“Anda yakin masih akan melanjutkan rencana Anda, Tuan? Masih ada waktu untuk membatalkannya.”
Pertanyaan itu dilontarkan oleh Bastian kala William baru saja memasuki ruang kerjanya.
“Kamu sudah menanyakan ini berpuluh-puluh kali, Bas. Apa kamu tidak bosan mendapat jawaban yang sama?”
“Saya hanya berusaha meyakinkan, Tuan.”
William tidak menanggapi keberatan pelayan setianya. Dengan cekatan, ia membereskan berkas-berkas yang berserakan di atas meja. Setelah meja kerjanya rapi, lelaki itu berdiri.
“Istirahatlah, Bas.” William menepuk bahu Bastian sambil melewatinya.
Lelaki berusia hampir kepala lima itu melewati kamar yang ditempati Keyna. Perlahan, ia membukanya. Wanita muda itu tertidur pulas tanpa beban.
Sudah tujuh tahun ia menduda. Istrinya meninggal karena penyakit kanker. Satu tahun kemudian, ketiga anaknya yang telah dewasa pun memilih jalan sendiri-sendiri dan berkarir di luar negeri. Akhirnya, ia hidup sendiri ditemani sepi dan sunyi.
Keinginannya hanya satu. Dapat mengumpulkan kembali keluarganya ke mansion ini. Paling tidak, putra-putrinya dapat mengunjungi dirinya secara rutin. Entah beberapa minggu atau satu bulan sekali.
Itu sebabnya ia merancang sebuah rencana gila. Hanya dengan cara itu, putra-putrinya akan datang. Melalui sakitnya, ia berharap, bisa mendapatkan perhatian anak-anaknya lagi.
Keyna menggeliat. William segera mundur perlahan. Sebelum sampai ke pintu dan keluar, lelaki itu mendengar wanita muda itu menggumamkan sebuah nama.
“Cedric.”
William menghentikan langkahnya dan menoleh menatap Keyna. Ia mengerutkan kening tak suka. Apa ia tak salah dengar? Istri pura-puranya menggumamkan nama seorang lelaki?
Di dalam kamarnya, William kembali memikirkan Keyna. Usia wanita itu kira-kira seumuran dengan putra sulungnya. Namun kisah hidupnya tidak senyaman putra-putrinya yang sejak lahir bergelimang harta dan jabatan.
Perhatian Keyna selama satu minggu ini pun cukup membuat William terbuai. Mungkin karena selama menduda, ia tidak pernah lagi mendapatkan kasih sayang seorang wanita. Meskipun perhatian yang ia dapatkan dari istri kontraknya itu hanya sebatas sebuah perjanjian.
“Akh … kenapa aku jadi memikirkan wanita kurus itu?”
William masuk ke dalam kamar pribadinya. Kamar yang dulu ia tempati bersama sang istri. Lelaki itu menuju meja kerja di pojok ruangan. Ia kembali membuka sebuah map yang bertuliskan nama Keyna Calanthe Edison.
Kalimat demi kalimat dibaca William dengan seksama. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah nama. Cedric. Nama yang barusan digumamkan Keyna. Lelaki itu kini tau, istri pura-puranya ternyata telah memiliki seorang kekasih.
Berbagai foto kedekatan Keyna dan Cedric pun terlampir dalam berkas berikutnya. Mereka tampak serasi dan bahagia.
“Kenapa Keyna menerima pekerjaan ini jika ia telah memiliki seorang kekasih? Apa kekasihnya belum tau?”
***
Pagi harinya, setelah menemani William sarapan dan mengecek kesehatan tuannya, Keyna pamit untuk kuliah. Suami pura-puranya itu bahkan menyiapkan seorang supir dan pengawal yang akan mengantar Keyna.
“Selesai kuliah, kamu harus langsung kembali ke mansion,” titah William.
“Iya, Tuan,” jawab Keyna singkat.
“Salah satu alasanku membayari sekolahmu adalah agar kamu dapat belajar dengan cepat untuk melaksanakan keinginanku. Jadi, jangan buang-buang waktu di kampus.”
Keyna mengangguk sekali lagi. Akhirnya, wanita itu mengembuskan napas lega setelah berada di dalam mobil. Paling tidak, saat ini, ia telah berada di luar mansion. Tempat mewah di mana ia merasa terpenjara walau segala kebutuhannya terpenuhi.
Dengan rasa penasaran, Keyna merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Wanita itu mengetikkan nama William di internet. Ia ingin mencari tau tentang identitas tuannya.
Tak lama kemudian, foto William bermunculan. Berita-berita mulai dari prestasi, kekayaan hingga keluarganya terpampang di layar ponsel. Keyna membaca satu buah berita bisnis yang terpercaya.
