Share

Mimpi Buruk

Aku bergegas menoleh ke belakang begitu pintu kamar terbuka. Lalu tersenyum tatkala melihat suamiku masuk. Sembari berusaha menutup lebam di lengan kananku dengan pose yang seharusnya tidak mencurigakan sama sekali. 

Pria itu kemudian terlihat membuka jasnya.

"Mestinya tadi kamu nggak usah ngangkatin berat-berat seperti itu," ujarnya.

Aku hanya memandangnya dari tempatku berdiri.

"Kamu tau kan, kalau itu bisa berakibat fatal sama kandungan kamu?" Mas Wira mulai membuka kancing kemejanya dan membuatku seketika membalik badan ketika ia melepasnya.

Hmm. Sudah berani rupanya pria itu bertelanjang dada di depanku. Padahal sebelumnya ia akan memilih berganti baju di kamar mandi.

"Kenapa  berbalik? bukankah kamu sudah terbiasa melihat tubuh polos lelaki?" 

Sindirannya sontak membuat tubuhku menegang. Hatiku serasa dikoyak. Kemudian darahnya mengalir tanpa henti. Luka itu basah lagi.

Dadaku bergemuruh hingga tanpa sadar kedua tanganku mengepal. Aku pun memutuskan meninggalkan kamar, tak berniat membalas sindiran pedasnya itu.

Namun, langkahku tiba-tiba terhenti ketika Mas Wira menahan tanganku. Lagi-lagi alis matanya bertaut ketika menatap lenganku dengan seksama.

"Ini kenapa?" tanyanya.

"Digigit binatang," jawabku asal sembari menahan kegetiran.

Kemudian kembali melanjutkan langkah keluar kamar. 

***

Aku memutuskan duduk di pinggir kolam ikan hias mini yang letaknya ada di halaman rumah. Air mancur kecil di atasnya membuat ikan-ikan mungil tersebut berenang riang ke sana kemari. 

Seketika senyuman terbit di bibirku. Membayangkan kalau saja diriku ini ikan, pasti sudah bebas berenang ke sana kemari tanpa membawa beban berat yang harus kupikul ke mana-mana.

Alih-alih membayangkan jadi seekor ikan, lagi-lagi aku malah tersedot ke dalam lamunan di mana aku bertemu dengan Mas Wira untuk pertama kalinya.

Mas Wira merupakan kakak tingkatku ketika kuliah dulu. Lumayan populer karena selalu menjadi buah bibir di antara para gadis yang berkuliah di sana. Termasuk temanku, dan juga ... aku. 

Tampan, cerdas, dan juga aktif di kegiatan mahasiswa. Saking terpesonanya, terkadang geng-ku itu sering menggodanya ketika melihatnya lewat di depan kami. Memang sudah jadi pembawaan sepertinya, dia hanya lurus-lurus saja tanpa mempedulikan godaan syaitan di sekelilingnya.

"Yessi, dapet salam dari Wira," ucap Siska suatu waktu. Aku mencibir karena tahu jika itu hanya karangannya saja, dan tak mungkin terjadi.

"Aku serius!" 

Ya, serius. Tapi sambil senyum-senyum tidak jelas membuatku harus mencari-cari keseriusan di wajahnya yang memang tidak ada.

"Berapa lembar? mau dimasak apa? nggak usah repot-repot karena di rumah udah banyak daun salam," jawabku.

"Kalo beneran jangan nyesel ya?" Siska pura-pura mengancamku.

"Nggak bakal. Oh, iya. Nanti mau ikut aku nggak?" tawarku.

"Ke mana?"

"Biasalah. Hang out sama Bram," jawabku.

"Idih, ogah jadi obat nyamuk," 

Aku pun terkikik geli mendengar jawabannya. Pada saat itu aku memang sudah berpacaran dengan Bram. Jadi dengan Mas Wira, aku hanya sebatas mengagumi saja tanpa pernah bertegur sapa sama sekali.

Hingga aku terkejut setengah mati tatkala Mas Wira datang ke rumah dan berniat melamarku. Karena memang tidak pernah terpikir sebelumnya.

Inikah anak teman papi yang dijodohkan untukku? aku bertanya-tanya sendiri dalam batin.

"Aku tau apa yang sudah terjadi padamu," ucap Mas Wira sembari melirik ke perutku tatkala kami diberikan kesempatan mengobrol berdua.

"Terus?" jawabku datar.

"Aku akan segera menikahimu," katanya dengan mimik wajah serius.

Aku tertawa miris mendengarnya.

"Mau tak mau aku memang akan segera menikah, bukan? Entah itu denganmu atau dengan pria lain. Aku tak kuasa menolak kemauan orang tuaku," sahutku sembari terus tertawa. Entah apa yang kutertawakan aku sendiri tak paham.

