“Hh-hah! H-hah!”
Wanita itu berlari cepat kembali ke dalam ruang perawatan. Alat monitor jantung berbunyi tidak normal. Napas William tersengal-sengal. Matanya bahkan terbelalak lebar dan sudutnya mengeluarkan air mata. Tak lama kemudian, bunyi nyaring terdengar dari monitor tersebut. Jantung William berhenti berdetak.
“Cepat panggil ambulance!” titah Frederix pada Bastian yang hanya terpaku di tempat.
“Tunggu! Aku bisa mengatasinya,” ucap Keyna seraya memakaikan selang oksigen ke hidung William.
“Tidak! Kamu bukan dokter! Jangan main-main dengan Daddy kami!”
Keyna mengabaikan Frederix. Ia menyuntikkan serum penetralisir. Setelah itu ia mencoba melakukan resusitasi jantung paru. Kedua tangannya ditekan dalam-dalam dengan gerakan naik turun ke dada William. Lalu, wanita itu memberikan napas buatan.
Tak lama kemudian, alat rekam jantung berbunyi normal kembali. Keyna memakaikan alat saturasi pada jari telunjuk dan mengecek kadar oksigen dalam tubuh William. Semua kembali normal. Wanita itu kini berusaha mengatur napasnya yang sejak tadi memburu cepat.
Frederix menarik Keyna ke belakang. Kini, Ia, Sacha dan Louis berdiri di samping ranjang. Mereka memperhatikan ayah mereka yang kerja jantungnya sempat terhenti beberapa detik. William tampak lebih tenang sekarang.
“Kamu!” desis Sacha murka pada Keyna. “Katakan apa yang terjadi barusan!”
Sambil tetap mengatur napasnya, Keyna menatap Louis. “Tanyakan pada adik kalian. Karena yang berada di ruang ini tadi hanyalah Tuan Muda Louis.”
Louis menggeleng lemah. “Aku tidak melakukan apapun. Aku hanya berkeluh kesah pada Daddy.”
Semuanya menoleh pada Louis. “Lalu? Berkeluh kesah seperti apa, Lou?” tanya Frederix.
“Aku hanya berkata bahwa aku ingin memiliki Daddy yang mendukung hobiku, tiba-tiba Daddy seperti kesulitan napas.”
“Kalau begitu, pasti ia mendengar perkataanmu dan ingin marah karena keinginanmu yang tidak sesuai dengan harapannya,” sesal Frederix.
“Kenapa kamu mengatakan itu, Lou? Kamu tau Daddy tidak akan pernah mendukungmu!” hardik Sacha.
Ketiga putra-putri Keluarga Dalton kembali menatap ayah mereka. Keyna memijat kening dengan satu tangan. Jantungnya masih berdetak lebih cepat dari biasanya.
Tak terasa, air mata mengalir di pipi Keyna. Ia sangat takut. Hampir saja, nyawa William melayang. Semuanya persis seperti yang Prof. Jaslan perkirakan. Untung saja, dokter syaraf sekaligus dosen senior kedokteran itu sudah memberikan prosedur yang harus dilakukan saat kondisi tuannya memburuk.
“Sebaiknya kita panggil dokter ahli sekarang.” Frederix menatap Bastian dan memberikan kode untuk segera menjalankan perintahnya.
Bastian dan Keyna saling melirik. Pelayan setia itu mengangguk singkat lalu keluar dari kamar. Strategi ini juga sudah mereka rancang, jika terjadi sesuatu yang membahayakan, mereka hanya akan memanggil Dokter Jaslan.
Satu jam kemudian, Bastian datang kembali bersama Dokter Jaslan. Lelaki yang setengah rambutnya telah beruban itu langsung menderap langkah mendekati ranjang Wiliam. Tanpa banyak bertanya, dokter itu langsung memeriksa keadaan pasien.
Jaslan mengembuskan napas panjang. Setelah memeriksa William, tatapannya tertuju tajam pada Keyna. Wanita itu langsung tertunduk takut.
“Bagaimana, Dokter?” tanya Sacha.
“Syukurlah, semua sudah aman. Yang dilakukan Nona Keyna sudah tepat dan cepat. Terlambat beberapa detik saja, akibatnya bisa menyebabkan kelumpuhan permanen pada beberapa organ,” jawab Dokter Jaslan.
Kepala Keyna kembali menggeleng samar. Rasa takutnya belum hilang. Tubuhnya pun terasa masih gemetar. Wanita itu memeluk dirinya sendiri sambil menatap William.
“Tolong kalian keluar dulu, saya akan memeriksa William lebih detail lagi,” Dokter Jaslan berkata pada Frederix, Sacha dan Louis.
