Share

Rasa Trauma

Siang ini, langit tampak cerah. Semilir angin sepoi-sepoi terasa menyapu ke wajahku. Harusnya aku bisa mengantuk karenanya. Namun lantaran benakku masih dibayangi perihal mimpi buruk semalam, alhasil aku pun menjadi agak sedikit ketakutan, hingga tak terpikir sama sekali  agar kedua mataku bisa mengantuk.

Sebenarnya, setelah Mas Wira menyelimutiku tadi malam, mataku menolak untuk dipejamkan lagi. Bagaimana tidak, mimpi buruk itu selalu datang setiap mataku mulai terpejam.

Sungguh aku sangat takut sekali, namun sebisa mungkin kutahan. Untung Mas Wira tak melihatku sebab posisi tidurku yang membelakanginya. Setelahnya, kedua mataku pun tetap terbuka lebar hingga pagi menjelang.

"Dicariin ke mana-mana ternyata malah enak-enakan duduk di sini. Kamu ini ya! kerjaannya ngelamun terus tiap hari! jangan berpikir kamu bisa jadi tuan putri di rumah ini! Enak saja!" 

Lagi. Mertuaku mencerocos tiada henti seraya berdiri di ambang pintu. Aku pun bergegas bangkit dan berjalan mendekatinya.

"Ada yang bisa Yessi bantu, Ma?" tanyaku lembut penuh pengertian.

"Ada, belanja sana! beli ikan sekilo, cabe setengah kilo, bawang merah setengah kilo, sayurannya sekalian!" mama menyerahkan selembar uang berwarna merah kepadaku.

Aku menerimanya dengan perasaan ragu-ragu.

"Me-memangnya uang segini cukup, Mah?" tanyaku sembari menatap gambar sosok proklamator yang terlihat sedang tersenyum di dalamnya.

"Ya kamu pinter-pinterlah ngaturnya gimana! Usahakan uang segitu cukup. Kalo bisa pun lebih!" 

Belum lagi mulutku terbuka hendak menanyakan sesuatu, mama sudah masuk ke dalam rumah sembari membanting pintunya.

Brak!!

Mataku sontak ikut berkedip tatkala pintu itu tertutup dengan kasar.

Meskipun aku belum pernah berbelanja sama sekali, namun jika mengingat banyaknya jumlah barang yang ingin dibeli, membuatku ragu akan kecukupan uang yang sekarang ada di dalam genggamanku ini. Bukankah sekarang harga semua barang sudah pada naik?

Mungkin, hanya harga diriku yang turun.

Jangan bilang bahwa aku memiliki banyak uang karena orang tuaku kaya raya. Semua kartu milikku telah dibekukan oleh papi semenjak kejadian itu. 

Lalu suamiku? ah, aku tak pernah terpikir diberi uang olehnya. Aku juga tak pernah berpikir untuk memintanya. Entahlah, aku sendiri tak tahu dengan jalan pikiranku ini. Rasanya semua buntu semenjak kehamilan yang sama sekali tak pernah kuharapkan ini.

Aku miskin sekarang.

Dan juga terluka ... sangat terluka.

Mengingat uang di tanganku hanya segini, dari pada mama mertuaku semakin berang jika uangnya berkurang untuk ongkos, aku pun memutuskan untuk berjalan kaki ke pasar. 

Aku sendiri belum tahu seluk beluk daerah ini. Entah sejauh apa letak pasarnya pun aku tak tahu. Aku hanya melangkah atas dasar yakin saja.

Di persimpangan, aku bertemu dengan seorang ibu-ibu. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku pun bertanya padanya.

"Bu, maaf mau tanya, letak pasar sayur ada di mana ya? apakah masih jauh dari sini?" 

"Ada di belakang pabrik kertas yang di sono itu. Kalo jauhnya ya lumayan, Neng.  Cuma kalo jalan kaki ya capek juga," sahut ibu itu sembari menatapku dari atas hingga ke bawah.

Aku memahami maksud tatapannya, mungkin ibu tersebut merasa aneh melihatku hendak ke pasar dengan hanya berjalan kaki.

"Memangnya nggak capek jalan, Neng? mending naik ojek aja," tuturnya lagi.

"Nggak, Bu. Mau sekalian jalan sehat," sahutku beralasan.

Setelah mengucapkan terimakasih padanya, aku pun kembali melanjutkan perjalanan.

***

Kepalaku mendongak ke atas, menatap langit yang kini berwarna kelabu. Ternyata, langit juga sukar ditebak. Awalnya cerah, tiba-tiba berubah jadi mendung. 

Sama halnya seperti Mas Wira.  Setelah perilakunya semalam yang membuat hatiku tiba-tiba menghangat , lalu pagi tadi pria itu kembali berubah menjadi sedingin es. 

Belum sampai di tujuan, gerimis sudah mulai turun rintik-rintik. Padahal aku sudah cukup jauh berjalan, dan kedua betisku juga mulai terasa pegal, namun pasar sayurnya belum juga kelihatan.

Beberapa orang yang menaiki kendaraan beroda dua terlihat menghentikan kendaraannya, dan memilih berteduh di emperan toko ketika hujan mulai deras. Aku sendiri kelabakan dan bingung harus ke mana.

