“Anu ….” Floryn gelagapan. Dia melirik ke arah Nael. Seolah meminta penjelasan darinya.
Jujur, Floryn tidak tahu siapa pria paruh baya yang baru saja berbicara seenak jidat itu. Namun, Nael hanya diam saja. Floryn beralih menatap pria berkacamata yang sedang berdiri di dekat pintu. “Ini tidak seperti yang And—” “Oke, oke. Saya tidak akan mempercepat. Pernikahan akan sesuai dengan perjanjian yang sudah saya buat dengan mendiang pak Kevin. Saya harap, kalian bersabar sedikit, ya,” celetuk pria itu, memotong ucapan Floryn. Ah, sekarang Floryn tahu siapa sosok pria itu. Pasti dia Albert Hartono. “Tenang saja, persiapan pernikahan sudah selesai. Gedung, undangan, bahkan gaun untukmu. Semua sudah dipersiapkan. Undangan juga sudah saya sebar ke beberapa dewan komisaris dan investor perusahaan kita. Walau, ya, tidak terlalu banyak,” papar Albert. Sebentar, Floryn membeku. Dia berusaha memahami kondisinya sekarang. Semuanya terjadi dengan sangat cepat. Sampai Floryn tidak bisa mencerna segala informasi yang dia dapatkan. “Ekhm.” Nael berdeham. “Bisakah kita bicarakan hal itu nanti, Pak Albert? Bukannya kita sepakat untuk tidak membahas pernikahanku di tempat kerja?” tutur Nael, yang akhirnya membuka mulut. “Ah.” Albert mengangguk. “Maaf, Papa terlalu bersemangat melihat keintiman kalian barusan. Papa tidak—” “Pak Albert,” sela Nael dengan tegas. Albert mengatupkan mulutnya, raut wajahnya menunjukkan bahwa dia baru menyadari akan suatu hal. “Oke, oke. Saya lupa, Pak Nael,” timpal Albert. Walau mereka adalah ayah dan anak, tapi mereka sepakat untuk profesional di tempat kerja. Posisi Albert dan Nael di perusahaan ini sejajar. Sama-sama menduduki jabatan direktur. Sedangkan untuk pucuk pimpinan Niskala Corp, masih diduduki oleh kakek Nael. “Baiklah, kalau begitu saya pamit. Bersabarlah sampai besok lusa,” tukas Albert. “Satu hal lagi.” Ucapan Nael membuat langkah Albert terhenti, lalu dia berbalik. “Tolong ketuk pintu dulu saat memasuki ruanganku,” pungkasnya dengan nada menekan. Albert tidak menjawab, dia hanya tersenyum sinis. Kemudian pergi meninggalkan ruangan itu. “Kamu dengar, Floryn?” cetus Nael, yang membuat Floryn tersentak. Sedari tadi Floryn hanya diam seperti patung. Dia benar-benar tidak bisa memahami apa pun sekarang. “Semua sudah dipersiapkan. Kalau kamu membatalkan pernikahan ini, uang pinalti itu untuk membayar semua kerugian yang akan terjadi nantinya. Terima saja fakta bahwa kita akan menikah besok lusa,” tutur Nael. “Nggak!” Floryn bersikeras untuk melawan. “Pernikahan itu bukan sesuatu yang bisa dipermainkan, Nael! Saya tidak mau menikah dengan orang yang sama sekali tidak saya cintai. Bagi saya, pernikahan itu suatu ikatan yang suci. Bukan hanya ikatan antar sepasang manusia, tapi ikatan dengan Tuhan!” tegas Floryn. Pernikahan yang dimimpikan Floryn, adalah pernikahan seperti kedua orang tuanya. Sejak kecil, ibunya sudah berpesan, kelak Floryn harus setia pada pasangan hidupnya. Karena menikah itu sebuah tanggung jawab yang besar. “Kamu naif sekali, Floryn,” celetuk Nael, dengan nada mengejek. “Coba kamu pikirkan sekali lagi. Bayar pinalti 1M, atau menikah denganku dan hidupmu juga ibumu akan terjamin? Persetan dengan cinta. Itu hanya sebuah omong kosong, Flo.” Bibir Floryn bergetar sekarang. Tangannya mengepal erat. Kepalanya terasa penuh, ribuan pertimbangan berputar bagai pusaran air yang siap menenggelamkan dalam ketidakpastian. Manakah yang harus Floryn pilih? Dinginnya masa depan tanpa harapan materi? Atau, hambarnya kebahagiaan dalam kemewahan yang dipaksakan? *** “Ibu, apakah Ibu tahu? Besok aku akan menikah,” cetus Floryn yang sedang duduk di lantai. Kepalanya dia simpan di pangkuan sang ibu. Merasakan lembutnya sentuhan Viona yang membelai rambutnya. Tatapannya kosong menatap ke sembarang tempat. Floryn tahu, akan percuma dia menceritakan hal ini pada