“Maaf, kalau aku menyinggung perasaanmu.” Pak Hasan memandangku.“Oh iya, dari mana Bapak kenal Mila?” tanyaku.“Dia janda kaya, kafenya ada dimana-mana, siapa yang tidak kenal dengannya. Aku juga terkadang meetting bersama klien di kafenya.”“Oh begitu, ya.” Aku memandangnya.“Aku kira ....”“Kamu kira aku suka sama dia.” Belum selesai berbicara Pak Hasan menyela. “Bukan begitu.”“Kamu cemburu?” tanya Pak Hasan.“Ehem ....” Pak Mahmud melirikku. Walaupun kau ada bersamaku Ku takkan berhenti menunggumu Katakan padaku katakanlah cintaUntukku untukkuKatakan padaku katakalah cinta untukkuKu dengar kau bicaraPak Mahmud menyanyikan lagu Ipang yang berjudul ‘Kalau Cinta Harus Bicara’ aku tahu pria itu sedang menyindir kami berdua. “Suara Pak Mahmud merdu ya, kenapa tidak jadi penyanyi saja,” godaku.“Iya Kek, suara Kakek bagus. Enggak kaya suara Bunda.”Pak Mahmud dan Pak Hasan tertawa.“Emang suara Bunda jelek ya, kalau nyanyi?,” tanya Pak Hasan.“Bukanya jelek lagi. Suaranya bisa
“Reina, single parent, Umi.” Pak Hasan mewakiliku menjawab pertanyaan Umi.“Pasti tidak mudah untukmu menjadi single parent. Tetap semangat Rei.”Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Umi. Memang benar kata Umi. Menjadi single parent itu tak mudah. Aku tak hanya berperan sebagai ibu. Akan tetapi, aku juga berperan sebagai ayah, mencari nafkah untuk mereka.Terkadang aku malu dengan statusku sebagai seorang janda. Tidak sedikit orang yang mencemooh dan menilai rendah diriku.“Terima kasih, Umi.” Aku sedikit membukukan badan.“Umi akan mendoakanmu, semoga Allah memberimu kemudahan, kesehatan, dan kelak Allah juga akan mengirimkan jodoh terbaik untukmu.” Wanita itu menatapku. Melihatnya aku menjadi rindu pada ibu yang telah tiada lima tahun silam.“Kamu di sini tinggal sama siapa?” tanya wanita itu.“Saya hanya tinggal bersama dua putri kembar saya,” terangku.“Kembar!” ucap Umi terkejut. “Pasti mereka cantik dan lucu-lucu. Umur berapa?” Umi begitu antusias saat aku menceritaka
Sayang.” Nela dan Neli berhambur memelukku saat aku tiba di sekolahnya.“Siapa yang mau es krim?” Hari ini rencana aku akan berbelanja kebutuhan rumah. Baru jam lima sore masih ada waktu sebelum magrib, apalagi letak mini market tak jauh dari sekolah anak-anak.“Aku, Bu.” Nela dan Neli berteriak kegirangan mendengarnya.“Tapi jangan terlalu sering ya!”“Siap, Bunda!” Mereka berteriak-teriak kegirangan.***“Bun, itu ada Om Hasan.” Pada saat kami tiba di depan mini market, Nela menunjuk sebuah kafe and resto yang berada di seberang jalan. “Samperin yuk!” ajaknya.“Jangan sayang, Om Hasan lagi kerja.” Aku terpaksa berbohong sama mereka.Pak Hasan sedang duduk berdua dengan wanita yang baru saja aku kenal. Mereka tampak serius saat berbicara.Aku bergegas masuk ke dalam mini market membeli barang-barang yang dibutuhkan.Nela dan Neli tampak cemberut. Pada saat aku menawari mereka es krim. Mereka hanya diam saja, dengan wajah yang
Aku begitu terharu melihat kedekatan anak-anak dengan Pak Hasan. Pria itu berbeda sekali dengan Mas Randi, yang jarang sekali bermain, bercanda, ataupun memerhatikan anak-anak.Dulu ketika pulang kerja, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dengan bermain HP. Segala urusan rumah dan anak-anak aku sendiri yang mengurus.“Om, ayo mampir dulu,” ajak Neli.“Terima kasih, Sayang. Nanti lain kali aja, Om mampirnya.Nela dan Neli masuk ke dalam rumah. Aku pun membalikkan badan untuk menyusul mereka.“Rei.” Pak Hasan memanggilku, seketika aku menoleh ke arahnya.Pak Hasan berdiri menatapku. Entah mengapa seketika jantungku berdegup kencang setiap kali pria itu memandangku seperti itu. “Aku akan segera membicarakan hubungan kita dengan, Umi.” Aku begitu terkejut dengan perkataannya. Seserius itukah dia terhadapku.“Pak, tolong pertimbangkanlah dulu perkataan Bapak. Apa tidak terlalu cepat? Aku takut, Umi tidak menerimaku.” “Aku yakin, Umi akan merestui hubungan kita,” ucap
Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah yang terbuat dari bahan beludru, dari saku jasnya. Pak Hasan mengulurkan kotak tersebut di hadapanku. Dia membukanya. Ada sebuah cincin emas bermata putih di dalamnya.Aku menutup mulut dengan satu tangan karena terharu, melihat kesungguhan Pak Hasan untuk menikahiku. Dia pun tak segan menyatakan perasaannya di hadapan orang banyak.Pengunjung restoran memandang ke arah kami. Kebetulan, siang itu, restoran ramai karena merupakan jam makan siang. Aku memandang ke seluruh ruangan restoran yang tak terlalu luas.“Terima ... terima ....” ucap beberapa pengunjung restoran.Aku merasakan jantungku berdegup kencang diikuti tubuh yang ikut bergetar. Walau hampir setiap hari kami bertemu. Namun, aku selalu merasakannya saat dipandang oleh Pak Hasan. Apalagi pada saat ini seluruh mata tertuju pada kami.Aku menundukkan pandangan, berharap dapat menghilangkan sedikit rasa grogi dalam diri. Aku membaca bismillah dalam hati. Semoga keputusan
Terdengar suara Mas Randi di seberang telepon.“Mas, apakah anak-anak ada di sana bersamamu?”[Mereka tidak ada di sini. Emang mereka ke mana?] Mas Randi justru berbalik bertanya.[Siapa, Mas?] Terdengar suara Raya di seberang.[Reina,] jawab Mas Randi. [Coba sini in HP-nya. Heh! Dengar ya! kamu jangan pernah menghubungi Mas Randi lagi.] Seketika Raya mematikan sambungan telepon. Wanita memang tidak punya hati. Dia hanya mementingkan dirinya sendiri. Nela dan Neli itu anak, Mas Randi. Di saat seperti ini aku juga membutuhkannya untuk membantu mencari mereka. Yang namanya bekas istri itu ada, tapi yang namanya bekas anak itu tidak ada.Aku bingung harus mencari anak-anak ke mana lagi. Aku sudah berjalan ke sana ke sini, tapi belum juga menemukan mereka. Akhirnya, aku putuskan untuk menghubungi Pak Hasan, meminta bantuan padanya untuk mencari anak-anak, hanya dia harapan satu-satunya saat ini.Aku menghapus air mata di pipi dan membuka HP, mencari nama Pak Hasan di daftar kon
“Karena aku sudah menerima cinta Pak Hasan,” terangku.Selain telah memilih Pak Hasan, aku juga tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Pak Herman.“Pria, tadi?” Mila memandangku tak percaya. “Iya, Mil,” jawabku menganggukkan kepala.Mila berhambur memelukku. “Selamat ya Rei, semoga kalian bahagia dan dapat selalu bersama selamanya, hingga maut memisahkan.”Mila melepaskan pelukan, dia memandangku dengan mata yang berkaca-kaca, mungkin dia juga merasakan kebahagiaan yang sedang aku rasakan. “Amin.” Aku menengadahkan kedua tangan.Mila berjalan menghampiri anak-anak. “Ayo anak-anak kita mandi, dulu.” Mila menggandeng Nela dan Neli ke kamar mandi.Merasa tidak enak, karena meninggalkan Pak Herman terlalu lama, aku keluar untuk menemui Pria itu. Namun, sebelum menemuinya, aku terlebih dahulu ke belakang untuk membuat secangkir kopi dan dua cangkir teh, tak lupa mengambilk camilan dari dalam kulkas.***“Silakan diminum, Pak.” Aku meletakan kopi dan camilan di hadapannya.
“Baiklah, hari ini kita di rumah saja.” Pak Hasan duduk di teras.Aku juga duduk menemaninya. “Kamu kenapa diam saja?” tanya Pak Hasan memandangku.Aku menggelengkan kepala. “Aku tidak apa-apa, hanya lelah saja.”“Oh ... lelaki semalam, itu yang tempo dulu pernah ketemu dan beradu mulut denganku itu, ya? Siapa namanya?” Pak Hasan tampak berpikir.Pak Hasan dan Pak Herman memang dulu sudah pernah bertemu. “Dia Pak Herman, manajer kafe tempatku bekerja dulu,” jelasku.“Oh, iya. Pria itu juga menaruh hati padamu, kan?” Pak Hasan memandangku.“Entahlah.” Aku mengangkat kedua bahuku. “Aku tidak ingin membahas dia.”“Ok, aku paham. Rencana lusa aku ingin memperkenalkanmu sebagai calon istriku pada Umi.” Entah aku harus bahagia atau bersedih. Baru saja Humaira memintaku untuk meninggalkan Pak Hasan dan sekarang pria di hadapanku ini, ingin memperkenalkanku dengan Umi sebagai calon istrinya. Akan tetapi, dilihat kesungguhannya, tidak mungkin pria itu masih mencintai Humaira. “K