Share

Bab2. Jadilah pendampingku

Setelah berbicang sebentar, Aryan meminta izin untuk mengantarkan Eira pulang mengingat malam sudah semakin larut.

“Sebenarnya Bapak tidak usah mengantarkan saya seperti ini,” ujar Eira ketika keduanya sudah berada di dalam lift.

Aryan menatap wajah gadis yang berdiri di sampingnya, kakinya melangkah semakin mendekat hingga memojokkan Eira.

Mata tajamnya masih tak berpaling walau jelas gadis itu sudah tampak ketakutan. Hatinya masih kesal akan semua masalah yang berawal dari keteledoran Eira.

“Memang semua ini karena siapa? Bukankah kamu yang lebih dulu melanggar peraturan kerja di rumahku?” tanya Aryan dengan nada suara menekan.

Eira sampai merinding mendengar pertanyaan memojokan dari Aryan, dia sempat melirik wajah tegas dan dewasa dengan rambut yang sedikit berantakan di depannya sebelum kembali berpaling, menghindari beradu tatap.

“Eum ... i-itu.” Bola mata Eira tampak bergerak tak menentu, dia tidak bisa menjawab pertanyaan Aryan karena semua itu memang kenyataan.

Namun, dia tak bisa mengaku kalah begitu saja, setidaknya dirinya harus berusaha membela diri dulu. Bukankah ketiduran itu bukan suatu kesalahan?

“Mana aku tau kalau aku akan ketiduran di sana.” Eira memberanikan diri menatap mata hitam Aryan, tetapi ternyata dia tak tahan, hingga perlahan dia mulai menurunkan pandangannya lagi, sambil bergumam pelan. “Bukan salah aku juga kalau orang tua Bapak tiba-tiba datang dan mengira kita ada hubungan.”

“Ini semua tidak akan terjadi kalau kamu tidak lancang tidur di rumahku,” tekan Aryan semakin mendekat hingga mengikis jarak di atara mereka.

“Ja-jadi sekarang Bapak mau apa?” Eira akhirnya terpaksa mengakui kesalahannya. Sementara tanganya menahan tubuh Aryan agar tidak semakin mendekat.

Aryan tersenyum miring dia memasukan tangannya ke saku sambil melangkah mundur, sedikit memberi jarak pada Eira yang mukanya sudah tampak memerah karena tak bernapas.

“Jadilah pendampingku,” ujarnya dengan begitu mudah, bahkan tanpa menatap wajah Eira.

“Hah!” Eira terkejut bukan main. Dia melebarkan matanya tak percaya akan ucapan laki-laki dewasa di depannya.

“Bapak kira saya gadis murahan? Seenaknya ngajak pacaran,” sambungnya lagi sambil membuang muka dan bersidekap dada.

‘Apa dia gak sadar kalau perbedaan umur kita sangat jauh? Dia bahkan mungkin lebih cocok jadi om-ku daripada pacar’

“Hanya di depan kedua orang tuaku. Tenang saja, setiap kali kamu harus bersandiwara saya akan memberikan bonus sebagai gantinya,” sambung Aryan lagi.

Kerutan di kening Eira terlihat kala mendengar kata ‘sandiwara’ di melirik wajah Aryan yang masih tampak datar. ‘Jadi dia hanya mengajaku pacaran pura-pura?’

Eira semakin merasa tersinggung karena ucapan Aryan. Dia memutar kakinya hingga kini benar-benar menghadap lurus pada Aryan lalu berujar tegas. “Dengar ya, Pak ... saya bekerja dengan Bapak sebagai pengganti Bu Ela, bukan untuk menjadi pacar pura-pura.”

“Cukup di sini, bapak tidak usah mengantar saya.” Eira kembali berbicara setelah pintu lift terbuka. Dia segera melangkahkan kakinya dan pergi meninggalkan Aryan.

Sementara itu, Aryan hanya menatap punggung Eira yang semakin menjauh. Dia menghembuskan napas kasar lalu mengetikan sesuatu di ponselnya dan memilih berbelok ke arah lain.

