Inayah berdiri di dekapan ibunya. Tubuhnya lemas tak bertenaga, wajahnya juga pucat berbalut kerudung pasmina yang ia pakai secara asal. Matanya sembab dan memburam. Air mata kesedihan itu tak henti-hentinya mengalir.
Jenazah Aretha dimasukkan ke dalam liang lahat. Aba dan Taksa ikut turun mengantarkan Aretha ke peristirahatan terakhirnya. Kedua lelaki yang dicintai Aretha itu ikut membantu proses pemakaman hingga selesai. Raut mendung tak bisa disembunyikan. Para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman. Mama Ratih kembali pingsan dan aba memutuskan kembali lebih awal, tinggallah Inayah dan Taksa yang masih berada di sana, memandangi pusara Aretha dengan isi pikiran masing-masing. Inayah duduk di tanah, tak memperdulikan bajunya yang pasti akan kotor. Ia mengusap pelan nisan bertuliskan nama Aretha Intan Fahrazi itu. "Naya udah turuti keinginanmu, Kak. Kenapa kakak justru pergi seperti ini?" lirih Inayah yang kembali menangis. "Naya harus gimana, Kak?" jerit Inayah melepas rasa sakit dan sesak di dadanya. Taksa melirik dan merangkul bahu perempuan yang sudah menjadi istrinya sejak tadi malam itu. "Baiknya kita pulang. Aretha akan sedih kalau kamu meratap seperti ini," pinta Taksa. Ia mengajak Inayah berdiri walau awalnya Inayah menolak. "Kakak sendirian? Aku mau menemani kakak," racau Inayah sebelum akhirnya jatuh pingsan kembali. Sejak kakaknya dinyatakan meninggal, Inayah memang sudah berkali-kali jatuh pingsan, begitupun mama Ratih. Mereka begitu terpukul atas kepergian Aretha. *** Taksa terdiam memandangi wajah Inayah yang masih betah memejamkan mata. Perempuan itu belum sadar dari pingsannya sejak dari pemakaman hingga sampai di depan rumah, rumah mertuanya. Taksa tak tau lagi bagaimana kelanjutan hidup yang akan dijalani kedepannya. Dulu, ia begitu menginginkan menjadi bagian dari keluarga Fahrazi, menjadi suami dari Aretha. Walau Aretha sering sakit, Taksa ingin menemani wanita itu apapun kondisinya. Ingin menemani perjuangan Aretha hingga sembuh dan hidup bahagia, tapi takdir justru berkata lain. Ia tetap menjadi bagian dari keluarga Fahrazi seperti impiannya tetapi justru ia menjadi suami dari Inayah, bukan Aretha. "Aku harus bagaimana, Retha?" lirih Taksa masih memandangi Inayah. "Aku nggak tau harus apa. Apa aku bisa jalani hari tanpa kamu?" Taksa tak bisa memungkiri kalau Inayah juga tak kalah cantik dari Aretha. Darah Pakistan yang diturunkan dari aba Fahrazi membuat kedua wanita itu begitu rupawan. Hidung mancung dan alis tebal yang rapi, membuat siapapun pasti akan iri melihatnya. Lihatlah, walau Inayah saat ini begitu pucat dengan mata sembab, kecantikannya masih memukau dan membius siapapun. Taksa seharusnya merasa beruntung menjadi suami dari Inayah. Tetapi, yang ia inginkan hanyalah Aretha, bukan Inayah. Inayah menggeliat pelan dan samar-samar pandangan matanya melihat stir mobil. Inayah mengernyit sebelum akhirnya duduk tegak dengan benar. "Maaf," ringis Inayah ketika ia menyadari masih berada di dalam mobil dengan Taksa yang entah mengapa masih menemaninya. Taksa hanya melirik sekilas, tak ada anggukan apalagi