Share

BAB 3

Tempat rumah sakit Irene bekerja merupakan George Washington University Hospital. Tempat barunya ini lebih nyaman daripada rumah sakit sebelumnya ia bekerja. Rata-rata residen di rumah sakit ini cukup baik, walau beberapa mungkin merasa lebih superior.

Seperti Dokter Hans, dokter senior ini sudah berusia 55 tahun. Beliau merupakan orang yang baik dan memberikan Irene banyak pembelajaran di hari pertamanya bekerja di rumah sakit ini. Banyak dari pengalaman beliau yang sebenarnya diluar jangkauan kebiasaan Irene ketika menjadi dokter rumah sakit di Korea Selatan.

Mungkin karena dari budaya bekerja di Amerika dan Korea yang berbeda, sehingga ada beberapa hal yang harus Irene lakukan untuk beradaptasi sepecepat mungkin. Pekerjaan di sini dilakukan dengan sangat profesional, mereka tidak mengambil keputusan secara asal-asalan tanpa adanya rapat keputusan.

"First time here, in The US?" tanya Dokter Hans.

Irene menjawab. "Tidak, dokter." Seraya menggelengkan kepala, "Saya pernah tinggal di salah satu kawasan bagian di Amerika, hanya saja ibu saya memutuskan untuk pindah ke Korea Selatan."

Dokter Hans mengangguk. Dia tampak sedang memilah file yang berada di atas meja kerja. Irene merupakan anak baru di bawah kepemimpinannya, sehingga dia bertanggung jawab atas dokter perempuan ini.

Siapa yang menyangka bahwa dokter ini memiliki banyak bakat daripada yang selama ini dia duga?

Sebagai anak baru, Dokter Irene beradaptasi dengan cepat. Perempuan itu mampu mengimbangi ritme budaya bekerja Amerika yang efesien dan cepat.

"Sudah hampir satu bulan kau bekerja di sini, bagaimana situasinya?"

"Bukan masalah, dok. Beberapa mungkin rasis karena saya datang dari Korea, padahal kewarganegaraan saya sendiripun masih Amerika." Ada tawa manis diakhir kalimatnya. Membuat dokter Hans terdiam sejenak.

Pria setengah baya itu tersenyum tipis. Kembali menunduk menatap rentetan kalimat dokumen yang dibawanya.

"Kauㅡ" menghela napas, "Mengingatkan terhadap putri saya."

Irene terdiam sejenak. Ekspresi wajahnya langsung berubah, "Ah?"

"Ellen sedang kuliah Arsitektur di France. Sudah hampir dua tahun dia tidak pulang. Aku rasa, dia memang menyukai France sebanyak itu ketimbang harus kembali ke rumah."

"Eeyy, tidak dokter. Aku rasa, Ellen sedang memantaskan dirinya," ujar Irene.

"Memantaskan?" tanya dokter Hans.

"Ya." Irene mengangguk, "Sebagai seorang anak, terkadang kita sangat malu bertemu orang tua tanpa membawa kesuksesan. Kami ingin dibanggakan oleh orang tua, sehingga terkadang, dia merasa insecure kala berhadapan dengan orang tua; dia takut anda tidak puas dengan hasil kerja kerasnya, sehingga dia ingin bekerja lebih keras supaya bisa memantaskan diri."

Dokter Hans menghentikan aktifitasnya. Dia mencerna perlahan setiap kalimat yang Irene lontarkan. Beberapa mungkin benar. Dia tersenyum atas kenaifan dirinya, juga kenaifan perempuan di depannya.

"Anak ku, sebagai orang tua, apakah anaknya sudah memantaskan diri atau belum, mereka hanya menginginkan bahwa anak mereka sehat, selamat, dan ceria. Tidak apa dia tidak memiliki prestasi berarti, atau belum mampu mencapai ekspektasi orang tua; asalkan dia bisa pulang, dan memeluk, sudah cukup."

