Share

Bab 2

Penulis: Ina Qirana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-14 12:44:23

 

"Sah."

 

"Sah."

 

Usai kata itu menggema beberapa bait doa teruntai, mendoakan kami berdua yang sedang berbahagia. Namun, beberapa detik kemudian semua berubah kacau.

 

Ibu pingsan.

 

Semua orang berhamburan mengerubungi tubuh ibu untuk membangunkannya, aku sempat kesal karena momen hari ini harus dirusak olehnya.

 

"Pak! Bapak!" 

 

Akhirnya wanita cerewet itu membuka mata, ia panik mencari bapak.

 

"Beneran mahar Naura satu milyar?" tanya ibu dengan suara bergetar.

 

Aku melihat papa dan mama Feri saling lirik, mereka merasa aneh dengan kelakuan ibuku itu.

 

"Bener, Bu, kamu ini kenapa sih pakai pingsan segala, ayo bangun," jawab bapak dengan nada sedikit ketus.

 

"Kamu ... kamu dapat uang dari mana sebanyak itu hah? apa kamu minjam ke bank? atau ke rentenir?" tanya ibu sambil menatap suamiku.

 

"Sudah! Jangan tanyakan itu sama mantuku, ayo bangun!" Bapak terlihat ketus, ia pasti malu sekali.

 

Bapak segera minta maaf pada papa dan mama Feri, mereka tersenyum memaklumi, lalu selanjutnya dilanjutkan dengan acara sungkeman.

 

Ibu pun kembali bergabung dengan kami, saat aku ingin sungkem pada ibu hati ini sedikit ragu, entah kenapa rasanya malas saja meminta restu darinya jika teringat hal-hal kejam yang sering ia lakukan di masa lalu.

 

"Naura, uang satu milyarnya mana? uangnya biar Ibu yang pegang aja, kalau kamu yang pegang nanti habis pakai foya-foya ga jelas," bisik ibu saat aku memeluknya.

 

Momen haru berubah jadi menyebalkan, aku tak menjawab segera beralih sungkem pada ibu mertua.

 

"Naura, ini rekening atas nama kamu, mahar untukmu semua ada di situ ya, Nak." Ibu mertua memberikan satu kotak kecil berwarna merah, di dalamnya ada buku rekening dan sebuah ATM.

 

"Terima kasih, Bu. Terima kasih, Mas." Aku menatap ibu mertua dan Feri bergantian sambil tersenyum.

 

Canggung sekali memanggil Feri dengan sebutan mas.

 

"Dan ini cincinnya, pakaikan dong, Fer."

 

Suamiku itu malu-malu memasukkan cincin ke dalam jari manisku.

 

"Kalau gitu sekarang kalian poto dulu ya, baru nanti Poto sama keluarga," titah ibu lagi.

 

Ternyata Feri membawa satu orang potografer, lelaki yang memegang kamera itu mengaturku dan Feri untuk melukakan pose manis dan mesra.

 

Setelah puas Poto berdua dilanjut dengan Poto keluarga, betapa malunya aku melihat kehebohan ibu yang memakai banyak gelang emas di kedua tangannya, kalung rantai yang besar, juga cincin yang melingkar di jari manis, telunjuk dan jari tengah.

 

Ibu seperti toko emas berjalan.

 

"Eh, Mas, ambil Poto yang bener ya, ini nih kalung saya harus kelihatan."

 

Aku malu saat papa dan mama Feri melihat kekonyolan ibu, begitu pula dengan bapak, lelaki itu mencengkram lengan ibu memberi kode agar diam.

 

Acara selanjutnya yaitu makan-makan, segala hidangan yang kumasak semalam telah tersaji di hadapan, mama dan papa mertua menyantap dengan raut bahagia, apalagi suamiku, ia sampai nambah dua kali.

 

"Besan, enak 'kan masakan saya dan adiknya Naura?" tanya ibu membuatku menoleh, hampir saja aku tersedak jika tak secepatnya minum.

 

"Oh jadi ini buatan bu besan?" tanya mama dan papa Feri.

 

"Iyalah saya yang masak, abisnya Feri ngasih uang masak sedikit mana cukup buat bayar tukang masak," jawab ibu dibuat manis.

