Share

BAB 4

Irene menghentikan mobil nya tepat dipintu masuk perumahan mewah yang terlihat sepi. Apalagi dengan hari yang mulai malam, selain lampu yang menyala, dan penjaga perumahan di pintu masuk utama, hanya keheningan yang melanda.

Jendela mobilnya diketuk. Menurunkan kaca jendela, mata jernih Irene yang berwarna hazel menatap pria yang sedang memberikan tatapan curiga kepadanya. Irene bersikap tenang, dia tersenyum seraya menunjukan kalung name tag George Washington University Hospital.

"Saya menggantikan dokter Hans menemui pasien di salah satu unit perumahan ini." Tidak lupa, dia menyebutkan nomor unit perumahan yang hendak ditujunya. Penjaga itu segera membukakan pintu seraya mengucapkan kata maaf. Irene hanya memberikan senyuman yang menandakan bahwa ia sama sekali tidak keberatan. Baru setelahnya, dia mengendarai mobil SUV milik dokter Hans ke salah satu unit perumahan mewah di sini.

Irene berhenti di depan gerbang berwarna cokelat tua yang menjulang tinggi. Perempuan itu menekan klakson berulang kali. Pintu gerbang secara otomatis terbuka, hal ini dikarenakan penjaga gerbang sering melihat mobil yang dipakai oleh dokter Hans ketika kunjungan rutin. Keluar dari mobil, gadis itu segera melangkahkan kakinya menuju pintu utama.

Dia menekan bel beberapa kali sebelum, pintu berwarna putih gading itu terbuka lebar. Menampilkan seorang perempuan paruh bayaㅡmungkin sekitar satu atau dua tahun lebih tua dari usia almarhum ibunya.

Irene menampilkan senyum ramahnya. Hendak berkata ketika wanita itu terlebih dahulu berucap, "Samantha," ujarnya dengan suara pelan, matanya terbelalak terkejut, namun ekspresi dan kalimatnya terlihat jelas dan mampu didengar oleh Irene.

"Mohon maaf?"

Wanita itu segera menetralisir wajahnya. Menggeleng pelan seraya menyipitkan mata. "Kamu siapa?"

"Saya Dokter Irene," jawab Irene. Menunjukan gantungan name tag dari rumah sakit di mana ia bekerja. "Saya mendapatkan mandat dari dokter Hans untuk memeriksa pasien pribadinya."

Wanita itu terlihat masih belum percaya tapi, ketika Irene menunjukan surat yang diberikan oleh dokter Hans, barulah perempuan itu mau tidak mau mempersilakan Irene masuk. Membawa dokter perempuan itu ke tempat suaminya yang tengah sakit.

"Ma, apa dokternya sudah datang?"

Atensi Irene tertuju pada perempuan yang sedang menuruni anak tangga. Samar-samar, dia tampak pernah melihat perempuan ini tetapi, di saat yang bersamaan dia juga tidak mengingatnyaㅡapakah hanya perasaannya saja?

"Sudah," jawab sang ibu. Wanita itu menyusul anaknya, dan menunjuk ke arah Irene, "Dia dokter yang ditunjuk oleh dokter Hans untuk menggantikan sementara."

Perempuan itu terlihat seumuran dengan usia Irene. Entah lebih muda atau lebih tua sedikit, tidak ada yang bisa menebaknya. Satu hal yang pasti, perempuan berambut sepinggung itu menatap curiga, seolah tidak mempercayai kenerja Irene sebagai dokter.

"Kau ... bukan perempuan simpanan ayah ku, 'kan?"

Mulut Irene ternganga sedikit. Astaga, pikiran kurang ajar macam mana yang dituduhkan kepadanya? Batinnya kesal.

"Saya seorang dokter, nona muda. Anda tidak perlu cemas." Barulah setelah Irene mengucapkan kalimatnya, perempuan itu mengangguk. "Ayo ikut aku."

Irene melangkah di belakang, mengikuti ke mana perempuan tersebut akan membawa. Sementara dibalik punggung nya, wanita yang tadi menyambut Irene menatap punggung Irene dengan tatapan yang tidak terbaca. Keningnya mengerenyit tidak suka, seraya mengepalkan tangan.

"Tidak mungkin," ucapnya. Menggelengkan kepala mencoba membantah kenyataan, "Samantha berjanji padaku untuk pindah negara. Mengapaㅡ"

Mengapa perempuan itu mirip sekali dengan Samantha?

Tidak, salah. Mengapa perempuan itu ada di sini? Lebih tepatnya, apakah Samantha sendiri ada di negara ini?

> ••• <

Memasuki kamar utama, Irene sedikit terpana dengan interior kamar tersebut. Kalau boleh dibilang, nuansa kayu yang ada membuat kesan homie yang lebih dalam. Sehingga merasa bahwa kamar ku adalah istanaku adalah nyata.

