“Baiklah, hari ini kita di rumah saja.” Pak Hasan duduk di teras.Aku juga duduk menemaninya. “Kamu kenapa diam saja?” tanya Pak Hasan memandangku.Aku menggelengkan kepala. “Aku tidak apa-apa, hanya lelah saja.”“Oh ... lelaki semalam, itu yang tempo dulu pernah ketemu dan beradu mulut denganku itu, ya? Siapa namanya?” Pak Hasan tampak berpikir.Pak Hasan dan Pak Herman memang dulu sudah pernah bertemu. “Dia Pak Herman, manajer kafe tempatku bekerja dulu,” jelasku.“Oh, iya. Pria itu juga menaruh hati padamu, kan?” Pak Hasan memandangku.“Entahlah.” Aku mengangkat kedua bahuku. “Aku tidak ingin membahas dia.”“Ok, aku paham. Rencana lusa aku ingin memperkenalkanmu sebagai calon istriku pada Umi.” Entah aku harus bahagia atau bersedih. Baru saja Humaira memintaku untuk meninggalkan Pak Hasan dan sekarang pria di hadapanku ini, ingin memperkenalkanku dengan Umi sebagai calon istrinya. Akan tetapi, dilihat kesungguhannya, tidak mungkin pria itu masih mencintai Humaira. “K
“Kak.” Suara pemuda itu mengagetkanku yang terlalu hanyut dalam lagu yang dibawakannya. Hingga tanpa sadar pemuda itu telah mengulurkan gelas plastik di hadapanku. “Terima kasih, Kak.” Aku memberikan sedikit rezeki untuk pengamen muda itu. Setelah mendengar lagu tersebut, aku mengambil HP dari dalam tas dan bergegas menghubungi Pak Hasan. Niat baik tidak boleh ditunda-tunda, walau nanti hasilnya akan baik atau buruk yang penting sudah berusaha.“[Assalamualaikum, Rei.”] terdengar suara Pak Hasan dari seberang.“Wa’allaikum salam. Pak Hasan, saya bersedia diperkenalkan dengan Umi secepatnya,” ucapku tanpa berbasa-basi.[Benarkah!]“Iya,” ucapku mantap.[Besok, usai pulang dari butik. Aku akan mengajakmu dan anak-anak ke rumah.]“Iya, Pak ... eh , Mas.”Perasaanku begitu lega setelah mengutarakannya. Semoga Umi mau merestui hubungan kami. Aku lantas kembali menikmati makanan yang aku pesan.Lelah setelah bermain, anak-anak berlari menghampiriku.“Haus, Bunda.” Nela meng
Suara langkah kaki terdengar jelas, dari arah luar, berjalan menuju ke arah kami. Suara langkah kaki terdengar pelan, sepertinya tamu yang di undang oleh Umi adalah wanita. Semakin, mendekat suara langkah kaki terdengar semakin keras.Benar saja, seorang wanita berjalan, beriringan dengan Umi. Tangan kanan Umi, mengamit tangan wanita di sampingnya. Senyum merekah tampak menghias wajah wanita yang masih kelihatan cantik walau usianya sudah tak muda itu. Umi tampak bahagia sekali dengan kehadiran Humaira.“Humaira, kami sudah menunggumu. Ayo silakan duduk.” Humaira duduk di hadapan Pak Hasan. Dia duduk di sebelah kanan, Umi. Sedangkan, aku berada di sisi kiri Umi.“Humaira, kenalkan ini Reina dan anak-anaknya. Dia karyawan di butik Meisa.” Umi memperkenalkan kami.“Kami sudah saling kenal, Umi,” jawabnya.“Iya, Umi. Kami sudah beberapa kali bertemu,” timpalku.“Wah, benarkah?” tanya Umi tak percaya.“Iya, Umi,” jawabku. Andai Umi tahu, kami tidak Cuma saling mengenal. Akan tetap
“Rei ... tunggu!” Pak Hasan mengejarku yang sudah berada di halaman rumah. Dia berhenti tepat di hadapanku, seketika langkah kaki terhenti. “Rei, biar aku antar pulang.” “Kembalilah ke dalam, Pak. Umi pasti menunggu, Anda. Biarlah kami pulang sendiri. Terima kasih untuk segalanya yang telah kau berikan untuk kami.” Aku melangkahkan kaki dengan Nela dan Neli dalam gandengan.Alam seperti ikut berduka. Dia seakan mengetahui isi hatiku yang sedang bermuram durja. Langit tampak begitu gelap, tak ada bintang yang menghiasinya. Tak berbeda dengan diri yang hina ini, tak ada pelita yang menerangi hati. Angin juga bertiup kencang, seakan ingin membawa diri ini ikut terbang bersamanya dan melupakan segala yang menimpa. Alam pun ikut menjerit, suara gemuruh petir terdengar saling bersahutan dan memekakkan telinga. Awan hitam tampak berjalan cepat, sepertinya dia sudah tidak sabar untuk menumpahkan segala yang ada pada dirinya, memalui tetesan hujan. Pria itu masih saja
“Rei, kamu enggak kerja.” Mila menghampiriku yang sedang memilah-milah sayuran di tukang sayur keliling yang biasa mangkal di kompleks.“Aku ijin hari ini.” Aku memandang Mila. Dia mulai memilah-milah sayuran.“Pak, saya bawangnya setengah kilo ya!” pintaku pada tukang sayur.“Ya, Bu.” Tukang sayur , mengambilkan satu kantong bawang dari gerobaknya. “Ini, Bu.” Dia meletakannya di hadapanku.“Bu Reina, semakin cantik aja!” ucap Bu Mirna dan Bu Anna yang berjalan menghampiri kami. Mereka merupakan ibu-ibu biang gosip di kompleks.“Iya, cowoknya juga, sudah ganteng, kaya lagi,” timpal Bu Anna.“Iyakah, Bu? Bu Anna tahu dari mana memangnya?” tanya Bu Marni.Aku tahu mereka sedang memainkan drama untuk mengorek informasi. Setelah mendapatnya, mereka akan menyebarnya dari satu mulut ke mulut yang lainnya.“Iya, tempo hari saya lihat, Bu Reina diantar pulang pakai mobil mewah. Hampir tiap hari loh, Bu Reina diantar bambang tampan,” jawab Bu Anna.
