Yerin Anindya adalah guru BK pindahan beberapa bulan lalu. Ia telah menyaksikan pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan oleh muridnya. Dari yang bolos kelas, diam-diam merokok di gudang belakang, bolos pergi dari sekolah sampai berkelahi.
Dari laporan siswi terjadi perkelahian di sebuah kelas. Yerin bergegas pergi ke kelas tersebut. “Sudah kayak adu ayam,” lirih Yerin. Ia melihat dua murid sedang berkelahi dengan sekelilingnya murid lain yang menyaksikan mereka. Sekolah ini bertaraf internasional. Namun, ia masih banyak menemui murid yang melanggar peraturan. Mungkin karena keluarga mereka kaya? Jadi mereka berbuat sesuai keinginan mereka sendiri. TOK TOK “BERHENTI!” Yerin mengeluarkan teriakannya. “Kalian berhenti!” Ia menghela nafas kemudian mendekati kedua remaja yang sudah babak belur itu. “Kalian ke ruang saya sekarang juga.” Di dalam ruangan BK dua murid itu tidak ada yang ingin meminta maaf lebih dulu. “Kenapa kalian berkelahi?” tanya Yerin. “Bosan,” jawab seorang laki-laki. Namanya Bastian Ravindra Jarvis. Seorang laki-laki yang mendapat predikat murid terbandel di sekolah. Semenjak datang ke sekolah ini—Yerin memang sudah mengawasi Bastian. Murid yang paling banyak melanggar aturan namun anehnya tidak dikeluarkan dari sekolah. Meskipun seperti itu—guru BK berhak memberikan hukuman agar jera. “Yasudah kalau tidak mau bicara.” Yerin mencatat pelanggaran mereka. “Besok bawa orang tua kalian ke sini.” “Jangan, Bu,” ucap Vando. “Kalian berkelahi. Itu pelanggaran berat. Kalian harus bawa orang tua kalian.” Bastian berdiri. Ia hendak berjalan keluar. “Kamu mau ke mana Bastian?” tanya Yerin. “Tidak ada gunanya masih di sini.” “Tunggu sebentar.” Yerin berdiri. “Vando sekarang kamu pergi ke UKS. Ibu sudah nyuruh pacar kamu untuk obatin kamu.” “Apa, bu? Kok ibu tahu pacar saya?” Vando sungguh heran. “Apasih yang ibu tidak tahu?” Yerin bangga. “Cepat obati luka kamu.” Yerin melakukan hal itu karena mereka berdua tidak bisa melakukan apapun di UKS. Karena setiap ruangan aktif di sekolah terpasang CCTV. “Bastian kamu ke sini.” Yerin menarik lengan Bastian untuk duduk di salah satu sofa. “Biar Ibu yang obatin kamu.” Ia mengambil P3K. Bastian sungguh heran dengan guru BK baru sekolahnya. Terlihat lebih santai dan tenang. Tidak ada teriakan marah ataupun menghina yang biasa ia dapatkan. “Bilang kalau sakit.” Yerin mulai mengobati luka di sudut bibir Bastian. “Ibu sudah memperhatikan kamu. Kamu melakukan banyak pelanggaran dengan sengaja.” Yerin menatap Bastian. Ia tersenyum. “Ibu yakin kamu melakukannya sebagai bentuk pelarian kamu. Beritahu ibu apa yang terjadi di rumah? Kamu punya masalah?” Bastian berdecih pelan. “Memberitahu anda sama saja membuang waktu. Anda juga tidak akan pernah bisa memberi solusi saya.” Yerin mengangguk setuju. “Benar. Yang kamu katakan memang benar. Ibu emang tidak bisa menjamin bisa memberikan kamu solusi. Tapi ibu akan mendengarkan cerita kamu. Baik ataupun buruk—ibu akan dengarkan sampai kamu selesai, sampai kamu merasa benar-benar lega.” Bastian mengernyit. Lagi-lagi ia merasa kebingungan. Ia tidak mungkin bercerita. Untuk apa? Lega? Omong kosong. “Saya tidak butuh.” “Bastian,” panggil Yerin. “Ibu ini orang tua kamu di sekolah. Jangan takut berbagi hal dengan ibu.” “Orang tua saya sudah meninggal sejak saya lahir. Keluarga saya begitu membenci saya karena saya dianggap sebagai pembawa sial.” Bastian mengepalkan tangannya erat. “Saya tidak punya siapapun yang mempedulikan saya.” Memejamkan mata menahan emosi yang begitu bergejolak. Yerin mendekat. Memeluk Bastian yang begitu bergetar menahan emosi. “Bukan salah kamu.” “Tapi mereka semua mengganggapku aib. Mereka tidak suka aku berada di sana. Mereka tidak