Share

5. Lumpuh Betulan

“Hh-hah! H-hah!”

Wanita itu berlari cepat kembali ke dalam ruang perawatan. Alat monitor jantung berbunyi tidak normal. Napas William tersengal-sengal. Matanya bahkan terbelalak lebar dan sudutnya mengeluarkan air mata. Tak lama kemudian, bunyi nyaring terdengar dari monitor tersebut. Jantung William berhenti berdetak.

“Cepat panggil ambulance!” titah Frederix pada Bastian yang hanya terpaku di tempat.

“Tunggu! Aku bisa mengatasinya,” ucap Keyna seraya memakaikan selang oksigen ke hidung William.

“Tidak! Kamu bukan dokter! Jangan main-main dengan Daddy kami!”

Keyna mengabaikan Frederix. Ia menyuntikkan serum penetralisir. Setelah itu ia mencoba melakukan resusitasi jantung paru. Kedua tangannya ditekan dalam-dalam dengan gerakan naik turun ke dada William. Lalu, wanita itu memberikan napas buatan.

Tak lama kemudian, alat rekam jantung berbunyi normal kembali. Keyna memakaikan alat saturasi pada jari telunjuk dan mengecek kadar oksigen dalam tubuh William. Semua kembali normal. Wanita itu kini berusaha mengatur napasnya yang sejak tadi memburu cepat. 

Frederix menarik Keyna ke belakang. Kini, Ia, Sacha dan Louis berdiri di samping ranjang. Mereka memperhatikan ayah mereka yang kerja jantungnya sempat terhenti beberapa detik. William tampak lebih tenang sekarang.

“Kamu!” desis Sacha murka pada Keyna. “Katakan apa yang terjadi barusan!”

Sambil tetap mengatur napasnya, Keyna menatap Louis. “Tanyakan pada adik kalian. Karena yang berada di ruang ini tadi hanyalah Tuan Muda Louis.”

Louis menggeleng lemah. “Aku tidak melakukan apapun. Aku hanya berkeluh kesah pada Daddy.”

Semuanya menoleh pada Louis. “Lalu? Berkeluh kesah seperti apa, Lou?” tanya Frederix.

“Aku hanya berkata bahwa aku ingin memiliki Daddy yang mendukung hobiku, tiba-tiba Daddy seperti kesulitan napas.”

“Kalau begitu, pasti ia mendengar perkataanmu dan ingin marah karena keinginanmu yang tidak sesuai dengan harapannya,” sesal Frederix.

“Kenapa kamu mengatakan itu, Lou? Kamu tau Daddy tidak akan pernah mendukungmu!” hardik Sacha.

Ketiga putra-putri Keluarga Dalton kembali menatap ayah mereka. Keyna memijat kening dengan satu tangan. Jantungnya masih berdetak lebih cepat dari biasanya.

Tak terasa, air mata mengalir di pipi Keyna. Ia sangat takut. Hampir saja, nyawa William melayang. Semuanya persis seperti yang Prof. Jaslan perkirakan. Untung saja, dokter syaraf sekaligus dosen senior kedokteran itu sudah memberikan prosedur yang harus dilakukan saat kondisi tuannya memburuk.

“Sebaiknya kita panggil dokter ahli sekarang.” Frederix menatap Bastian dan memberikan kode untuk segera menjalankan perintahnya.

Bastian dan Keyna saling melirik. Pelayan setia itu mengangguk singkat lalu keluar dari kamar. Strategi ini juga sudah mereka rancang, jika terjadi sesuatu yang membahayakan, mereka hanya akan memanggil Dokter Jaslan.

Satu jam kemudian, Bastian datang kembali bersama Dokter Jaslan. Lelaki yang setengah rambutnya telah beruban itu langsung menderap langkah mendekati ranjang Wiliam. Tanpa banyak bertanya, dokter itu langsung memeriksa keadaan pasien.