William Summer Dalton, empat puluh delapan tahun adalah seorang duda dengan tiga orang anak. Istri William telah meninggal tujuh tahun yang lalu, dan hingga kini lelaki itu masih sendiri. Putra sulung dan putri kedua, telah diserahi perusahaan di luar negeri. Sementara putra bungsu yang merupakan pebalap mobil professional juga sering bepergian untuk berlomba di berbagai negara.
Keyna membulatkan mata saat membaca aset-aset yang dimiliki tuannya. Walaupun ia telah menduga, lelaki itu kaya raya, tetap saja ia terkejut dengan perkiraan jumlah kekayaan William. Ternyata, suami pura-puranya adalah seorang billionair.
Di kampus, Keyna mendapat pelayanan istimewa. Ia ditempatkan bersama anak-anak pejabat atau orang terkenal lainnya. Namun begitu, sesuai perjanjian, wanita itu dilarang berinteraksi dengan siapa pun di institusi pendidikan tersebut.
Otomatis, Keyna hanya benar-benar belajar. Saat jam kuliah selesai dan ada waktu rehat, ia masuk ke ruang salah satu dosen. Dengan menunjukkan kartu pemberian William, wanita itu belajar dan mencari banyak informasi tentang susunan syaraf manusia.
Selesai kuliah, seorang lelaki bertubuh tegap sudah berdiri di depan kelasnya. Lelaki yang ia kenali sebagai salah satu pengawal William itu lalu langsung mengarahkan Keyna menuju mobil di parkiran. Mobil itu langsung mengarah kembali ke mansion.
“Bagaimana kuliahmu?” tanya William saat Keyna telah kembali ke mansion.
“Belum ada kendala, Tuan.”
“Siapa dosen yang kamu temui hari ini?”
“Prof. Jaslan, Tuan. Beliau titip salam untuk Tuan.”
“Aku akan meneleponnya.”
Keyna mengangguk lalu merogoh tasnya dan memberikan sebuah amplop. “Prof. Jaslan memberikan ini untuk Tuan.”
“Bagus. Oh ya, kamu bisa belajar atau membaca buku di perpustakaan di lantai dua. Aku memiliki beberapa buku referensi kedokteran dan kesehatan di sana.”
“Baik, Tuan. Terima kasih.”
Hari-hari berikutnya, kegiatan Keyna berulang hampir sama. Di mansion ia mengurus William. Di kampus, ia belajar lalu mencari banyak informasi melalui dokter-dokter handal. Hingga tak terasa telah dua minggu Keyna berkuliah.
“Kamu sudah memutuskan, kelumpuhan seperti apa yang akan terjadi pada diriku?” tanya William di suatu pagi saat mereka sedang sarapan.
"Anda akan didiagnosis paraplegia. Kelumpuhan sementara karena cidera saat kecelakaan. Kelumpuhan ini menyebabkan anggota tubuh bagian bawah terutama kaki tidak dapat digerakkan," jelas Keyna."Bagus. Aku suka sandiwara itu. Intinya, aku ingin putra-putriku melihat aku lumpuh. Aku ingin tau reaksi mereka," balas William.“Mereka pasti akan shock, Tuan.”
“Artinya mereka masih memiliki hati nurani. Bayangkan, lima tahun mereka tidak pernah pulang. Ada saja alasan mereka untuk tidak datang,” keluh William.
“Pasti mereka memiliki alasan kuat.”
William mendengus kasar. “Apapun alasan mereka, aku tidak perduli. Yang jelas mereka telah mengabaikan ayah sendiri.”
“Kenapa tidak Tuan saja sih yang mengunjungi mereka?”
Lelaki kaya raya itu terdiam. Ia terkenal sebagai sosok terhormat dan keras kepala. Gengsinya terlalu tinggi untuk datang menemui ketiga anak-anaknya dengan dalih rindu.
Semua surat kesehatan rekayasa disiapkan. Bahkan satu buah mobil mewah William sengaja dibuat ringsek sebagai alat bukti kecelakaan. Sandiwara telah siap dimainkan.
Pagi itu, Bastian mengabarkan putra-putri William sedang dalam perjalanan menuju mansion. Lelaki itu segera naik ke ranjang hidrolik. Keyna menyiapkan sebuah suntikan untuk bosnya."Suntikan ini seperti anestesi, Tuan. Saya suntikkan dibeberapa bagian sehingga Tuan akan merasa mati rasa pada bagian bawah tubuh Anda.""Oke. Aku siap."Sambil menunggu reaksi suntikan itu bekerja, William kembali mengingatkan tentang sandiwara mereka. Identitas Keyna dirahasiakan. Wanita itu hanya akan dikenal sebagai perawat William. Lalu, setelah ia lumpuh, tidak ada yang boleh menyentuhnya selain Keyna sendiri.Keyna memeriksa organ-organ vital bosnya yang telah memejamkan mata. Tubuh kekar William yang semula terlihat kokoh, kini terbujur lemah. Jantung Keyna berdebar tak beraturan. Ketakutan mulai menjalar di kepala.‘Apakah ini akan berhasil? Atau aku justru membuatnya celaka?’
