Share

BAB 4

Arman berkali-kali menghembuskan napasnya dengan kasar. Terlihat sekali kalau dia sedang berusaha menahan amarahnya. Berusaha agar kepalan tangannya tak mendarat di wajah pemuda yang baru saja mengaku menghamili putri kesayangannya. Putri kebanggaan satu-satunya.

Sementara di sebelahnya, Amira sang istri sudah menangis sejak tadi.

“Apa yang kurang dari kami, Silia? Kenapa kau melakukan ini pada kami? Kenapa kau tega mengecewakan kami?” tangis Amira. Ia tak menyangka putrinya yang selama ini pendiam dan tak pernah keluyuran, tahu-tahu hamil. Di saat kuliahnya masih belum selesai.

Arman hanya bisa menggertakkan gigi. Di depannya, Silia dan Roby terlihat menunduk dengan takut.

“Kapan kalian melakukannya? Dan berapa kali?” tanya Arman dengan nada suara berat.

“Cuma sekali Om. Saat Silia keluar mentraktir teman-teman di hari ulang tahunnya,” jawab Roby, sesuai dengan arahan Silia. Semua sudah mereka siapkan. Jawaban dari pertanyaan yang mungkin akan muncul saat mereka mulai bersandiwara di depan orang tua Silia.

Tanpa mereka ketahui, dua pasang mata mengintip di balik pintu dapur.

“Tuh kan bener. Berarti yang kata Yesika malam itu Mbak Sil jalan sama cowoknya, yang ini orangnya,” kata Munawar, sopir di rumah Silia.

“Eh iya, kan malam itu kamu nganterin Yesika sama teman-temannya pulang kan? Yang Mbak Sil kamu tinggal?” tanya Mbok Ida, pembantu Silia.

“Iya, kata Yesika Mbak Sil mau kencan sama cowoknya. Jadi ya kutinggal, nggak kujemput lagi. Ealah, malah enak-enakan mereka. Bunting dah tuh kan!” kata Munawar lagi.

“Kok bisa ya? Padahal Mbak Sil kan punya pacar yang kuliah di luar negeri.” Mbok Ida tak habis pikir.

“Ya justru karena pacaran jarak jauh makanya jadi selingkuh.”

“Padahal Mas Vatra tuh guanteng loh. Anak orang kaya lagi.” Mbok Ida merasa kesal sendiri.

“Yang ini juga ganteng kok kulihat. Tapi emang kayak orang nggak punya.”

Dua orang itu kembali diam dan memasang kembali telinga mereka di dinding, lanjut menguping.

“Apa pekerjaan kamu?” tanya Arman pada Roby.

“Saya kerja jadi pelayan di restoran.” Roby menjawab dengan jujur.

Arman menggebrak meja. Hatinya kesal, anak kesayangan hamil oleh seorang yang hanya bekerja sebagai pelayan.

Silia terlonjak kaget dan spontan memegang tangan Roby yang ada di sampingnya. Tanpa ia duga, Roby menggenggam tangannya.

Sementara dalam hati Roby, ia merasa tersinggung. Ia tahu ayah Silia menggebrak meja setelah mendengar profesinya. Roby merasa direndahkan.

“Saya akan tetap bertanggungjawab. Saya akan menikahi Silia.”

“Ku rasa memang itu kan tujuan kamu?” tanya Arman dengan tajam.

“Maksud Om?”

“Aku nggak tahu apa kamu benar tulus mencintai Silia, atau punya maksud tertentu. Dengan wajahmu itu kau bisa mendapatkan seorang wanita yang jauh lebih cantik dari anakku. Silia bukan seorang gadis yang menarik, tapi kamu tahu kalau dia kaya,” kata Arman menusuk.

Roby memutar bola matanya. Hatinya panas. Tuduhan itu, meski benar adanya, tapi bukanlah niat Roby. Melainkan karena demi Yesika dan tujuan menolong Silia. Tapi kata-kata ayah Silia membuatnya hampir menyerah dan mengakhiri sandiwara ini. Namun sekuat tenaga ia tahan amarahnya.

“Saya benar mencintai Silia Om. Kalau Om takut, saya janji nggak akan mengganggu-gugat harta milik Silia. Kalau Om merestui kami, setelah menikah Silia ikut dengan saya,” jawab Roby dengan berusaha tetap sopan.

