Share

BAB 4

last update Last Updated: 2023-10-31 12:38:30

Arman berkali-kali menghembuskan napasnya dengan kasar. Terlihat sekali kalau dia sedang berusaha menahan amarahnya. Berusaha agar kepalan tangannya tak mendarat di wajah pemuda yang baru saja mengaku menghamili putri kesayangannya. Putri kebanggaan satu-satunya.

Sementara di sebelahnya, Amira sang istri sudah menangis sejak tadi.

“Apa yang kurang dari kami, Silia? Kenapa kau melakukan ini pada kami? Kenapa kau tega mengecewakan kami?” tangis Amira. Ia tak menyangka putrinya yang selama ini pendiam dan tak pernah keluyuran, tahu-tahu hamil. Di saat kuliahnya masih belum selesai.

Arman hanya bisa menggertakkan gigi. Di depannya, Silia dan Roby terlihat menunduk dengan takut.

“Kapan kalian melakukannya? Dan berapa kali?” tanya Arman dengan nada suara berat.

“Cuma sekali Om. Saat Silia keluar mentraktir teman-teman di hari ulang tahunnya,” jawab Roby, sesuai dengan arahan Silia. Semua sudah mereka siapkan. Jawaban dari pertanyaan yang mungkin akan muncul saat mereka mulai bersandiwara di depan orang tua Silia.

Tanpa mereka ketahui, dua pasang mata mengintip di balik pintu dapur.

“Tuh kan bener. Berarti yang kata Yesika malam itu Mbak Sil jalan sama cowoknya, yang ini orangnya,” kata Munawar, sopir di rumah Silia.

“Eh iya, kan malam itu kamu nganterin Yesika sama teman-temannya pulang kan? Yang Mbak Sil kamu tinggal?” tanya Mbok Ida, pembantu Silia.

“Iya, kata Yesika Mbak Sil mau kencan sama cowoknya. Jadi ya kutinggal, nggak kujemput lagi. Ealah, malah enak-enakan mereka. Bunting dah tuh kan!” kata Munawar lagi.

“Kok bisa ya? Padahal Mbak Sil kan punya pacar yang kuliah di luar negeri.” Mbok Ida tak habis pikir.

“Ya justru karena pacaran jarak jauh makanya jadi selingkuh.”

“Padahal Mas Vatra tuh guanteng loh. Anak orang kaya lagi.” Mbok Ida merasa kesal sendiri.

“Yang ini juga ganteng kok kulihat. Tapi emang kayak orang nggak punya.”

Dua orang itu kembali diam dan memasang kembali telinga mereka di dinding, lanjut menguping.

“Apa pekerjaan kamu?” tanya Arman pada Roby.

“Saya kerja jadi pelayan di restoran.” Roby menjawab dengan jujur.

Arman menggebrak meja. Hatinya kesal, anak kesayangan hamil oleh seorang yang hanya bekerja sebagai pelayan.

Silia terlonjak kaget dan spontan memegang tangan Roby yang ada di sampingnya. Tanpa ia duga, Roby menggenggam tangannya.

Sementara dalam hati Roby, ia merasa tersinggung. Ia tahu ayah Silia menggebrak meja setelah mendengar profesinya. Roby merasa direndahkan.

“Saya akan tetap bertanggungjawab. Saya akan menikahi Silia.”

“Ku rasa memang itu kan tujuan kamu?” tanya Arman dengan tajam.

“Maksud Om?”

“Aku nggak tahu apa kamu benar tulus mencintai Silia, atau punya maksud tertentu. Dengan wajahmu itu kau bisa mendapatkan seorang wanita yang jauh lebih cantik dari anakku. Silia bukan seorang gadis yang menarik, tapi kamu tahu kalau dia kaya,” kata Arman menusuk.

Roby memutar bola matanya. Hatinya panas. Tuduhan itu, meski benar adanya, tapi bukanlah niat Roby. Melainkan karena demi Yesika dan tujuan menolong Silia. Tapi kata-kata ayah Silia membuatnya hampir menyerah dan mengakhiri sandiwara ini. Namun sekuat tenaga ia tahan amarahnya.