jawaban. Lelaki itu langsung membuka pintu membuat Inayah buru-buru mengikuti jejaknya, keluar dari mobil. "Apa dia marah karena terlalu lama nungguin aku pingsan?" gumam Inayah. "Ih, salah siapa nungguin, kan dia bisa masuk duluan atau paling nggak bangunin aku," sengit Inayah akhirnya tak peduli. Inayah baru menyadari kalau ternyata Taksa membawanya pulang ke rumah. Inayah hanya mengangguk sekilas membalas sapaan para kerabat yang masih berkumpul di rumah. Nenek masih memiliki tradisi membaca doa bersama dan pasti nanti malam akan lebih ramai para tetangga datang untuk mendoakan almarhumah Aretha. Inayah berniat membuka pintu kamarnya, tapi niat itu urung ia laksanakan ketika matanya menatap pintu kamar Aretha yang berhadapan langsung dengan pintu kamarnya. Inayah meneteskan air mata tanpa ia sadari. Ketika Aretha masih hidup, Inayah hampir setiap hari menyambangi kamar kakaknya hanya sekedar untuk bertanya apakah kakaknya itu sudah makan. Ketika Aretha sakit, Inayah bahkan rela bergantian tidur dengan mamanya untuk menjaga Aretha walau kakaknya itu pasti akan mendengus sebal dan mengomel bahwa ia bukan lagi anak bayi yang harus di jaga setiap saat. Kaki Inayah tanpa sadar melangkah mendekati kamar Aretha dan membukanya pelan. Aroma Aretha masih kuat terasa, begitupun dengan air matanya yang makin deras mengalir. Inayah duduk di ranjang dengan pandangan mata menatap sekeliling. Belum ada perubahan sama sekali membuat Inayah semakin rindu dengan sosok Aretha. "Kak, belum ada dua puluh empat jam kakak pergi, tapi Inayah udah kangen," lirih Inayah. Matanya menatap bingkai foto di atas nakas. Foto dirinya dan kakaknya sewaktu mereka berada di Pakistan, kampung halaman abanya. Lama Inayah menatap foto tersebut dengan sejuta kenangan yang berputar di kepala dan Inayah hampir menjerit ketika berpaling dari bingkai foto dan mendapati keberadaan Taksa yang berdiri diam di sebelahnya. Lelaki itu juga ikut menatap objek yang sama dengannya. "Kamu sejak kapan ada di sini?" tanya Inayah yang masih merasakan degupan kencang di dadanya. Degupan karena terkejut, bukan karena jatuh cinta. Taksa melirik sekilas dan kembali menatap foto Aretha. "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, sejak kapan kamu ada di sini?" "Kamar ini kosong sewaktu aku masuk," sahut Inayah sedikit kesal. "Sewaktu aku masuk, kamar ini juga kosong." Taksa menyahut tak mau kalah. Wajahnya datar menyebalkan di pandangan Inayah. "Apa kamu di kamar mandi?" tanya Inayah penasaran. Taksa hanya mengangguk. "Bagaimana kak Aretha menurutmu?" tanya Inayah karena merasa jengah. Hampir sepuluh menit mereka hanya diam dan Inayah tak tahan. "Aretha perempuan istimewa. Tak akan ada yang bisa menggantikan Aretha apalagi kamu, walau status kita sudah suami istri." Inayah menatap wajah datar Taksa. Larut dalam kesedihan, Inayah sampai lupa kalau lelaki yang berdiri di sebelahnya ini adalah suaminya dan tak perlu diingatkan pun ia tau, dirinya tak seistimewa kak Aretha. Tapi, perlukah diperjelas? "Ya, kak Aretha memang perempuan istimewa. Mama sering menceritakan bagaimana perjuangan kak Aretha untuk bisa