 

Aku yakin jika Feri tak memberikan mahar satu Milyar ibu takkan bersikap semanis ini.

 

"Yang masak ini semua Naura kok, Bu, Pak. Semalam dia asyik di dapur, saya ga bisa bantu karena lelah bantuin dia belanja ini itu seharian," sahut bapak.

 

Barusan ibu sudah menganga ingin bicara lagi, tapi keburu dipotong olehnya.

 

"Oh pantesan enak banget ya, Pa," ucap mama mertua sambil melirik suaminya.

 

"Kamu ga salah pilih calon istri Fer. Pinter masak, cantik dan ga matre," sahut papa mertua.

 

Aku jadi malu.

 

Ujung mataku melihat wajah ibu dan Dara, mereka terlihat memajukan bibir, sepertinya ia tak terima dengan pujian tulus papa mertua.

 

Usai makan keluarga besar Feri pulang, mereka membiarkan Feri menginap di sini semalam.

 

"Pengantin baru jangan ke mana-mana dulu, pamali, besok kami bawakan mobil ke sini untuk jemput kalian." Pesan terakhir papa mertua sebelum pergi.

 

Aku langsung masuk ke kamar setelah keluarga besar mertua pergi, lalu membuka kebaya dan segala riasan yang menempel di badan.

 

"Make up-nya ga usah dihapus, aku suka lihatnya," goda Feri sambil rebahan di kasur.

 

Aku tersenyum malu sekali.

 

"Udah ah, aku mau ke dapur.

 

Langkah kakiku terhenti karena tubuh Feri menghalangi.

 

"Ngapain ke dapur? kamu itu udah jadi nyonya Feri bukan Upik abu lagi, masa nyonya harus beres-beres dan cuci piring." Ia mulai menatap nakal.

 

Padahal sebelum menikah lelaki ini kalem sekali, belum pernah bicara menggoda, kenapa sekarang berubah? 'kan aku jadi salah tingkah.

 

"Ih Mas apa-apaan sih, cuci piring itu udah tugas perempuan." Aku mesem-mesem.

 

"Udahlah, sekali ini aja biar adikmu yang kerjakan, sekarang duduk sini." Feri menuntunku duduk di kasur 

 

Aku baru ingat seumur hidup belum pernah lihat Dara mengerjakan pekerjaan rumah, ia anak pemalas, bahkan bajunya saja aku yang mencuci.

 

"Mau apa sih, Mas?" tanyaku, antara malu dan takut campur jadi satu.

 

Takut saja lelaki itu meminta haknya sekarang, aku belum siap.

 

"Kamu berhenti kerja ya, aku ga mau kamu capek," pinta Feri, aku sedikit lega kukira ia meminta hak sekarang.

 

Saat ingin menjawab pintu kamarku terbuka, wajah Dara langsung terlihat di balik pintu.

 

"Dipanggil Ibu tuh," ucap Dara tak sopan.

 

Sekarang ia sudah ganti baju, memaki celana pendek sekali serta tangtop mini, bahkan pusarnya yang putih kelihatan, untung suamiku buang pandangan.

 

"Kak Feri juga dipanggil bapak di depan," ucap Dara sambil menatap suamiku.

 

Feri segera ke luar kamar sambil menundukkan wajah, setelah itu ibu dan Dara nyelonong masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu buru-buru.

 

"Naura, mana duit satu milyar itu siniin, biar Ibu aja yang pegang," pinta ibu maksa 

 

"Itu uangku! Dan aku ini udah gede, udah bisa nyimpen uang."

 

Rasanya kesal sekali, selama aku bekerja ibu selalu minta semua gajiku, lalu sekarang uang mahar pun diminta juga.

 

"Oh udah berani ngebantah kamu ya, mau jadi anak durhaka? mentang-mentang punya duit banyak berani ngelawan orang tua," sergah ibu dengan tatapan sinis.

 

"Kalau iya Ibu mau apa? udah cukup selama ini Ibu nikmati hasil kerja kerasku, bahkan saat Ibu dan Dara memperlakukanku tidak adil pun aku diam aja," balasku dengan tatapan menantang.

