Hari yang dinanti tiba. Sejak pagi terlihat kesibukan di rumah Silia. Meski acara ijab kabul dan resepsi akan diadakan di hotel, tapi Silia didandani dan dipersiapkan dari rumahnya, baru nanti akan di bawa ke hotel dengan memakai mobil pengantin.
“Gimana? Ideku bagus kan?” tanya Yesika sambil membantu Silia memakai baju dalaman sebelum memakai gaun pengantin untuk acara akad pagi ini.Silia hanya diam. Malas menanggapi omongan Yesika.“Kamu masih ada hutang loh. Kamu baru transfer 38 juta. Masih kurang 12 juta.”“Iya aku tahu. Bisa nggak sih kamu nggak ngomongin hal itu sekarang?! Aku nggak mau ada yang dengar.”“Ya aku kan Cuma ngingetin aja. Nggak usah galak napa? Sensi amat jadi orang!” balas Yesika kesal.Mereka kembali diam saat ada seseorang yang masuk ke kamar mengambil sesuatu.“Jangan terlalu mendalami peran ya. Jangan sampai jatuh cinta sama Roby,” kata Yesika saat kembali hanya tinggal mereka berdua.“Memangnya kenapa? Dia pacar kamu?” tanya Silia asal. Tapi cukup membuat Yesika gugup.“Enak aja. Dia bukan tipeku. Orang kayak dia mana mampu beliin skincare dan make up aku yang mahal,” kata Yesika culas, membuat Silia memutar bola matanya karena muak.“Trus??”“Ya aku kasihan aja sama kamu. Kalau sampai jatuh cinta sama Roby yang ganteng kayak gitu. Sementara maaf aja, kamu bukan tipe cewek yang bakal disukai Roby. Jadi...”“Nggak usah ngajarin aku Yesika! Peran kamu cukup sampai di sini. Setelah semua uang kubayarkan, tolong jangan ganggu kehidupanku lagi!” kata Silia dengan penuh kesal. Bahasa yang disampaikan Yesika seolah sangat merendahkan dirinya.Yesika membanting make up pallete milik MUA yang nantinya akan mendandani Silia. Silia terkejut. Ia melihat barang yang jatuh beserta warna-warna yang berserakan di lantai akibat ulah Yesika barusan.“Kenapa kamu banting? Itu barang milik orang! Harganya pasti mahal,” teriak Silia geram. Hanya ada mereka di kamar Silia saat ini, sementara yang lain mungkin sibuk di dapur dan menata ruang tamu. MUA yang akan mendandani Silia pun belum datang, baru barang saja yang tadi sudah diantarkan.“Aku masih nggak habis pikir Silia. Sepertinya sampai sekarang kamu masih menyalahkan aku atas apa yang terjadi sama kamu, ya? Aku udah bantu kamu sejauh ini, sampai cariin orang buat ngakuin anak haram kamu itu...” tangan Yesika menunjuk perut Silia. “Buat nutupin aib kamu yang udah diperkosa orang. Gini balasan kamu?!”“Yesi!!! Tolong kecilkan suara kamu! Gimana kalau ada yang dengar?!” suara Silia tertahan. Silia sudah hampir menangis.“Bodo!!! Biar pada dengar! Kalau kamu mau aku nutup mulut aku, bayarkan uang kuliahku dua semester ini, dan aku minta uang jajan tiap hari, seperti dulu sebelum kamu menjauh dari aku sejak malam sial itu!”“Apa?? Kamu memeras aku sekarang?” tanya Silia tak percaya.“Terserah gimana kamu mengartikannya! Yang jelas aku Cuma mau kasi tahu, sampai kapan pun hubungan kita nggak akan pernah bisa berhenti. Kamu nyuruh aku untuk nggak ganggu hidup kamu lagi? Jadi selama ini kamu merasa aku ganggu? Aku satu-satunya teman kamu sejak SMA, Silia. Masih ingat kan?”