Share

Perjanjian Cinta Om Duda
Perjanjian Cinta Om Duda
Author: Warnyi

Bab1. Calon mantu

“Dok! Bagaimana keadaan kakak saya?!”

Eira, seorang perempuan cantik dengan rambut yang terurai tengah histeris. Pasalnya, Kakaknya yang merupakan keluarga satu-satunya yang tersisa kini tengah kritis.

Sebuah kecelakaan merengut kesadaran Gilang, kakak Eira, ketika sedang membawa motor. Sayangnya, penabraknya itu pergi tanpa bertanggung jawab sama sekali.

Namun, seorang laki-laki yang tak Eira kenal membawa kakaknya ke rumah sakit. Awalnya, Eira menuduh laki-laki itulah orang yang menabrak kakaknya. Namun ternyata justru laki-laki itu yang menyelamatkan kakaknya.

Eira yang merasa bersalah karena sempat menuduh laki-laki itu berniat meminta maaf. Sayangnya, ia telah lebih dulu pergi tanpa pamit sama sekali.

“Kakak kamu masih dalam kondisi kritis. Tapi tenang, saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkannya. Kamu bisa ke bagian administrasi untuk menyelesaikan berkas-berkas pengobatan Kakakmu,” ucap dokter tersebut seraya berlalu melewati Eira masih tampak sembab.

Seraya mengusap matanya, Eira langsung pergi ke bagian administrasi dengan cepat. Namun, begitu sampai dan mengurus berkasnya, Eira terpana mendengar petugas itu berbicara,

“Total biayanya 75 juta, ini termasuk tindakan yang akan dilakukan dokter pada pasien. Tapi, mbak harus melunasinya terlebih dahulu sebelum tindakan dilakukan.”

‘Tu…tujuh puluh lima juta!?’ Setelah mengambil berkasnya, Eira langsung bersandar di tembok rumah sakit.

‘Dari mana aku akan dapat uang sebanyak itu?!’ Air matanya seketika kembali mengalir, membanjiri pipinya. Uang itu begitu besar untuk dirinya yang hanya pegawai mini market.

Namun, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselnya.

“Nduk, jangan lupa ya, hari ini hari pertama kamu masuk kerja. Jangan terlambat atau nanti tuan muda akan marah besar! Alamatnya sudah ibu kasih tahu, kan?”

Eira mengusap air matanya. Lalu, merapikan pakaiannya dan bergegas pergi. Dia hampir lupa dengan janjinya pada Bi Ela.

Dalam hatinya, Eira terus menyemangati dirinya yang masih harus bekerja keras demi menyelamatkan kakaknya, keluarganya yang tersisa!

***

Eira berdiri di sebuah unit apartemen mewah, dia tatap kembali suasana maskulin yang begitu kentara di ruangan dengan paduan warna gelap yang menjadi dominan.

Ini adalah hari pertamanya bekerja menggantikan Bu Ela. Wanita itu baru saja pergi setelah memberi tahu apa saja tugasnya dan peraturan yang berlaku selama dia bekerja.

Salah satu peraturan yang menggelitik adalah, dirinya harus selalu menyiapkan makan malam dengan menu yang sudah ditentukan oleh pemilik apartemen itu. Dia juga hanya bisa berkomunikasi menggunakan not yang ditempel di depan kulkas. Eira pun harus menyelesaikan tugas dan pergi dari apartemen sebelum jam delapan malam.

“Ayo kerja!” seru Eira penuh semangat, sebelum mengerjakan semua tugasnya.

Tanpa terasa, sudah seminggu Eira bekerja menggantikan Bu Ela. Dia mulai terbiasa dengan kesehariannya walau rasa lelah terkadang menyerang. Menyibukkan diri adalah salah satu jalan jitu agar dirinya tak larut dalam kesedihan dan kesepian setelah kakaknya terbaring di rumah sakit dan tak kunjung sadarkan diri hingga saat ini.

Namun, tampaknya kali ini tubuhnya benar-benar butuh istirahat, hingga ketika dia hendak pergi setelah menyiapkan makan malam, tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Eira menyempatkan diri untuk duduk di sofa sambil memejamkan matanya dan berakhir dengan tertidur pulas dalam keadan duduk menyandar.

Eira baru saja tersadar saat telinganya samar mendengar suara gaduh. Dia mengerjap cepat, berusaha memperjelas penglihatannya yang masih terasa samar, hingga tiba-tiba dia dikejutkan dengan sepasang paruh baya yang sedang duduk di depannya sambil terus berdebat tentang dirinya.

“Maaf, saya ketiduran....” Eira segera beranjak berdiri sedikit membungkuk sambil merapihkan penampilannya.