“Saya benar mencintai Silia Om. Kalau Om takut, saya janji nggak akan mengganggu-gugat harta milik Silia. Kalau Om merestui kami, setelah menikah Silia ikut dengan saya,” jawab Roby dengan berusaha tetap sopan.

“Bagaimana kalau aku tak merestui kalian?”

“Sebaiknya Om pikirkan lagi. Apa Om mau Silia hamil dan melahirkan tanpa punya suami?”

“Aku tak peduli. Anggap saja itu hukuman untuk dia. Biar dia yang menanggung malu. Kalau perlu dia akan kuusir dari rumah ini. Dan kamu... Kamu akan berurusan dengan polisi, karena aku akan membawa masalah ini ke jalur hukum.”

Hati Roby menciut. Ini di luar rencana dan prediksinya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

“Maafkan Silia Pa...” Silia menghambur memeluk lutut ayahnya. “Silia memang salah. Tapi tolong berikan kami kesempatan. Jangan penjarakan Roby. Jangan usir Silia. Kalau Papa lakukan itu lebih baik Silia mati!” tangisnya.

Arman hampir tak bergeming. Tatapannya yang masih terlihat marah seolah tak peduli dengan tangis Silia. Hatinya sudah benar-benar terlanjur kecewa. Kata-kata Silia hampir tak terdengar olehnya. Sebuah sentuhan lembut memegang tangannya. Arman menoleh.

“Silia satu-satunya anak kita, Pa. Apa yang terjadi mungkin juga karena kesalahan kita, yang nggak bisa menjaganya dengan baik. Sekarang biarlah kita turuti sekali lagi keinginannya. Kalau Papa marah pada Silia, lakukan ini demi Mama. Mama nggak mau terjadi apa-apa dengan Silia.” Amira menangis memohon pada Arman.

Arman memandang Silia yang masih menangis di lututnya. Kemudian pandangannya beralih kepada Roby. Pemuda itu sudah beritikad baik datang menghadap padanya dengan sopan. Mengakui perbuatannya dan bersedia bertanggungjawab. Meski Roby tak sesuai harapannya, setidaknya dia sudah berniat baik. Tak seharusnya niat baik itu dibalas dengan penghinaan dan ancaman.

Arman mendesah pelan, mencoba membuang semua ego yang sejak tadi menguasai diri.

“Kalian tentukan saja harinya. Kita tetap akan membuat pesta pernikahan kecil setelah ijab kabul. Bagaimanapun, sejak dulu aku ingin sekali melihat anakku bersanding dengan bahagia. Menjadi Raja dan Ratu sehari. Meski keadaannya sekarang seperti ini.”

Silia merasakan hatinya pedih mendengar kalimat dari ayahnya. Baginya lebih baik sang ayah menamparnya, daripada Silia harus mendengarkan kata-kata yang begitu menyayat hati.

“Saya hanya punya uang 10 juta untuk acara pernikahannya, Om,” nada suara Roby terdengar khawatir. Silia kemarin bilang hanya menginginkan pernikahan sederhana, jadi Silia hanya berjanji akan memberinya 10 juta. Dan kalau ayah Silia ingin ada pesta, maka pastilah biayanya akan bertambah. Dan Roby takut itu akan dibebankan padanya.

“Kamu jangan khawatir. Aku tahu sampai di mana kemampuanmu. Simpan saja uangmu, untuk nantinya membahagiakan Silia. Biar acara pernikahan ini aku tanggung semua,” sahut Arman dingin. Roby lega mendengarnya, begitu juga Silia.

Arman berdiri. Dan tanpa ada sepatah kata pun ia pergi meninggalkan ruang keluarga tempat mereka baru saja berdebat. Masuk ke kamarnya dengan sekali hentakan pintu dan langsung menguncinya dari dalam.

Tinggallah Amira, Roby dan Silia yang saling berpandangan. Silia mendekati Amira dengan pandangan mata berkaca-kaca.

“Maafkan Silia Ma. Maaf...” hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.

Amira memeluk putrinya dan mengusap rambut Silia dengan lembut.