Dia melihat seorang pria paruh baya yang terbaring lemah di ranjang besar. Mendekat bersama perempuan yang membawanya, wajah Irene sedikit menunjukan rasa terkejut; tidak, maksudnya, bukankah pria paruh baya ini mirip dengan iklan digital yang dilihatnya malam itu?

Irene menoleh ke samping, mendapati sosok perempuan yang terasa familiar namun juga tidakㅡapakah karena efek make up?

Berdehem sejenak, Irene mencoba menetralkan debaran anomali yang tak henti-henti. Seolah menusuk raganya dengan telak, dan membuatnya tergelak. Lucu rasanya, baru satu bulan ia di sini, tapi sudah bertemu, bahkan menginjak kan kaki di rumahnya secara langsung.

Keluarga Levebvè, huh?

"Ada apa?"

Irene menggeleng. Dia dengan gesit mengeluarkan stetoscop nya, dan memulai basik pemeriksaan. Sesekali dia mengerenyit, sesekali juga dia memukul pelan perut pria paruh baya itu dengan jemarinya untuk memastikan.

Jujur saja, dia tidak tahu tuan Levebvè ini memiliki penyakit apa, seharusnya ada pada data rekam medis. Namun, bukan haknya untuk melihat secara gamblang privasi pasien dokter lain. Dia hanya memberikan senyuman dingin.

"Bisa nona muda katakan, kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Tuan Levebvè tadi pagi sampai siang hari?"

"Papa dan kakak seperti biasa, mereka pergi ke kantor bersama. Kakak memang bekerja sebagai CEO baru di sana, sementara papa melakukan pengecekan secara rutin. Siang nya, dia dan kakak menghadiri beberapa pertemuan. Namun sejak sore tadi, kondisi papa menjadi aneh; panas dingin, pusing, hilang nafsu makan, muntah, dan mengeluh jika perutnya kram." Menghela napas, "Beliau saat inipun masih tidak nyaman."

Pelahan, perempuan berambut sepunggung itu bisa melihat mata ayahnya yang terbuka. "Papa," sapanya.

Irene menoleh. Mata hazelnya langsung bertatapan dengan mata hazel pria paruh baya tersebut; tampak letih, lelah, dan juga kebingungan.

"SaㅡSamantha?"

Irene hanya tersenyum menanggapi pertanyaan tersebut. Dia tidak mengatakan apapun, dan beralih pada perempuan di depannya. "Saya sarankan untuk dibawa ke rumah sakit. Jika hal itu dirasa cukup merepotkan, saya bisa memasang infus di sini, selebihnya akan dirawat oleh dokter Hans."

"Memangnya, papa kenapa, dok?"

"Identifikasi sementara, tampaknya tuan Levebvè keracunan makanan."

"Tungguㅡhah, bagaimana bisa? Papaㅡ"

Irene dengan sigap memasangkan infus yang ada di tas medikal milik dokter Hans. Perempuan itu hanya terdiam melihat betapa tanggapnya Irene dalam memasangkan infus.

Sementara di sisi lain, pria paruh baya yang masih berbaring terdiam. Menatap kosong pada langit-langit kamar, sementara telinganya terus mendengarkan.

Keracunan makanan bukan lagi menjadi pusat atensinya. Melainkan wajah dokter perempuan yang sedang memasangkan infus ini mengingatkannya dengan masa lalu suram yang sebenarnya tak ingin dia ungkit kembali. Itu sudah lama berlalu, dan orang tersebut tak lagi ada.

"Dokter ...."

Irene menyambut uluran tangan perempuan itu, "Saya Irene, dokter Irene."

"Saya Clarissa. Terima kasih karena telah membantu merawat ayah."

Irene mengibas lengannya. "Bukan masalah, nona Clarissa. Sudah tugas saya. Tolong untuk di kontrol hingga esok hari. Jika masih memiliki gejala yang sama, bahkan lebih, segera larikan ke rumah sakit."

Clarissa mengangguk. "Mari saya antar keluar," ujarnya dengan lembut. Irene berhasil berbenah dengan cepat, menatap ke arah tuan Levebvèㅡyang ternyata juga sedang menatapnyaㅡterpaku sejenak, sebelum memaksakan sebuah senyuman. Barulah setelah itu, dia pergi dari sana.

Ketika dia hendak melewati ruang tamu, wanita paruh baya datang dengan membawa nampan berisikan minuman. Terkejut melihat Irene dan anaknya sudah selesai.

"Sebentar, minum dulu."

"Terima kasih, nyonya. Saya masih memiliki kerjaan di rumah sakit."

Nyonya Levebvè tampak mengerti. Dia bersikap seolah tidak terjadi apapun, "Kerja di mana? Klinik pribadi dokter Hans?" Dia sungguh berharap bahwa perempuan ini segera pergi dari rumahnya.