“Rei, aku pamit pulang dulu, ya. Sampai berjumpa besok.” Meisa mencium pipi kanan dan kiriku. Dia berjalan menuju mobilnya. Sebelum melajukan mobilnya gadis itu melambaikan tangan. Aku sedikit lega, mendengar ucapan Meisa. Semoga Pak Hasan bisa memperjuangkan cinta kami. Cuaca sangat panas, siang ini, membuat bunga mawar di halaman rumah telah layu. Aku duduk di teras rumah, bersantai sejenak, seraya menikmati semilir angin yang berembus, walau tak begitu menyegarkan. Di dalam rumah seharian, membuat engap. “Bu Reina, tumben duduk sendirian, cowoknya enggak datang, ya?” tanya Bu Anna yang kebetulan lewat, menghentikan langkahnya. “Bu Anna, panas-panas gini mau ke mana?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Mau ke depan ni Bu Reina, mau beli es buah.” Bu Anna menunjuk ke arah jalan raya. “Oh ... pas banget tuh Bu, sama cuacanya.” “Iya, Bu. Bu Reina kenapa enggak berangkat kerja? Lagi marahan ya sama pacarnya?” Bu Anna berjalan mendekat ke rumah.
“Sudahlah, lupakanlah aku dan turuti perkataan Umi. Kita jalani hidup masing-masing.” Aku menatapnya dengan air mata yang berlinang.Pak Hasan mengacak rambutnya kasar. “Tidak, aku tidak akan melepaskanmu. Tunggu saja aku akan datang bersama Umi ke rumah untuk meminangmu.” Pak Hasan keluar meninggalkanku.Sejak hari itu, Pak Hasan tak pernah lagi ke butik atau menemuiku. Mungkin, dia sudah putus asa dengan hubungan kami.** “Hai, melamun aja!” Sifa mengagetkanku yang sedang memasang gamis pada sebuah manekin.“Bukan melamun, Sayang.” Aku menoel pipi Sifa. ”Tapi ... Lagi konsen aja, biar rapi.” Aku memandang Sifa, lalu beralih memakaikan jilbab pada kepala manekin.“Rei, akhir-akhir ini kamu kelihatan murung, kenapa?” Sifa memandangku.Aku berjalan beralih ke manekin satunya. “Enggak apa-apa, aku cuma kecepekan akhir-akhir ini,” ucapku. “Eh ada pelanggan tuh!” Aku menunjuk seorang wanita yang baru saja masuk ke dalam butik. “Sana layani.” Aku mendo
Pukul delapan pagi, brankar Pak Hasan di dorong ke ruang operasi. Aku, Meisa, dan Umi menunggu di depan ruangan. Mulut kami tak pernah berhenti melafalkan doa agar operasi Pak Hasan berjalan dengan lancar dan dia dapat sembuh seperti sedia kala lagi.“Umi.” Aku menatap wanita dengan mata sendu yang duduk di sampingku. “Rei, ijin untuk Salat Dhuha dulu, ya.” Umi menganggukkan kepala.“Aku ikut, Rei. Aku juga ingin mendoakan Kak Hasan.” Aku dan Meisa berjalan menuju ke Mushola yang terletak berdekatan dengan ruang Operasi. Aku menuju tempat bersuci untuk mengambil wudu. Rasa dingin air mampu membuatku yang tadinya lesu, menjadi kembali segar. Usai wudu, gegas aku mengambil mukena yang berada di dalam sebuah lemari kaca dan memakainya untuk menunaikan Salat Dhuha. Usai salat, aku berdoa agar operasinya berhasil dan Pak Hasan bisa kembali berkumpul bersama kami. Aku melihat Meisa berdoa dengan air mata yang berurai. Pasti, dia begitu terluka melihat saudar