadapannya dan lagi lagi bersikap baik padanya."Ini makan dulu habis itu minum obatnya."