"Bastian! Ceritakan, kenapa Daddy bisa sampai seperti ini!'Tak lama setelah William berhasil dibuat lumpuh, kamar yang disulap menjadi ruang perawatan itu tiba-tiba penuh. Ketiga putra dan putri William kini menatap sosok di hadapan mereka yang terbaring di ranjang. Dua orang lelaki yang sangat tampan dan wanita muda yang cantik mempesona.“Seperti yang pernah saya ceritakan di telepon, Tuan Fred. Tuan besar mengalami kelumpuhan satu minggu setelah kecelakaan. Jadi, keadaannya memang seperti ini."Pelayan setia itu bersandiwara. Ia memasang wajah menyedihkan dan prihatin pada keadaan tuannya. Dengan lancar, Bastian menceritakan skenario kebohongan yang telah mereka susun bersama.Frederix, putra sulung William berdecak pelan usai mendengar penjelasan Bastian. Orang kepercayaan William itu pun kembali melanjutkan sandiwaranya. "Tuan Muda sudah tau sejak sebulan yang lalu, mengapa baru sekarang menjenguk?""Kami sibuk!" balas Fred kesal karena seorang pelayan berani menegurnya."Kamu p
“Hh-hah! H-hah!”Wanita itu berlari cepat kembali ke dalam ruang perawatan. Alat monitor jantung berbunyi tidak normal. Napas William tersengal-sengal. Matanya bahkan terbelalak lebar dan sudutnya mengeluarkan air mata. Tak lama kemudian, bunyi nyaring terdengar dari monitor tersebut. Jantung William berhenti berdetak.“Cepat panggil ambulance!” titah Frederix pada Bastian yang hanya terpaku di tempat.“Tunggu! Aku bisa mengatasinya,” ucap Keyna seraya memakaikan selang oksigen ke hidung William.“Tidak! Kamu bukan dokter! Jangan main-main dengan Daddy kami!”Keyna mengabaikan Frederix. Ia menyuntikkan serum penetralisir. Setelah itu ia mencoba melakukan resusitasi jantung paru. Kedua tangannya ditekan dalam-dalam dengan gerakan naik turun ke dada William. Lalu, wanita itu memberikan napas buatan.Tak lama kemudian, alat rekam jantung berbunyi normal kembali. Keyna memakaikan alat saturasi pada jari telunjuk dan mengecek kadar oksigen dalam tubuh William. Semua kembali normal. Wanita
Ruangan menjadi sangat hening. Keyna membelalakkan mata dengan menutup mulutnya yang terbuka dengan satu tangan. Sementara, William mengerutkan kening sambil menatap kedua kakinya.“Kenapa kaget? Itu ‘kan yang kamu inginkan?” desis Jaslan. “Sekarang semua menjadi kenyataan!”William menggeleng keras. “Jangan bercanda, Jaslan!”“Aku tidak sedang bercanda. Aku sudah mengatakan hal seperti ini mungkin saja akan terjadi. Kamu saja yang keras kepala untuk tetap meneruskan rencana gilamu,” balas Jaslan.“Prof, tolong. Diagnosa anda masih membutuhkan banyak tes lagi, bukan?” Keyna kini ikut berkomentar.Jaslan, menoleh menatap Keyna. Wanita muda itu tampak ketakutan. Tubuh kurusnya terlihat bergetar.“Diagnosa awal memang terjadi kelumpuhan pada kedua kaki. Semoga saja dengan obat-obatan dan fisioterapi, lama-kelamaan efek suntikan lumpuh itu berkurang dalam sistem syarafnya, “ jelas Jaslan.“Jadi, maksudmu ini hanya sementara, bukan?”“Saat ini tidak. Kamu lumpuh betulan. Entah sampai kapan
Dengan cepat, Louis menoleh ke samping. Ia meletakkan telunjuknya di bibir untuk memberi kode pada kakaknya agar diam. Setelah itu pemuda itu menarik lengan kakak sulungnya menjauhi kamar perawatan.Mereka kini berada di ruang kerja William. Louis langsung mengunci ruangan tersebut begitu mereka telah berada di dalam.“Apa kamu juga mencurigai wanita itu?” tanya Frederix.“Curiga? Pada Keyna?” Louis menjawab.“Ck, kebiasaan. Selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan juga,” keluh Frederix.Tangan Louis menyugar rambutnya yang agak memanjang di bagian depan. Bukannya menjawab pertanyaan sang kakak yang penasaran, ia beranjak ke lemari pendingin di pojok ruangan. Di sana, ia mengambil dua kaleng soda dan memberi salah satunya pada Frederix.“Kamu belum menjawab pertanyaanku, Lou.” Frederix menerima kaleng tersebut dan langsung membuka penutupnya.“Tidak. Aku tidak mencurigai Keyna,