Irene tercenung. Kali ini, dia yang terdiam. Tanpa sadar, ia menoleh menatap jendela transparan rumah sakit ini; menatap langit senja yang memantul melalui gedung pencakar langit. Ucapan dokter Hans sedikit banyak menusuk dadanya.

Apakah mamanya akan bangga jika saat itu dia kembali ke rumah sakit tepat waktu?

Apakah mamanya tidak mempermasalahkan statusnya yang saat itu sedang koas dan belum bisa membawa uang sepeserpun untuknya?

Merasa gelisah. Irene merupakan tipikal perempuan introvert di mana dia ingin menyendiri, memeluk diri sendiri, dan bersembunyi.

Dokter Hans merasa bersalah. Pria itu menepuk pelan bahu Irene, "Hey, nak. Maafkan apabila ada kalimat ku yangㅡ"

"Tidak apa, dokter Hans," potong Irene, "Itu hanya kenangan lama. Tidak baik untuk terus diungkit."

Dooter Hans menghela napas, "Really. I wish I could have a daughter like you, Irene."

Irene terkekeh sebagai balasannya. Perempuan berambut panjang dibalut dengan jas putih khas dokter, tidak membalas apapun selain mempersiapkan dirinya untuk pulang. Shift nya sudah selesai.

Suara dering telepon kantor terdengar. Dokter Hans yang juga sedang bersiap-siap, mau tidak mau mengangkat telepon tersebut. Sementara, Irene sudah keluar dari ruangan.

Gadis itu berjalan menuruni anak tangga. Hendak melewati IGD kala dia melihat banyak suster dan perawat yang berlarian menuju pintu depan. Samar-samar dia mendengar,

"Ada kecelakaan. Harus diberikan pertolongan pertama."

Mendengar itu, Irene segera mendengar. Stetoskop yang melingkar dilehernya hampir jatuh kala ia berlari kencang. Beruntung alas sepatu yang dikenakan bukanlah yang mudah licin, sehingga mempermudah pergerakannya.

Di ranjang itu, Irene melihat seorang pria berperawakan tinggi, darah mengakir di kening, dan kakinya. Dia tampak tidak sadarkan diri. Irene hendak mendekati pasien tersebut.

"Dia kenaㅡ"

"Dokter Hans, ada pasien kecelakaan. Bisakah dokter membantu...."

Irene menatap datar sosok perawat itu. Dia menggelengkan kepala dan mengangkat bahu. Syukurlah ia tidak perlu lembur malam ini. Tapi, siapa yang menyangka bahwa Dokter Hans justru memanggilnya.

"Irene, saya rasa situasi di rumah sakit sedikit lebih runyam; pria itu tampaknya ... aku mengenali dia, akan lebih baik jika aku yang menangani." Dokter Hans memberikan secarik kertas pada Irene setelah dia menulis dengan cepat, "Ini alamat rumah keluarga yang membutuhkan pertolonganㅡaku merupakan dokter pribadi keluarga mereka, tapi kau bisa datang ke sana untuk menggantikan saya. Nanti, saya akan memberitahu mereka."

Irene, "...."

Perempuan itu melirik secarik kertas ditangan dokter Hans. Setelah memikirkan sebentar, tampaknya tidak salah juga untuknya mengambil job desk milik dokter Hans. Lumayan, sekalian dia mengetahui jalan di Washington.

"Baiklah dokter. Apa saja yang harus saya perhatikan?"

Dokter Hans tanpa membuang waktu langsung memberikan tas perlengkapan kesehatannya kepada Irene. "Ambil ini, dan pergilah." Kemudian, seolah ingat sesuatu, dokter Hans memberikan kunci mobilnya, "Pergilah dan kembali ke rumah sakit. Saya akan menunggu kamu di sini."

"...." Irene sekali lagi dibuat speechless oleh tindakan dokter Hans yang sangat efesien. Dia menggeleng, lalu pergi ke tempat parkir mobil. Sebenarnya agak canggung menyetir sendiri, apalagi mobil yang digunakan merupakan mobil milik orang lain.

