Karena desakan dari Yoshi dan sisi kemanusiaannya yang terusik akhirnya Hiraya setuju untuk ikut bersama dengan Ernest. Rupanya pria itu telah membeli sebuah hunian mewah dikawasan elit Hangnam-dong, Seoul. Tempat yang sudah terkenal dengan fasilitas sultan tanpa perlu dijelaskan lagi.Mobil keduanya terparkir sempurna diparkiran dan Hiraya dengan malas mengikuti langkah Ernest. "Kenapa kita harus ke sini?" Hiraya membuang muka ketika menanyakannya. Ernest menoleh ke arah Hiraya yang tampak begitu kesal, dia mendadak berhenti dan membuat Hiraya menabrak tubuhnya karena gadis itu tidak fokus dengan jalannya."Aduh!" Pekik Hiraya memegangi kepalanya, dia melotot menatap Ernest yang berekspresi datar."Kamu bertanya kenapa kita harus ke sini? Ini adalah tempat terbaik dan paling nyaman di Seoul. Kamu tidak mau tinggal di sini?" tanya Ernest berang, dia tidak bisa mengerti isi kepala Hiraya. "Apa kamu pikir rumah-rumah yang ada selain di kawasan ini tidak nyaman? Kamu hanya membuang-b
"Untuk apa kita pergi ke Indonesia?" Tanya Hiraya pada Ernest yang tengah menunggu keputusannya. Ernest meletakkan alat makannya di meja, menatap lurus wajah perempuan itu. "Aku hanya ingin menemui orang tuamu, kita sekarang keluarga. Jadi apa salahnya jika berkunjung?"Hiraya malah mendecik pelan mendengar itu, karena bagi dirinya. Tidak akan ada yang berubah dalam kehidupannya, karena dia dan Ernest hanya menikah kontrak. Hiraya datang ke Seoul bukan untuk berkeluarga. "Kita hanya pasangan kontrak Ernest, jadi tidak perlu melakukan itu!" Tegas Hiraya lalu berdiri, dia bangkit dari duduknya tanpa menyelesaikan makan malam. Perempuan itu segera masuk ke dalam kamarnya sendiri tanpa menoleh lagi pada Ernest yang masih terpaku di tempatnya. Pria itu harus punya cukup kesabaran untuk menghadapinya. Ernest juga memijit pelipisnya perlahan, dia merasa frustrasi karena skandal yang menimpa karirnya. Di saat sedang ada di puncak, skandal itu harus memorak-porandakan semuanya. "Kira-kira
Ernest merasa jantungnya berdebar-debar kencang, dia juga sudah mulai sulit mengendalikan diri. Yang ada di otaknya kali ini hanya pintu unit rumahnya, dia harus kembali masuk. Tangan kanan pria itu sudah terulur meraih kenop pintu."Ernest, kami ingin mewawancarai mu!"Salah satu awak media sudah berhasil mendekat, dia menyodorkan handphone untuk merekam hasil wawancara. Ernest semakin panik, dia semakin kesulitan mengendalikan emosi. Pria itu memilih diam, hal itu dilihat oleh Hiraya. Dia merasakan ada yang janggal dari sikap Ernest. "Hiraya bisa kah kau urus ini dulu?" Tanya Ernest yang berbisik di telinga Hiraya. Perempuan itu menoleh, dia tidak terlalu paham tapi memilih untuk mengangguk. "Tentu," jawabnya. Setelah itu Hiraya menoleh pada awak media yang sudah berkumpul didepan mereka di jarak kurang dari dua meter. "Nona Hiraya, kau istri Ernest. Kami juga ingin meminta keterangan mu!"Hiraya tersenyum sekilas,"Tentu saja tapi sepertinya tidak sekarang. Hari ini Ernest ada j
Montgomery, nama media massa yang saat ini ada di dalam kepala Hiraya. Perempuan itu tengah berpikir keras apa kira-kira alasan yang tepat untuk dia datang ke tempat itu. "Hiraya," panggil Ernest cukup keras ketika dia sudah selesai melakukan pemotretan. Hiraya yang tengah melamun pun terlonjak kaget. "I-iya?" "Ada apa denganmu, kenapa malah melamun?" Tanya Ernest yang kini berdiri didepannya. Hiraya tersenyum kikuk, dia kemudian menjawab pelan. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya terkejut," jawabnya sembari berjalan keluar dari gedung pemotretan. Ernest juga berjalan dibelakangnya, "Tadi aku sudah memanggilmu dengan pelan, tapi kau tidak dengar jadi aku sedikit mengeraskan suaraku." "Jadi kau sudah selesai sejak tadi?" Hiraya bertanya sembari menoleh dan berhenti tepat di basement gedung. Ernest pun mengangguk, karena setidaknya dia sudah selesai sejak tiga puluh menit lalu. "Ya, aku selesai di jam setengah dua tadi. Dan sekarang sudah jam dua siang."Hiraya menepuk dahinya sendiri,