bertahan hidup. Aku begitu bangga padanya," sahut Inayah tersenyum tipis. "Berhubung kita sedang membahas ini, ada sesuatu yang ingin aku beri untukmu," ucap Taksa. "Apa itu?" tanya Inayah penasaran. Taksa tak menjawab. Ia berlalu meninggalkan Inayah dan kembali lima menit kemudian dengan sesuatu di tangan. "Untukku?" tanya Inayah heran. Taksa kembali mengangguk. Inayah terdiam lunglai begitu mengetahui apa yang diberikan Taksa untuknya. Kakaknya baru di kebumikan hari ini dan bisa-bisanya Taksa sudah memberikannya kejutan seperti ini. Kapan lelaki itu membuatnya? Apa di saat Aretha sendiri belum di kebumikan?"Aku tidak suka warna hitam," sungut Inayah ketika baru keluar dari toko pakaian. Ia menunduk untuk melihat dress hitam yang dikenakannya. Terlihat bagus, tetapi ia tak menyukai warnanya."Hitam lebih baik daripada putih." Taksa menyahut sembari terus berjalan menyusuri trotoar. Dengan Inayah mengenakan pakaian berwarna hitam, tidak akan menganggu penglihatannya jika sewaktu-waktu baju tersebut basah."Kamu sebenarnya ikhlas nggak sih beliin aku baju," sungut Inayah lagi."Ada Cidomo!" Inayah berseru riang sembari menunjuk Cidomo yang masih beroperasi padahal waktu sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Seketika ia melupakan perihal baju berwarna hitam yang tak disukainya."Aku mau naik Cidomo." Inayah mengguncang lengan Taksa dan memberikan wajah paling memelas yang ia bisa."Apa kamu nggak lapar? Daripada naik Cidomo, baiknya kita makan dulu. Aku takut kamu akan terjungkal naik Cidomo tanpa mengisi perut," omel Taksa seperti biasa. Matanya mengedar mencari restoran paling d
"Bener." Inayah nyengir. "Ini pertama kalinya aku naik bus.""Kita mau kemana ini? Padahal tadi aku berencana mau ke pantai Senggigi. Tapi sopir taksi pun tak merestui." Inayah menghela napas. "Tapi nggak papa deh, setidaknya batal ke pantai Senggigi, aku bisa ngerasain naik bus."Inayah mengangkat bahu tanpa beban dan memandang takjub sekitar. Taksa sampai heran karena Inayah tak terlihat kecewa batal pergi ke pantai Senggigi."Kita di sini cuma tiga hari," ucap Taksa membuat Inayah menoleh menatapnya."Aku tau. Bukannya kamu udah bilang, ya?" Heran Inayah."Cuma mengingatkan. Aku juga mau bilang kalau bus ini mau ke pantai Senggigi.""Serius?" Inayah menatap Taksa dengan berbinar. "Kok bisa kebetulan begini?""Bukan kebetulan, aku memang sengaja pilih tujuan ke pantai Senggigi."Inayah menutup mulutnya karena takjub. Ia takjub karena keinginannya dan keinginan Taksa bisa satu frekuensi. "Wah, kamu tau apa yang
"Kamu udah gajian, kan? Atau setidaknya kamu punya uang, kan?" tanya Inayah dan Taksa membuka mata mendengar pertanyaan aneh itu."Hmm." Taksa menyahut malas. Untuk apa pula Inayah menanyakan perihal uang padanya? Takutkah kalau dirinya akan terlantar di tempat asing ini?"Kamu punya uang, kan?" tanya Inayah lagi karena Taksa tak memberikan jawaban pasti."Memangnya ada apa? Kamu butuh uang? Kamu mau membeli sesuatu?" Taksa justru balik bertanya. Ia bangkit dari posisi rebahannya dan menatap Inayah sepenuhnya.Inayah mengangguk sembari meringis, "Aku gak tau kalau kita akan seminggu di sini, jadi aku cuma bawa persediaan baju untuk tiga hari. Kamu belikan aku baju, ya?"Taksa menghela napas dengan malas. Salahnya juga yang tak memberitahu Inayah bahwa mereka akan di sini selama seminggu. "Ya sudah, kita di sini cuma tiga hari aja, biar nggak perlu beli baju lagi," ujar Taksa kembali merebahkan tubuhnya.Inayah terbengon