 

"Kalau kamu ga mau ngasih, maka Dara akan menggoda Feri, dia pasti jatuh cinta sama Dara, mau kamu kaya gitu?" 

 

Aku geleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan jalan pikir wanita tua ini.

 

"Oh kamu mau goda suamiku, silakan!"

 

Mata ibu membeliak, mungkin tak menyangka untuk pertama kalinya aku membangkang.

 

"Itu kotaknya, Bu, ambil ajalah, banyak drama." Tatapan mereka berdua tertuju pada kotak merah yang berisi rekening dan ATM dari suamiku.

 

Dengan kecepatan kilat ibu mengambil kotak itu lalu menyembunyikannya di belakang punggung.

 

"Balikin, Bu!" teriakku kalap.

 

"Uang ini hanya disimpan, Naura, kebangetan kamu ya."

 

"Ayo buruan keluar, Bu, aku udah ga sabar pengen hape baru," ucap Dara sambil narik tangan ibu untuk keluar kamar 

 

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Tamat

    "Kecuali apa!" bentakku sambil menatapnya tajam."Loh, Sayang, kok kamu bentak-bentak Pak Bagas gitu? Ada apa?" tanya Mas Dari yang tiba-tiba datang dari arah belakang.Aku sudah tak tahan dengan semua ini, lantas berdiri dan menatap tajam wajah Bagas."Mas, lebih baik tolak bantuan dari lelaki ini!" telunjukku mengarah ke wajah Bagas.Lelaki itu sedikit panik dan ketakutan, ia pikir aku akan diam saja ditekan olehnya, jangankan menggertak mencoba membunuhnya saja aku berani.Ya, tepat dua tahun yang lalu Bagas mencoba melecehkanku di vilanya yang berada di puncak Bogor, mereka sengaja memberikan obat tidur pada ketiga temanku lalu dengan santainya menggodaku hingga berusaha melecehkanku di tempat itu.Namun, aku tak Sudi disentuh olehnya, saat itu aku melawan sekuat tenaga hingga berhasil memukul kepalanya dengan bangku, kepala Arvin berdarah, tetapi lelaki itu tak menyerah terus menyerangku untuk mengoyak diri iniHingga akhirnya aku kalap lalu menancapkan pisau daging ke perut dan

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 44

    Naura mematung dengan tangan mengepal erat, di dadanya ada amarah yang membuncah hebat.Ia benci embusan napas itu, ia juga benci seringai menjijikkan itu yang hampir merenggut kesuciannya beberapa tahun silam, andai Naura tak pandai bela diri tentu sekarang dirinya sudah menjadi sampah."Maaf sekali, Pak Burhan, sepertinya saya berubah pikiran.""Maksud Anda?" Pria berjas silver bernama Burhan itu mengerenyitkan dahinya."Ya, tanah ini tidak jadi saya jual, mohon maaf ya, Pak."Lelaki bernama Burhan itu melirik Naura dengan intens, lalu melirik kliennya yakni Bagas."Maaf kalau boleh tahu apa alasan Bu Naura membatalkan jual beli tanah ini? Bukankah sebelumnya kita sudah sepakat soal harga? Di depan kita sudah ada pembeli yang berani menawar dengan harga tinggi loh, Bu."Naura terdiam sejenak menatap lelaki bernama Bagas yang sangat ia benci setengah mati."Alasannya karena saya tidak menyukai dia." Naura menunjuk dada Bagas dengan tatapan dingin.Sontak saja Bu Nendah dan Pak Burhan

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 43

    "Pak Polisi?" Tenggorokan Dara tercekat.Bagaimana tak panik teman-teman yang digadang -gadangkan akan melindunginya malah hilang entah ke mana. Sekarang ia mendapati dirinya dalam keadaan mengkhawatirkan."Ini surat penangkapan Anda, saya harap Anda bisa diajak kerja sama." Polisi itu menyerahkan secarik kertas yang membuat Dara kian panik."Tapi ... saya ga bersalah kok, Pak polisi." "Ikut saja ke kantor ya. Ayo." Pimpinan aparat itu menyuruh bawahannya yang berjenis kelamin wanita agar membawa Dara."Sial!""Sial!"Ke mana Yopi, Clara dan yang lainnya? Lalu ada apa dengan tubuhku? Apa yang mereka lakukan semalam?Selama digiring pihak kepolisian Dara terus bertanya-tanya dalam hatinya, tiba-tiba ia langsung teringat Yopi.Apa jangan-jangan lelaki itu sudah menj*mah tubuhku? Kurang ajar kau Yopi, lihat saja nanti.Di ruang penyelidikan Dara terus di bombardir pertanyaan-pertanyaan yang membuat dirinya kehilangan konsentrasi karena pertanyaan tersebut hanya itu-itu saja dan dilontar