Putra-putri Keluarga Dalton segera meninggalkan ruang tersebut. Kini, tinggal Dokter Jaslan dan Keyna yang berdiri di samping ranjang William. Ketika ruangan telah sepi, Keyna segera mencurahkan tangisnya yang sejak tadi tertahan.
“Hiks, hiks, hiks, Ya Tuhan, Prof. Saya takut sekali.” Keyna terisak dan buru-buru menghapus air matanya.
“William memang sudah gila. Aku pun sudah memperingatkannya melalui surat yang kukirim kepadamu. Surat itu berisi hasil rekam jantungnya yang tidak akan bertahan dengan suntik lumpuh. Tetapi, ia tetap melanjutkan rencananya ini,” ungkap Jaslan.
“Sekarang bagaimana, Prof?”
“Kita coba bangunkan William lebih dulu. Setelah itu kita periksa kembali organ-organ vitalnya.”
Keyna mengangguk setuju. Atas arahan dan bimbingan Dokter Jaslan, wanita itu segera menyiapkan suntikan dan infus. Jarum suntik kembali menembus pembuluh vena William.
Beberapa menit kemudian, mata William membuka. Sosok yang pertama dilihat lelaki yang terbaring itu adalah sosok Keyna yang memandangnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. Hati bilioner itu mendesir mendapat perhatian besar dari istri pura-puranya.
“William? Kamu bisa dengar aku?” tanya Jaslan seraya mendekatkan wajahnya pada wajah William.
William mengangguk lemah.
“Apa yang kamu rasakan sekarang?”
“Dadaku sakit,” keluh William.
Jaslan segera membuka kimono yang digunakan William. Terdapat sedikit lebam di dada akibat hentakan kuat tangan Keyna saat berusaha memompa jantung lelaki itu. Dengan sigap, Keyna segera memberikan gel pereda lebam.
“Apa ada keluhan lain?” tanya Jaslan lagi.
Kini, William menggeleng.
“Kamu tau apa yang baru saja terjadi?”
William kembali menggeleng.
Keyna segera menyerahkan tablet berisi rekaman CCTV kejadian barusan. William menatap serius layar datar itu. Lelaki itu tersentak pelan saat melihat istri pura-puranya berusaha membuat jantungnya berdetak kembali.
“Terima kasih,” ucap William pada Keyna saat ia telah selesai menonton tayangan CCTV.
Keyna tidak membalas. Ia memberikan tatapan sendu pada lelaki di sampingnya. Kepalanya kini menggeleng-geleng.
“Saya tidak mau melakukan ini lagi, Tuan William. Saya tidak perduli jika Anda memecat saya,” cetus Keyna pelan namun tegas.
“Memang sudah tidak bisa!” ucap Jaslan tegas. “Kejadian barusan sudah mengindikasikan bahwa jantungmu tidak kuat, Will.”
Lelaki di ranjang itu akhirnya mengangguk. “Oke. Kita hentikan sandiwara ini.”
Jaslan dan Keyna bernapas lega mendengar pernyataan William.
“Di mana anak-anakku sekarang?”
“Aku suruh mereka keluar agar kami bisa bicara denganmu,” ungkap Jaslan.
“Oh ya. Terima kasih juga untukmu, Jaslan.” William lalu menatap Keyna. “Jaslan dan aku bersahabat baik. Dia juga merupakan saksi pernikahan kita.”
Keyna mengerutkan keningnya. Dokter Jaslan ada di sana saat itu? Wanita itu sama sekali tidak menyadarinya. Mungkin karena ia sangat tegang saat pernikahan kontraknya berlangsung hingga tidak memperhatikan wajah-wajah para saksi.
“Kalau begitu, kenapa tidak Dokter Jaslan saja yang berperan dalam sandiwara ini?” tanya Keyna.
“Karena dia tidak mau.”
“Tentu saja aku akan menolaknya. Izin praktekku bisa dicabut. Aku tidak mau membahayakan karirku,” cetus Jaslan.
“Lalu, kalian malah menjerumuskanku dan jika ada apa-apa, pasti aku yang akan disalahkan, bukan?” tuduh Keyna dengan mata merah menahan tangis.
William dan Jaslan kini saling menatap. Mereka tak mengira, keyna menjadi sangat emosional.
“Kalau terjadi apa-apa, kamu akan menjadi salah satu pewarisku. Seperti tercantum dalam surat kontrak, aku juga tidak akan menuntutmu.”
Keyna menggeleng keras. “Tetap saja, aku seperti pembunuh bayangan. Seumur hidup aku akan terus dihantui bagaimana aku menjadi bagian dari kematian seseorang yang disengaja.”