***

Eira masuk ke sebuah ruangan rawat inap rumah sakit. Dia menghembuskan napas berat saat melihat seorang laki-laki dewasa terbaring tak sadarkan diri di depannya.

“Kak Gilang,” gumamnya sambil duduk di kursi yang tersedia. Dia genggam tangan pucat itu dengan sangat perlahan.

“Kakak sedang mimpi apa sih, kenapa lama sekali bangunnya? Sudah seminggu lho, Kak ... Kakak gak kangen sama Ira?” Eira berujar lembut, dia tersenyum walau bulir bening perlahan mulai menetes di pipinya.

“Ira kangen sama Kakak,” ujarnya lagi. Perlahan dia rebahkan kepalanya di sisi brangkar dan menutup matanya, berharap dapat sedikit mengurangi rasa sepi dan lelah hidupnya tanpa sang Kakak yang selalu mendukungnya.

Namun, suara notifikasi di ponsel mengalihkan perhatiannya. Dia kembali duduk tegak lalu mengambil ponselnya.

“Nomor siapa ini?” gumamnya sambil menatap pesan dari nomor tak dikenal. Dia mulai membukanya.

[Ini upah kamu untuk hari ini. Saya harap kamu bisa mempertimbangkan tawaran dari saya.]

“Apa ini?” Eira langsung mengecek akun digital bankingnya saat melihat bukti trasfer yang dikirimkan nomor tak dikenal itu padanya. Alangkah terkejutnya dia kala melihat jumlah uang di sana sudah bertambah.

“Lima juta? Apa dia tidak salah kirim?” Eira segera menghubungi nomor tak dikenal itu. Hatinya semakin bimbang kala mengetahui kalau itu adalah Aryan.

“Saya sungguh-sungguh tentang tawaran untuk menjadi pasangan sementara saya.” Ucapan Aryan mulai membayangi ingatannya.

Eira menghembuskan napas pelan, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghubungi bibinya dan meminta tolong. Namun....

“Jadi kamu menghubungiku hanya untuk meminta uang padaku?”

Eira menjauhkan ponselnya kala suara teriakan wati terasa memekakan telinga. Rasa sakit mulai merasuk memenuhi relung hatinya akan penolakan yang dia terima.

“Kamu pikir aku ini badan amal? Enak saja kamu minta uang padaku, dasar pemalas!” Tak puas hanya menolak, Wati mulai mengeluarkan caci-makinya.

“Tidak begitu, Bi. Aku mau pinjam bukan meminta. Aku mohon tolong Kakak, Bi. Hanya dia yang aku punya sekarang.” Eira terus mencoba mengiba, meminta belas kasih Wati. Tetes air mata pun tak terasa turun begitu saja. Eira putus asa. Dia rela bahkan jika harus menjadi bahan hinaan Wati, asalkan Gilang selamat.

“Gak usah sok-sokan mau nyelametin Gilang. Bagus dia lebih cepat nyusul orang tua kalian, daripada buang-buang uang gak jelas ... beban,” ujar Wati dengan mudahnya. Dia bahkan tak merasa bersalah sama sekali berkata seperti itu pada Eira.

Cepat Eira memutus sambungan teleponnya. Ternyata Wati memang sudah berubah. Wanita itu bukan lagi bibi yang baik dan penuh kasih sayang padanya, melainkan manusia tidak punya hati yang bahkan tak tersentuh untuk membantu ketika Gilang sedang berada di ambang kematian.

Eira kembali melihat bukti trasfer di layar ponselnya. Uang itu bisa sedikit membantu pengobatan Kakaknya. Namun, biaya operasi dan perawatan, entah kapan dirinya bisa mengumpulkan uang sebanyak itu.

“Kak, apa aku harus menerima tawarannya?” gumamnya sambil kembali menatap wajah pucat Gilang.

Suara alat penunjang kesehatan yang tiba-tiba saja berbunyi nyaring membuat Eira langsung mengalihkan perhatiannya. Dia semakin panik ketika tubuh Gilang mulai kejang.

“Dokter!” Eira berlari ke luar, mencari tenaga medis yang mampu menolong Gilang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status