Irene mengangkat sebelah alis. Klinik pribadi dokter Hans? Irene baru mendengarnya. Jadi, dia menggeleng, "Saya bekerja di George Washington University Hospital." Berpura-pura melirik jam tangan, "Saya benar-benar harus pergi sekarang. Permisi."

"Ah iya." Clarissa menjawab, "Terima kasih dokter Irene. Hati-hati di jalan."

Irene tidak mengatakan apapun lagi. Dia bergegas menaiki mobil dokter Hans dan pergi dari rumah mewah itu secepat mungkin.

Malam ini, terlalu banyak hal yang harus dicerna otaknya. Sementara, hatinya tidak siap.

Sudah sebulan dia mencari tahu tentang keluarga Levebvè. Dari semua artikel, tidak ada satupun artikel yang menyebutkan nama ibunya, kecuali satu artikel; itupun dengan berita yang sangat tidak mengenakan untuk dilihat.

Perselingkuhan, pregnant by accident.

Ironi.

Diantara dia dan Clarissa, siapa anak kandung, siapa anak haram?

Irene membenci pertemuan picisan seperti ini. Sangat membencinya.

> ••• <

Dokter Hans mengatakan jika Mino telah siuman. Hal pertama yang diinginkan oleh Mino adalah memanggil Albert, sementara pria berusia 30 tahun itu juga meminta tolong agar dokter Hans menyampaikan pesan pada Marcus agar adiknya lebih fokus untuk menyelidiki masalah ini.

Bagaimanapun juga, kondisinya tidak bisa dikatakan normal. Ada kejanggalan yang mampu ditutup dengan baik oleh tersangka pelaku utama.

"Jadi, kau berasumsi bahwa ada pihak ketiga yang mencoba mengadu domba antara keluarga Levebvè dengan keluarga Dendanious?"

Mino memejamkan matanya sejenak. "Tidak bisa dibilang begitu, lebih tepatnya pihak ketiga ini ingin menghancurkan perusahaan textile keluarga Levebvè dan perusahaan keluarga ku dengan cara mengadu domba." Sebab, sangat tidak mungkin bagi dua petinggi perusahaan yang baru saja bertemu di sore hari, mendapatkan kabar yang kurang sedap; satu masuk rumah sakit, satunya lagi dirawat di rumah pribadiㅡinformasi ini Mino ketahui dari Albert.

"Lalu, bagaimana Mino? Marcus sedang menyelidiki masalah ini."

"Kita akan buat pelakunya keluar sendiri."

"Dengan cara?"

Mino terdiam cukup lama. Dia menimang sejenak sebelum memutuskan tekad bulat. "Kita gunakan cara mama?"

Albert tidak mengerti dengan apa yang sedang sahabatnya utarakan saat ini.

Menarik napas, "Carikan aku seorang istri. Aku rasa sudah saatnya hal ini dilakukan sejak lama."

"Mohon maaf?" tanya Albert penuh penekanan.

Mino tidak menjelaskan detailnya. Pria itu hanya mengatakan, "Cari perempuan dengan kriteria berikut. Kau catat, dan buka seperti sayembara. Gunakan nama mu, jangan nama ku untuk mengelabui. Kriteria perempuan yang aku maksud ialahㅡ" Albert terus menulis apa yang dikatakan oleh Mino. Sebelum akhirnya, dia membahas beberapa rencana tambahan dan mengundurkan diri.

Louis Mino Dendanious. Entah apa yang merasuki sahabatnya itu sehingga nekat mencari istri demi menemukan dalang dari semua masalah yang ada.

Albert menghela napas panjang. Seolah sedang membuang semua bebannya sebelum ia menambahkan beban baru yang lebih berat.

"Sepertinya akan semakin sulit kedepannya."

Mino hanya mengangkat bahu sebagai rasa tidak peduli. Pria itu melirik kakinya yang diperban, sebenarnya retak pada tulang kakinya tidak begitu parah, hanya saja ini bisa menjadi kesempatan terbaik untuk memicu gelombang panas.

"Bukankah belakangan berita sangat membosankan?"

Albert melirik waspada, "Kali ini, hal gila apa yang mau kau lakukan?"

Memberikan senyuman miring, "Beritahu para wartawan dan segenap rekan media, buat PR perusahaan juga untuk meyakinkan berita. Katakan pada mereka, Mino Louis Dendanious lumpuh akibat kecelakaan yang diterimanya setelah pulang dari konferensi ekonomi internasional."

Albert tertawa getir. Mino selalu out of the box dalam pemikirannya, tapi dia tidak menyangka akan sampai segila ini.

"Lalu kau akan menggunakan kursi roda dalam kegiatan keseharian."

"Tidak juga," Mino terkekeh kecil, "Aku untuk sementara waktu akan menjauh dari perusahaan, aku percayakan kepada mu. Kau tenang saja, lumpuh ini hanya berita burung belaka."

"Indeed, kau resmi menjadi psikopat." dan Mino hanya tertawa mendengar umpatan sang sahabat.

Let's play a little longer, shall we?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status