Share

Mimpi Buruk

Penulis: Nay Dinanti
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-27 13:13:16

Aku bergegas menoleh ke belakang begitu pintu kamar terbuka. Lalu tersenyum tatkala melihat suamiku masuk. Sembari berusaha menutup lebam di lengan kananku dengan pose yang seharusnya tidak mencurigakan sama sekali. 

Pria itu kemudian terlihat membuka jasnya.

"Mestinya tadi kamu nggak usah ngangkatin berat-berat seperti itu," ujarnya.

Aku hanya memandangnya dari tempatku berdiri.

"Kamu tau kan, kalau itu bisa berakibat fatal sama kandungan kamu?" Mas Wira mulai membuka kancing kemejanya dan membuatku seketika membalik badan ketika ia melepasnya.

Hmm. Sudah berani rupanya pria itu bertelanjang dada di depanku. Padahal sebelumnya ia akan memilih berganti baju di kamar mandi.

"Kenapa  berbalik? bukankah kamu sudah terbiasa melihat tubuh polos lelaki?" 

Sindirannya sontak membuat tubuhku menegang. Hatiku serasa dikoyak. Kemudian darahnya mengalir tanpa henti. Luka itu basah lagi.

Dadaku bergemuruh hingga tanpa sadar kedua tanganku mengepal. Aku pun memutuskan meninggalkan kamar, tak berniat membalas sindiran pedasnya itu.

Namun, langkahku tiba-tiba terhenti ketika Mas Wira menahan tanganku. Lagi-lagi alis matanya bertaut ketika menatap lenganku dengan seksama.

"Ini kenapa?" tanyanya.

"Digigit binatang," jawabku asal sembari menahan kegetiran.

Kemudian kembali melanjutkan langkah keluar kamar. 

***

Aku memutuskan duduk di pinggir kolam ikan hias mini yang letaknya ada di halaman rumah. Air mancur kecil di atasnya membuat ikan-ikan mungil tersebut berenang riang ke sana kemari. 

Seketika senyuman terbit di bibirku. Membayangkan kalau saja diriku ini ikan, pasti sudah bebas berenang ke sana kemari tanpa membawa beban berat yang harus kupikul ke mana-mana.

Alih-alih membayangkan jadi seekor ikan, lagi-lagi aku malah tersedot ke dalam lamunan di mana aku bertemu dengan Mas Wira untuk pertama kalinya.

Mas Wira merupakan kakak tingkatku ketika kuliah dulu. Lumayan populer karena selalu menjadi buah bibir di antara para gadis yang berkuliah di sana. Termasuk temanku, dan juga ... aku. 

Tampan, cerdas, dan juga aktif di kegiatan mahasiswa. Saking terpesonanya, terkadang geng-ku itu sering menggodanya ketika melihatnya lewat di depan kami. Memang sudah jadi pembawaan sepertinya, dia hanya lurus-lurus saja tanpa mempedulikan godaan syaitan di sekelilingnya.

"Yessi, dapet salam dari Wira," ucap Siska suatu waktu. Aku mencibir karena tahu jika itu hanya karangannya saja, dan tak mungkin terjadi.

"Aku serius!" 

Ya, serius. Tapi sambil senyum-senyum tidak jelas membuatku harus mencari-cari keseriusan di wajahnya yang memang tidak ada.

"Berapa lembar? mau dimasak apa? nggak usah repot-repot karena di rumah udah banyak daun salam," jawabku.

"Kalo beneran jangan nyesel ya?" Siska pura-pura mengancamku.

"Nggak bakal. Oh, iya. Nanti mau ikut aku nggak?" tawarku.

"Ke mana?"

"Biasalah. Hang out sama Bram," jawabku.

"Idih, ogah jadi obat nyamuk," 

Aku pun terkikik geli mendengar jawabannya. Pada saat itu aku memang sudah berpacaran dengan Bram. Jadi dengan Mas Wira, aku hanya sebatas mengagumi saja tanpa pernah bertegur sapa sama sekali.

Hingga aku terkejut setengah mati tatkala Mas Wira datang ke rumah dan berniat melamarku. Karena memang tidak pernah terpikir sebelumnya.

Inikah anak teman papi yang dijodohkan untukku? aku bertanya-tanya sendiri dalam batin.