“Sssttt,” gertak William. “Jaga mulutmu, Keyna! Jangan sampai hal ini terdengar oleh anak-anakku.”
Spontan, Keyna menatap pintu kamar. Ia bernapas lega saat melihat pintu itu masih tertutup rapat. Namun begitu, perasaannya masih campur aduk tak menentu.
“Aku sudah mengatakan pada William, bahwa kamu adalah mahasiswi yang cerdas. Kamu akan bisa melakukan tugas ini dengan baik,” Jaslan berkata pada Keyna, lalu menatap sahabatnya. “Kamu beruntung menemukan perawat sebaik dia.”
Kepala William mengangguk. Sejak membaca profile Keyna, ia memang sudah menduga potensi besar yang dimiliki wanita tersebut. Cerdas dan memiliki kepribadian kuat.
“Sekarang, tolong bangunkan aku. Kenapa kakiku rasanya sulit sekali bergerak?” ujar William.
Dengan sigap, Keyna menaikkan ranjang hidrolik. Wanita itu menyusun bantal di kepala suami pura-puranya agar dia merasa nyaman. Sementara itu, Jaslan memeriksa syaraf dan otot kaki William.
“Apa kamu bisa merasakan?” tanya Jaslan yang sedang memijat-mijat jari-jari kaki William.
“Sedikit.”
Jaslan kemudian menekuk kaki William dan meluruskannya lagi. “Bisa kamu gerakkan kakimu?”
William berusaha. Namun, hanya telapaknya saja yang bergerak-gerak. Lelaki itu menggeleng lemah.
“Kakiku terasa berat sekali.”
Lampu inframerah segera dipasang. Keyna juga mengompres kaki William dengan air hangat. Wanita itu juga memijat jari-jari kaki suami pura-puranya.
Tak lama kemudian, Jaslan kembali melakukan tes pada kaki-kaki William. Namun, hasilnya tidak berubah significant. Lelaki yang terbaring itu masih belum dapat menggerakkan kakinya.
“Kabar buruk, Will.”
“Kabar buruk apa?”
“Sepertinya, kamu benar-benar lumpuh sekarang.”
Malam harinya, tanpa membuang waktu, William dan keluarganya bertolak ke bandara untuk pulang. Tidak ada alasan lagi bagi William untuk menetap di Pulau Chantal setelah mengetahui sang putra baik-baik saja. Mereka pun pergi tanpa berpamitan pada sang pemilik pulau. William sudah bertekad menutup semua akses komunikasi dengan Chantal maupun semua wanita. Mengingat pernyataan keras Keyna, William merinding. Sejak itu, matanya tak pernah lepas dari sang istri. Hatinya sangat tidak tenang jika mereka berjauhan. "Cha, Keyna kenapa akhir-akhir pendiam, ya?" tanya William. "Apa Keyna masih marah, ya sama Daddy?" Sacha sedang duduk di depan meja kerja sang Daddy. Menatap berkas perusahaannya yang akan bergabung dengan perusahaan Will Universe. Kini matanya mengamati wajah William yang termenung. "Daddy masih berurusan dengan ibu-ibu komite sekolah Princess? Atau masih berhubungan dengan Chantal?" "Tidak sama sekali, Cha." Akhirnya mereka berkesimpulan, Keyna memang sedang lelah saja. M
Untuk mengalihkan rasa kesal, Keyna berjalan-jalan sendirian di tepi laut. Pulau ini memang cantik dan eksotik. Gabungan antara penduduk pribumi dan modern masih sangat kentara. Namun begitu, pelayan di sekitar resort terlihat telah lebih mengenal peradaban. “Cantik, ya?” Kepala Keyna menoleh ke samping. Chantal berdiri dengan wajah menatap laut. Wanita itu menarik napas dalam-dalam menghirup udara laut dan mengembuskannya perlahan. “Mau menemaniku berkeliling?” Itu bukan sebuah ajakan, nada suara Chantal jelas menuntut Keyna untuk ikut. Tangan kanan wanita pulau itu terentang ke sisi kanan untuk memberi kode agar berjalan. Keduanya berjalan menyisiri pinggir laut. Angin hampir saja menerbangkan topi lebar yang dikenakan Keyna jika ia tidak memeganginya. Sementara Chantal dengan santai berjalan tanpa alas kaki menembus angin yang mengibarkan pakaian tipis hingga lekuk tubuhnya tampak jelas terlihat. “Aku sudah berhasil membawa peradaban modern ke pulau ini. Namun begitu, sebagai