"Aku yang akan menikahimu, bukan orang lain," ulangnya seolah meyakinkanku.

"Masalahnya di sini, kenapa kamu mau menikahiku? padahal kamu tahu  kalau aku udah nggak perawan. Aku lagi hamil. Bagaimana bisa lelaki menikahi wanita yang rahimnya sudah terisi tanaman orang lain? kamu dibayar papiku?" 

Mas Wira tampak terkesiap mendengar pertanyaanku. Mungkin terdengar cukup sadis. Tapi biarlah. Hidupku bahkan jauh lebih sadis dari apa yang baru saja terlontar dari bibirku.

Belum sempat menjawab, Mas Wira keburu dipanggil papi. Entah apa yang akan mereka bahas. Kelihatannya serius karena pembicaraan dilakukan di dalam ruangan tertutup.

"Orang tuaku tak tahu masalah ini. Kamu hanya perlu menahan rasa mualmu ketika di depan keluargaku. Berusaha hindari apa saja yang membuatmu merasa mual. Selain parfum, apa ada hal lain yang membuatmu mual? misalnya makanan?" tanya Mas Wira di suatu malam ketika statusnya sudah berubah menjadi suamiku. 

Sebelumnya, mami memang pernah memberitahukan padanya jika penciumanku sangat sensitif dengan bau yang menyengat semenjak hamil ini, contohnya parfum.

"Selama ini baru durian. Pokoknya yang baunya tajam gitulah," sahutku.

Lucu memang, malam pertama bukannya membahas isi kamasutra, malah membahas soal kesepakatan.

Untungnya, selama ini aku memang tak pernah merasa mual jika sedang bersama dengan keluarga Mas Wira. Entah ketika sedang berada di meja makan, ataupun sedang memasak. Aku hanya tak dapat menahan rasa mualku ketika mencium aroma parfum. Dan selama tinggal di sini, aku sensitif  dengan aroma parfum yang dipakai suamiku saja, entah kenapa baunya terasa menyengat dan tak enak di hidungku. Padahal aromanya sangat lembut.

Sudah menjadi kebiasaan hingga saat ini jika Mas Wira akan memakai parfum setelah selesai sarapan dan akan berangkat kerja. Selebihnya, dia rela tak memakai wangi-wangian selama di rumah demi melihatku agar tidak mual di depan keluarganya.

Hanya satu hari setelah menikah aku langsung diboyong ke rumah keluarga Mas Wira. Sedih sebenarnya harus berpisah dengan mami. Namun akan lebih menakutkan lagi jika aku memutuskan tetap berada di rumah orang tuaku. Itu karena papi masih sangat membenciku. Hingga saat ini.

***

Tubuhku gemetar ketakutan ketika seseorang menyeretku ke dalam sebuah ruangan. Aku meronta sejadi-jadinya ketika pria itu mulai menindihku. Tak begitu jelas siapa orangnya karena hanya menyerupai sebuah bayangan hitam.

Tenaganya begitu besar, mustahil aku bisa melawannya. Di bawah kungkungannya aku terus menangis dan memohon agar dia melepaskanku. 

"Mami, tolong!" teriakku.

"Papi, Yessi bukan wanita nakal. Ada yang menjahati Yessi ...! tolong percaya, Pi ...!"

"Yessi bukan gadis nakal ..."

"Papi ..."

Aku terus menangis lirih.

Tiba-tiba aku terbangun ketika Mas Wira menepuk-nepuk pipiku. 

Aku langsung membuka mata dengan napas ngos-ngosan dan mendapati raut wajahnya begitu panik.

"Kamu kenapa?" tanyanya.

Aku menggeleng dan melihat sekujur tubuhku telah basah oleh keringat. Tak disangka, Mas Wira malah mengusap peluh di wajahku. 

"Kamu mimpi? tadi kamu meracau."

Mas Wira lalu berjalan ke arah kulkas di pojok kamar dan menuangkan air minum. Kemudian menghampiriku.

"Minum dulu," ujarnya sembari menyodorkan segelas air padaku. Berteriak dalam mimpi ternyata membuat kerongkonganku terasa sangat kering. Aku pun meminumnya hingga tandas.

"Tidurlah. Ubah posisinya jangan seperti tadi." 

Aku mencoba menuruti sarannya dengan merebahkan diri miring ke sebelah kanan. Dadaku yang tadinya berdegup kencang karena mimpi buruk, kini berubah menghangat seiring dengan perlakuan Mas Wira yang menaikkan selimut di atas tubuhku. Mataku pun kembali terpejam.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status