“Kau mulai bosan bekerja denganku?” Arsen dengan garang. Memarahi Edward sembari menandatangani dokumen. “Kau sudah bekerja berapa tahun denganku?” tanya Arsen. “Sudah… 5 tahun, Sir.” Raut wajah Edward tidak menunjukkan penyesalan. Meski diam—tapi wajahnya entah kenapa Arsen kesal. Seperti bahagia, sumringah yang entah kenapa bisa dilihat dirinya. “Kau sungguh berkencan dengan wanita atau hanya menyewa wanita penghibur?” tanya Arsen. “Tidak, Sir.” Edward tersenyum lebar. “Saya berkencan dengan Bu Jema.” Arsen mengerjap. Tidak menyangka acara menjodohkan Edward dengan Bu Jema sukses besar. Apakah Yerin sudah tahu? “Kau kemarin berkencan?” tanya Arsen. “Kami berkencan setiap hari.” Tersenyum lebar menunjukkan gigi. “Kami menjalani hari-hari kami sebagai pasangan dengan bahagia.” “Itu juga karena aku.” Arsen menepuk dadanya pelan. “Dan Yerin…” “Memangnya apa yang kalian lakukan?” tanya Edward. Dengan polosnya… “Siapa yang mempertemukanmu dengan Bu Jema kalau bukan kami?
21++ Saling menatap dengan mesra. Jema tersenyum. meski ia tidak yakin apakah ini akan berlangsugn selamanya atau tidak. Tapi ia senang akhirnya ada orang yang benar-benar menginginkannya. Edward mengusap pipinya. “Kamu benar-benar cantik. sungguh!” “Aku akan mencoba terbiasa.” Edward tertawa pelan. “Kamu memang benar-benar unik.” “Aku tidak unik. Hanya sedikit aneh.” Jema terkekeh pelan. Edward menangkup wajah Jema. “Jangan menganggap dirimu aneh. Kamu unik dan aku suka.” Menarik tengkuk Jema dan kembali menciumnya. Jema membalasnya meski sedikit kaku. Ia benar-benar tidak ahli dalam hal ini. usia mungkin lebih tua dari Edward 2 tahun. Tapi untuk pengalaman Edward lebih ahli darinya. Edward mendekat. memeluk erat tubuh Jema—namun miliknya di bawah sana kembali bangun. Menusuk perut Jema. “Kamu merasakannya? Aku tidak berbohong kalau kamu begitu seksi.” Edward mengecup leher Jema. Mengembalikan kepercayaan diri kekasihnya! Edward tidak mau Jema terus me
“Hm…” seorang wanita terbangun. “Jam berapa ini?” tanyanya. Lalu ia merasakan pelukan dari seseorang di belakangnya. Baru teringat apa yang terjadi pada mereka beberapa jam lalu. Jema menatap jam dinding. Pukul 8 malam dan mereka berada di sebuah hotel. Jema menggigit bibirnya menutup wajahnya dengan selimut. Wajahnya terasa begitu panas. Beberapa jam lalu… Akhirnya ia melepaskan apa yang ia jaga selama ini untuk kekasih barunya. Tidak memikirkan apapun, Jema memang sangat menyukai Edward. Sehingga mereka tadi… Setelah makan malam di restoran hotel, terjadilah penyatuan di kamar hotel ini. Jema memutuskan akan pulang. Ia sangat malu. dengan hati-hati menyingkirkan tangan Edward. Lalu menurunkan selimut. Tubuhnya tidak terbalut apapun—ia menahan suaranya. Baru saja kedua kakinya menapak lantai, justru pinggangnya di tarik dan tubuhnya terhempas kembali ke atas ranjang. “Mau ke mana?” tanya Edward yang sudah terbangun. “Ka-kamu…” lirih Jema. “Kamu sudah b
Arsen marah-marah. Ia berusaha menelepon sekretarisnya untuk menjemput. Tapi, Edward tidak menjawab panggilannya sama sekali. Arsen menghela nafas kasar. “Aku akan mencacinya besok!” dengan menggebu-gebu. Yerin bersandar pada kursi. Ia memejamkan mata—matanya masih mengantuk. Bahkan suara suaminya saja tidak terlalu ia dengar. Arsen berkacak pinggang, katanya ada perbaikan jalan di sekitar Bandara dan membuat taksi yang seharusnya bisa mereka naiki tidak bisa ke sini. Tapi ada jalan lain yang bisa dilewati oleh mobil pribadi. Untuk itu, Arsen segera memanggil adiknya. Untungnya, adiknya langsung mengangkat panggilannya dan mengiyakan permintaannya. Arsen berjongkok. “Tunggu. Kita akan segera pulang.” mengusap pipi Yerin. “Santai saja. Aku tidak sakit, aku hanya mengantuk.” Yerin menguap. Kemudian membuka mata. “Biasanya Edward selalu bisa dihubungi. Tapi kok mendadak tidak bisa.” “Jangan-jangan terjadi sesuatu pada Edward?” “Apakah iya…” Arsen mengeluarka
Berjalan di saat sekolah sudah sepi. Langit sudah gelap. Satpam sekolah juga berusaha mengusir anak-anak yang masih berkeliaran tidak jelas di sekolah. Lorong yang tadinya penuh hilir mudik siswa, kini sudah tidak ada. Eve memeluk bukunya berjalan di temani Bastian di sampingnya. “Bu Yerin kapan pulangnya ya… Aku ingin curhat.” Eve mengerucutkan bibirnya. “Kamu masih bingung?” tanya Bastian. Eve mengangguk. “Masalah ini hanya bisa aku selesaikan bersama Bu Yerin.” “Mereka bilang, mereka tidak akan lama. Tapi akan sering ke sana.” Bastian mengeluarkan ponselnya. Bastian memeriksa pesan yang tadi pagi ia terima dari kakaknya. “Mereka sudah pulang. Kemungkinan mereka akan sampai rumah saat malam….” Eve menatap Bastian. “Benarkah?” “Hm.” Mengangguk kecil. Eve tersenyum lebar. “Saat bu Yerin masuk, aku akan menjadi orang pertama yang curhat.” Sampai saat ini, Bastian masih ragu memberitahu Eve tentang rencananya yang akan ke luar negeri. “Tapi meskipun aku sedan
Arsen dengan cepat menepis tangan Woojin. “Wife?” ulang Woojin begitu kaget. “Yeah!” Arsen menggandeng tangan Yerin. Woojin semakin terkejut. “Yaa! Kau keterlaluan. Kau tidak mengundangku!” Arsen menunduk—berbisik di samping telinga Yerin. “Siapa pria jelek ini? Dia berani sekali menyentuhmu?” Meski tidak berbisik, Woojin juga tidak akan tahu apa yang mereka bicarakan. Yerin berbisik juga. “Dia temanku SMP dan SMA. Dia memang berbelihan, suka sekali berbicara tidak penting. Mangkanya dia jadi pengacara.” “Sudah tidak usah dihiraukan. Ayo kita pergi.” Akhirnya karena kesal melihat mereka berdua berbicara berbisik dengan bahasa yang tidak ia mengerti, Woojin setengah berteriak menggunakan bahasa inggris. Memaki mereka berdua. Meski berlebihan, Woojin itu pintar. Woojin juga sempat iri pada Yerin yang mengusai 3 bahasa dengan mudah. Bahasa korea, bahasa indonesia dan bahasa inggris. Berbeda dengannya yang hanya mengusai bahasa korea. Dirinya harus bersusah payah be