“Yang sudah terjadi, biarlah. Berjanjilah pada Mama, kalian akan baik-baik saja. Yang rukun, dan langgeng. Jangan sampai keputusan kalian hari ini tidak bisa kalian pertanggungjawabkan di kemudian hari. Mama minta kalian selamanya bersama. Mama hanya bisa mendoakan. Tolong jangan sampai kalian mengecewakan kami dua kali,” pinta Amira.

Kalimat Amira membuat Roby menelan saliva. Ibu Silia itu ingin agar dia dan Silia bersama selamanya. Waduh!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Berbayar Si Gadis Culun    Bab 77

    Silia mendekat, tangannya menyentuh jemari Roby yang menggenggam pegangan koper. “Kita pernah saling tolong, saling rawat. Tapi malam ini, aku ingin kita saling miliki.”Roby membuka mata. Ada air bening menggantung di sana. “Beneran?”Silia tersenyum kecil. “Iya. Kali ini bukan karena keadaan. Tapi karena aku yang memilih.”Ia menarik koper dari tangan Roby, meletakkannya di sudut ruangan. Lalu dengan langkah tenang, menggandeng lelaki itu masuk ke kamar.Kamar mereka tidak terlalu besar, tapi nyaman. Bayi mereka sedang tertidur di boks kecil, tubuh mungilnya digerakkan nafas lembut yang damai. Seolah tahu bahwa malam ini, orang tuanya sedang memilih untuk tetap bersama.Silia duduk di tepi ranjang. Ia membuka cardigan pelan, menyisakan kaus tipis yang membentuk siluet tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih dari melahirkan.“Tubuhku mungkin belum ideal lagi,” gumamnya pelan, nyaris takut. “Tapi ini aku. Apa adanya.”Roby berdiri di hadapannya. Ia ta

  • Pernikahan Berbayar Si Gadis Culun    Bab 76

    “Kamu pikir hidup aku gampang? Dari kecil aku dibesarkan bapak kayak dia. Pemalas, tukang pukul, penjudi. Ibuku sibuk kerja jadi tukang cuci. Nggak ada yang ngajar aku cara jadi baik, Silia. Yang aku tahu Cuma... cewek harus kuat. Dan satu-satunya kekuatan yang aku tahu... ya cowok. Duit. Gaya hidup.”Silia mengangguk pelan. “Kamu boleh marah. Tapi kamu juga boleh sembuh. Kamu boleh salah... asal kamu mau bangkit.”Yesika membuang muka. Kesal. Tapi juga mulai tampak goyah.“Yesi,” Silia menggenggam ujung jendela kaca pembatas. “Aku nggak benci kamu. Aku datang bukan buat balas dendam. Aku cuma pengen kamu tobat. Karena kamu masih bisa. Masih sempat.”Yesika menunduk. Bahunya naik turun. Tapi wajahnya tetap menegang.“Udahlah. Pulang aja. Aku nggak butuh dikasihani.”Silia menarik napas panjang. Ia berdiri, mengambil tas kecilnya, dan bersiap pergi. Namun sebelum melangkah keluar, ia berkata lirih,“Terima kasih Yesi, karena udah mau jadi temanku se

  • Pernikahan Berbayar Si Gadis Culun    Bab 75

    “Oke. Lokasi antar kita tentuin nanti malam. Harga fix. Bayar cash. No drama.”Yesika menyeringai. “Akhirnya. Kita bisa kabur dari hidup gembel ini.”Dandi mengangguk. Tapi matanya tak sepenuhnya yakin. Ia menatap bayi kecil itu, dan untuk sejenak... ada sesuatu di tatapannya. Mungkin kasihan. Mungkin hanya ragu.Tapi Yesika tidak memberinya waktu berpikir.“Buang kartu SIM itu sekarang. Dan jangan pernah nyebut nama Silia atau Roby lagi. Kita harus bersih. Titik.”Dandi mengambil SIM card dari ponsel dan mematahkan pelan-pelan. Suara ‘krek’ kecil terasa lebih berat dari biasanya.“Besok kita berangkat pagi-pagi. Kalau bisa sebelum ada yang nyari.”Yesika membenahi tas, mengambil uang receh dari dompet kecil mereka, lalu berkata datar, “Anak ini tiket kita. Cuma sementara. Tapi cukup buat mulai hidup baru. Jauh dari kemiskinan busuk ini.”---Di tempat lain, di sebuah warung kopi pinggir jalan, dua pria duduk memandangi layar laptop dari