Frederix mondar-mandir di dalam kamar Louis. Sementara, adik bungsunya tersebut telah minum obat dan berganti pakaian. Pemuda itu duduk di sisi ranjang sambil memperhatikan kakaknya.“Apa kakak mau tidur di sini saja? Aku sudah mengantuk.”“Tidurlah. Sebentar lagi, aku keluar.”Louis mengangguk. Lelaki muda itu naik ke ranjang lalu menutup matanya. Ia membiarkan sang kakak dengan rasa curiganya yang besar sendirian.Satu jam sudah, Frederix menunggu di kamar adiknya. Louis sudah dipastikan telah berada di alam mimpi. Akhirnya, putra pertama William itu memutuskan untuk keluar dan pergi ke kamarnya.Ruang perpustakaan itu kini telah tertutup. Frederix masuk ke dalam. Gelap. Lelaki itu mengusap sensor lampu membuat ruangan itu menjadi terang benderang.Meja di mana tadi Keyna meletakkan buku-buku yang dibacanya kini telah rapi. Tidak ada tanda-tanda seseorang menggunakan ruangan ini barusan. Frederix sungguh penasaran b
Frederix masuk dan memandang William serta Keyna bergantian. Saking seriusnya berbincang tadi, baik William maupun Keyna sampai tidak menyadari bahwa ada yang membuka pintu dan masuk ke dalam kamar perawatan.“Perjanjian kerja Keyna,” William menjawab.“Boleh aku lihat perjanjian itu?”“Untuk apa?”“Hanya agar aku pun bisa mengingatkan Keyna pada tugasnya, Dad. Apalagi, Daddy sedang sakit.” Frederix memberikan alasan diplomatis.Keyna menahan napas mendengar permintaan Frederix. Tidak mungkin ‘kan, William memberikan berkas perjanjian pernikahan kontrak mereka? Matanya menatap tuannya dengan pandangan cemas.“Boleh saja. Kamu bisa minta Bastian memberikannya.” Dengan santai William mengizinkan putranya melihat surat perjanjian itu.Mata Keyna melebar mendengar pernyataan William. Namun, lelaki yang terbaring di ranjang itu memberikan kode untuk tidak protes sehingga ia menutup mulutnya yang akan berbicara.“Sa-saya permisi untuk mengambil sarapan Tuan William.” Keyna menundukkan kepal
“Hai.”Keyna yang sedang duduk di pinggir kolam renang dan termenung menatap air kolam sedikit berjengit kaget. Ia menoleh dan melihat Louis berdiri dengan senyum manisnya. Wanita itu balas tersenyum.“Oh, hallo, Tuan Muda Louis.”"Maaf, mengagetkanmu.""Tidak apa-apa, Tuan Muda."“Boleh aku bergabung?”Keyna menjawab dengan anggukan kepala. Louis lalu duduk berjarak di samping perawat Daddynya. Kaki mereka mengayun pelan memainkan air kolam.“Daddy sama siapa?” tanya Louis.“Dokter Jaslan.”“Biasanya jika Uncle Jaslan memeriksa Daddy, kamu selalu membantunya.”“Pemeriksaan sudah selesai. Mereka hanya sedang berbincang masalah … entah aku kurang paham obrolan keduanya,” kilah Keyna. Saat itu, Keyna kembali mengingat ucapan William yang membuatnya sedih.“Oh. Mereka bersahabat. Daddy sangat mempercayai Uncle Jasl
“Ma-maksud Tuan?” Keyna mengerutkan kening dalam-dalam mendengar permintaan William.“Tidur di sini,” ulang William sambil menepuk sisi ranjangnya.Keyna menggeleng. Ia malah mundur tiga langkah. Dadanya berdegup kencang sekali.“Kamu di sini untuk menjalankan perintahku, Key! Lagipula kita adalah sepasang suami-istri,” ucap William dengan tegas.Akhirnya, Keyna mengangguk. Ia naik ke ranjang hidrolik dan membaringkan tubuhnya di sisi William. Awalnya ia bimbang, bagaimana posisi yang baik. Dengan kikuk, wanita itu meringkuk di dekat dada suami pura-puranya. Menurutnya, akan tidak sopan jika ia memunggungi William.“Tidurlah, Key.”Keyna menatap wajah William yang kini sangat dekat. Harum cologne yang digunakan setelah Tuannya setelah mandi menguar penciumannya. Ternyata, berbaring di samping William membuatnya nyaman. Wanita itu memejamkan mata dan tak lama kemudian tertidur.Jika Keyna bisa tertidur, tidak dengan William. Lelaki yang tidak muda lagi itu memperhatikan wanita di sampi