“Bagaimana kalau aku tak merestui kalian?”

“Sebaiknya Om pikirkan lagi. Apa Om mau Silia hamil dan melahirkan tanpa punya suami?”

“Aku tak peduli. Anggap saja itu hukuman untuk dia. Biar dia yang menanggung malu. Kalau perlu dia akan kuusir dari rumah ini. Dan kamu... Kamu akan berurusan dengan polisi, karena aku akan membawa masalah ini ke jalur hukum.”

Hati Roby menciut. Ini di luar rencana dan prediksinya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

“Maafkan Silia Pa...” Silia menghambur memeluk lutut ayahnya. “Silia memang salah. Tapi tolong berikan kami kesempatan. Jangan penjarakan Roby. Jangan usir Silia. Kalau Papa lakukan itu lebih baik Silia mati!” tangisnya.

Arman hampir tak bergeming. Tatapannya yang masih terlihat marah seolah tak peduli dengan tangis Silia. Hatinya sudah benar-benar terlanjur kecewa. Kata-kata Silia hampir tak terdengar olehnya. Sebuah sentuhan lembut memegang tangannya. Arman menoleh.

“Silia satu-satunya anak kita, Pa. Apa yang terjadi mungkin juga karena kesalahan kita, yang nggak bisa menjaganya dengan baik. Sekarang biarlah kita turuti sekali lagi keinginannya. Kalau Papa marah pada Silia, lakukan ini demi Mama. Mama nggak mau terjadi apa-apa dengan Silia.” Amira menangis memohon pada Arman.

Arman memandang Silia yang masih menangis di lututnya. Kemudian pandangannya beralih kepada Roby. Pemuda itu sudah beritikad baik datang menghadap padanya dengan sopan. Mengakui perbuatannya dan bersedia bertanggungjawab. Meski Roby tak sesuai harapannya, setidaknya dia sudah berniat baik. Tak seharusnya niat baik itu dibalas dengan penghinaan dan ancaman.

Arman mendesah pelan, mencoba membuang semua ego yang sejak tadi menguasai diri.

“Kalian tentukan saja harinya. Kita tetap akan membuat pesta pernikahan kecil setelah ijab kabul. Bagaimanapun, sejak dulu aku ingin sekali melihat anakku bersanding dengan bahagia. Menjadi Raja dan Ratu sehari. Meski keadaannya sekarang seperti ini.”

Silia merasakan hatinya pedih mendengar kalimat dari ayahnya. Baginya lebih baik sang ayah menamparnya, daripada Silia harus mendengarkan kata-kata yang begitu menyayat hati.

“Saya hanya punya uang 10 juta untuk acara pernikahannya, Om,” nada suara Roby terdengar khawatir. Silia kemarin bilang hanya menginginkan pernikahan sederhana, jadi Silia hanya berjanji akan memberinya 10 juta. Dan kalau ayah Silia ingin ada pesta, maka pastilah biayanya akan bertambah. Dan Roby takut itu akan dibebankan padanya.

“Kamu jangan khawatir. Aku tahu sampai di mana kemampuanmu. Simpan saja uangmu, untuk nantinya membahagiakan Silia. Biar acara pernikahan ini aku tanggung semua,” sahut Arman dingin. Roby lega mendengarnya, begitu juga Silia.

Arman berdiri. Dan tanpa ada sepatah kata pun ia pergi meninggalkan ruang keluarga tempat mereka baru saja berdebat. Masuk ke kamarnya dengan sekali hentakan pintu dan langsung menguncinya dari dalam.

Tinggallah Amira, Roby dan Silia yang saling berpandangan. Silia mendekati Amira dengan pandangan mata berkaca-kaca.

“Maafkan Silia Ma. Maaf...” hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.

Amira memeluk putrinya dan mengusap rambut Silia dengan lembut.

“Yang sudah terjadi, biarlah. Berjanjilah pada Mama, kalian akan baik-baik saja. Yang rukun, dan langgeng. Jangan sampai keputusan kalian hari ini tidak bisa kalian pertanggungjawabkan di kemudian hari. Mama minta kalian selamanya bersama. Mama hanya bisa mendoakan. Tolong jangan sampai kalian mengecewakan kami dua kali,” pinta Amira.

Kalimat Amira membuat Roby menelan saliva. Ibu Silia itu ingin agar dia dan Silia bersama selamanya. Waduh!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status