Jaslan mengembuskan napas panjang. Setelah memeriksa William, tatapannya tertuju tajam pada Keyna. Wanita itu langsung tertunduk takut.

“Bagaimana, Dokter?” tanya Sacha.

“Syukurlah, semua sudah aman. Yang dilakukan Nona Keyna sudah tepat dan cepat. Terlambat beberapa detik saja, akibatnya bisa menyebabkan kelumpuhan permanen pada beberapa organ,” jawab Dokter Jaslan.

Kepala Keyna kembali menggeleng samar. Rasa takutnya belum hilang. Tubuhnya pun terasa masih gemetar. Wanita itu memeluk dirinya sendiri sambil menatap William.

“Tolong kalian keluar dulu, saya akan memeriksa William lebih detail lagi,” Dokter Jaslan berkata pada Frederix, Sacha dan Louis.

Putra-putri Keluarga Dalton segera meninggalkan ruang tersebut. Kini, tinggal Dokter Jaslan dan Keyna yang berdiri di samping ranjang William. Ketika ruangan telah sepi, Keyna segera mencurahkan tangisnya yang sejak tadi tertahan.

“Hiks, hiks, hiks, Ya Tuhan, Prof. Saya takut sekali.” Keyna terisak dan buru-buru menghapus air matanya.

“William memang sudah gila. Aku pun sudah memperingatkannya melalui surat yang kukirim kepadamu. Surat itu berisi hasil rekam jantungnya yang tidak akan bertahan dengan suntik lumpuh. Tetapi, ia tetap melanjutkan rencananya ini,” ungkap Jaslan.

“Sekarang bagaimana, Prof?”

“Kita coba bangunkan William lebih dulu. Setelah itu kita periksa kembali organ-organ vitalnya.”

Keyna mengangguk setuju. Atas arahan dan bimbingan Dokter Jaslan, wanita itu segera menyiapkan suntikan dan infus. Jarum suntik kembali menembus pembuluh vena William.

Beberapa menit kemudian, mata William membuka. Sosok yang pertama dilihat lelaki yang terbaring itu adalah sosok Keyna yang memandangnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. Hati bilioner itu mendesir mendapat perhatian besar dari istri pura-puranya.

“William? Kamu bisa dengar aku?” tanya Jaslan seraya mendekatkan wajahnya pada wajah William.

William mengangguk lemah.

“Apa yang kamu rasakan sekarang?”

“Dadaku sakit,” keluh William.

Jaslan segera membuka kimono yang digunakan William. Terdapat sedikit lebam di dada akibat hentakan kuat tangan Keyna saat berusaha memompa jantung lelaki itu. Dengan sigap, Keyna segera memberikan gel pereda lebam.

“Apa ada keluhan lain?” tanya Jaslan lagi.

Kini, William menggeleng.

“Kamu tau apa yang baru saja terjadi?”

William kembali menggeleng.

Keyna segera menyerahkan tablet berisi rekaman CCTV kejadian barusan. William menatap serius layar datar itu. Lelaki itu tersentak pelan saat melihat istri pura-puranya berusaha membuat jantungnya berdetak kembali.

“Terima kasih,” ucap William pada Keyna saat ia telah selesai menonton tayangan CCTV.

Keyna tidak membalas. Ia memberikan tatapan sendu pada lelaki di sampingnya. Kepalanya kini menggeleng-geleng.

“Saya tidak mau melakukan ini lagi, Tuan William. Saya tidak perduli jika Anda memecat saya,” cetus Keyna pelan namun tegas.

“Memang sudah tidak bisa!” ucap Jaslan tegas. “Kejadian barusan sudah mengindikasikan bahwa jantungmu tidak kuat, Will.”

Lelaki di ranjang itu akhirnya mengangguk. “Oke. Kita hentikan sandiwara ini.”

Jaslan dan Keyna bernapas lega mendengar pernyataan William.

“Di mana anak-anakku sekarang?”

