Kania merasakan ada pergerakan asing disamping tubuhnya. Ia membuka matanya secara perlahan dan mendapati suaminya berbaring disampingnya. Entah Cakra tertidur atau tidak namun suaminya itu menutul matanya. Menyadari adanya kesempatan untuk kabur, Kania perlahan mencoba bangun.
"Mau kemana?" Suara berat Cakra mengagetkannya, ternyata Cakra tidak tidur. "Percuma, pintunya dikunci dan diluar juga ada penjaga."Ucapnya lagi. Kania pun mengurungkan niatnya sambil terus memikirkan cara membujuk Cakra agar melepaskannya. Saat Kania terdiam, Cakra menarik tubuh Kania kedalam pelukannya. Kania tak memberontak pun tak berkata apa-apa. Entah sejak kapan Cakra berada dikamarnya, namun Cakra masih memakai pakaian kerjanya. Apa sejak semalam Cakra berada dikamarnya?Cakra menangkup kedua pipi Kania dan menatap mata Kania."Aku kangen. Kita udahan ya berantemnya. Kamu mau nurut kan sama aku." Ucap Cakra tanpa memgalihkan pandangan matanya dari Kania. Hampir saja Kania terlena akan ucapan Cakra, namun hati kecilnya menolak. Tidak, ia tak ingin dimadu. Ia tak sudi melihat suaminya membagi cinta dengan wanita lain. "Nggak, aku ngga mau." Cakra yang semula bersikap manis tiba-tiba menggeram mendengar jawaban Kania. Ia yang sebelumnya berbaring di sebelah Kania mengubah posisinya duduk disebelah Kania yang masih berbaring. Dengan kedua tangannya ia mencengkeram leher Kania. "Kenapa sih kamu ngeyel banget! Aku ini suami kamu, harusnya kamu tuh nurut jadi istri." Kania merintih kesakitan karena Cakra mencekik lehernya dengan kuat. Ia berusaha menepis tangan Cakra, namun ia kalah kuat. "Le-lepas mas, ampun." Dengan terbata Kania memohon agar Cakra melepaskannya. Melihat Kania yang kesulitan bernafas, Cakra melepaskan cengkeraman tangannya di leher Kania. Namun emosinya masih belum reda, ia menjambak rambut Kania hingga Kania mendongak ke belakang dan mengaduh kesakitan. "Aku sudah memintamu baik baik, namun kamu sama sekali ngga bisa diajak kompromi. Aku akan menikahi Della besok dengan ataupun tanpa restumu dan kamu akan tetap terkurung didalam kamar ini sampai kau bisa berpikir jernih." Setelah itu Cakra mendorong Kania dan keluar dari kamar dengan membuka pintu dengan kunci yang berada di saku celananya. Kania hanya bisa menangis dan merintih kesakitan saat pintu kamarnya kembali dikunci dari luar. Tak henti ia memohon pada Tuhan agar ia bisa lepas dari siksaan Cakra. Ia juga memohon agar bisa kembali ke masa lalu agar ia tak pernah bertemu dengan Cakra dan mengalami ini semua.Cakra kembali kenrumah utamanya dan memasuki kamarnya yang sebelumnya ia tempati bersama Kania. Ia menemukan Della yang baru saja bangun tidur. Melihat Cakra yang masih mengenakan pakaian kerjanya kemarin Della hendak marah karena Cakra yang tak tidur dengannya semalam. Namun raut wajah Cakra yang sepertinya sedang kesal membuat Della mengurungkan niatnya. Ia tak ingin rencananya menikah dengan Cakra gagal karena dirinya yang membuat kesal Cakra."Kamu kenapa sih mas, kok kesal begitu?" Ucapnya dengan suara yang lembut. Cakra diam saja tak menjawab pertanyaan Della, malah masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dalam kamar. Della mendengus kesal dicuekin oleh Cakra namun berusaha menahan diri. Sabar... sabar... demi harta kekayaan istrimu yang akan kurebut, aku bakalan sabar menghadapi kelakuanmu saat ini ucapnya dalam hati. Ia pun menyiapkan pakaian kerja Cakra karena sekarang waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.Setelah selesai mandi dan bersiap berangkat kerja, dengan ragu Della menanyakan perihal pernikahannya. "Besok suruh orangtuamu datang. Besok kita akan menikah. Untuk sementara kita nikah siri dulu, setelah pemindahan aset Kania jatuh ke tanganku, baru kita resmikan pernikahan kita." Mendengar hal itu Della senang bukan main. Meski hanya menikah siri, namun besok ia akan menjadi nyonya Cakra Wibisono. Walaupun Kania masih menjadi istri sah Cakra dalam hukum namun begitu anak ini lahir ia akan segera menyingkirkan Kania secepatnya. Ia juga akan mendesak pemindahan aset agar ia dan anaknya mendapatkan bagian yang