Sebulan di rumah sakit ini, dia benar-benar tidak menyangka dokter Hans akan langsung mempercayakan mobilnya untuk dipinjamkan. Bagaimana jika dia orang jahat? Apakah dokter Hans akan menyesal?

Menggeleng kepala heran, Irene hanya bisa menyalakan mobil dan mulai membuka maps, lantas berjalan meninggalkan rumah sakit di belakang.

> ••• <

Sungguh sial. Mino tidak pernah menyangka jika dia akan dijebak hingga seperti ini. Tulang kakinya retak, dan keningnya terluka. Luka ini memang tidak seberapa namun, jika berita ini tersebar, saham perusahaan keluarganya bisa terjun bebas.

Marcus sendiripun tidak mempercayai berita bahwa kakaknya ditabrak oleh mobil SUV, dengan dalih bahwa supir mobil tersebut mengantuk dijalan.

Siapa yang berani dengan lantang dan terang-terangan melawan keluarga Dendanious, huh?

Semua orang tahu bahwa semakin derajat keluarga tinggi, semakin banyak pula musuh dalam selimut yang mendekat. Marcus sangat tahu betul hal-hal seperti ini. Sebab, dia sendiri hampir memakan racun tikus yang diberikan oleh salah satu eksekutif dari perusahaan entertainment sebelah.

Secepat yang ia bisa, Marcus datang ke George Washington University Hospital. Dia menemui dokter Hans sejenak dan berbincang kecil di dalam ruangan dokter tersebut. Di belakang Marcus terdapat empat pengawal dengan lencana rajawali di sisi kiri.

Dokter Hans hanya menggeleng pelan. "Tuan Dendanious baik-baik saja. Tulang kaki bagian kirinya retak, dan kening nya sudah diperban. Anda tidak perlu cemasㅡwaktu penyembuhan, mungkin sekitar tiga minggu sampai empat minggu. Silakan cek secara berkala di rumah sakit terdekat di New York atau Manhattan."

Marcus mengangguk. Wajahnya tegang, dan tampak memikirkan sesuatu. Setelah itu, dia menyuruh dua pengawal untuk menjaga ketat kamar sang kakak, sementara dia sibuk menyelidiki kasus ini bersama polisi setempat. Mino kecelakaan disaat dia sedang melakukan perjalanan bisnis, tentu ini bukan sebuah laka lintas biasaㅡatau setidaknya, itu adalah analisa Marcus seorang diri.

Bagaimanapun juga, kasus ini sangat janggal. Kakaknya, tidak akan semudah itu jatuh keperangkap lawan tanpa perhitungan. Lantas, mengapa Mino bisa terluka hingga seperti ini? Apakah ada yang terlibat?

"Albert, bagaimana?"

"Belum ada kepastian. Mungkin untuk sementara ini, tampaknya saya tahu siapa yang berbuat," jawab Albert dengan wajah datar. Sekretaris kakaknya ini memang selalu seperti itu.

"Kau ... saat kejadian itu, kau ada di mana?" Markus menatap Albert yang sehat, "Tidak kah kalian berdua selalu satu mobil?"

Albert melembutkan ekspresi wajahnya. Dia menghela napas, "Saya sudah mengira akan seperti ini. Alibi saya memang yang paling cocok tapi, tuan muda kedua, tolong percaya saya. Saat kejadian itu berlangsung, posisi saya sudah berada di Goody Company."

"Selidiki," ucapnya lelah, "Selidiki sekarang juga!"

Sial, siapa orang yang berani menyentuh keluarga Dendanious, huh? Tiba-tiba, ia teringat dengan conferensi ekonomi internasional yang di adakan di Washington kemarin.

Siapa lagi? batin Marcus menjawab. Jika bukan Levebvè&Co, walau ini masih dugaan belaka. Sebab, hanya dengan keluarga Levebvè-lah Mino terakhir kali berbicara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status