Para Readers, aku minta maaf ya karena bab sebelumnya, yaitu bab 18 isinya ngaco!😭 Sudah ku edit dan ku perbaiki, tapi masih menunggu tinjauan dari sistem. Semoga cepat di ACC. Harap maklumi karena pas upload hampir tengah malam, lagi ngantuk-ngantuknya🙏 Semoga semua yang membaca ceritaku diberi kelancaran rezeki dan dimudahkan urusannya. Aamiin.... Jangan lupa baca ceritaku yang lain ya... 1) Pembalasan Pada Keluarga Mantan Calon Suamiku 2) Disekap Wanita Yang Menginginkan Suamiku
“Pak?? Ngapain ke sini? Bapak tahu tempat ini dari mana?”Lelaki berumur di depan Roby itu terlihat cengengesan. Senyumnya yang dipaksakan terlihat sangat menyebalkan di mata Roby.“Bapak dengar dari Yesi katanya kamu pindah ke kontrakan, nggak nge-kost lagi di tempat yang lama.” Ujar Dandi.“Iya, tapi kenapa Bapak datang ke sini?” Roby berkata dengan setengah berbisik sambil melangkah keluar dan menutup pintu. Ia tak mau Silia tahu tentang kedatangan Dandi.“Ya Bapak Cuma mau jenguk kamu aja, Roby. Kamu udah lama nggak main ke rumah. Apalagi sejak nikah sama temen Yesi. Maksud Bapak, biarpun kamu nggak jadi menantu, ya tetap aja kita harus--- ehm... silaturahmi.” Roby panik saat Dandi mengatakan itu. Kalau sampai Silia dengar, gadis itu bisa tahu kalau dia adalah pacar Yesika.Meski sebenarnya Roby tak peduli, tapi kalau sampai hal ini bocor karena ulah ayah Yesika itu, tetap saja dia yang akan disalahkan.“Pak, tolong --- jangan sembarangan datang ke sini. Kita bisa ketemu d
Wajah pucat yang dipenuhi keringat sebesar biji jagung itu terlihat menegang. Roby panik melihat Silia yang kelojotan sambil memegang dada.“Kamu kenapa? Hei--- dada kamu sakit?” Roby berusaha membantu Silia duduk. Namun gadis itu mengeraskan badan dan kembali berbaring.“Rasanya mau mati, Roby... Biarkan aku berbaring aja kayak gini. Jantungku sakit, dadaku rasanya sempit. Aku nggak bisa bernafas. Seperti ada yang terbakar di dalam sini...” Silia menunjuk dadanya sambil menggenggam tangan Roby dan meremasnya dengan kuat, menahan rasa sakit berdenyut yang teramat sangat.“Kamu sakit jantung? Sejak kapan kayak gini?” Roby mengelap kening basah Silia. Sungguh ia sangat tak tega melihat gadis itu mengerang kesakitan. Untungnya hari ini dia pulang kerja lebih awal. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada Silia.Silia menggeleng. “Asam lambung. Kayaknya asam lambungku naik. Roby--- tolong aku, kenapa sakit sekali...” Silia melenguh dan nafasnya terengah-engah.“Tunggu di sini se
Silia turun dari motor begitu Roby mematikan mesin kendaraannya tersebut. Sejenak ia melihat plang nama di depannya, ‘warung sate Pak Mus’. Ini adalah tempat ketiga yang mereka datangi. Sebelumnya mereka sudah ke tempat orang yang berjualan rujak dan bubur ayam. Namun tak ada satu pun bisa dijadikan menu yang ingin disantap wanita hamil itu. “Mau nggak kalau yang ini?” tanya Roby lagi. Ia berharap Silia berliur setelah mencium bau asap daging ayam yang dibakar. Namun lagi-lagi Silia menggeleng, membuat Roby mendesah kecewa. “Pergi sekarang yuk. Aku mual cium bau sate.” Silia menutup hidung dan mulutnya. Mau tak mau Roby kembali menghidupkan mesin motornya. “Jadi mau makan apa nih? Kamu udah tiga hari nggak makan dengan benar. Takut berbahaya buat kandunganmu.” Suara Roby nyaris menghilang tertiup angin. Meski ia tak terlalu laju memacu kendaraannya, tetap saja suaranya nyaris tak terdengar. “Aku makan apa yang ada di rumah aja deh. Dipaksakan juga nggak apa.” Sahut Silia pelan
Vatra membuka pintu mobil dan dengan gayanya yang tengil, ia mempersilahkan Silia turun.Gadis itu hanya bisa tertawa mendesis.“Jadi kamu sama suami kamu tinggal di sini?” Vatra melayangkan pandangannya ke sekeliling.“Iya.” Sahut Silia pendek.“Berani juga kamu,” puji Vatra. “Kalau aku tinggal di sini, mungkin nggak berani ke kamar kecil kalau malam.” Lanjutnya setengah bercanda.Silia tertawa. “Makasih ya, udah mau nganterin aku. Mau masuk dulu?”“Emang boleh?” Vatra terlihat senang.Silia mengangguk sambil tersenyum.“Suami kamu nggak marah, kalau ada laki-laki yang datang ke sini waktu dia nggak ada?”Tangan Silia sempat berhenti memutar kunci rumah saat Vatra bertanya lagi.“Nggak bakal marah dia. Karena kita nggak ngapa-ngapain.” Ujar Silia datar.Bukankah benar? Tak mungkin Roby akan marah, mengingat mereka bukanlah suami istri sungguhan. Hanya dua orang yang terjebak dalam sebuah pernikahan berbayar.***Silia memeluk lututnya karena ketakutan. Sudah hampir jam s
