Sejatinya hari pernikahan merupakan hari yang bahagia dan dinantikan setiap insan yang saling mencinta. Namun, itu tidak berlaku untuk gadis yang kini sedang mengenakan gaun putih yang cantik.
“Ayo, kita selesaikan, Floryn,” bisik Nael. Floryn menarik napas dalam, mencoba untuk meredam emosi yang menyesakkan dada. Hari ini adalah hari pernikahan Floryn dengan Nael. “Floryn Viorentina Winata, saya memilihmu menjadi istri saya di hadapan Tuhan. Saya berjanji mencintaimu dan setia padamu seumur hidup,” ucap Nael dengan suara yang lantang, tegas dan lugas. Floryn menatap Nael dengan tatapan nanar. Dia merasa miris dengan nasibnya sendiri. “Nathanael Hartono, saya memilihmu mejadi sua ….” Tenggorokan Floryn terasa tercekat, dia tak mampu melanjutkan kalimatnya. Matanya kini terasa perih, bahkan terasa kabur menatap wajah Nael. Tanpa aba-aba, buliran air dari mata kirinya lolos begitu saja. Tiba-tiba, Floryn merasakan sentuhan hangat tangan Nael yang mengusap pipi mulusnya. Floryn seketika tersentak, mata Floryn membulat dan tubuhnya mematung. “Tenang saja, lanjutkan pelan-pelan,” bisik Nael. Entah kenapa pria itu bisa seperti air yang tenang dan menghanyutkan. Sedangkan Floryn sudah seperti reruntuhan bangunan yang terkena badai besar. Satu tarikan napas Floryn lakukan. Bagaimana pun kondisinya Floryn harus menyelesaikan bagiannya. “Nathanael Hartono, saya memilihmu menjadi suami saya di hadapan Tuhan. Saya berjanji mencintaimu dan setia padamu seumur hidup,” kata Floryn. Lagi, air matanya menetes. Dia sudah membuat janji dengan Tuhan dan itu tidak bisa ditarik. Floryn benar-benar pasrah dengan takdirnya. Sekarang dia hanya akan mengikuti arus ke mana membawanya. Suara tepuk tangan kini menggema di aula pernikahan. Namun, suara-suara sumbang bisa Floryn dengar. Nael dan Floryn berbalik, lalu menghadap ke tamu undangan. Sejurus kemudian, Nael merangkul pinggang Floryn. Gadis itu tersentak, lalu mendongak, menatap Nael. “Jangan menangis, tersenyumlah. Jangan sampai para tamu memiliki prespektif negatif terhadap pernikahan kita,” ucap Nael yang sama sekali tidak menatap Floryn. Mata Nael sibuk menatap ke seisi ruangan. Tersenyum pada seluruh tamu yang sudah menyempatkan hadir di acara pernikahannya. Mendadak, Floryn bisa merasakan kembali dinginnya sikap pria itu. Seolah kehangatan tadi hanyalah angin lalu belaka. “Tenang saja, hidupmu dan ibumu akan terjamin,” imbuhnya. Sebuah anak panah terasa menusuk hati Floryn. Uang memang bisa membeli segalanya, tapi tidak dengan kebahagiaan. “Selamat datang di keluarga Hartono, Floryn,” sambut Albert, yang datang menghampirinya. Kemudian pria paruh baya itu memeluk Floryn. “Wah, kamu cantik sekali, Floryn! Pasti Kevin sangat bahagia melihat anaknya sangat cantik di hari pernikahannya,” ucap pria itu lagi, yang merasa takjub dengan penampilan Floryn yang benar sangat cantik. Riasan wajah yang nampak sangat sempurna, tak mampu menyembunyikan ketegangan yang membekukan wajah Floryn. Senyumnya terasa sangat kaku, tatkala mendengar ucapan Albert yang membuat emosinya berkecamuk dan tak mampu ia keluarkan. “Te-terima kasih,” timpal Floryn. Hari ini Floryn malas menanggapi orang-orang. Jiwanya terasa lelah. Tatapan Albert beralih pada anaknya, Nael. Kemudian dia menepuk pundak tegap Nael sambil tersenyum. “Terima kasih karena sudah menghargai perjanjian Papa dan mendiang pak Kevin. Floryn anak baik, dia pasti akan menjadi pendamping yang baik untukmu. Dan ….” Albert menjeda ucapannya, lalu dia mendekat dan berbisik, “berterima kasihlah pada Papa,” ucapnya. Setelah membisikkan kalimat itu, Albert menarik diri dan tersenyum pada Nael. “Maksud Papa apa?” protes Nael. Albert tersenyum, tapi terkesan sinis. “Papa