“Kenapa kau lakukan ini padaku Yesi? Padahal kau bilang kalau kau temanku,” kata Silia sedih.“Habis kamu itu nggak tahu terima kasih. Aku tadi ngomong bagus-bagus, tapi jawaban kamu kasar banget. Tahu rasa kan sekarang? Makanya jangan berani-berani marahin aku. Udah tahu semua rahasia kamu tuh aku yang pegang,” ucap Yesika kesal.Silia baru saja hendak membuka mulutnya kembali, akan menjawab kalimat Yesika. Tapi sebuah teriakan kecil membuat kata-katanya tertahan.“Ya ampuunn... Ini kenapa kok berhamburan kayak gini? Gimana mau dandanin penganten?!” ujar MUA berjilbab ungu itu terlihat panik sambil berusaha membersihkan alat make up pallete miliknya yang sudah hancur di lantai.“Tadi kesenggol Silia. Minta ganti aja sama dia!” kata Yesika judes sambil berlalu pergi dan keluar dari kamar. Silia hanya bisa berusaha menghapus air matanya diam-diam.“Maaf ya Mbak. Nggak sengaja. Biar saya ganti,” kata Silia tidak enak hati.“Iya udah, nggak apa. Nanti saya tambahkan ke tagihan aja ya Mbak. Maaf, soalnya itu harganya lumayan mahal.”“Iya nggak apa. Tagihkan aja. Tapi gimana mau dandan Mbak, alat make-up nya hancur.”“Saya ada bawa cadangannya kok Mbak, meski nggak sebagus yang tadi kualitasnya. Nggak apa ya? Mau beli yang baru takut keburu nggak sempat.”Silia hanya mengangguk sambil tersenyum paksa.Sementara saat Yesika tadi keluar kamar, ia dikejutkan dengan sosok ayahnya yang berdiri tepat di belakang pintu kamar Silia. Entah sejak kapan ayahnya itu ada di sana.“Bapak ngapain ada di sini?!”“Eh anu, Ibu nyuruh Bapak nyariin kamu.” Dandi menjawab dengan terbata.“Ngapain sih sembarangan keliling rumah orang? Nggak sopan tahu! Nanti ada barang orang rumah ini hilang, Yesi yang nggak enak. Tunggu aja di bawah, ngapain mesti nyariin sampe ke kamar pengantin?”“Ibu di bawah lagi bantu-bantu di dapur. Nyuruh Bapak nyariin kamu buat bantu nyuci piring.”“Dih, ogah! Kita ke sini sebagai tamu Pak. Bukan pembantu. Lagian kenapa Ibu mau-mau aja sih repot ngurusin nikahan Silia? Anak juga bukan. Siapa yang nyuruh Ibu bantu-bantu di dapur? Bu Amira?”“Nggak. Ibu mau sendiri.” Dandi mendekatkan mulutnya ke telinga Yesika, berbisik pelan,” Kata Ibu biar nanti pulangnya dibawain lauk.”“Ya ampun, jadi orang kok celamitan amat! Di sini Cuma masak-masak dikit. Acaranya di hotel kok.”Yesika baru saja hendak pergi, tapi tiba-tiba ia berhenti dan berbalik menghadap Dandi.“Eh, tapi... Sejak kapan Bapak ada di balik pintu tadi? Bapak nguping ya?”Dandi terlihat gugup. “Eh, ngapain Bapak nguping. Bapak baru datang kok.”“Apa Bapak denger apa yang kami omongkan tadi?” tanya Yesika galak. Ia tahu setiap kali ayahnya itu berbohong, dilihat dari sikap Dandi yang selalu terlihat ketakutan. Dan sekarang Yesika yakin kalau ayahnya pun sedang berbohong.“Nggak ada kok. Sumpah!” Dandi berusaha meyakinkan anaknya. Tapi Yesika terlalu pintar untuk dibodohi.