“Aku telfon Mama ya, biar ke sini buat nemenin kamu. Atau kamu mau kuantar ke sana aja? Nanti kalau pulang kerja aku jemput.”Roby terlihat bimbang melihat keadaan Silia yang semakin hari semakin melemah. Gadis itu kini bahkan nyaris Cuma bisa berbaring sambil memegang kantong plastik.Selain muntah-muntah, kini Silia juga suka mengeluarkan air liur tanpa disadari. Mungkin karena bawaan mual berlebih, ia jadi sering meludah dan tak bisa menghentikan air liurnya yang terus keluar.“Apa boleh, Roby?” Terlihat binar di mata Silia.“Kenapa nggak boleh? Kalau kamu mau menginap selama beberapa hari di sana juga nggak apa-apa. Nanti kalau udah merasa agak baikan, kamu boleh telfon aku, biar kujemput.”“Iya, aku ingin menginap aja di sana selama beberapa hari ke depan. Makasih ya Roby.”Roby mengangguk. “Mau kubantu mengemasi pakaian untuk nginap di sana?” tanyanya kemudian.“Nggak usah. Pakaianku masih banyak di rumah Mama.”“Ya udah, kalau gitu aku antar dulu kau ke rumah Mama, baru
“Pak Dandi bilang, katanya anak yang kamu kandung itu belum tentu anaknya Roby. Dia bilang kenal sama Roby udah lama, dan Roby tuh udah punya pacar. Nggak mungkin kalau dia menghamili perempuan lain.” Silia geram mendengar cerita ibunya. Bagaimana bisa ayah Yesika begitu kurang ajar? “Jangan percaya Ma. Itu orang sok tahu. Kalau memang ini bukan anaknya Roby, ngapain juga dia mau tanggung jawab.” Ujar Silia jengkel. “Ya makanya itu, Mama nggak mungkin percaya. Omongan orang stres kayak gitu nggak ada yang bener. Dia bilang Roby itu matre. Tapi nggak kok kalau kata Mama. Jangankan minta uang, dikasih aja tadi dia sempat nolak.” “Dia bilang Roby punya pacar. Dia ada ngomong nggak siapa pacarnya Roby?” tanya Silia. “Nggak ada sih. Mama juga nggak kepikiran buat nanya. Ya udahlah, nggak usah diambil hati omongan ngaco kayak gitu. Buat sakit kepala aja. Lagian Mama juga nggak menanggapi.” Silia hendak menjawab lagi, namun terdengar pintu kamarnya diketuk. “Kenapa Mbok?” tanya Amira
Yesika dan Silia saling membuang pandangan ke arah yang berlawanan. Silia menghadap ke jendela kaca mobil di sampingnya, begitu pula dengan Yesika. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka.“Tolong berhenti di sini Pak.” Silia tiba-tiba saja meminta Munawar untuk menepikan kendaraan.“Kita belum sampai Sil, kok malah berhenti?” Yesika protes.“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu Yesi. Sebentar aja. Lagi pula kampus kita udah dekat. Dari sini aja udah keliatan kan?”Silia membuka pintu mobil dan turun. Dengan sedikit ngedumel Yesika ikut keluar.“Tunggu sebentar ya Pak. Nggak lama kok.” Silia tersenyum pada sopirnya.“Iya Mbak Sil. Saya parkir dulu.” Sahut Munawar.“Mau ngomong apa sih? Pake rahasia segala.” Sungut Yesika.Silia tak menjawab. Dengan pandangan mendelik sebal, ia berbalik badan menuju sebuah warung es di depan mereka.Yesika berdecak namun tetap mengikuti langkah Silia.Setelah memesan minuman, Silia tampak mulai memasang wajah serius.“Apa sih?!”
“Mbak Yesi bilang, kalau Mbak Sil mau pergi kencan. Kita disuruh pulang duluan karena Mbak Sil nanti diantar pulang sama pacarnya.”“Jadi itu yang dibilang Yesi?”“Iya Mbak Sil. Kalau nggak, mana mungkin saya berani ninggalin Mbak Sil sendiri. Apalagi waktu itu Mbak Yesi marah-marah sambil ngancam. Katanya saya bakalan dipecat kalau nggak mau dengar apa kata dia.”“Yesi ngancam kayak gitu?” mata Silia menyipit.“Iya Mbak Sil. Kalau ngancam kayak gitu sih bukan sekali itu aja. Sering pokoknya.” Munawar curhat.Silia geleng-geleng kepala. Tak menyangka kalau Yesika begitu sangat menyebalkan.“Apa selama ini Yesi juga sering memerintah Pak Mun seenaknya dan pakai bahasa yang kasar?” “Ya--- gitulah Mbak Sil. Bukannya saya ini mau mengadu antara Mbak Sil sama temennya. Tapi maaf ya, Mbak Yesi itu lama-lama suka ngelunjak. Bahkan sama orang tua kayak saya gini, Mbak Yesi itu nggak ada hormatnya.” Jelas Munawar.Silia menghela dan membuang nafas dengan kasar. “Pak Mun, mulai sekar