“Kau ke mana saja semalaman? Kenapa tidak pulang? Apa kau tak tahu kalau aku ketakutan sepanjang malam?!”Silia mencecar Roby dengan pertanyaan saat pemuda itu datang pagi ini. Wajah lelah dan lesu Roby terlihat begitu ia membuka topi yang menutupi kepalanya.Roby memilih untuk tak mengindahkan pertanyaan Silia. Ia terus berjalan masuk ke dalam rumah dan bersikap seolah punya kesibukan.Roby mengambil handuk dan baju bersih di dalam lemari. Ia mau mandi. Namun tiba-tiba saja Silia menahan tangannya.“Tolong lepaskan. Aku mau mandi dan tidur.”“Kenapa denganmu, Roby?! Apa kini kau secara terang-terangan menunjukkan kalau kau tak menyukaiku? Kau sudah tak mau melanjutkan pernikahan ini? Mau melanggar perjanjian kita?!” Silia marah karena merasa tak dipedulikan.Semalaman ia menunggu Roby dalam keadaan takut. Karena tak lama setelah Vatra pulang, Silia terbangun dan menyadari kalau Roby tak ada. Padahal sudah hampir tengah malam. Roby tak kunjung datang dan tak mengangkat panggilan
“Kau dari mana?” Roby bertanya kikuk.“Aku tadi keluar mau cari masakan siap saji, buat kamu makan.”“Buat apa beli itu? Aku sudah belanja kan kemarin?” “Aku tak bisa masak.” Silia menunduk malu. Menjadi wanita yang sama sekali tak tahu mengolah dapur adalah sesuatu yang menjadi kekurangannya.Roby membuang nafas. “Biar aku yang memasak. Kau cukup duduk manis di rumah, tak usah ke mana-mana. Apalagi sampai pergi keluar berjalan kaki hanya untuk mencari makanan. Ini adalah daerah yang asing buatmu. Bagaimana kalau kau tersesat atau terjadi sesuatu yang buruk?”“Maaf. Aku hanya ingin mencoba berbaur dengan warga sekitar. Dari sejak pindah ke sini, aku belum pernah menyapa tetangga. Tadinya aku juga tak berniat keluar. Tapi aku pikir, kau pasti lapar. Dan semalam mungkin kau tak sempat makan. Jadi aku berinisiatif untuk keluar cari makanan.” Silia masih menunduk. Ia takut Roby memarahinya seperti tadi pagi.“Jadi kau sempat menyapa tetangga?” kedua mata R
“Aku akan menarik kata-kataku dulu, yang bilang bahwa selama menikah, aku tak akan menjalankan kewajibanku sebagai seorang suami. Mungkin aku pernah mengatakan bahwa aku akan mengurus diriku sendiri, dan kau mengurus dirimu sendiri. Tapi sekarang aku menarik semua perjanjian itu.”Silia mengecilkan matanya. Alisnya bertaut. “Aku tak mengerti apa maksudmu Roby?”“Silia, aku sudah memutuskan untuk bersikap layaknya seperti seorang suami bagimu. Aku tahu, pernikahan kita ini hanya sebuah perjanjian yang akan segera berakhir, begitu kau melahirkan. Tapi waktu yang hanya beberapa bulan ini, akan aku gunakan sebaik mungkin untuk membuat diriku menjadi seorang suami yang berguna. Yang benar-benar menjaga dan melindungi istrinya.”Silia menggeleng, semakin bingung. “Tapi kenapa kau mau melakukan hal seperti itu, Roby? Aku tak pernah meminta apalagi memaksamu.”“Memang. Ini adalah keinginan atas kesadaranku sendiri.”“Iya. Tapi kenapa?” Roby tak langsung menjawab. Ia memandang Silia sej
Yesika mematut diri di depan cermin.“Ah, cantik sekali. Kalung seindah ini mana cocok kalau Silia yang pakai. Memang lebih tepat kalau perempuan secantik aku yang mengenakannya. Kalung ini akan kupakai saat nanti bertemu lagi dengan Vatra. Dia pasti kagum saat melihat benda berkilau ini menghiasi leher jenjangku.” Yesika memuji dirinya sendiri dengan penuh percaya diri.Ia tersenyum-senyum sendiri, mengingat kejadian tadi siang saat mengantar ibunya ke pasar.Meski awalnya sempat marah-marah karena diajak pergi belanja sayur di tempat yang panas dan bau, siapa sangka ia justru berjumpa dengan Hanisa, Ibunda Vatra.Yesika tentu saja langsung berusaha mengakrabkan diri. Kesempatan bagus tidak mungkin ia lewatkan begitu saja. Meski baru sekali bertemu dengan Hanisa, Yesika mengingat wanita itu dengan baik ketika mereka berkenalan di hari pernikahan Silia dan Roby.Hanisa bahkan sempat memujinya tadi siang.“Kamu benar-benar calon istri dan menantu idaman. Padahal secantik ini, tap