"Aku tau apa yang sudah terjadi padamu," ucap Mas Wira sembari melirik ke perutku tatkala kami diberikan kesempatan mengobrol berdua.

"Terus?" jawabku datar.

"Aku akan segera menikahimu," katanya dengan mimik wajah serius.

Aku tertawa miris mendengarnya.

"Mau tak mau aku memang akan segera menikah, bukan? Entah itu denganmu atau dengan pria lain. Aku tak kuasa menolak kemauan orang tuaku," sahutku sembari terus tertawa. Entah apa yang kutertawakan aku sendiri tak paham.

"Aku yang akan menikahimu, bukan orang lain," ulangnya seolah meyakinkanku.

"Masalahnya di sini, kenapa kamu mau menikahiku? padahal kamu tahu  kalau aku udah nggak perawan. Aku lagi hamil. Bagaimana bisa lelaki menikahi wanita yang rahimnya sudah terisi tanaman orang lain? kamu dibayar papiku?" 

Mas Wira tampak terkesiap mendengar pertanyaanku. Mungkin terdengar cukup sadis. Tapi biarlah. Hidupku bahkan jauh lebih sadis dari apa yang baru saja terlontar dari bibirku.

Belum sempat menjawab, Mas Wira keburu dipanggil papi. Entah apa yang akan mereka bahas. Kelihatannya serius karena pembicaraan dilakukan di dalam ruangan tertutup.

"Orang tuaku tak tahu masalah ini. Kamu hanya perlu menahan rasa mualmu ketika di depan keluargaku. Berusaha hindari apa saja yang membuatmu merasa mual. Selain parfum, apa ada hal lain yang membuatmu mual? misalnya makanan?" tanya Mas Wira di suatu malam ketika statusnya sudah berubah menjadi suamiku. 

Sebelumnya, mami memang pernah memberitahukan padanya jika penciumanku sangat sensitif dengan bau yang menyengat semenjak hamil ini, contohnya parfum.

"Selama ini baru durian. Pokoknya yang baunya tajam gitulah," sahutku.

Lucu memang, malam pertama bukannya membahas isi kamasutra, malah membahas soal kesepakatan.

Untungnya, selama ini aku memang tak pernah merasa mual jika sedang bersama dengan keluarga Mas Wira. Entah ketika sedang berada di meja makan, ataupun sedang memasak. Aku hanya tak dapat menahan rasa mualku ketika mencium aroma parfum. Dan selama tinggal di sini, aku sensitif  dengan aroma parfum yang dipakai suamiku saja, entah kenapa baunya terasa menyengat dan tak enak di hidungku. Padahal aromanya sangat lembut.

Sudah menjadi kebiasaan hingga saat ini jika Mas Wira akan memakai parfum setelah selesai sarapan dan akan berangkat kerja. Selebihnya, dia rela tak memakai wangi-wangian selama di rumah demi melihatku agar tidak mual di depan keluarganya.

Hanya satu hari setelah menikah aku langsung diboyong ke rumah keluarga Mas Wira. Sedih sebenarnya harus berpisah dengan mami. Namun akan lebih menakutkan lagi jika aku memutuskan tetap berada di rumah orang tuaku. Itu karena papi masih sangat membenciku. Hingga saat ini.

***

Tubuhku gemetar ketakutan ketika seseorang menyeretku ke dalam sebuah ruangan. Aku meronta sejadi-jadinya ketika pria itu mulai menindihku. Tak begitu jelas siapa orangnya karena hanya menyerupai sebuah bayangan hitam.

Tenaganya begitu besar, mustahil aku bisa melawannya. Di bawah kungkungannya aku terus menangis dan memohon agar dia melepaskanku. 

"Mami, tolong!" teriakku.

"Papi, Yessi bukan wanita nakal. Ada yang menjahati Yessi ...! tolong percaya, Pi ...!"

"Yessi bukan gadis nakal ..."

"Papi ..."

Aku terus menangis lirih.

Tiba-tiba aku terbangun ketika Mas Wira menepuk-nepuk pipiku. 

Aku langsung membuka mata dengan napas ngos-ngosan dan mendapati raut wajahnya begitu panik.

"Kamu kenapa?" tanyanya.

Aku menggeleng dan melihat sekujur tubuhku telah basah oleh keringat. Tak disangka, Mas Wira malah mengusap peluh di wajahku. 

