Di mobil. Sreet! Arsen menarik tangan Yerin. Melihat telapak tangan Yerin yang masih memerah. “Oho!” Yerin menarik tangannya kembali. “Jangan menarikku sembarangan!” “Dan juga.” Yerin menghadap Arsen. “Jangan berbicara denganku saat kita tidak sengaja bertemu. Kau bilang kita harus merahasiakan hubungan ini sampai kita bercerai. Maka dari itu, kita harus lebih hati-hati.” Arsen mengabaikan ocehan Yerin. Ia menarik lagi tangan Yerin. Kali ini mengambil kotak p3k. Mengoleskan sebuah salep di telapak tangan Yerin yang tadi memerah. “Kau mendengarku?” tanya Yerin. Arsen hanya mengangguk pelan karena ia terlalu sibuk mengobati wanita itu. Yerin berdehem pelan—kenapa tiba-tiba pria ini begitu perhatian padanya? “Namun…” Arsen mengangkat tangan Yerin. “Di mana cincin pernikahan kita?” “Oh..” Yerin menarik tangannya pelan. “Tadi Shania ingin melihatnya dan dia meminjamnya…” Tadi saat di Salon. Shani melihat tangan Yerin yang terhiasi oleh cincin yang cantik. Yerin ha
Dibayar 5 juta untuk menemani bosnya. Awalnya Edward curiga disuruh menemani apa. Takutnya diam-diam diajak bekerja lagi. Sampai ia tahu bahwa dirinya diajak untuk mengawasi istri bosnya! Awalnya mereka hanya aka mengawasi Yerin dari jauh, tapi Edward sungguh tidak tahan. Akhirnya ia menyeret bosnya itu untuk masuk ke toko yang sama dengan Yerin. “Apa yang kau lakukan?” tanya Arsen melihat paper bag yang dibawa oleh Yerin. “Aku—” “Pak Arsen?” tanya seorang wanita yang tiba-tiba muncul. “Saya Shania, saya bekerja di perusahaan cabang bapak. Saya pegawai di Gold Finance.” Shania memperkenalkan diri. Gold Finance sekarang berada di bawah naungan Skyline. Beberapa bulan yang lalu, Arsen mengakuisi perusahaan itu hingga sekarang berada di bawah Skyline. Tapi—secara garis besar, Gold Finance tidak bekerja langsung untuknya. Arsen mengangguk mendengarkan penjelasan Shania. Wanita itu juga tersenyum ramah. Tapi—bukan itu yang penting. Ia menatap Yerin lagi. “Aku bertanya
Arsen menyebalkan. Arsen membuatnya malu. Arsen membuatnya tidak punya wajah lagi di hadapan Bastian. Yerin berlari ke mall. Ia menggunakan dress tertutup dengan lengan panjang. Panjang dress itu sebatas lutut. “Kau terlambat!” Shani marah-marah pada Yerin yang baru saja datang ke kafe tempat mereka bertemu. “Maaf,” ucap Yerin merasa bersalah. “Sudah berapa lama kau menungguku?” Shania berdecak pelan—ia bersindekap. “Baru saja. Tapi kau terlambat!” “Maaf,” ucap Yerin sekali lagi. “Kau ingin melakukan apa saja hari ini?” tanyanya. “Aku ingin pergi ke salon dan membeli tas dan pakaian. Tapi aku tidak mau hanya aku yang belanja. Bagaimana denganmu?” tanya Shania. “Aku…” Yerin berpikir inilah saatnya untuk berbelanja sedikit. Arsen memberinya uang yang begitu banyak. Kalau biasanya ia hanya mengantar dan menemani Shani berbelanja, hari ini ia akan berbelanja juga. Ia juga akan perawatan seperti yang dilakukan Shania. “Jangan bilang kau belum gajian…” Shani mengeru
“Kau mau ke mana?” suara itu menghentikan Yerin. Yerin keluar dari kamarnya dan hendak pergi. Hari ini libur dan ia ingin menghabiskan waktunya untuk sedikit jalan-jalan keluar bersama temannya. Yerin menatap Arsen yang baru saja keluar dari kamar mandi. “Aku akan pergi,” jawabnya. Arsen menatap Yerin tajam. “Mau ke mana?” tanyanya. “Hanya jalan-jalan ke mall.” Yerin mengedikkan bahu. Mengamati pakaian Yerin dari atas hingga bawah. Wanita itu menggunakan jeans ketat dengan kaos yang sangat pas di tubuh. Sehingga tubuh Yerin benar-benar berlekuk. Arsen meneguk ludahnya kasar. Melihat Arsen yang terus menatapnya—membuat Yerin segera menyilangkan tangannya di depan dadanya. “Jangan menatapku!” Yerin yang panik. Apalagi pernyataan pria itu tadi malam membuatnya merinding. Meskipun Arsen bilang menyukainya, tapi Yerin bisa menyimpulkan bahwa pria itu hanya menyukai tubuhnya saja! “Kalau kau ingin keluar, kau harus ganti pakaianmu!” Arsen menghadang jalan Yerin. pri
“Kakakmu menelepon!” Willie menunjuk ponsel Bastian yang berada di atas meja. Bastian mendengus—ia mengambilnya. Mematikannya sebentar dan kembali fokus pada gitarnya. Malam ini—di Apartemennya, ia tidak akan pulang. Ada teman-temannya basket di sini. Lagipula sebentar lagi mereka akan sibuk dengan pertandingan. Anggap saja ini adalah hari libur sebelum jadwal mereka padat. “Dia menelepon lagi,” ucap Willie. Bastian mengambilnya dengan kesal. Setelah berbincang dengan serius. Bastian terlihat sangat kesal dengan wajah yang begitu marah. “Apa katanya?” tanya Willie penasaran. “Kenapa dia tiba-tiba meneleponmu? Sebelumnya tidak pernah kan?” “Dia menyuruhku pulang,” ucap Bastian. Bastian mengusap rambutnya pelan. Menatap balkon apartemennya yang terisi oleh temannya. Ada dari mereka yang sedang merokok. “Kau akan pulang?” tanya Willie. “Dia mengancamku akan mencabut semua fasilitasku kalau aku tidak mau pulang,” balas Bastian. Ia mengambil jaketnya. Bastian tida
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Arsen. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 12 malam. Tapi Yerin justru tertidur di sofa depan tv, ruang keluarga. Yerin tertidur—Arsen berjongkok di hadapan wanita itu. “Bangun,” panggil Arsen. Tangannya menyentuh pipi Yerin. “Aku bilang bangun,” ucapnya lagi. “Kenapa…” lirih Yerin terusik dengan suara Arsen. Arsen menarik tangannya. “Apa yang kau lakukan di sini? pergilah ke kamarmu.” Yerin masih menutup mata. “Bastian sudah pulang?” Arsen berdiri—berdecak dengan kesal. “Kenapa kau selalu memedulikannya? Dia sudah biasa pulang pagi bahkan tidak pulang.” “Sekarang pergilah ke kamarmu!” Arsen mengguncang pelan lengan Yerin. “Aku menunggu Bastian pulang.” “Pergilah ke kamarmu sendiri atau aku mengendongmu. Tapi sebagai bayaran menggendongmu. Kau harus—” Yerin berdiri tegak—bahkan tidak memedulikan rambutnya yang berantakan. “Aku akan menunggu Bastian sampai dia pulang. Dia tidak mengangkat panggilankku, aku takut