Hiraya terkejut, dia diam beberapa saat. Nama detektif bayaran itu cukup familiar ditelinganya. Ernest yang menyadari adanya perubahan ekspresi dalam diri Hiraya pun ikut berhenti, dia menoleh pada perempuan disampingnya itu dengan wajah penuh tanda tanya. "Ada apa Hiraya, kau mengenal nama itu?" Tanya Ernest. Hiraya segera menggeleng, kesadaran kembali menamparnya setelah tadi sibuk dengan pikirannya sendiri. "Tidak, aku tidak mengenalnya. Hanya saja aku cukup terkejut Tuan Hong Dae sampai menyewa detektif bayaran juga," kilah Hiraya. Padahal sebenarnya, Hiraya bukan hanya mengenal nama detektif bayaran itu. Tapi lebih dari sekedar kenal, dia malah bekerja sama dengannya. "Oh begitu ya," balas Ernest sembari kembali berjalan mengikuti asisten bosnya itu. Ketiganya lalu sampai, Chung Seo mengetuk pintu ruangan Hwang Dong Hae terlebih dahulu, sinyal bahwa ada yang ingin masuk. Tok tok tok!"Tuan, Ernest dan Hiraya izin masuk." Lee Chung Seo memberi tahu, tapi masih ada di dekat
Hae Sun mengerutkan keningnya dalam, dia saja tidak bisa mengenali pira dalam rekaman cctv itu dengan sekali lihat. Bagaimana bisa Hiraya mengenalinya dengan mudah. "Jangan mengada-ada, coba lihat baik-baik dulu. Jangan sampai nanti kita malah salah tuduh," ucapnya memperingatkan. Hiraya memutar bola matanya malas, sebenarnya apa yang dikatakan Hae Sun ada benarnya. Tapi, Hiraya tidak bohong soal pria itu yang tampak familiar. "Bagaimana sudah kau perhatikan baik-baik?" tanya Hae Sun lagi. Hiraya mengangguk, "Sudah." "Memangnya kau kenal pria ini?" Hae Sun memperhatikan wajah Hiraya dengan seksama. "Aku tidak mengenalinya, tapi jujur saja pria ini benar-benar tidak asing bagiku. Sepertinya aku pernah melihat postur tubuh seseorang yang persis seperti ini," jelas Hiraya dengan jujur. "Ah mungkin hanya sebatas mirip," tandas Hae Sun. Karena memang dia tidak mau mengandalkan insting saja dalam penyelidikan. Bisa-bisa, dia salah menangkap pelaku. Hae Sun lalu melipat tangannya dide
Ernest tidak segera menjawab pertanyaan dari dua rekannya dan juga Yoshi, dia malah berlari menuju kamarnya dan mengetuk pintu cukup kencang. Pria itu bermaksud untuk memberitahu Hiraya lebih dulu terkait apa yang dia ketahui. Tok tok tok!"Hiraya buka pintunya, Hiraya ada yang ingin aku bicarakan padamu!" Seru Ernest sembari terus mengetuk pintu dengan keras. Untungnya tidak perlu waktu lama, Hiraya sudah keluar dan menghentikan aksi heboh Ernest. Gadis itu bingung saat melihat wajah Ernest yangs sangat serius, tapi juga ada kemarahan yang tersirat di sana. "Ada apa?" tanya Hiraya dengan nada yang tenang, dia juga menoleh ke arah balkon tempat teman-teman Ernest berada, bermaksud mencari tahu lewat mereka. Ernest memegang pundak Hiraya bahkan sedikit menekannya, emosi pria itu bisa Hiraya rasakan hanya dengan gestur tubuh dan juga nafasnya yang memburu. "Ini soal skandal mu?" tanya Hiraya hati-hati, karena memang skandal itu membuat Ernest semakin sensitif. Ernest mengangguk me
Di pagi harinya, Hiraya sudah bersiap pagi-pagi buta. Bahkan Ernest saja sampai terkejut dengan sikap gadis itu pagi ini. "Ya Tuhan, Hiraya apa kau tidak tidur?" Tanyanya begitu melihat Hiraya sudah berdandan rapi dan tengah menyiapkan keperluannya untuk agenda hari ini. Gadis itu mendongak, dia malah tertawa kecil dan menghentikan kegiatannya. "Tentu saja aku tidur, hanya saja aku bangun jam tiga tadi." Ernest malah geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan gadis asli Indonesia itu. "Kau mempersiapkan keperluan ku, memangnya ada jadwal lain hari ini selain bertemu dengan Aeri?" Tanyanya sembari duduk di depan Hiraya yang masih berkutat dengan kegiatannya. "Hmm iya, semalam rupanya aku mendapat email dari penulis Shinhwa bahwa dia memintamu datang ke kantornya. katanya dia akan merekomendasikan dirimu untuk pemain utama di drama terbaru garapannya." Hiraya menjelaskan dengan rinci. "Kalau begitu baiklah, aku akan bersiap. Jam berapa kita bertemu penulis Shinhwa dan bertemu A