  • Pernikahan Berbayar Si Gadis Culun    Bab 74

    Dandi tak berkedip. Menatap Yesika dengan serius.“Bapak kenal orang. Yang bisa ‘nampung’. Harganya tinggi... tapi harus bayi yang baru lahir. Gampang dijual.”Yesika mengangguk pelan. “Lakuin aja Pak. Biar Silia ngerasain. Rasanya kehilangan. Rasanya dihancurkan. Sama kayak aku.”Tak ada lagi suara. Tak ada lagi tawa. Hanya diam dan nafas yang berat.Rencana itu belum bulat. Tapi bibitnya sudah tumbuh. Di ruang pengap, di antara abu rokok dan reruntuh harga diri, dua manusia itu mulai menyulam kehancuran untuk satu jiwa tak berdosa—yang bahkan baru lahir ke dunia.**Rumah kontrakan kecil itu masih setengah sepi saat Silia menyalakan kompor. Tangannya sibuk mengaduk bubur, sesekali menoleh ke arah kamar.Putri kecilnya baru saja tertidur. Ia sendiri masih kelelahan, tubuhnya belum benar-benar pulih setelah persalinan. Tapi pagi ini Roby harus keluar, mengambil paket susu formula yang habis sejak kemarin. Ia tak keberatan. Roby sudah melakukan sega

  • Pernikahan Berbayar Si Gadis Culun    Bab 73

    Setelah kelahiran bayi itu, hidup Silia berubah jadi teka-teki yang tak punya jawaban pasti. Bayinya sehat, Roby tetap perhatian, dan Vatra makin sering datang. Tapi hatinya? Semakin berantakan.Pagi itu, Vatra mengajaknya sarapan di taman dekat rumah sakit. Hanya mereka berdua. Ia datang dengan setelan kasual dan senyum yang mematikan, seperti masa lalu yang belum pernah benar-benar ia kubur."Silia," katanya pelan setelah hening cukup lama. "Aku serius."Silia menoleh. "Serius apa?""Serius mau nikahin kamu. Bukan karena pengen memperbaiki masa lalu, tapi karena aku masih cinta. Aku mau kamu. Sama anak kamu. Aku bisa jadi ayahnya."Silia terdiam. Bahkan burung-burung di taman seolah ikut menahan napas."Aku tahu, selama ini mungkin kamu berpikir aku ninggalin kamu dulu. Tapi sekarang, aku balik bukan buat minta penjelasan. Aku balik buat ngelakuin apa yang harusnya aku lakuin dari dulu.""Vatra..." suaranya parau. "Kamu tahu aku udah nikah."

  • Pernikahan Berbayar Si Gadis Culun    Bab 72

    “Kalau kamu beneran sayang anak saya... kamu siap mundur kalau dia milih orang lain?”Roby mengangguk—meski itu mungkin akan membunuhnya. “Saya siap, Pa. Asal dia bahagia.”Arman menatap Roby lama. Untuk pertama kalinya, bukan dengan amarah atau pandangan remeh. Tapi dengan tatapan seorang ayah... yang melihat laki-laki di depan putrinya bukan lagi ancaman, tapi mungkin... perlindungan yang ia tak pernah tahu dibutuhkan.Sementara itu di dalam ruangan, Silia duduk bersandar, memeluk bantal menyusui sambil memperhatikan bayinya yang terlelap di dalam boks.Amira duduk di kursi sebelah tempat tidur, tangan mungilnya menggenggam jemari Silia yang kurus. Ada keheningan yang tak terburu-buru mereka pecahkan. Keheningan yang penuh luka, dan cinta, dan hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan selama ini.“Mama minta maaf,” kata Amira akhirnya. Suaranya lembut, serak, seperti seseorang yang baru saja bangun dari mimpi buruk. “Mama harusnya jadi tempat kamu pulang...

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status