"Kamu mimpi? tadi kamu meracau."

Mas Wira lalu berjalan ke arah kulkas di pojok kamar dan menuangkan air minum. Kemudian menghampiriku.

"Minum dulu," ujarnya sembari menyodorkan segelas air padaku. Berteriak dalam mimpi ternyata membuat kerongkonganku terasa sangat kering. Aku pun meminumnya hingga tandas.

"Tidurlah. Ubah posisinya jangan seperti tadi." 

Aku mencoba menuruti sarannya dengan merebahkan diri miring ke sebelah kanan. Dadaku yang tadinya berdegup kencang karena mimpi buruk, kini berubah menghangat seiring dengan perlakuan Mas Wira yang menaikkan selimut di atas tubuhku. Mataku pun kembali terpejam.

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pernikahan Berselimut Noda   Akhir Dari Sebuah Kisah

    Perlahan namun pasti, kedua mataku akhirnya terbuka. Aku lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menyadari bahwa aku tengah berada di sebuah ruangan yang tampak sangat asing.Sontak aku pun bangun dan terduduk, sembari berusaha mengingat kejadian yang telah menimpaku.Rasa takut kembali menyergap kala kusadari kedua tanganku sudah dalam kondisi terikat.Aku lantas berteriak meminta tolong, namun hanya suara gumaman yang berhasil keluar, mulutku disumpal kain.'Ya Allah, siapa yang telah tega berbuat jahat terhadapku? Apa salahku sampai orang itu tega memperlakukanku seperti ini?' Batinku menjerit.Air mataku sudah tumpah ruah saking takutnya.Di tengah rasa keputus-asaanku, mendadak terdengar suara pintu berderit, menandakan ada orang yang akan masuk. Seorang laki-laki berkepala plontos serta berpenampilan serba hitam telah berdiri di hadapanku. Perawakan dan gayanya persis seperti pemeran penjahat di film-film. Bibirnya yang berwarna hitam menyeringai kala menatapku. Ia lanta

  • Pernikahan Berselimut Noda   Seseorang Yang Menyergap

    POV Yessi."Mas, aku boleh nanya sesuatu sama kamu, nggak?" tanyaku hati-hati."Boleh. Mau nanya apa?" tanyanya seraya mengalihkan tatapan dari ponsel miliknya.Inilah salah satu yang kusukai dari Mas Wira. Sedikit pun tidak pernah merasa keberatan dengan pertanyaan yang hendak kuajukan. Tak peduli jika ia bisa menjawabnya atau tidak, bahkan apabila pertanyaannya itu akan menyinggung perasaannya, ia tak peduli. Yang pasti jika aku meminta izin mau bertanya, ia akan langsung memperbolehkan."Mas kenal sama Bram?" Lelaki itu tak langsung menjawab. Diletakkannya ponselnya di atas meja, lantas sorot matanya menatapku lekat."Kenal. Dia temanku."Jawabannya cukup membuatku terkejut. "Teman? Kok Mas nggak pernah cerita?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi. "Memangnya harus?" Dia malah balik bertanya sambil memamerkan senyum tipis."Eng ... ya nggak harus, sih. Cuman, kan ...." Aku sengaja tak meneruskan kalimatku. Rasa gugup membuatku bingung mengeluarkan kata-kata.Suamiku tertawa melih

  • Pernikahan Berselimut Noda   Yessiku

    Kudapati mama yang tengah duduk santai di teras sembari membaca majalah. Ia tampak terkejut melihat kedatanganku. Mungkin heran karena aku pulang cepat hari ini."Mana Yessi, Ma?!" tanyaku tanpa basa-basi."Nggak tau. Di dalem kali,"jawab mama acuh tak acuh. Ia kembali fokus menatap majalah.Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Tampak Bik Inah mendatangiku dengan tergopoh."Mas! Non Yessi nggak ada," ujarnya panik."Kok bisa? Mungkin di kamarnya?!" sahutku sambil bergegas menaiki anak tangga. Baru dua langkah, seruan Bik Inah sontak menghentikanku."Nggak ada, Mas! Bibik barusan ke kamar nggak ada juga. Non Yessi kabur. Tadi Rahma ngeliat Non Yessi keluar dari pintu samping." Bi Inah kembali menangis."Astaga! Kenapa nggak dilarang??!" Nada suaraku meninggi saking paniknya."Bibik juga nggak tau, Mas. Rahma cuman ngeliat sekilas tadi," jawab Bi Inah takut-takut."Mana Rahma?! Panggilkan dia, Bik!" titahku sambil memijat pelipis. Aku benar-benar tak menyangka jika situasinya akan jadi g