tahu kamu punya ambisi untuk posisi itu. Papa membuka jalan, agar kita bisa bersaing secara sehat, anakku,” ungkapnya. “Cih!” Nael berdecih, lalu memutar bola matanya malas. Namun, Nael tak membalas perkataan ayahnya itu. Floryn melirik pada Nael. Dia mencoba mengamati kondisi yang sedang terjadi di antara ayah dan anak ini. “Selamat berbahagia, ya. Mulai hari ini, kamu akan tinggal di rumah besar keluarga Hartono. Sampai jumpa di rumah, Floryn,” tukas Albert, kemudian berlalu meninggalkan mereka berdua. Pesta itu tak berlangsung lama. Nael dan Floryn sepakat, jika pernikahan itu hanya sebuah formalitas saja. Para tamu pun perlahan meninggalkan aula pernikahan tersebut. Kini Floryn dan Nael sudah berganti pakaian. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah keluarga Hartono. Namun, sebelum itu Nael dan Floryn akan pulang ke rumah Floryn, membawa Viona pulang ke rumah Nael. Namun, saat Nael dan Floryn hendak meninggalkan ruangan itu. Tiba-tiba saja pintu ruangan itu dibuka dengan kasar. Nael langsung tersentak tatkala mendapati sosok pria yang rambutntya sudah didominasi oleh warna putih. “Apa-apaan kamu, Nathanael? Kenapa kamu menikah dengan wanita dari keluarga rendahan!” ucap pria tua itu dengan sangat lantang. BERSAMBUNG …..Halo! Selamat datang di karya terbaruku <3. Semoga kakak-kakak suka dengan Floryn dan Nael, ya. Jangan lupa tinggalkan jejak di sini, ya. Selamat membaca <3
Tatapan pria itu penuh tajam–penuh selidik. Ia melempar pandangan pada Floryn dan Kenneth secara bergantian.“Pak Kenneth? Kenapa kalian ada di sini?” tanyanya penuh rasa curiga.“Pak Axel,” balas Kenneth, sedikit terkejut dengan kemundulan Axel. Ia sempat menangkap Axel menyebut nama Floryn tadi–dan itu cukup mengguncang pikirannya.“Axel. Udah mulai?” tanya Floryn.Ia merasa mendapatkan sebuah oxygen di tengah tekanan yang menghimpitnya. Tentu saja Floryn tak ingin melepaskan kesempatan ini.“Sebentar lagi,” jawab Axel sambil menatap Floryn.Gadis itu mengirimkan sinyal dari sorot matanya. Meminta Axel untuk membawanya pergi dari sini.“Kalian ngapain? Kalian saling kenal?” tanya Axel.Floryn mendesah, nyatanya pria itu tidak peka.“Kami lagi ngobrol, Pak. Iya, saya sudah kenal Floryn sejak lama. Kebetulan saya murid dari ayahnya Floryn,” papar Kenneth.Axel mengangguk, sambil mengkerucutkan bibirnya. “Oh, pak Kevin,” katanya.Namun, Axel kembali menatap pada Floryn. Seketika gadis
Tangan Floryn terasa nyeri akibat cengkeraman pria itu yang begitu kuat. Tak hanya itu, langkah pria itu yang lebar dan cepat—membuat Floryn sedikit kesusahan dengan gaun dan alas kaki yang ia kenakan. Pria itu membawa Floryn keluar dari ballroom dan singgah di dekat dekat lorong menuju tangga darurat.Beberapa orang melintasi lorong, tapi tak ada satu pun yang memperhatikan mereka. Mungkin karena ini pesta besar, di mana semua orang terlalu sibuk menjaga citra masing-masing.“Lepas, Kak Ken!” sentak Floryn. Ya—pria yang menarik paksa Floryn adalah Kenneth Marsello.Floryn tentu sangat terkejut, ketika mendapati pria itu. Sehingga membuatnya tak bisa bereaksi—untuk menolak. Ia melupakan tentang Kenneth, padahal pria itu merupakan karyawan Niskala, dan tentunya dia hadir di acara ini. Seketika Floryn menyesal, karena tidak bisa lebih waspada.Kenneth melepaskan cengkramannya dari tangan Floryn. Ia menatap gadis itu—dari atas lalu turun ke bawah. Tentu saja Kenneth merasa terpana dengan