besar. Setelah Cakra berangkat, Della buru-buru menelepon ibunya mengabari berita bahagia ini. Ibunya pasti akan senang bukan main begitu mendengar bahwa sebentar lagi anaknya akan jadi orang kaya."Saya terima nikah dan kawinnya Della Puspitasari binti Hariyadi dengan mas kawin seratus gram emas dibayar tunai." Cakra mengucap ijab kabul dengan lantang dan lancar diikuti ucapan sah dari sang penghulu. Della tersenyum lebar meski tak banyak tamu undangan yang hadir. Hanya kedua orangtuanya dan orangtua Cakra serta beberapa kerabat dan teman Della. Acara pernikahan dilangsungkan dirumah Cakra. Meski sederhana namun gaun yang dipakai Della harganya mencapai puluhan juta. Belum lagi makanan yang dihidangkan, berdasarkan keinginan Della yang serba mewah Cakra memesan katering dari restoran bintang lima. Della tersenyum bahagia melihat keinginannya dipenuhi oleh Cakra. Meski nikah siri dan tak banyak tamu undangan, namun acara pernikahan ini sudah selayaknya pernikahan impian Della. Orangtua Della pun sama seperti dirinya bahagia melihat kemewahan yang didapat anak perempuannya. Tak hanya Della, mereka pun kecipratan segala kemewahan yang diberikan oleh Cakra. Kemarin setelah Della me
Della sedang bersantai duduk di depan televisi sambil makan buah-buahan ketika suara ketukan pintu terdengar. Dengan enggan ia berteriak memanggil Imas yang nampaknya tak mendengar. 'Dasar pembantu bodoh, lagi ngapain sih. Lagian siapa sih yang datang siang siang gini, ganggu orang aja.' gerutunya dalam hati. Dengan langkah yang lesu bak orang yang sedang sakit, Della terpaksa membuka pintu karena Imas yang tak kunjung datang dan ketukan pintu yang tak jua berhenti."Lama amat sih bukain pintunya." Begitu pintu terbuka Della langsung dihujani ocehan oleh seorang wanita paruh baya yang memiliki paras yang mirip dengan Cakra. "Eh mama, maaf mah ga tau nih si Imas kemana udah dipanggilin dari tadi ga nyahut nyahut. Males banget dia sekarang." ujar Della seolah olah Imas tak becus bekerja meski sejak tadi ia sudah bolak balik meladeni Della. Padahal jelas jelas barusan Imas ia suruh pergi membeli jajanan di ujung jalan.Bu Harti, ibu Cakra, berjalan masuk tak mengindahkan segala ucapan De
Kania meratapi nasibnya yang terkurung di dalam kamar kini. Hari harinya hanyalah menangis, meratapi nasib dan memutar otak mencari cara agar bisa lolos dari sini. Apalagi setelah tiga hari yang lalu ketika sang mertua datang namun ia tak dihiraukan membuat tekadnya untuk pergi dari sini semakin besar. Ibu mertua yang sudah ia anggap bagai ibunya sendiri ternyata tak memperdulikannya. Ia malah mendukung tindakan anak lelakinya itu. Padahal ia sama sama perempuan. Ia harusnya membantu dirinya dan menasehati anaknya agar tak memilih jalan yang salah.Bukannya ia tak mencoba kabur. Sejak kemarin ia sudah berusaha mencari celah yang memungkinkan dirinya bisa keluar. Ia sudah coba mengutak-atik jendela namun teralis yang baru dipasang itu memang masih terpasang kokoh. Plafon di kamar dan kamar mandinya pun juga sama. Tak bisa digunakan untuk kabur. Satu satunya cara agar ia bisa keluar hanyalah dari pintu yang digembok dari luar.Cara seperti membujuk dan menawarkan kesepakatan pada penjag
"MAU KABUR KEMANA HAH?!"Kania dan bi Imas kaget setengah mati mendengar suara teriakan Cakra. Terlebih Kania yang rambutnya dijambak saat sedang ingin merangkak keluar. Sambil berteriak kesakitan, Kania mencoba melepaskan cengkeraman tangan Cakra pada rambut Kania. Bi Imas yang melihat itu pun refleks berusaha menolong Kania. Namun kekuatan laki laki berusia 38 tahun itu lebih kuat dibandingkan keduanya. "Mas, ampun mas. Mas, lepasin aku!!" Cakra tak menggubris jeritan Kania. Bahkan bi Imas pun didorong hingga jatuh oleh Cakra. Diseretnya Kania hingga ke kamar kurungan yang sebelumnya berhasil ia lalui. Penjaga yang tertidur masih tergeletak didepan kamarnya. Jerit tangis Kania menghiasi seluruh ruangan. Karena rumah mereka yang besar dan luas, ia yakin suaranya takkan terdengar oleh tetangga mereka."DIAM!!" Cakra membentak Kania sambil menampar kedua pipi Kania berulang kali. Entah setan mana yang merasuki tubuh Cakra yang membuat dirinya gelap mata. Sambil menahan sakit Kania ter