menginginkanku di dunia ini.” Akhirnya tangis Bastian pecah. Bastian hanyalah anak berusia 17 tahun yang butuh seseorang di sampingnya. “Ibu yang akan menghubungi salah satu keluarga kamu.” Yerin mengusap pelan bahu Bastian lalu melepaskan pelukannya. Bastian berdecih pelan. “Mereka semua sibuk.” Menatap ke arah lain. “Pak Rudi sudah berkali-kali menghubungi keluarga saya. Tapi mereka memang tidak pernah peduli.” Yerin menggeleng. “Serahkan semua pada ibu. Kamu jangan kawatir.” Ia tersenyum. “Kamu sekarang kembali ke kelas.” Keluarnya Bastian. Yerin segera meraih ponselnya. Keluarga terdekat Bastian adalah kakaknya. Kakaknya yang merupakan Presiden Direktur Skyline Corporation. Antara yakin tidak yakin, Yerin tetap menelepon. “Halo , permisi.” Yerin menunggu cemas dengan tangan yang mengetuk pelan meja. “Dari Gallaxy highschool bukan? Tuan tidak punya waktu.” Suara seorang perempuan. “Tunggu.” Yerin menghela nafas. “Sampaikan pada kakak Bastian. Sekali ini saja tolong ulurkan tangannya untuk adiknya. Datang ke sekolah dan berbicara dengan saya.” Tidak menunggu waktu lama—setelah Yerin selesai berbicara panggilan langsung ditutup begitu saja. Di tempat yang berbeda. Seorang pria baru saja keluar dari ruangannya. Ia berhenti di depan ruang Sekretarisnya. “Siapa?” “Dari Gallaxy high school, Sir.” “Apa anak itu berbuat ulah lagi?” “Guru itu bilang tolong sekali ini saja ulurkan tangan untuk adik anda. Datang ke Sekolah dan bicara dengan saya.” Arseno Jonathan Jarvis—atau dipanggil Arsen itu terdiam dengan tangan di dalam saku. “Sepertinya aku harus datang.” Senyum tipis menghiasi wajahnya. “Siapa dia beraninya menantangku.”Yerin dan Arsen berjalan di tepi sungai. Sungai yang terkenal indah dan dikunjungi banyak orang ketika sore sampai malam hari. Tangan mereka saling bergandengan tangan. Yerin menghela nafas dalam. Dulu ia sering bersama adiknya berlari di sini. Yerin meremas pelan tangannya—bukan tangannya. secara tidak sadar ia meremas tangan Arsen juga. “Kenapa? Kamu tidak nyaman di sini?” tanya Arsen. Yerin menggeleng. “Tidak….” “Jujur saja..” Arsen meraih tangan Yerin satunya lagi. “Tanganmu berkeringat. “Tidak nyaman ya di sini?” “Aku hanya…” Yerin memejamkan mata sebentar. “mengingat adikku…” Bukannya marah Arsen terlihat khawatir. Lagipula untuk apa marah? Mereka ke sini untuk menyembuhkan luka Yerin. “Kita pergi saja ya?” “Aku juga ingin di sini.” Yerin menatap sekelilingnya. “Bagaimana kalau kita makan di minimarket itu?” Menunjuk sebuah minimarket yang tidak jauh dari sungai. Di sana ada mesin pemasak mie otomatis. Yerin mengajak Arsen ke sana. Seingatnya dulu
Di sebuah restoran. Yerin bersama Arsen menemui orang tuanya. Canggung. Meja yang berisi 4 orang itu tidak ada yang bersuara. Yerin menatap tangan ibunya yang terluka. Pasti banyak bekerja… Yerin menatap ayahnya—keadaan mereka sama. Katanya mereka saling mencintai. Tapi mereka saling menyakiti saat Yeonwoo pergi. Akhirnya memilih untuk berpisah. Arsen merasa tatapan ayah Yerin sedikit membuat bulu kuduknya merinding. Arsen berdehem sebentar. “Perkenalkan saya Arsen.” Yerin menjelaskan apa yang dikatakan Arsen pada ayahnya. Ayahnya hanya mengangguk saja. “Bagaimana keadaan kalian?” tanya Yerin. “Mama baik-baik saja.” ibu Yerin menjawab. Sejak pindah ke Indonesia, bahkan untuk sekedar panggilan saja Yerin mengubahnya. “Appa baik-baik saja?” tanya Yerin pada ayahnya. Saat berkomunikasi dengan ayahnya, Yerin menggunakan bahasa Korea. *Appa=ayah “Appa sehat.” Tersenyum meski sedikit canggung. matanya tidak terlepas dari Arsen. Pertama kalinya bisa melihat