"Ha?" Inayah linglung."Apa?" tanya Inayah karena Taksa menatapnya dengan wajah datar seperti biasa. "Kamu tadi bertanya, wanita bodoh mana yang mau jadi istriku dan jawabannya adalah, kamu. Kamu wanita bodoh itu."Lalu, Taksa berlalu meninggalkan Inayah lagi menuju resepsionis. Inayah menggaruk kepalanya yang tak gatal dan merutuk. Taksa benar, wanita bodoh itu adalah dirinya."Sabar Inayah. Sabar sampai setahun ke depan." Tapi setelahnya Inayah hampir meratap setelah memikirkan bahwa setahun itu adalah waktu yang lama. Sabar, sabar dan sabar, sepertinya hanya kata itu yang menjadi penguat untuk saat ini. Ia pasti bisa melewati cobaan ini sampai setahun ke depan. Ya, ia pasti bisa. Ia mudah berteman, bahkan dulu, tukang cilok di sekolahnya pun bisa akrab dengannya dan tak menutup kemungkinan, ia dan Taksa bisa berteman selayaknya teman."Saya menolak kamar itu dan akan memesan kamar sendiri." Inayah mendengar Taksa berbicara sedikit keras setelah mendekati lelaki itu yang lama sek
"Kemana orang tua kamu? Ketemuan di hotel, ya?" tanya Inayah ketika sudah sampai di bandara Lombok. Ia sempat menoleh ke sana ke mari, antara berharap dan juga takut bertemu dengan sosok yang diberi nama mertua. Bukan tanpa sebab, Inayah sering membaca dan juga mendengar cerita tentang mertua jahat. Inayah jadi takut memiliki mertua yang tak bisa menganggap dirinya sebagai anak sendiri."Kita sarapan dulu. Aku lapar," sahut Taksa tak menjawab pertanyaan Inayah.Mereka memilih restoran yang tak jauh dari bandara. Keadaan restoran lumayan ramai karena ini masih masuk jam sarapan."Apa mama kamu udah sampai?" tanya Inayah lagi.Taksa melirik dan menghela napas. "Mama nggak jadi pergi.""What? Nggak jadi pergi maksudnya? Di tunda atau bagaimana?" tanya Inayah kebingungan."Batal. Bukan di tunda.""Kok bisa? Jadi kita di sini cuma berdua?" Inayah masih tak habis pikir.Taksa berdecak, "Makan dulu. Jawab pertanyaan kamu juga butuh tenaga."Sontak Inayah mencebik dan melirik Taksa sinis tap
"Ada apa?" tanya Inayah keheranan.Taksa tersentak dan menggeleng kecil. Ia menunduk untuk menghabiskan makan malamnya."Aku udah selesai." Inayah berdiri dan berniat meninggalkan Taksa."Tunggu!" Taksa berucap dengan cepat. "Ada yang mau aku omongin."Inayah kembali duduk dan memandang lelaki itu dalam diam.Taksa terlihat sedang berpikir. "Mama mengajak kita liburan besok." Taksa bernapas lega karena akhirnya bisa mengatakan hal yang sejak kemarin mengganggunya."Liburan?" tanya Inayah heran dan Taksa mengangguk."Kemana?" "Ke Lombok.""Besok banget?" tanya Inayah yang merasa semua serba mendadak. Ia belum mempersiapkan apapun."Kamu nggak bisa, kan? Jadwal kuliah kamu padat, kan? Oke nggak papa. Aku juga sibuk. Aku bisa bilang sama mama kalo kamu nggak bisa ikut. Terima kasih. Kamu boleh naik ke kamarmu." Taksa menyahut cepat dan Inayah terbengong."Padahal aku juga ingin ikut. Aku belum pernah ke Lombok." Inayah mencebik dan Taksa jadi kembali menatapnya."Tapi, kalau kamu memang