  • Pernikahan Berselimut Noda   Membuatnya Yakin

    Malam itu ponselku tiba-tiba berdering. Alisku bertaut menatap sebaris angka yang tertera di layar ponsel. Feelingku langsung tidak enak. Mungkin karena beberapa hari ini sering diteror.[Halo!] kujawab panggilan tersebut.Terdengar suara kekehan tawa seorang pria di seberang sana. Aku mengenali suaranya. Dia merupakan orang yang tempo hari menerorku. Kebetulan Yessi sedang keluar kamar. Aku bergegas menuju balkon sebelum ia kembali.[Breng*ek!! Aku tau siapa dirimu. Kau jangan macam-macam. Aku bisa melaporkanmu ke polisi!] ancamku.[Silakan. Aku tidak takut. Yang jelas kau harus tau mengenai satu hal, bahwa akulah yang pertama kali meniduri istrimu. Bukan kau! Sepertinya akan jadi menarik kalau aku juga meneror istrimu,] ejeknya seraya terkekeh.[Ba*ing*n! Jangan pernah ganggu istriku! Kau hanya bisa merusaknya saja! Ke mana pun kau lari, aku akan terus mengejarmu!][Haha! Kau pikir aku takut dengan ancamanmu. Kau harus tau satu hal! Aku tidak akan melepaskan kalian begitu saja! Te

  • Pernikahan Berselimut Noda   Mencari Peneror

    "Bram!" Pria itu lantas menoleh ketika aku memanggilnya. Senyum sinis mengembang di salah satu sudut bibirnya ketika melihatku."Sudah lama tidak kelihatan, sekali ketemu udah jadi suami orang. Gimana enak teman makan teman?" sindirnya.Rupanya ia telah mendengar kabar pernikahanku dengan Yessi. Entah dari mana dia tahu. Padahal kami tidak mengundangnya. "Kami dijodohkan. Aku juga tidak tau kalau jadinya akan seperti ini. Maafkan aku kalau kau tidak berkenan."Bram membuang ludah tepat di depanku. "Cuih! Jelas saja aku tidak berkenan. Tak kusangka kau ternyata seorang pecundang. Pagar makan tanaman. Kau tidak pantas disebut sebagai teman!" ucapnya marah. Setelahnya ia berlalu begitu saja. Padahal aku ingin bertanya sesuatu mengenai Yessi. Apakah sebelum kami menikah ia pernah bertemu dengan Yessi? Aku tidak menuduh Bram yang melakukannya. Namun, setidaknya ia pasti tahu ke mana saja Yessi pergi dan dengan siapa perginya sebelum peristiwa itu terjadi.***"Saudari Yessi mengalami t

  • Pernikahan Berselimut Noda   Segala Bentuk Asumsi

    "Dengar Wira! Saya titipkan anak saya. Dalam artian, saya tidak ingin kalau anak saya sampai terluka barang secuil pun," pesan calon ayah mertuaku sembari menyodorkan amplop cokelat tebal ke hadapanku.***Pernikahanku dengan Yessi memang berjalan lancar, namun tidak dengan hatiku. Rasa sesak terus-menerus kurasakan hingga napasku nyaris tersendat-sendat sepanjang kami duduk bersanding di pelaminan. Kulihat wajahnya muram. Ah, terang saja. Mungkin ia juga terpaksa menerima pernikahan ini. Karena setahuku ia juga masih memiliki kekasih. Berharap menikah dengan Bram, namun malah dijodohkan denganku. Tidak ada malam pertama. Menggauli gadis yang sedang mengandung anak orang lain, siapa yang selera? Yang ada, aku malah semakin merasa benci dengannya. Meskipun aku tak memungkiri jika ayahnya telah banyak berjasa pada keluargaku, namun tetap saja keegoisanku mengalahkan segalanya.Kami tidak tidur bersama. Aku memilih tidur di sofa, sementara dia kubiarkan tidur di ranjangku.Hingga pada

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status