Suasana hati Cakra benar benar sedang buruk. Baru saja Kania berusaha kabur, ditambah Imas sang pembantu yang menolong Kania juga ikut kabur. Della yang melihat suaminya masih emosi mencoba meredakannya dengan memberikan segelas alkohol yang tersimpan mini bar yang baru. Dirumah Cakra sebelumnya tak ada mini bar maupun minuman beralkohol. Namun semenjak Cakra mengenal Della yang terbiasa hidup dengan dunia malam, Cakra jadi ketagihan mengkonsumsi minuman beralkohol. Mini bar ini pun keinginan Della. Ditambah lagi sekarang tak ada lagi kuasa Kania untuk melarang suaminya. Selain alkohol, Cakra juga jadi sering pergi ke klub malam. Meski saat ini ia sudah tak lagi pergi ke klub malam semenjak Della hamil."Minum dulu mas." Della membawa segelas wiski denga dua butir es batu untuk Cakra. Sembari memijit kepala Cakra dengan perlahan, Della berusah membuat Cakra nyaman."Udahlah mas ga usah dibawa pusing begitu. Santai aja." Ucapnya lagi. Sambil membuka kancing baju Cakra, Della mengusap p
Imas berlari menuju rumah orangtuanya begitu sampai di kampung kelahirannya dan anaknya. Meski lelah karena menempuh perjalanan selama tujuh jam. Begitu membuka pintu, ia mendapati orangtuanya sedang duduk bersantai di ruang tengah. Orangtua Imas begitu terkejut melihat kedatangan anak mereka tanpa pemberitahuan."Lho neng, kunaon balik teu ngabari? aya naon?" Ibu Imas terkejut mengapa Imas pulang tanpa mengabarkan. Raut wajahnya terlihat panik. Tak jauh berbeda dengan sang ayah."Ardi mana mi?" ucap Imas tak menjawab pertanyaan ibunya sambil menuju kamar sang anak."Kan Ardi ikut study tour. Waktu minggu kemarin telepon ummi udah ngomong kan sama kamu. Emangnya kenapa sih neng, kunaon? carita ka umi. Kamu tiba tiba balik ga ngomong dulu, kamu bikin umi sama abah khawatir. Memangnya ada apa? Kamu teh dipecat?" Berondongan pertanyaan keluar dari mulut ibunya.Mendengar jawaban sang ibu, Imas yang biasa dipanggil eneng oleh ibunya itu yakin ibunya tak tahu bahwa anaknya dijemput oleh ma
Kania terkulai lemah diatas tempat tidurnya. Sekujur tubuhnya masih dipenuhi luka serta lebam. Salah satu matanya bahkan berwarna merah darah dilapisan korneanya. Penampilannya sungguh tak karuan. Sejak kemarin ia hanya rebahan karena seluruh tubuhnya terasa luluh lantak. Untuk sekedar ke kamar mandi saja ia harus menahan sakit yang teramat pada kakinya.Cakra, si pelaku kekerasan, bersamanya didalam kamar sejak kemarin. Bagai pahlawan kesiangan, ia mengobati Kania dengan telaten. Menyuapinya makan, mengoleskan salep bahkan membantunya ke kamar mandi. Adanya Cakra bersamanya membuat perasaan Kania campur aduk. Ia membenci Cakra setengah mati, kesal bahkan penuh amarah. Namun sikapnya kali ini justru membuat amarah Kania jadi sedikit melunak. Cakra bahkan menemani Kania hingga tertidur meski ia tak tidur bersamanya semalam. Namun ketika Kania membuka mata pagi harinya, sosok Cakra kembali muncul dihadapannya dan lagi lagi bersikap baik padanya."Ini makan dulu habis itu minum obatnya."
Kania tak bisa tidur sejak semalam. Sepeninggalnya Cakra dari kamar Kania, ia terus memikirkan bagaimana ia akan menghadapi kenyataan hidupnya sebagai istri tua, istri yang dimadu. Kania mulai bimbang akan keputusannya. Apakah ia sanggup?Terdengar suara kunci yang dibuka dari pintu kamarnya. Memang meski ia telah menyetujui permintaan Cakra, namun sepertinya Cakra tetap waspada takut dirinya akan kembali kabur seperti kemarin. Dan Kania tak mempermasalahkan hal tersebut. Ia jadi terbiasa dengan keadaan yang seperti ini.Akan tetapi bukan wajah Cakra yang nampak seperti biasanya namun seorang wanita dengan perut yang sudah agak membuncit yang muncul kehadapan Kania. Della, istri kedua suaminya. Wanita yang berbagi hati suami dengan dirinya. Wanita sumber permasalahan rumah tangganya. Wanita yang merubah hidupnya menjadi seperti dineraka.Ingin rasanya Kania melompat dan menjambak rambut yang terurai pada wanita penggoda suaminya itu namun ia teringat akan persetujuannya semalam pada s