"Aku udah di jemput. Maaf, nggak bisa pulang sama kamu." Inayah melangkah cepat tapi Bumi tak kalah cepat menahan tangannya."Siapa yang jemput kamu?" tanya Bumi sembari mengedarkan pandangan. "Sua-mi aku." Gugup Inayah."Aku mau kenalan," sahut Bumi cepat."Jangan! Aku nggak mau kamu kenalan sama dia. Maaf!"Inayah melepas cekalan tangan Bumi dan melangkah cepat. Bumi ingin mengejar tetapi, urung ia lakukan ketika melihat Inayah hampir berlari menghampiri seorang lelaki yang tak disadari keberadaanya oleh Bumi. Inayah terlihat buru-buru meminta lelaki itu masuk dan Bumi tak salah melihat, lelaki itu sempat melemparkan pandangan padanya."Itu suami Inayah? Nggak mungkin!" Mobil yang membawa Inayah melaju meninggalkan area kampus seiring dengan Bumi yang berusaha keras menyangkal kalau Inayah telah menikah.Inayah melirik Taksa yang menyetir dengan wajah datar seperti biasa. Ia memilin jemarinya dengan pikiran
Bumi justru terkekeh. "Kamu terlalu mendalami peran, Inayah. Kamu cocok banget ambil jurusan seni peran.""Bapak masih nggak percaya?"Bumi justru menghentikan langkah hingga mereka semakin menjauh dengan mahasiswa lain."Jangan panggil bapak. Tinggal kita berdua di sini," sahut Bumi tak nyaman.Semenjak mereka resmi menjalin hubungan, Inayah hanya memanggilnya bapak saat dirinya kesal. Dihadapan Lisa pun, Inayah sering memanggil dirinya dengan nama dan sekarang di saat tak ada orang lain di sini, Inayah justru memanggilnya dengan panggilan bapak."Ini masih di sekitaran kampus, Pak."Bumi menghela napas karena ucapan Inayah benar. Mereka memang seperti memiliki sekat tak kasat mata semenjak Inayah mengaku sudah menikah dan meminta putus darinya."Aku nggak akan pernah percaya kalau kamu udah nikah sebelum kamu memperkenalkan suami kamu sama aku."Kini, giliran Inayah yang menghela napas karena ucapan Bumi. Memperkenalkan Taksa adalah sesuatu yang tidak mungkin. Lelaki itu bisa mengam
Keheranan Inayah semakin bertambah karena tak sampai lima menit kemudian, nomor Taksa memanggilnya. Inayah bahkan sampai memelototi ponselnya untuk memastikan ia tak salah melihat. Karena terlalu lama dilanda kebingungan, panggilan itu mati sendiri, terlalu lama di jawab."Ini beneran Taksa? Ngapain nelpon?" gumam Inayah keheranan. Ia hampir menjerit karena ponselnya kembali berdering dan nama Taksa kembali menelepon."Ha-halo," lirih Inayah ragu-ragu. Ia takut kalau ini hanyalah penipuan mama minta pulsa.Tak ada jawaban. "Halo? Ini siapa?" tanya Inayah keras. Tak lagi ragu-ragu seperti di awal. Inayah yakin kalau ini hanyalah kerjaan orang iseng, tapi kenapa nomor ponselnya sama dengan nomor ponsel yang diberikan abanya?Apa abanya salah mengirim nomor?"Mau nipu ya kamu? Maaf, lagi bokek. Cari korban lain aja," sengit Inayah dan berniat mematikan panggilan."Tunggu!" Suara seorang lelaki yang sepertinya Inayah kenal, mengurungkan niat Inayah."Hmm... Inayah?" tanya Taksa ragu-ragu