Viona. Karena pasti ibunya tidak akan mengerti. Setelah bergelut dengan kebimbangan. Akhirnya Floryn memilih untuk merelakan kebahagiaannya. Terjerat dalam sebuah ikatan tanpa cinta. Asalkan ibunya bisa selalu ada di sampingnya. “Kevin dulu menyambutku dengan senyuman hangatnya, saat aku berjalan menghampirinya di acara pernikahan kami. Bahkan sampai saat ini, senyumannya tetap sama,” tutur Viona. Memorinya masih tetap sama, Viona merasa bahwa Kevin masih ada bersamanya. “Huh!” Floryn mengembuskan napas kasar. Viona pasti akan selalu berbicara tentang Kevin. “Aku selalu berdoa, kelak anakku bisa merasakan apa yang aku rasakan. Mendapatkan suami yang sangat sayang dan mencintainya, seperti Kevin,” celoteh Viona. “Ck!” Floryn berdecak, dia langsung bangkit, menjauh dari ibunya. Dia mengerucutkan bibirnya. Ucapan Viona barusan benar-benar membuat dada Floryn terasa sesak. Faktanya, doa itu tidak menembus langit. Besok, dia akan menikah dengan pria asing, yang sama sekali tidak mencintainya. “Ibu, Ibu tahu? Ayah hanya mencintai dan menyayangi Ibu. Tapi tidak dengan aku!” katanya dengan nada kesal. Viona menatap Floryn, dan itu sukses membuat pandangan Floryn menjadi kabur. Genangan air mata kini sudah menumpuk di pelupuk. Dadanya semakin terasa sesak. Seolah ada tali yang mengikatnya. “Ayah jahat padaku, Bu. Diam-diam ayah membuat perjanjian dengan orang lain. Menikahkan aku dengan pria yang sama sekali tidak aku kenal. Ayah jahat, Bu! Dia tega menggadai kebahagiaan anaknya tanpa alasan yang aku ketahui!” Tangisan pun pecah, Floryn memuntahkan semua amarah yang dia rasakan. Dia benci dengan garis takdir hidupnya ini. Bahkan kini dia mempertanyakan alasannya mengiyakan untuk terlahir ke dunia. “Kebahagiaan mana yang Tuhan janjikan padaku?” raung Floryn. Dia menangis sejadi-jadinya. Tak peduli bahwa besok adalah hari pernikahannya. BERSAMBUNG ….“Floryn, tunggu!” seru Nael, ketika Floryn menepis tanggannya dan pergi. Ia beranjak, mengikuti Floryn. Namun, istrinya sudah masuk ke dalam kamar Viona dan menguncinya.“Flo? Buka sebentar,” pinta Nael, dengan suara yang pelan.Sayang, tak ada jawaban dari dalam. Nael masih mematung di tempat, tangisan Floryn membuat Nael sedikit terusik. Ini adalah pertama kali, dia melihat Floryn sekacau itu.Akhirnya Nael berbalik, menuju lantai bawah. Tujuannya adalah bertemu dengan Ida. Setelah mendapati orang yang dicarinya, Nael membawa Ida ke halaman belakang.“Floryn kenapa, Bu?” tanya Nael.Ida tak langsung menjawab, ia menatap mata Nael dalam.“Jawab aja, Bu! Floryn kenapa? Tadi aku lihat dia menangis, dan … rambutnya, kenapa berantakan seperti itu?”Saat di kamar, Nael melihat, bahwa rambut bagian kiri Floryn sedikit lebih pendek dari sebelahnya.Ida menghela napas kasar. “Floryn berantem sama Non Gabby,” ucap Ida.Nael memiringkan kepalanya, dan menautkan kedua alisnya. Menuntut Ida untu
“Ibu!” seru Floryn, yang mendapati ibunya duduk di lantai dengan kursi roda yang terguling ke sampingDi sana Viona tidak sendirian, ada Gabby yang berdiri dengan menyilangkan tangan di depan dada. Di dekatnya, berdiri dua orang tamu yang tampak kikuk dan bingung.Segera Floryn berlari, berjongkok dan memastikan kondisi ibunya.“Eh, anak parasit! Kalau punya orang tua dijaga, dong! Sumpah bikin malu tahu nggak?” hardik Gabby dengan tatapan jijik.Namun, Floryn tak menanggapi ocehan Gabby. Dia sibuk memastikan kondisi ibunya.“Ibu, nggak papa, kan? Apa ada yang sakit?” panik Floryn. Ia menggenggam tangan Viona yang gemetar dan pupil mata Viona pun tak luput dari getaran yang sama.“Kevin! Jangan tinggalkan aku. Aku mohon, aku tidak bisa hidup tanpamu, Kevin!” jerit Viona.Floryn membeku di tempat, tangannya masih menggenggam sang ibu. Jeritan itu seolah memantul di dinding memori. Viona berteriak, memanggil nama suaminya dengan suara yang sangat pilu, sama seperti satu tahun yang lalu.
