“Kalian berhenti!” teriak Janice. Namun tidak dihiraukan oleh dua orang yang saat ini sedang keluar dari restoran. Edward menarik Jema pergi. Lebih tepatnya membawa kekasihnya itu pergi. Jema menatap tangannya yang digandeng oleh Edward. Tadi, setelah keluar dari toilet. Ia melihat Edward bertengkar dengan Janice. Ia kira Edward akan menyukai Janice. Ia kira mereka akan akrab dan mengacuhkannya. Ternyata tidak. Edward mencaci Janice yang berusaha merayunya. Jema tersenyum. mereka sudah berada di dalam mobil. Edward masuk setelah membukakan pintu untuk Jema. Membukakan pintu untuk Jema adalah suatu hal yang yang selalu dilakukan Edward. “kita pergi dulu dari sini.” Edward mengemudikan mobilnya. Mereka diam. tidak ada percakapan sama sekali sampai mereka tiba di sebuah taman yang rindang. Mobil berhenti—Edward menghela nafas pelan. “Maaf…” lirihnya. “Aku tidak bisa menahan amarahku pada adik kamu. seharusnya aku bisa lebih bersa—” Cup! Jema mengecup pipi
Edward terdiam—mengerjap pelan sebelum menyambut uluran tangan adik Jema. Bukan karena terpesona. Tapi…. Aneh. Ia hanya memandang wajah Janice dengan aneh. “Edward,” ucap Edward membalas sapaan Janice. Janice dengan percaya diri mengambil duduk di samping ibunya. melipat kakinya dengan santai. Dress pendek berwarna hitam itu membuat hampir seluruh kakinya terlihat. Edward menoleh ke samping—Jema minum sembari menatap lurus. Terlihat tidak peduli. Tapi ia yakin, Jema sedang cemburu! Edward merangkul pinggang Jema dari samping. “Ini pertama kalinya aku bertemu dengan calon kakak ipar yang benar-benar tampan.” Janice tersenyum pada Edward. Kemudian menatap Jema. “Kali ini kau benar-benar pintar memilihnya kak!” Bersandar sembari menatap Edward. Edward merasa dirinya terlalu dipandang dengan intens. Apa perempuan ini berencana menelanjanginya diam-diam. Tidak, tidak boleh. Yang boleh menelanjanginya hanya Jema seorang. “Kalian semua sudah bertemu deng
Duduk bersama orang tua kekasihnya untuk pertama kali. Edward sedikit berdebar. Tangannya setia menggenggam tangan kekasihnya. Edward menoleh ke samping. Jema terdiam saja… “Jadi kamu ingin melamar anak saya?” tanya ayah Jema. Edward mengangguk. “Iya, Jema sudah menerima lamaran saya. Saya ke sini untuk meminta restu kalian.” “Memangnya kamu bekerja di mana?” tanya ibu Jema. “Kamu terlihat rapi? Apa kamu juga guru?” “Saya bukan Guru. Saya bekerja di perusahaan.” Edward tersenyum pelan. Ibu Jema mengangguk puas. Ia melihat mobil Edward di depan memang mobil yang bagus. Bukan mobil murahan yang biasa digunakan anaknya sendiri. Bisa disimpulkan Edward kaya. “Kenapa kamu datang sendiri? di mana orang tua kamu?” tanya ayah Jema. “Orang tua saya sudah meninggal. Orang tua saya meninggal saat saya kecil. Jadi, saya dirawat nenek saya. Dan 4 tahun yang lalu nenek saya juga sudah meninggal.” Jema mengusap pelan punggung tangan Edward yang menggenggam tangan kanannya.
21++ “Kamu benar-benar tidak punya malu!” Yerin yang memaki Arsen. Tapi Arsen malah cengengesan. Arsen menarik pinggang istrinya itu. Mencium bibir istrinya kembali. Dengan pintu yang terbuka lebar. Yerin membala setiap lumatan di bibirnya. Jemarinya mengusap rambut Arsen lembut. “Kamu yakin kita melakukannya di sini?” tanya Yerin. Arsen mengangguk. “Tentu saja…” jemarinya yang sudah membuka bathrobe yang digunakan Yerin. “Ayo sayang…” lirihnya. Arsen menunduk—mengecup puncak dada istrinya itu. Menghisapnya dengan rakus. Yerin benar-benar melupakan bahwa mereka berada di ambang pintu. Tapi—di saat dirinya ingin mengajak suaminya itu masuk, justru Arsen menariknya keluar. Mendorongnya sampai terbentur dengan pembatas. “Ahh!” rintihanya mulai terdengar. “Kamu yakin di sini tidak akan ada yang melihat?” “Tidak akan!” Arsen mendongak sebentar. “Aku tidak mengijinkan penjaga masuk apalagi orang lain.” Arsen mengusap pinggang Yerin—lidahnya membelai buah da
Sinar matahari yang masuk berhasil membuat dua insan yang berada di bawah selimut itu bangun. Yerin pertama kali membuka mata berada di pelukan suaminya. Ia mengerjap pelan sebelum menoleh ke kanan. Di sanalah jendela yang terbuka mempersilahkan sinar matahari masuk. Yerin berbalik memunggungi Arsen dan melihat ke sana… Ke arah Danau yang cerah. Ternyata benar, pemandangannya jadi lebih bagus. Tidak seperti tadi malam. “Ak—” tubuhnya tertarik ke belakang. Pelukan erat di perutnya membuat tubuhnya lebih hangat. Deru nafas Arsen menerpa lehernya. Yerin menoleh sebentar. “Bangunlah. Coba lihat di depan..” “Aku sering melihatnya,” gumam Arsen. Mencium leher istrinya lembut. “Jadi indah ‘kan?” tanyanya. “hm.” Yerin mengangguk. “Aku harus turun.” “Lima menit lagi.” Arsen menghalangi Yerin yang akan beranjak dari kasur. Yerin tertawa pelan. “kamu begitu betah di sini ya? Walaupun kaki kamu menggantung sepanjang malam.” menunjuk kaki Arsen di bawah sana. Benar,
21++ Singa kok dipancing. Ya dimangsa lah…. Arsen menangkap tubuh yerin. Membawanya ke atas pangkuannya. Tidak menunggu waktu lama, ia langsung meraih tengkuk Yerin. Menciumnya. Bibir mereka bertemu. Saling mencecap sampai menimbulkan bunyi. Bukan hanya bunyi decapan ciuman mereka, tapi juga derit kasur kecil yang membuat tubuh mereka. Arsen melepaskan ciumannya. “Pantas saja orang tuaku suka menghabiskan waktu di sini dan meninggalkanku.” Yerin tertawa pelan. “Memangnya apa yang kamu rasakan?” “Suasana baru.” Tawa Yerin pecah. “Kamu memang selalu butuh tempat baru untuk bercinta.” Arsen mengusap pipi Yerin. “Lebih asik kan? daripada di rumah saja, di tempat baru kita bisa eksplor.” “Terserah kamu saja.” Yerin sembari tertawa kecil. Di berbagai hotel berbintang, motel, mobil nampaknya mereka melakukan kegiatan panas di berbagai tempat. Dan sepertinya, Arsen berniat menambah daftar tempat mereka beraktivitas panas. Arsen mengukung tubuh Yerin di bawahnya