Di sebuah pemakaman yang asri. Sebuah nisan yang bertuliskan nama Choi Yeonwoo. Yerin meletakkan bunga di atas makam adiknya. Air matanya tidak bisa dibendung lagi. “Mian…” lirihnya. “Nuna baru ke sini setelah bertahun-tahun…” Yerin mengusap air matanya. Arsen yang berada di sampingnya mengusap punggungnya pelan. Yerin mengajak Arsen untuk duduk di rumput langsung. “Gimana kabar kamu?” tanya Yerin menatap batu nisan adiknya. “Nuna pergi dan menjalani hidup baru. Nuna jadi Guru BK. Nuna juga sudah menikah. ada banyak hal yang sudah terjadi. Tapi Nuna tidak bisa memberitahu kamu secara langsung….” Yerin mengambil tangan Arsen. “Ini suami, Nuna.” “Annyeonghaseyo..” Arsen menunduk sebentar. Yerin tersenyum pelan. “Dari mana belajarnya?” “Melihat di internet sebentar. apa benar?” tanya Arsen. Yerin mengangguk. “Benar.” “Aku suami kakak kamu.” Arsen berkata dengan canggung. Arsen mengambil sapu tangannya. Di usapkannya di pipi Yerin yang basah. Istrinya itu tidak
21++ Lantai yang dingin. Tidak menjadi halangan. Malah menjadi suatu hal yang menantang bagi mereka. Yerin terlentang di atas lantai kamar hotel mereka. Arsen berada di bawahnya. Kepala pria itu berada di antara selangkangannya. Tubuhnya menggigil tapi juga panas. Menggigil karena lantai yang dingin, tapi juga panas karena sapuan lihda dari suaminya di bawah sana. Yerin bergerak dengan gelisah. “Ahh hmmmph!” Arsen menyesap milik Yerin di bawah sana. menjulurkan lidahnya samapi ke dalam milik Yerin. “Sayang… enak sekali ahh,” desahan Yerin. Arsen mencecap habis cairan yang berada di dalam milik istrinya. Membersihkannya meski nanti ia juga akan mengisinya lagi dengan cairan kental miliknya. “Sayang..” Yerin meremas dadanya sendiri. “Sepertinya aku…” Arsen meremas puncak dada istrinya itu lebih keras dan liar. Mencubitnya dan memelintirnya sesekali. Sedangkan mulutnya di bawah sana tidak berhenti menyesap dan melumat milik istrinya. “Ahh hmmph aku tidak
21++ Di dalam ruangan yang seharusnya dingin. Tapi bagi mereka berdua malah terasa sangat panas dipenuhi oleh gairah. Cinta yang membara menghantarkan hasrat yang tinggi. Yerin berpegang pada tembok di saat Arsen kembali menghujam miliknya dari belakang. Satu tangannya dibawa ke belakang. Pinggangnya di cengkram oleh jemari Arsenn. “Ahh! Hmpph!” Yerin mendongak. milik Arsen memenuhi miliknya keluar dan masuk. “Kamu nikmat sayang ohh!” Arsen meraih buah dada Yerin yang bergerak. Meremasnya kuat dan memelintirnya. “Ahh! Jangan akh ahh!” Yerin menggeleng. “Nikmat babe…” Arsen mengecup punggung Yerin. Hotel mahal ini… Pasti kedap suara. Tapi Yerin sebenarnya takut kalau suaranya bisa didengar. Tapi mengingat betapa mahalnya hotel ini, pasti ada privasi yang dijaga untuk pelanggan. Tidak peduli lagi meski suara desahannya terdengar keras. Yerin terserentak pelan saat tubuhnya ditarik. Jatuh ke atas pangkuan suaminya dengan milik mereka yang masih menyatu.
21++ Pakaian yang mereka gunakan mulai berjatuhan ke bawah. Satu persatu kain yang membalut tubuh mereka hilang. Berganti dengan tubuh mereka yang sama sekali tidak menggunakan apapun. Kulit mereka saling bersentuhan. Menghantarkan gairah manis namun juga liar. Arsen mendorong tubuh Yerin di tembok. Menyatukan kedua tangan istrinya itu ke atas. lalu, miliknya yang berada di bawah mulai melesak masuk. Masuk ke dalam milik istrinya. “Ahh!” Yerin memejamkan mata. Benda keras itu masuk ke dalam miliknya dan memenuhi miliknya. Arsen menunduk—mencium bibir Yerin dengan rakus. Perlahan mulai bergerak. “Babe…” racau Arsen. Rasanya masih sama ketika mereka pertama kali melakukannya. Candu… Tidak ada yang namanya bosan. Bahkan Arsen sama sekali tidak bisa memikirkan apapun saat percintaan hebat mereka sedang berlangsung. Seakan otaknya berhenti untuk bekerja. Arsen menekan miliknya maju dan mundur. Memasukkannya sampai ke dinding terdalam mili