Aroma woody samar tercium di kamar Nael. Pria itu sudah berpenampilan rapi dengan kaus polonya, bersiap untuk menghabiskan waktu libur bersama temannya. Hari ini, Nael memiliki janji untuk bermain golf, sebuah pelarian dari segala pikiran yang berkecamuk akhir-akhir ini.Saat dirinya hendak meraih handle pintu, mata Nael tertuju pada sebuah kotak kecil yang terletak di atas nakas. Dirinya ingat, semalam Floryn meninggalkan benda ini, katanya ini pemberian dari ibu mertuanya. Dengan penasaran, Nael pun meraih kotak tersebut dan membukanya.“Sapu tangan?” gumamnya, ketika mendapati sebuah sapu tangan berwarna putih dengan sebuah jahitan bergambar bintang jatuh.Nael mengeluarkan sapu tangan itu dari kotaknya. Kemudian dia mendapati sebuah kertas kecil dari dalam, yang bertuliskan;‘Jangan biarkan cahaya bintang itu redup. Bertahanlah!’Kalimat itu seperti gema di benaknya, indah namun samar. Nael mengerutkan kening. Apa maksud semua ini? Bukankah Viona mengidap penyakit demensia? Kenapa
Kepala Floryn berdenyut. Perkataan Nael di telepon bersama dengan seseorang, terus berdengung di telinganya. Saat makan malam, Floryn merasa tersiksa, karena sandiwara Nael yang dilakukan di depan kakeknya.Bualan demi bualan, dilontarkan dari mulut busuk Nael. Demi menunjukkan bahwa mereka adalah pasangan yang berbahagia. Ingin rasanya Floryn menampar suaminya, tapi dia mengingat janjinya.“Floryn?” panggil Viona.Seketika Floryn tersentak, dia tersadar dari lamunannya. Kemudian memusatkan perhatian pada sang ibu.“Kenapa, Bu?” tanya Floryn.Viona memegang sebuah kotak berwarna hitam. “Berikan ini pada Nael,” ucapnya sambil menyodorkan kotak tersebut.Pupil Floryn membulat, mulutnya sedikit menganga. Floryn membeku, bahkan napasnya ini terasa melambat.“Ayo, ambil,” pinta Viona.Floryn menggeleng, lalu tangannya terulur, menyambut pemberian Viona.“Sebentar … Ibu ingat Nael?” tanya Floryn, yang masih tidak menyangka dengan apa yang didengarnya.Selama mereka tinggal di sini, Viona ti
Malam itu entah kenapa terasa sangat dingin sekali. Floryn memeluk tubuh Viona, mencari kehangatan di dalam dekapannya.“Kamu seperti bayi, Flo,” cetus Viona.Floryn membenamkan wajahnya di dekapan Viona. “Bukankah aku memang bayi Ibu?” timpal Floryn. Dia enggan menunjukkan air matanya di depan Viona.Mendapati fakta ibunya mengalami penyakit komplikasi, membuat kekhawatiran Floryn semakin menjadi. Pertanyaan-pertanyaan bernada negatif terus berputar di otaknya. Bagaimana jika ibunya ikut pergi dan memilih bersama dengan ayahnya?“Iya, kamu memang bayi Ibu, Flo. Tapi, kenapa kamu selalu memilih untuk dipeluk oleh ayahmu?” cetus Viona.Floryn tak menajawab, dia semakin erat memeluk Viona. Saat kecil, Floryn memang lebih dekat dengan Kevin. Dia benar-benar menyayangi ayahnya, dan selalu merasa cemburu jika ayahnya dekat dengan sang ibu. Seolah ibu dan anak itu saling bersaing untuk mendapatkan perhatian Kevin.“Apa karena ayahmu sudah tidak ada, jadi sekarang kamu bersandar pada Ibu? Ib
Mata Floryn sembab, dia baru saja menangis. Meluapkan emosi yang dia rasakan. Begitu kejamnya mulut Grace dan perlakuan buruk Gabby terhadap Floryn. Tidak hanya itu, bisa-bisanya Nael diam saat istrinya diperlakukan buruk seperti tadi.Setelah tenang, Floryn kembali ke kamar. Namun, tujuannya hanya untuk mengambil gawai miliknya.“Dari mana saja kamu?” tanya Nael, saat mendapati Floryn baru saja masuk ke dalam kamarnya.Sayangnya, Floryn tidak menggubris pertanyaan Nael. Dia langsung mengambil gawai yang di simpan di atas nakas. Kemudian dia berjalan, hendak keluar dari kamar.“Mau ke mana?” tanya Nael lagi.Langkah Floryn terhenti, dia menoleh. “Aku tidur di kamar Ibu,” jawabnya.“Aku tidak izinkan! Lagi pula ada bi Ida di sana menjaga bu Viona.”“Bi Ida akan tidur di kamarnya. Mulai sekarang aku akan tidur bersama ibu,” kata Floryn, yang tidak mengindahkan ucapan suaminya.