“Bagaimana rasanya?” Silia memandang Roby yang sedang menyendokkan kuah ke mulut.Pemuda itu mengecap beberapa kali sambil memandang Silia yang terlihat menanti penilaian dengan penuh harap.“Ini sayur lodeh atau kolak?” godanya.Silia mengambil sendok di tangan Roby dan ikut mengecek rasanya.“Apa terlalu manis? Aku tadi Cuma beri sedikit gula.” Silia merasa kalau tak ada yang salah dengan masakannya.Meski baru belajar, Silia yakin rasanya tak mungkin aneh.“Coba sini aku rasa lagi. Tapi tolong ambilkan mangkok plastik kecil.” Silia mengambilkan barang yang diminta. Roby terlihat menyendok isi sayur lodeh agak banyak ke dalam mangkok dan mengambil tempat duduk.“Enak tidak? Kenapa malah makan sayur?”“Enak.” Sahut Roby pendek sambil melahap makanannya dengan lahap.“Tadi katanya manis.”“Oh, mungkin karena tadi aku makan sambil melihat kamu.” Roby menjawab cuek.“Maksudnya?” Silia tak paham.“Yang manis bukan sayur lodehnya, tapi kamu.”Roby mengaduh saat Silia memuku
“Silia, buka pintunya!”Gedoran di luar terdengar semakin keras, mengejutkan Silia yang tadi sempat terlelap tidur. Saat melihat jam di ponselnya, waktu sudah menunjukkan hampir jam 3 pagi.Dengan mata yang masih terasa sepat, ia bangun untuk keluar membuka pintu rumah.“Ini sudah jam berapa, kenapa kau baru---pulang?” Silia terkejut melihat keadaan Roby yang tak seperti biasanya.Mata pemuda itu memerah dan seperti tak mampu menahan bobot badannya sendiri.“Apa kau mabuk Roby?!”“Minggir, aku mau lewat!” Roby menghalau Silia yang menghalangi jalannya dengan tangan kiri.“Roby....”Silia yang tak puas hati karena Roby tak menjawab pertanyaannya, mengikuti langkah Roby dari belakang. Namun ia langsung panik saat pemuda itu roboh begitu saja di depannya.“Aku tak apa-apa! Menyingkirlah. Aku bisa bangun sendiri.”Roby berusaha bangun namun kakinya terasa tak bertulang, ia kembali jatuh setelah sempat berjalan sempoyongan beberapa langkah. Akhirnya tetap saja Silia yang membantu
“Kok tumben Mama ke sini?” Silia meletakkan secangkir teh hangat di atas meja untuk Amira.“Mama Cuma kangen. Lagi pula, ada yang mau bicarakan sama kamu.” Amira celingak-celinguk, memastikan tak ada Roby di sekitar mereka.“Roby lagi ke kamar, Ma. Dia tak mungkin dengar kalau kita ngomong pelan-pelan,” ujar Silia, seolah tahu isi hati ibunya.“Begini, sekitar beberapa hari yang lalu ada Vatra datang ke rumah. Dia menemui Mama dan menitipkan sesuatu untuk diberikan kepada kamu.”“Menitipkan sesuatu? Beberapa hari yang lalu?”“Iya.” Amira mengangguk.“Menitipkan apa, Ma?”“Sebuah kalung. Cantik sekali. Dan sepertinya mahal. Dia bilang sudah lama dia beli waktu masih di Singapura. Katanya untuk kamu.”“Kenapa dia tak memberikannya langsung padaku? Baru-baru ini aku bersama Vatra seharian. Tapi dia tak ada mengatakan apa pun soal kalung.”“Kamu seharian sama Vatra? Memangnya pergi ke mana? Apa Roby tidak cemburu?” Amira terlihat heran mendengar pengakuan anaknya.Sementara itu
“Ini memang kalung yang kau berikan pada Silia. Tapi aku tidak mengambilnya.”Jawaban Yesika membuat kening Vatra berkerut heran.“Lantas, bagaimana bisa ada denganmu?” tanyanya.“Silia memberikannya padaku. Dia bilang, kalung ini tak boleh berada di tangannya. Dia sudah punya suami, tak pantas menerima hadiah dari laki-laki lain dalam bentuk apa pun dan dengan alasan apa pun. Roby bisa marah kalau sampai tahu. Dan dia tak mungkin akan berbohong selamanya. Karena itu, dia memberikan kalung ini padaku.”Vatra menurunkan pandangan, seakan masih sangsi akan pengakuan Yesika. Haruskah ia percaya? “Kalau memang dia tak bisa menerimanya, kenapa tak dikembalikan saja padaku?” Vatra bertanya dengan lesu.“Tentu saja karena dia tak enak hati. Dia tak mau terlihat menolak apalagi membuang barang pemberianmu. Karena itu dia memberikan ini padaku. Lagi pula, memangnya kau berharap kalung ini dikembalikan kalau Silia tak menginginkannya? Apa kau merasa sayang karena harganya sangat mahal? K