“Ah, tidak apa-apa. Harusnya kami yang minta maaf karena sudah mengganggu tidur calon mantu. Iya kan, Pah?” jawab wanita paruh baya yang masih tetap cantik. Dia merangkulnya dan mengajaknya kembali duduk di sofa.

“Ca-calon mantu?” Eira melebarkan matanya, terkejut bukan main.

“Emang dasar anak itu ... pantas saja dia selalu menolak kalau mau aku kenalkan gadis padanya. Ternyata dia diam-diam menyembunyikan gadis secantik ini di rumahnya. Awas saja nanti kalau dia sudah datang,” cerocos Maheswari merutuki ulah anak sulungnya yang masih saja menduda walau umurnya sudah sangat matang dan pantas untuk menikah lagi.

“Pah, telepon anak itu sekarang, bilang kalau kita sudah ada di rumahnya,” sambung Maheswari lagi, kini beralih pada sang suami yang duduk di depannya.

Laki-laki yang sudah menginjak umur enam puluh tahun itu pun mengangguk sambil sedikit melirik Eira, lalu mengambil ponsel pintar di saku kemudian berlalu begitu saja menuju ruangan lainnya. Sejak tadi dia tak banyak bicara, tetapi matanya terus memperhatikan wajah Eira.

***

“Calon mantu? Apa maksud Papah? Aku tidak memiliki hubungan dengan siapa pun, kenapa bisa kalian memiliki calon mantu?” Aryan yang sedang dalam perjalanan pulang terkejut bukan main saat mendengar tuduhan tak berdasar dari ayahnya.

“Sudahlah tidak usah berbohong lagi sama kami, jelas-jelas sekarang kamu sudah ketahuan menyembunyikan anak gadis orang di rumah. Cepat pulang dan hadapi ibumu,” jawab Edrik santai.

“Ibu? Apa Ibu juga ada di sana?” Aryan tampak semakin kalut. Semuanya akan bertambah rumit jika sudah berurusan dengan sang ibu. Sementara pikirannya melayang, menebak siapa yang mungkin berada di apartemennya saat ini.

“Iya, dia terlihat sangat bahagia. Jadi, jangan sampai kamu mengecewakannya lagi, atau aku tidak segan mencabutmu dari posisi CEO di perusahaan,” ancam Edrik lalu memutus sambungan teleponnya begitu saja, bahkan sebelum dia mendengar jawaban dari sang anak.

“Tapi, Pah ... Pah, halo!” Aryan menghembuskan napas kasar saat dirinya menyadari jika sambungan telepon sudah terputus.

“Apa mereka bertemu dengan pengganti Mak Ela?” gumam Aryan. Keningnya tampak mengerut dalam lalu mengalihkan pandangannya sekejap demi melihat jam di dashboard mobilnya.

“Apa dia belum pulang? Masalah apa lagi ini!” Aryan meremas kemudi hingga pembuluh darahnya terlihat menonjol, sementara kakinya menginjak pedal gas lebih dalam lagi, kini dia harus segera sampai ke rumah dan melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana.

Beberapa saat kemudian, Aryan sudah sampai di depan pintu unit apartemen miliknya. Dia segera membuka pintu menggunakan pingger print dan masuk dengan langkah lebarnya. Matanya melebar kala melihat wajah gadis yang kini sedang duduk di samping ibunya.

“Kamu?” Aryan menatap tak percaya keberadaan gadis yang dia temui di rumah sakit beberapa waktu lalu.

Pada saat bersamaan Eira pun menoleh menatap kedatangan Aryan. Seketika jantungnya terasa berhenti berdebar saat melihat wajah orang yang selama seminggu ini menjadi majikannya.

“Bapak?” Eira refleks berdiri dengan mata melebar.

“Kenapa kamu malah berdiri di sana, heh? Duduk dan jelaskan semuanya, kenapa kamu menyembunyikan hubungan kalian berdua?” cecar Maheswari sambil menatap tajam sang anak.

Aryan berdehem pelan sambil berjalan menghampiri Eira dan duduk di sampingnya.

“Iya, kami berdua memang memiliki hubungan,” jawab Aryan tiba-tiba.

“Hah?!” Eira menjerit tertahan sambil menoleh menatap wajah Aryan dengan mata melebar. ‘Apa maksudnya? Kenapa dia berbicara seperti itu?’

“Benarkan? Gadis manis ini adalah calon mantu Ibu? Ah, ibu gak percaya kalau kamu pintar dalam memilih calon istri.” Senyum Maheswari merekah, dia peluk Eira dengan penuh kasih sayang dan rasa syukur tak terkira, hembusan napas lega pun terdengar seolah sebuah beban yang begitu berat baru saja terangkat darinya.

Eira memaksakan senyumnya dalam rasa bingung bercampur takut yang kian membesar. Dia tatap wajah datar Aryan dengan sejuta pertanyaan tertahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status