“Denger ya Pak. Kalau Bapak berani membocorkan rahasia Silia ke orang lain, aku sendiri yang akan bikin perhitungan sama Bapak. Kalau Bapak masih mau uang jangan coba-coba berani bermulut ember!” ancam Yesika.Dandi hanya bisa mengangguk. Yesika tidak mau ayahnya membocorkan rahasia Silia sebelum ia mendapatkan semua uang yang dijanjikan.Silia mendekat, tangannya menyentuh jemari Roby yang menggenggam pegangan koper. “Kita pernah saling tolong, saling rawat. Tapi malam ini, aku ingin kita saling miliki.”Roby membuka mata. Ada air bening menggantung di sana. “Beneran?”Silia tersenyum kecil. “Iya. Kali ini bukan karena keadaan. Tapi karena aku yang memilih.”Ia menarik koper dari tangan Roby, meletakkannya di sudut ruangan. Lalu dengan langkah tenang, menggandeng lelaki itu masuk ke kamar.Kamar mereka tidak terlalu besar, tapi nyaman. Bayi mereka sedang tertidur di boks kecil, tubuh mungilnya digerakkan nafas lembut yang damai. Seolah tahu bahwa malam ini, orang tuanya sedang memilih untuk tetap bersama.Silia duduk di tepi ranjang. Ia membuka cardigan pelan, menyisakan kaus tipis yang membentuk siluet tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih dari melahirkan.“Tubuhku mungkin belum ideal lagi,” gumamnya pelan, nyaris takut. “Tapi ini aku. Apa adanya.”Roby berdiri di hadapannya. Ia ta
“Kamu pikir hidup aku gampang? Dari kecil aku dibesarkan bapak kayak dia. Pemalas, tukang pukul, penjudi. Ibuku sibuk kerja jadi tukang cuci. Nggak ada yang ngajar aku cara jadi baik, Silia. Yang aku tahu Cuma... cewek harus kuat. Dan satu-satunya kekuatan yang aku tahu... ya cowok. Duit. Gaya hidup.”Silia mengangguk pelan. “Kamu boleh marah. Tapi kamu juga boleh sembuh. Kamu boleh salah... asal kamu mau bangkit.”Yesika membuang muka. Kesal. Tapi juga mulai tampak goyah.“Yesi,” Silia menggenggam ujung jendela kaca pembatas. “Aku nggak benci kamu. Aku datang bukan buat balas dendam. Aku cuma pengen kamu tobat. Karena kamu masih bisa. Masih sempat.”Yesika menunduk. Bahunya naik turun. Tapi wajahnya tetap menegang.“Udahlah. Pulang aja. Aku nggak butuh dikasihani.”Silia menarik napas panjang. Ia berdiri, mengambil tas kecilnya, dan bersiap pergi. Namun sebelum melangkah keluar, ia berkata lirih,“Terima kasih Yesi, karena udah mau jadi temanku se
“Oke. Lokasi antar kita tentuin nanti malam. Harga fix. Bayar cash. No drama.”Yesika menyeringai. “Akhirnya. Kita bisa kabur dari hidup gembel ini.”Dandi mengangguk. Tapi matanya tak sepenuhnya yakin. Ia menatap bayi kecil itu, dan untuk sejenak... ada sesuatu di tatapannya. Mungkin kasihan. Mungkin hanya ragu.Tapi Yesika tidak memberinya waktu berpikir.“Buang kartu SIM itu sekarang. Dan jangan pernah nyebut nama Silia atau Roby lagi. Kita harus bersih. Titik.”Dandi mengambil SIM card dari ponsel dan mematahkan pelan-pelan. Suara ‘krek’ kecil terasa lebih berat dari biasanya.“Besok kita berangkat pagi-pagi. Kalau bisa sebelum ada yang nyari.”Yesika membenahi tas, mengambil uang receh dari dompet kecil mereka, lalu berkata datar, “Anak ini tiket kita. Cuma sementara. Tapi cukup buat mulai hidup baru. Jauh dari kemiskinan busuk ini.”---Di tempat lain, di sebuah warung kopi pinggir jalan, dua pria duduk memandangi layar laptop dari