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 42.B

    "Soal itu kami masih menyelidikinya Pak Feri jangan khawatir kita akan menemukan pelakunya secepat mungkin."Usai berbincang dengan aparat kepolisian jenazah Pak Bagus pun diperbolehkan pulang, seluruh keluarga besar Bu Nisya dan Pak Bagus datang kembali ke rumah itu.Mereka tak menyangka Pak Bagus akan meninggal dalam waktu berdekatan dengan istrinya, ada yang menganggap ini cinta sejati antara mereka ada juga yang menganggap karma."Fer, apa kamu melihat Dara?" tanya Farhan."Tidak, aku sudah menelpon Pak Endang mungkin dia di perjalanan sekarang," jawab Feri.Benar saja beberapa menit kemudian Pak Endang dan Bu Rita datang memakai pakaian serba hitam."Saya ikut berduka cita, Nak Feri," ucap Pak Endang."Terima kasih.""Oh ya mana anakmu si Dara itu? Kenapa dia ga ke sini?" tanya Jeni yang duduk di dekat suaminya.Saat ini jenazah Pak Bagus sedang dimandikan di belakang rumah.Pak Endang tak menjawab ia malah melirik istrinya."Mungkin sebentar lagi," jawab Bu Rita, karena sebenarn

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 42.A

    "Hah!" Napas Dara terengah-engah melihat suaminya tergeletak di lantai dengan wajah penuh kesakitan, sedangkan dari dalam dadanya keluar darah dengan derasIa baru tersadar jika tindakannya barusan memang dikuasi setanDara beringsut mundur sambil menutup mulutnya, tubuh kurus itu bergetar ketakutan."Mas." Dara menggoncangkan tubuh suaminya menggunakan kaki.Tapi Pak Bagus tak bergerak, bahkan matanya melotot tanpa berkedip.Dara semakin panik, matanya liar melihat ke sekeliling ruangan, beruntung tak ada yang menyaksikan karena sanak saudara Bu Nisa telah pulang tadi malam.Perempuan itu pun mundur perlahan lalu pergi dengan berlari kencang, keluar dari perumahan itu baru ia bisa berhenti berlari karena napasnya terengah-engah."Ya Tuhan, apa Mas Bagus meninggal?" Seluruh tubuhnya bergetar hebat.Ia pun segera naik angkot lalu pulang ke rumah melewati ibunya yang sedang mengemas barang dagangan."Gimana, Ra? Pak Bagus ngasih uang?" tanya Dara.Bahkan ia lupa jika dompet suaminya ya

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 42

    Dara melotot sambil melirik suaminya, tak menyangka Pak Bagus yang bucin bisa menuduh sekejam itu, ya walaupun tuduhan itu benar, pikir Dara."Apaan sih kamu ga jelas banget, aku mana ngerti begituan, jangan mentang-mentang istri kamu meninggal terus kamu merasa bersalah dan mencampakkan aku gitu aja ya, Mas." Dara berusaha memutar balikkan fakta."Seminggu yang lalu saya dirukiyah sama Feri dan saya muntah, setelah itu tiba-tiba aja rasa cinta saya ke kamu jadi hilang, itu apa artinya kalau kamu ga melet saya hah." "Apa?! Cuma masalah kaya gitu Mas berani nuduh aku." Dara tersenyum getir."Bilang aja nyesel nikah sama aku karena istri kamu udah meninggal sekarang, ga usah nuduh aku macam-macam karena Mas ga punya bukti." Dara masih tak ingin kalah Pak Bagus terdiam berdebat dengan anak ingusan memang takkan pernah menemukan titik penyelesaian."Saya ga nuduh kamu, tapi saat ini perasaan saya ke kamu udah ga ada, Dara, terus kamu mau kaya gimana?" Pak Bagus pasrah, sudah terlalu ban

