Tatapan pria itu penuh tajam–penuh selidik. Ia melempar pandangan pada Floryn dan Kenneth secara bergantian.“Pak Kenneth? Kenapa kalian ada di sini?” tanyanya penuh rasa curiga.“Pak Axel,” balas Kenneth, sedikit terkejut dengan kemundulan Axel. Ia sempat menangkap Axel menyebut nama Floryn tadi–dan itu cukup mengguncang pikirannya.“Axel. Udah mulai?” tanya Floryn.Ia merasa mendapatkan sebuah oxygen di tengah tekanan yang menghimpitnya. Tentu saja Floryn tak ingin melepaskan kesempatan ini.“Sebentar lagi,” jawab Axel sambil menatap Floryn.Gadis itu mengirimkan sinyal dari sorot matanya. Meminta Axel untuk membawanya pergi dari sini.“Kalian ngapain? Kalian saling kenal?” tanya Axel.Floryn mendesah, nyatanya pria itu tidak peka.“Kami lagi ngobrol, Pak. Iya, saya sudah kenal Floryn sejak lama. Kebetulan saya murid dari ayahnya Floryn,” papar Kenneth.Axel mengangguk, sambil mengkerucutkan bibirnya. “Oh, pak Kevin,” katanya.Namun, Axel kembali menatap pada Floryn. Seketika gadis
Tangan Floryn terasa nyeri akibat cengkeraman pria itu yang begitu kuat. Tak hanya itu, langkah pria itu yang lebar dan cepat—membuat Floryn sedikit kesusahan dengan gaun dan alas kaki yang ia kenakan. Pria itu membawa Floryn keluar dari ballroom dan singgah di dekat dekat lorong menuju tangga darurat.Beberapa orang melintasi lorong, tapi tak ada satu pun yang memperhatikan mereka. Mungkin karena ini pesta besar, di mana semua orang terlalu sibuk menjaga citra masing-masing.“Lepas, Kak Ken!” sentak Floryn. Ya—pria yang menarik paksa Floryn adalah Kenneth Marsello.Floryn tentu sangat terkejut, ketika mendapati pria itu. Sehingga membuatnya tak bisa bereaksi—untuk menolak. Ia melupakan tentang Kenneth, padahal pria itu merupakan karyawan Niskala, dan tentunya dia hadir di acara ini. Seketika Floryn menyesal, karena tidak bisa lebih waspada.Kenneth melepaskan cengkramannya dari tangan Floryn. Ia menatap gadis itu—dari atas lalu turun ke bawah. Tentu saja Kenneth merasa terpana dengan
Setelah pertemuan dengan Nada di ruang tunggu, mereka segera menuju ballroom—saat seorang staff datang. Floryn merasakan degupan jantungnya semakin kencang, ketika melihat banyak orang dengan penampilan rapi dan berkelas.Ia sedang duduk di meja bundar, yang bertuliskan keluarga Hartono. Di sana ada Nael, Gabby dan Axel. Sedangkan Samuel dan Albert, terlihat sedang bertegur sapa dengan beberapa tamu penting di sana. Sedangkan Grace, terlihat berada di meja sebelah—bersama dengan beberapa wanita sebayanya.“Nael,” panggil seseorang pada Nael. Terlihat seorang pria muda—mungkin sebaya dengan Nael—berkacamata dan memiliki ekspresi wajah yang datar.Nael tentu langsung menoleh, dan ia sedikit terkejut. “Arthur?” sahut Nael.“Bisa kita bicara sebentar?” tanya pria yang bernama Arthur itu.“Oh tentu!” balas Nael. Ia melirik pada Floryn dan memegang tangan wanita itu. “Tunggu sebentar, ya,” pesannya, lalu pergi.Floryn hanya mengangguk, ada dan tidak adanya Nael di sampingnya—tak mampu menut
Suara perempuan menginterupsi pembicaraan mereka. Langkahnya sangat elegant—masuk ke dalam ruang tunggu VVIP. Di samping perempuan itu, berdiri seorang pria jangkung dan seorang anak laki-laki berumur sekitar sepuluh tahun.Grace tergagap, ia mundur satu langkah. Wajahnya kaku—seperti kanebo kering—saat mendapati sosok perempuan yang begitu dihormatinya tiba-tiba saja muncul. Umur wanita itu memang jauh lebih muda dari Grace, tapi status sosialnya—tentu di atas Grace.“Bu … bu Nada,” ucap Grace dengan tenggorokannya yang tercekat.Albert yang ada di ruangan tersebut langsung bangkit dengan sorot mata yang gugup. Mendadak suasana di ruangan itu terasa lebih menegangkan.“Bu Grace, bisa jelaskan maksud ucapanmu?” Nada bicara Nada menekan, tatapannya tajam. Ia mendekat ke arah Grace.“Ah … itu.” Bicara Grace terdengar gugup. Bahkan ia mengalihkan pandangan ke sembarang tempat—tak ingin bertatap dengan Nada.Tidak bisa membiarkan hal kecil ini menjadi serius, Albert langsung mendekat pada
“Aku nggak pernah beliin kamu gaun. Nael emang mempersiapkan itu untuk kamu pakai saat keluarga Fernandi datang,” terang Gabby memperjelas keadaannya. Gadis itu menoleh ke arah jendela, menatap jalanan dengan tatapan nanar. Ada kerutan penyesalan terlukis pada raut wajahnya. “Sayangnya saat itu aku nggak dewasa. Aku mewarisi sifat tempramen Mama dan masih berada di bawah kendali dia. Tapi … sekarang aku nggak akan kayak gitu lagi,” ucapnya lirih. Kalimat terakhir nyaris tak terdengar dan termasarkan dengan suara klakson mobil. Floryn terdiam, ia melihat Gabby yang seolah sedang merenungi kesalahannya. Hanya saja, ia masih ingin mengajukan pertanyaan lain. “Terus, kenapa kamu yang kasih gaun itu, bukan Nael?” tanya Floryn. Gabby menoleh, ia tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. “Aku nggak tahu dan dia nggak kasih tahu. Dia cuma memerintahku dengan sebuah ancaman,” ungkapnya. Floryn menarik dirinya, ia hanya bisa menghela napas. Untuk bagian itu, sepertinya bukan ranah Floryn un
Floryn menatap gaun yang minggu lalu baru saja dipilih Nael, untuk digunakan olehnya di acara anniversary Niskala hari ini. Ia memejamkan matanya, ada perasaan gugup yang mulai merayap. Rasanya Floryn merasa kurang percaya diri dengan gaun itu. Karena ia merasa belum pantas menggunakan gaun semewah itu. Tok. Tok. Tok. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Floryn. Ia menoleh dan bergegas membuka pintu, lalu mendapati Gabby di hadapannya. “Flo, kamu belum siap-siap buat acara nanti malam?” tanya Gabby, melihat kakak iparnya itu masih mengenakan pakaian santainya. “Hmm?” Floryn menyahut, wajahnya nampak bingung. “Aku baru nyiapin gaunnya. Nanti baru mau mandi dan baru siap-siap,” ujarnya. Gabby mengerutkan alisnya. “Kamu siap-siap di mana?” tanyanya lagi. “Di mana?” Wajah Floryn semakin menunjukkan kebingungan. “Ya di sini,” katanya polos. Mendengar pengakuan Floryn membuat Gabby menghela napas kasar. Bahunya tiba-tiba melemas dan lehernya terasa tak bertulang. Sedetik kemudian i