“Aku suruh mereka keluar agar kami bisa bicara denganmu,” ungkap Jaslan.

“Oh ya. Terima kasih juga untukmu, Jaslan.” William lalu menatap Keyna. “Jaslan dan aku bersahabat baik. Dia juga merupakan saksi pernikahan kita.”

Keyna mengerutkan keningnya. Dokter Jaslan ada di sana saat itu? Wanita itu sama sekali tidak menyadarinya. Mungkin karena ia sangat tegang saat pernikahan kontraknya berlangsung hingga tidak memperhatikan wajah-wajah para saksi.

“Kalau begitu, kenapa tidak Dokter Jaslan saja yang berperan dalam sandiwara ini?” tanya Keyna.

“Karena dia tidak mau.”

“Tentu saja aku akan menolaknya. Izin praktekku bisa dicabut. Aku tidak mau membahayakan karirku,” cetus Jaslan.

“Lalu, kalian malah menjerumuskanku dan jika ada apa-apa, pasti aku yang akan disalahkan, bukan?” tuduh Keyna dengan mata merah menahan tangis.

William dan Jaslan kini saling menatap. Mereka tak mengira, keyna menjadi sangat emosional.

“Kalau terjadi apa-apa, kamu akan menjadi salah satu pewarisku. Seperti tercantum dalam surat kontrak, aku juga tidak akan menuntutmu.”

Keyna menggeleng keras. “Tetap saja, aku seperti pembunuh bayangan. Seumur hidup aku akan terus dihantui bagaimana aku menjadi bagian dari kematian seseorang yang disengaja.”

“Sssttt,” gertak William. “Jaga mulutmu, Keyna! Jangan sampai hal ini terdengar oleh anak-anakku.”

Spontan, Keyna menatap pintu kamar. Ia bernapas lega saat melihat pintu itu masih tertutup rapat. Namun begitu, perasaannya masih campur aduk tak menentu.

“Aku sudah mengatakan pada William, bahwa kamu adalah mahasiswi yang cerdas. Kamu akan bisa melakukan tugas ini dengan baik,” Jaslan berkata pada Keyna, lalu menatap sahabatnya. “Kamu beruntung menemukan perawat sebaik dia.”

Kepala William mengangguk. Sejak membaca profile Keyna, ia memang sudah menduga potensi besar yang dimiliki wanita tersebut. Cerdas dan memiliki kepribadian kuat.

“Sekarang, tolong bangunkan aku. Kenapa kakiku rasanya sulit sekali bergerak?” ujar William.

Dengan sigap, Keyna menaikkan ranjang hidrolik. Wanita itu menyusun bantal di kepala suami pura-puranya agar dia merasa nyaman. Sementara itu, Jaslan memeriksa syaraf dan otot kaki William.

“Apa kamu bisa merasakan?” tanya Jaslan yang sedang memijat-mijat jari-jari kaki William.

“Sedikit.”

Jaslan kemudian menekuk kaki William dan meluruskannya lagi. “Bisa kamu gerakkan kakimu?”

William berusaha. Namun, hanya telapaknya saja yang bergerak-gerak. Lelaki itu menggeleng lemah.

“Kakiku terasa berat sekali.”

Lampu inframerah segera dipasang. Keyna juga mengompres kaki William dengan air hangat. Wanita itu juga memijat jari-jari kaki suami pura-puranya.

Tak lama kemudian, Jaslan kembali melakukan tes pada kaki-kaki William. Namun, hasilnya tidak berubah significant. Lelaki yang terbaring itu masih belum dapat menggerakkan kakinya.

“Kabar buruk, Will.”

“Kabar buruk apa?”

“Sepertinya, kamu benar-benar lumpuh sekarang.”

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Nalni Lini
keren, aku suka
goodnovel comment avatar
hasnawati amma
sgt menarik, penasaran dgn kelsnjutannya
goodnovel comment avatar
Kidemang Kluyuran
cerita baru ni belum pernah baca yg model begini keren.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status