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 41.A

    "Neng, kasian sekali ya Bu Nisya."Hari ini tepat setelah tujuh hari Bu Nisya pergi Naura pulang ke rumahnya dengan sang ibu, tak dapat dipungkiri menginap di sana membuatnya sedikit tak betah oleh sikap Jeni yang sering sekali menyindir."Nasibnya ga jauh beda sama Ibu, sama-sama ditinggalin suami.""Udah ah, Ibu jangan banyak pikiran sekarang istirahat ya.""Neng, kapan Ibu berhenti minum obat? Ibu udah sembuh kok."Naura menatap ibunya dengan tersenyum. "Iya Ibu udah sembuh, tapi minum obat juga harus karena yang suka Ibu minum itu vitamin bukan obat, aku juga suka minum vitamin kok ga hanya Ibu aja." Naura terpaksa berbohong"Oh gitu ya." Bu Nendah masih mikir."Udah istirahat."Setelah ibunya tertidur Naura segera menghampiri Feri di kamarnya."Perusahaan lagi pailit, Ra, uang buat menggaji karyawan dipakai Papa buat nikah kemarin.""Apa, jadi mahar satu milyar itu uang perusahaan?"Feri mengangguk.Bertahun-tahun menjadi karyawan ia faham betul jika perusahaan telat memberi gaji

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 40.B

    Bugh!Dara berhasil membuat Jeni terhuyung ke lantai dengan pukulannya, ia dan ibunya gegas masuk ke dalam rumah.Kebetulan di dalam ada Bu Nendah dan Naura yang sedang mempersiapkan acara tahlilan Bu Nisya."Rita," gumam Bu Nendah sambil mengehentikan aktifitasnya.Naura pun sontak melirik ke arah pandang ibunya."Naura, di mana Mas Bagus? Panggilin sana." Dengan pongah Dara memerintah."Ngapain kamu ke sini, Rita! Pergi sana! Ternyata bukan hanya kamu ya yang suka ngerebut suami orang tapi anakmu juga, emang ibu sama anak ga ada bedanya!" Hardik Bu Nendah.Jeni lah yang memberitahunya jika Dara adalah perusak rumah tangga Pak Bagus dan Bu Nisya."Jangan ikut campur! Kamu juga ngapain di sini sih? Sana balik ke rumah sakit jiwa," ejek Bu Rita tak mau kalah.Sementara Dara masih celingukan ke sekeliling ruangan mencari suaminya."Saya emang gila dan itu karena kamu sudah memisahkan saya dan Naura, dan saya sudah sembuh, saya doakan selanjutnya kamu atau anakmu ini yang gila," balas Bu

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 40.A

    Bu Rita yang sedang maskeran di kamarnya terlonjak kaget mendengar jeritan putri bungsunya, ia bergegas ke luar menemui Dara."Kamu kenapa sih?" "Ini, Bu, duit aku ilang semua." Dara masih sibuk mengecek ponsel berusaha menghubungi costumer servis bank."Kok bisa ilang? 'kan disimpan di ATM." "Aduh, Ibu, aku tuh kena tipu." Dara semakin panik."Kok bisa sih duit disimpan di bank ilang gitu aja," gumam Bu Rita yang minim pengetahuan."Gimana, Dara? Duitnya balik lagi 'kan setelah nelpon tukang banknya?""Ga tahu, pokoknya besok pagi aku diminta ke datang ke bank.""Aduuh gimana ini, Bu, mana duitku masih ada delapan ratus juta lagi di situ." Dara frustasi sambil mengacak rambutnya."Ya ampun! Kamu ini sarjana masa bisa ketipu sih, kamu itu 'kan pinter, Dara! Kok bisa ketipu!" teriak Bu Rita.Pak Endang yang tak tahan dengan suara bising di kamar sebelah pun beranjak menghampiri."Ada apaan sih? Malem-malem teriak?""Pak, duit Dara, Pak. Habis semua kena tipu."Pak Endang merenung sej

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status