Setelah pertemuan dengan Nada di ruang tunggu, mereka segera menuju ballroom—saat seorang staff datang. Floryn merasakan degupan jantungnya semakin kencang, ketika melihat banyak orang dengan penampilan rapi dan berkelas.Ia sedang duduk di meja bundar, yang bertuliskan keluarga Hartono. Di sana ada Nael, Gabby dan Axel. Sedangkan Samuel dan Albert, terlihat sedang bertegur sapa dengan beberapa tamu penting di sana. Sedangkan Grace, terlihat berada di meja sebelah—bersama dengan beberapa wanita sebayanya.“Nael,” panggil seseorang pada Nael. Terlihat seorang pria muda—mungkin sebaya dengan Nael—berkacamata dan memiliki ekspresi wajah yang datar.Nael tentu langsung menoleh, dan ia sedikit terkejut. “Arthur?” sahut Nael.“Bisa kita bicara sebentar?” tanya pria yang bernama Arthur itu.“Oh tentu!” balas Nael. Ia melirik pada Floryn dan memegang tangan wanita itu. “Tunggu sebentar, ya,” pesannya, lalu pergi.Floryn hanya mengangguk, ada dan tidak adanya Nael di sampingnya—tak mampu menut
Suara perempuan menginterupsi pembicaraan mereka. Langkahnya sangat elegant—masuk ke dalam ruang tunggu VVIP. Di samping perempuan itu, berdiri seorang pria jangkung dan seorang anak laki-laki berumur sekitar sepuluh tahun.Grace tergagap, ia mundur satu langkah. Wajahnya kaku—seperti kanebo kering—saat mendapati sosok perempuan yang begitu dihormatinya tiba-tiba saja muncul. Umur wanita itu memang jauh lebih muda dari Grace, tapi status sosialnya—tentu di atas Grace.“Bu … bu Nada,” ucap Grace dengan tenggorokannya yang tercekat.Albert yang ada di ruangan tersebut langsung bangkit dengan sorot mata yang gugup. Mendadak suasana di ruangan itu terasa lebih menegangkan.“Bu Grace, bisa jelaskan maksud ucapanmu?” Nada bicara Nada menekan, tatapannya tajam. Ia mendekat ke arah Grace.“Ah … itu.” Bicara Grace terdengar gugup. Bahkan ia mengalihkan pandangan ke sembarang tempat—tak ingin bertatap dengan Nada.Tidak bisa membiarkan hal kecil ini menjadi serius, Albert langsung mendekat pada
“Aku nggak pernah beliin kamu gaun. Nael emang mempersiapkan itu untuk kamu pakai saat keluarga Fernandi datang,” terang Gabby memperjelas keadaannya. Gadis itu menoleh ke arah jendela, menatap jalanan dengan tatapan nanar. Ada kerutan penyesalan terlukis pada raut wajahnya. “Sayangnya saat itu aku nggak dewasa. Aku mewarisi sifat tempramen Mama dan masih berada di bawah kendali dia. Tapi … sekarang aku nggak akan kayak gitu lagi,” ucapnya lirih. Kalimat terakhir nyaris tak terdengar dan termasarkan dengan suara klakson mobil. Floryn terdiam, ia melihat Gabby yang seolah sedang merenungi kesalahannya. Hanya saja, ia masih ingin mengajukan pertanyaan lain. “Terus, kenapa kamu yang kasih gaun itu, bukan Nael?” tanya Floryn. Gabby menoleh, ia tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. “Aku nggak tahu dan dia nggak kasih tahu. Dia cuma memerintahku dengan sebuah ancaman,” ungkapnya. Floryn menarik dirinya, ia hanya bisa menghela napas. Untuk bagian itu, sepertinya bukan ranah Floryn un
Floryn menatap gaun yang minggu lalu baru saja dipilih Nael, untuk digunakan olehnya di acara anniversary Niskala hari ini. Ia memejamkan matanya, ada perasaan gugup yang mulai merayap. Rasanya Floryn merasa kurang percaya diri dengan gaun itu. Karena ia merasa belum pantas menggunakan gaun semewah itu. Tok. Tok. Tok. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Floryn. Ia menoleh dan bergegas membuka pintu, lalu mendapati Gabby di hadapannya. “Flo, kamu belum siap-siap buat acara nanti malam?” tanya Gabby, melihat kakak iparnya itu masih mengenakan pakaian santainya. “Hmm?” Floryn menyahut, wajahnya nampak bingung. “Aku baru nyiapin gaunnya. Nanti baru mau mandi dan baru siap-siap,” ujarnya. Gabby mengerutkan alisnya. “Kamu siap-siap di mana?” tanyanya lagi. “Di mana?” Wajah Floryn semakin menunjukkan kebingungan. “Ya di sini,” katanya polos. Mendengar pengakuan Floryn membuat Gabby menghela napas kasar. Bahunya tiba-tiba melemas dan lehernya terasa tak bertulang. Sedetik kemudian i