“Baby, jangan cemberut terus. Tolong, maafkan aku,” mohon William saat mereka telah dalam pesawat.Keyna tidak menjawab. Ia sibuk menatap laptopnya dan memberikan layanan kesehatan melalui online. Bahkan saat William kembali berkata, Keyna langsung mengenakan headset hingga suara suaminya sama sekali tidak terdengar lagi.William mengembuskan napas berat. Ia tau dirinya salah. Tetapi, bukankah alasannya cukup masuk akal? Apa ini karena Keyna cemburu?Pusing memikirkan sikap istrinya, William bangkit dari duduknya. Lelaki itu mengecup puncak kepala Keyna sebelum berjalan menjauh. Ia mendatangi Princess yang sedang bermain dengan Sacha.“Kenapa Daddy meninggalkan Keyna?” tanya Sacha.“Keyna sedang konsultasi online.”“Pasti Keyna marah pada Daddy.”“Iya, sepertinya begitu.”“Kenapa Mommy marah pada Daddy?” tanya Princess.Keduanya lalu tersadar bahwa P
“Akh … kalian sudah saling kenal?” Chantal menatap Louis dan Lily bergantian.“Mmm … kami teman masa kecil, Nyonya Chantal,” balas Lily menyeringai.“Oh ya? Menarik, sangat menarik.” Mata Chantal berbinar mendengar jawaban Lily.Sementara itu, Louis masih terpana dengan pemandangan di depannya. Chantal sampai menggeleng kemudian terkekeh. Wanita itu kemudian pamit.“Baiklah. Aku tinggalkan kalian berdua untuk bernostalgia.”“Terima kasih, Nyonya Chantal," balas Lily dengan santun.Sebelum Chantal berlalu, ia menyempatkan diri mengedipkan sebelah matanya pada Louis. Wanita itu juga mengusap dada Louis dan berbisik pelan di telinga lelaki muda itu.“Mungkin ini jawaban dari rasa penasaranmu.”Louis tersentak sedikit. Kepalanya menoleh menatap kepergian Chantal. Lalu, tersadar saat Lily kembali menyapanya.“Kamu baik-baik saja?”“Entahlah. Bertemu lagi denganmu … cukup mengejutkan,” aku Louis.Kepala wanita cantik bergaun putih itu meneleng ke kanan. Bibirnya rapat namun menyunggingkan s
Pertemuan dengan Chantal, sama sekali tidak mencerahkan Louis. Wanita itu malah melenggang santai meninggalkan Louis yang masih tidak mengerti. Chantal hanya berpesan untuk menghubunginya kapan saja ia butuh.Louis menatap bayangan Chantal. Ia bisa bebas memandangi tubuh Chantal dari tampak belakang. Setelah wanita pulau itu menghilang, Louis segera keluar dari restoran.“Permisi, hari ini aku ada jadwal menyelam. Apa perlengkapan untukku sudah siap?” tanya Louis pada pegawai resort.Lelaki pribumi yang diajak bicara itu bertelanjang dada, mengenakan sarung yang panjangnya hanya sampai lutut serta pengikat kepala khas pulau. Ia tersenyum ramah dan mengangguk pada Louis.“Silahkan, Tuan Louis,” jawab si lelaki sambil mengarahkan jalan.“Apa perjalanan kita jauh?”“Tidak, Tuan. Kita akan naik kapal ke tengah laut, setelah itu Anda baru bisa turun dan menyelam.”“Ada pengawas atau pelatih yang akan menemaniku?”“Saya sendiri yang akan menemani Tuan.”Louis mengangguk. Mereka berkenalan.
“Tersesat?”Louis berhenti berjalan. Tidak ada siapa-siapa di dekatnya. Suara seksi dari arah belakang itu pasti memang menyapanya.Pemuda tampan itu membalik tubuh. Menahan napas sejenak begitu melihat sosok yang berdiri dengan senyum menggoda. Mata hitamnya mengerjap pelan.“Ehm.” Louis menjernihkan tenggorokannya. “Tersesat? Tidak. Aku memang mau berkeliling.”“Oh. Ini saatnya makan siang. Kamu tidak ke restoran?”“Setelah ini aku ke restoran.”“Dari arah sini kamu tidak akan menemukan apa pun selain lorong yang ujungnya buntu. Bagaimana kalau kita ke restoran saja. Aku tau jalan tercepat ke sana.”Louis terpana. Bukan karena suara seksi itu. Wanita ini terlihat manis dengan kulit kecoklatan yang mengkilat. Sekilas ia mengamati. tubuhnya berisi dengan tonjolan dan lekukan yang proporsional.Masalahnya, wanita di depannya ini memakai gaun panjang tembus pandang. Ia hanya mengenakan celana dalam. Bagian dada wanita itu tercetak jelas melalui bahan tipis bermotif bunga dan tertutup s