“Maaf kalau aku sempat menjauh,” ucap Floryn pelan. “Aku butuh waktu buat tenang. Karena jujur saja, sikapmu malam itu benar-benar membuatku takut,” lanjutnya.Nael terdiam, tapi hatinya mengutuk. Ia benci dengan dirinya malam itu. Bahkan Nael belum bisa memaafkan dirinya sendiri.“Tapi … aku berpikir kita nggak bisa terus-terus begini. Kita harus menegaskan hubungan kita,” ungkapnya.Tangan Nael mengepal di bawah meja, ia merasa gugup dengan kelanjutan ucapan Floryn. Kekhawatiran kian meradang—bersarang di hatinya. Ia enggan apa yang ada di mimpinya semalam menjadi nyata.Floryn menatap Nael dalam. “Aku sudah cukup bisa berdamai. Jadi, aku mau kita kembali seperti semula. Aku maafkan, tapi … bukan berarti aku memaklumi apa yang sudah kamu lakukan padaku tempo hari.”Mata Nael membulat, kepalan tangan di bawah sana perlahan mengendur. Napasnya yang semula berat, kini mulai bisa teratur.“Sikapmu malam itu benar-benar—”“Aku salah, Flo. Aku seharusnya nggak melakukan itu,” sela Nael. G
Floryn baru saja memasuki kamarnya, setelah menemani Viona makan malam. Ia melihat ke arah lemari dan mendapati tas kerja Nael di sana.Sudah tiga hari hubungan mereka ibarat seperti kutub utara. Bahkan Nael sudah tidak tidur di kamar lagi. Pria itu memilih untuk tidur di ruang kerjanya.Kedua mata Floryn mendapati sesuatu di atas meja riasnya. Sejak awal Floryn keluar dari rumah sakit—setiap malam—ia selalu mendapati sebuah bingkisan di atas meja. Floryn mendekat, lalu ia mendapati sebuah kue matcha pistachio di sana.Kening Floryn mengkerut, ketika di bawah bungkusan kue itu terdapat sebuah memo. Ia meraih secarik kertas kecil berwarna biru, dan membaca tulisan di atasnya.[Floryn. Maaf kalau aku membuatmu tertekan. Aku tak akan memaksa apa pun. Aku akan menunggu—sampai kamu siap bicara lagi. Maafkan aku.]Sejak kemarin, Nael hanya memberikan Floryn makanan untuknya. Namun, baru kali ini Nael menyelipkan sebuah memo untuknya.Sebenarnya, Floryn melihat usaha Nael untuk bisa kembali
Nael terdiam, ia tak menjawab. Namun, dari responsnya yang tak menolak seolah memberi ruang kepada lawan bicaranya untuk meneruskan apa tujuannya mengajak Nael berbicara.“Apa nggak masalah kita bicara di sini?” tanya pria itu lagi, yang ternyata adalah Kenneth.“Ini bukan masalah kantor, ‘kan?” tanya Nael menebak. Walau jawabannya sudah sangat jelas bisa Nael ketahui.“Iya,” jawab Kenneth cepat.Nael kemudian bangkit, lalu berkata, “Kita bicara setelah jam kantor. Nanti saya kirim alamatnya.” Ia pun berlalu, meninggalkan Kenneth sendirian di atas rooftop dan kembali menuju ruangannya.Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Beruntungnya Nael bisa pulang tepat waktu dan tak ada agenda yang membuatnya harus bertahan di kantor. Segera ia berangkat menuju sebuah restoran yang tak jauh dari kantor dan memesan ruangan pribadi.Nael tahu tentang topik pembicaraan apa yang akan diangkat oleh Kenneth. Maka dari itu, ia memutuskan untuk memesan ruang privat untuk mereka berbincang.Sekitar d
Kepala Floryn masih terasa berat. Ia meringis, sambil membenarkan posisi duduknya. Tak lama kemudian, seorang staff rumah sakit datang dengan membawa menu sarapan untuknya.“Silakan, Bu,” ucapnya, lalu staff itu pun pergi meninggalkan Floryn.Di hadapannya kini sudah tersaji nasi tim dengan sayur dan telur rebus. Tak hanya itu, ada kue cokelat, susu dan juga buah melon. Ia hanya memandang makanan tersebut.Otaknya sedang berusaha mengingat kejadian semalam. Karena Floryn bingung—kenapa ia bisa berada di rumah sakit dan ada Nael di sampingnya?Seingat Floryn, ia sedang berada di depan rumahnya. Di sana Floryn tak melihat siapa pun, karena waktu sudah tengah malam.“Ck! Ahh.” Kepala Floryn berdenyut dan ia meringis kesakitan.Tak ingin membuat tubuhnya semakin lemah, Floryn memutuskan untuk segera menyantap hidangan yang ada di hadapannya.Saat Floryn sedang menghabiskan sarapannya. Tiba-tiba saja seseorang membuka pintu kamarnya. Floryn seketika menoleh dan mendapati Gabby, berdiri di
Nael berlari menuju lobi hotel. Napasnya terengah, ia memindai daerah lobi yang luas. Raut wajahnya nampak panik—mencari sosok Floryn.Salah! Nael mengakui apa yang dilakukannya barusan adalah tindakan impulsif yang tidak bisa dimaafkan. Hatinya berkabut hitam, pandangannya gelap—ia hanya takut jika harus kehilangan Floryn. Namun, emosi yang tak terkontrol membuat Nael salah mengambil langkah.“Sssshh! Floryn, kamu di mana?” resahnya, sambil mengacak rambut.Gadis itu pergi tak membawa apa pun. Bahkan ponselnya saja masih tergeletak di atas meja. Nael mengepalkan tangannya, ia tak tahu ke mana arah tujuan Floryn pergi. Untuk beberapa saat, ia diam di tengah lobi. Pikirannya berkelana, mencari berbagai kemungkinan.“Aargh!!” Nael menggeram. Ia benar-benar marah pada dirinya sendiri. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Floryn—Nael tak bisa memaafkan kebodohannya.***Floryn berjalan di bahu jalan. Lampu-lampu dari kendaraan bermotor menyinari jalannya. Ia memeluk tubuhnya yang masih ge
Floryn merasa terkurung, ia tak bisa mengelak atau pun kabur. Nael terus mendesaknya, sampai ia bisa melihat pantulan dirinya sendiri di bola mata Nael. Namun, yang membuat Floryn terkejut tidak hanya sekedar Nael tahu bahwa dirinya pergi bersama Kenneth.“Na-Nael, ka-kamu … tahu Kak Ken?” tanya Floryn.Sebuah kejutan yang tidak Floryn sangka-sangka, bahwa Nael mengetahui sosok Ken adalah Kenneth.“Ya! Aku tahu,” jawabnya dingin. Tubuhnya terus menghimpit Floryn, tak membiarkan gadis itu untuk bergerak.Mata Floryn membulat. “Sejak kapan?” tanyanya.Nael mendengkus sambil menaikkan sebelah alisnya. “Apakah itu penting, Flo?” balasnya.Floryn meneguk ludahnya dengan susah payah. “Ma-maaf, Na-nael,” ucap Floryn dengan suara parau. Bahkan ia terbata, karena berusaha melawan rasa gugupnya.Tubuh kecilnya gemetar. Tatapan Nael benar-benar berbeda, ia baru melihat sorot mata tajam, dingin dan menusuk. Tidak hanya itu, rahangnya pun mengetat dan napasnya terasa panas.“Maaf, katamu? Setelah