Share

5

Kania berteriak sekuat tenaga sambil menggedor pintu meminta tolong. Ia berharap suaminya ataupun bi Imas, asisten rumah tangganya mendengar dan membukakan pintu. Namun sudah hampir sejam tak jua membuahkan hasil.

Kania yang terbangun dengan sakit kepala yang hebat mendapati dirinya berada dikamar tamu yang berada terpisah dari rumah utama. Kamar tamu itu dipisahkan dari rumah utama dengan pemisah berupa sebuah taman kecil dengan kolam ikan dan air terjun kecil yang gemericik disisinya. Kamar tersebut berupa paviliun kecil yang dulu ia bangun untuk saudaranya jika ada yang ingin menginap dirumahnya. Paviliun kecil yang berupa kamar tidur dengan kamar mandi didalamnya dan sebuah teras kecil diluar. Kamar yang hampir tak pernah digunakan itu tiba tiba saja menjadi kurungan baginya. Entah sudah berapa lama ia tertidur atau mungkin lebih tepatnya pingsan. Jam di dinding menujukkan pukul dua dan dari cahaya jendela ia bisa memastika bahwa sekarang pukul dua siang. Namun ia tak yakin apakah ini masih dihari yang sama atau mungkin sudah berganti hari. Yang ia ingat hanyalah saat itu ia sedang sarapan bersama suaminya. Lelah karena sedari tadi berteriak, Kania terduduk lemas mengamati ruangan yang berukuran setengah dari kamar utama. Ia tak tahu sejak kapan Cakra merubah kamar tamu ini. Jendela kamar yang sebelumnya bisa terbuka lebar menjadi terkunci rapat ditambah dengan teralis berlubang kecil yang membuat dirinya tak bisa membuka jendela ataupun berteriak meminta pertolongan keluar. Bahkan suaminya itu memasang peredam suara pada sisi sisi temboknya. Pintu ruangan ini juga sepertinya sudah diganti karena sebelumnya tak ada lubang berbentuk kotak pada pintu yang hanya bisa dibuka dari luar. Pintu kamar ini juga sepertinya ditambahkan gembok diluar sehingga tak bisa dibuka sama sekali. Beruntung ada kamar mandi kecil yang bisa ia gunakan. Ia seperti hidup didalam penjara yang berada dirumahnya sendiri.

Kania menggeledah seisi kamar mencari ponselnya namun sepertinya Cakra sudah lebih dulu menyembunyikannya. Di dalam lemari hanya berisi beberapa helai pakaian. Bahkan televisi yang sebelumnya ada diruangan ini juga sudah ditiadakan.

Tok tok.

Suara ketukan pintu membuat Kania berlari ke pintu. "Nyonya, ini bibi. Ini bibi bawakan makan." Kania pikir bi Imas akan membukakan pintu untuk memberinya makanan, ia sudah bersiap untuk melarikan diri. Segala rencana sudah berputar diotaknya namun ternyata ia salah duga. Bi Imas ternyata membuka lubang berbentuk kotak yang berada disisi bawah pintu. Hal itu membuat Kania harus berjongkok dan berharap bisa melihat sosok si pembawa makanan.

"Bi! Tolong buka pintunya. Tolong saya bi!" Kania memohon agar bi Imas membantunya. Dengan suara yang teramat memelas, Kania berharap bi Imas tergugah perasaannya. "Maaf nyah, bibi ga bisa. Maafin saya nyah." Bi Imas baru saja hendak menutup lubang, Kania menahan tangan bi Imas. "Tolong cariin hp saya aja..." Belum selesai bicara, terdengar suara lelaki menghalau Kania. "Hei, sudah, sudah! Tak perlu banyak bicara." Lelaki itu sepertinya orang suruhan Cakra, ia langsung menutup lubang dan menguncinya dari luar. "Bi! Tolong saya bi!! Bi Imas!!" Kania kembali menggedor pintu dan berteriak sekencang mungkin. Ia harap asisten rumah tangganya yang telah ia anggap saudara sendiri itu mau membantunya.

Imas memutar otak mencari cara bagaimana menolong bu Kania. Sembari beres-beres ruangan, ia mencari ponsel bu Kania yang disembunyikan oleh tuan Cakra. Setidaknya untuk saat ini, mendapatkan ponsel sepertinya langkah awal untuk membebaskan bu Kania. Karena untuk sekarang ini, melepaskan bu Kania dari dalam kamar sepertinya tak mungkin apalagi sekarang tuan Cakra menyewa preman preman bertubuh kekar untuk mengawasi kamar bu Kania dan juga rumah ini.

"Heh, lagi ngapain kamu?!" Suara Della, wanita selingkuhan tuan Cakra mengagetkan Imas yang sedang memeriksa laci meja kerja di ruang kerja tuan Cakra. "Lagi nyari apa kamu, hah?! Berani macam-macam dengan Cakra ya. Akan saya adukan kamu ke Cakra." ancam Della. Imas yang takut akan kekuasaan tuan Cakra, bersimpuh mengiba dihadapan Della.

"Ampun bu, ampuni saya. Saya cuma sedang beres-beres ruangan saja bu. Saya ga macam-macam kok bu, tolong bu jangan adukan saya." Masih belum puas dengan alasan Imas, Della menarik kakinya membuat Imas terjatuh. "Halah, alasan aja. Kamu pikir saya bodoh. Kamu ingin menolong Kania, wanita bodoh itu kan?!" Jantung Imas berdegup kencang, ia benar-benar takut akan ancaman tuan Cakra menjadi kenyataan jika wanita dihadapannya ini membuka suara dan mengadukannya pada tuan Cakra.

"Tidak bu, sungguh. Saya hanya beres-beres saja. Tolong bu, ampuni saya. Saya janji mulai sekarang saya akan melayani ibu dengan baik. Tolong bu." Mendengar penuturan Imas, Della tersenyum puas. Sepertinya kata-katanya ditakuti oleh pembantu bodoh ini. "Kita lihat saja nanti, mulai sekarang kamu tidak usah membersihkan ruangan ini. Kalau saya melihat kamu lagi disini, ga segan segan akan saya adukan pada Cakra." Della cukup yakin Cakra menyimpan semua barang berharga Kania diruang kerjanya ini. Dan ia tak ingin seluruh rencananya berantakan. Ia yakin Imas pasti akan membantu Kania, jadi untuk berjaga ia akan melarang siapapun masuk ke ruangan ini. "Dan satu hal lagi, panggil saya nyonya. Karena mulai sekarang, saya yang menjadi nyonya dirumah ini, bukan Kania si wanita bodoh itu." Ucap Della sambil tersenyum puas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status