Dandi tak berkedip. Menatap Yesika dengan serius.“Bapak kenal orang. Yang bisa ‘nampung’. Harganya tinggi... tapi harus bayi yang baru lahir. Gampang dijual.”Yesika mengangguk pelan. “Lakuin aja Pak. Biar Silia ngerasain. Rasanya kehilangan. Rasanya dihancurkan. Sama kayak aku.”Tak ada lagi suara. Tak ada lagi tawa. Hanya diam dan nafas yang berat.Rencana itu belum bulat. Tapi bibitnya sudah tumbuh. Di ruang pengap, di antara abu rokok dan reruntuh harga diri, dua manusia itu mulai menyulam kehancuran untuk satu jiwa tak berdosa—yang bahkan baru lahir ke dunia.**Rumah kontrakan kecil itu masih setengah sepi saat Silia menyalakan kompor. Tangannya sibuk mengaduk bubur, sesekali menoleh ke arah kamar.Putri kecilnya baru saja tertidur. Ia sendiri masih kelelahan, tubuhnya belum benar-benar pulih setelah persalinan. Tapi pagi ini Roby harus keluar, mengambil paket susu formula yang habis sejak kemarin. Ia tak keberatan. Roby sudah melakukan sega
Setelah kelahiran bayi itu, hidup Silia berubah jadi teka-teki yang tak punya jawaban pasti. Bayinya sehat, Roby tetap perhatian, dan Vatra makin sering datang. Tapi hatinya? Semakin berantakan.Pagi itu, Vatra mengajaknya sarapan di taman dekat rumah sakit. Hanya mereka berdua. Ia datang dengan setelan kasual dan senyum yang mematikan, seperti masa lalu yang belum pernah benar-benar ia kubur."Silia," katanya pelan setelah hening cukup lama. "Aku serius."Silia menoleh. "Serius apa?""Serius mau nikahin kamu. Bukan karena pengen memperbaiki masa lalu, tapi karena aku masih cinta. Aku mau kamu. Sama anak kamu. Aku bisa jadi ayahnya."Silia terdiam. Bahkan burung-burung di taman seolah ikut menahan napas."Aku tahu, selama ini mungkin kamu berpikir aku ninggalin kamu dulu. Tapi sekarang, aku balik bukan buat minta penjelasan. Aku balik buat ngelakuin apa yang harusnya aku lakuin dari dulu.""Vatra..." suaranya parau. "Kamu tahu aku udah nikah."
“Kalau kamu beneran sayang anak saya... kamu siap mundur kalau dia milih orang lain?”Roby mengangguk—meski itu mungkin akan membunuhnya. “Saya siap, Pa. Asal dia bahagia.”Arman menatap Roby lama. Untuk pertama kalinya, bukan dengan amarah atau pandangan remeh. Tapi dengan tatapan seorang ayah... yang melihat laki-laki di depan putrinya bukan lagi ancaman, tapi mungkin... perlindungan yang ia tak pernah tahu dibutuhkan.Sementara itu di dalam ruangan, Silia duduk bersandar, memeluk bantal menyusui sambil memperhatikan bayinya yang terlelap di dalam boks.Amira duduk di kursi sebelah tempat tidur, tangan mungilnya menggenggam jemari Silia yang kurus. Ada keheningan yang tak terburu-buru mereka pecahkan. Keheningan yang penuh luka, dan cinta, dan hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan selama ini.“Mama minta maaf,” kata Amira akhirnya. Suaranya lembut, serak, seperti seseorang yang baru saja bangun dari mimpi buruk. “Mama harusnya jadi tempat kamu pulang...