Mendadak, ada sebuah mobil berhenti di sebelahku. Mataku terbelalak ketika melihat orang di dalamnya menurunkan kaca mobil. 

Mas Wira!

"Sedang apa kamu di sini, Yessi?" tanyanya dengan tatapan tajam.

"M-mau belanja, Mas," jawabku.

Mas Wira kemudian membukakan pintu mobil.

"Ayo, naik!" 

Tanpa membuang waktu, aku pun naik ke mobilnya. 

Mas Wira kemudian melajukan mobilnya.

"Ngapain kamu hujan-hujan gini belanja?Memangnya tidak ada orang lain lagi di rumah? Ini bukan tugas kamu." Raut wajah Mas Wira terlihat geram sembari meremas kemudinya.

"Jangan bilang mama yang nyuruh," lanjut Mas Wira sembari menatapku.

Tanpa menjawab, sepertinya suamiku itu sudah dapat menebak dari raut wajahku. 

"Ah, mama! memangnya tidak ada orang lain yang bisa disuruh? lalu apa gunanya ada ART tiga orang di rumah?" Mas Wira tampak seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri. Raut kesal di wajahnya belum juga hilang.

Mama sengaja menyuruhku, Mas. Dia tidak suka melihatku duduk-duduk sebentar, batinku berucap.

Kami saling diam beberapa saat.

Sementara aku sibuk memijit betisku yang serasa membengkak.

Mas Wira kemudian melihatku.

" Kamu jalan kaki dari rumah?" 

Aku mengangguk.

Suamiku itu terlihat menghembuskan napasnya.

"Mas itu pasarnya, bukan?" tunjukku ketika melewati pasar tradisional yang keberadaannya bisa dilihat dari jalan raya.

Namun Mas Wira diam saja. Ia terus melajukan mobilnya tanpa bersuara. 

Karena merasa tak mendapat jawaban, aku pun menurunkan jari telunjuk. Sesekali aku melirik Mas Wira yang tampak serius mengemudi. Entah akan dibawa ke mana diriku. Aku tak berani menanyakannya.

"Wajahmu terlihat lesu sejak pagi tadi," ucap Mas Wira tanpa melihat ke arahku.

Ah, rupanya dia memperhatikanku. Jelas saja lesu, aku tak bisa tidur sejak tengah malam itu.

Setelah berkendara cukup jauh, mobil akhirnya berhenti di sebuah tanah lapang. Hujan deras masih belum berhenti.

Mas Wira kemudian mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.

"Saya sudah sampai di tempat. Baiklah, saya ke sana sekarang." 

Setelah menyimpan ponselnya, Mas Wira kemudian berkata padaku.

"Aku ada janji sama seseorang di sini. Tapi karena terjebak hujan, dia tidak bisa datang. Dan aku  diminta untuk menemuinya di hotel."

Hotel? tiba-tiba rasa takut menjalari hatiku ketika mendengar kata hotel.

"Mas, bisa antarkan aku belanja dulu, lalu pulang?" pintaku dengan hati-hati.

"Kita pulang sama-sama nanti. Tapi setelah bertemu dengan orang itu," sahutnya datar.

Mendengar jawabannya barusan, aku memilih diam. Rasanya sia-sia jika aku tetap bersikeras. Namun, aku juga takut jika mama terlalu lama menunggu barang belanjaannya. Aku takut  mertuaku itu akan memarahiku lagi.

"Tapi, gimana kalau mama udah nungguin belanjaannya, Mas?" tanyaku ketika Mas Wira sudah menjalankan mobilnya.

"Gampang," sahut suamiku singkat.

Tinggal menjawab saja memang gampang, Mas. Aku merutuk dalam hati.

Hatiku mendadak gelisah ketika Mas Wira mulai menambah kecepatan laju mobilnya. Itu artinya, kami akan semakin cepat tiba di hotel.

***

"Ayo, turun. Kita sudah sampai," ucap Mas Wira sembari membuka sabuk pengaman yang dipakainya.

Tanganku sekarang panas dingin sembari menatap bangunan hotel bintang lima yang kini berdiri gagah di hadapanku. 

Rasanya seperti dejavu. Mimpi buruk itu kembali hadir menggangguku. Keringat dingin sebesar jagung mulai mengucur deras dan bertotol-totol di dahiku.

"Kamu kenapa?" tanya Mas Wira terdengar sedikit panik.

"Yessi?? wajahmu pucat. Kamu baik-baik saja, kan?" Mas Wira menyentuh ujung daguku demi bisa mengamati keseluruhan raut wajahku.

"M-Masss ... aku mau pulang." 

Mendadak tangisku pun pecah.

"Bawa aku pulang, Mas. Aku tidak mau di sini. Aku mohon," ratapku sembari memegangi tangannya.

Mas Wira tampak kebingungan melihatku yang seperti itu.

"Kamu kenapa? apa yang terjadi padamu, Yessi?" 

Kedua tangan Mas Wira kini menangkup wajahku. Sembari mengusap peluh yang membanjir di seluruh wajahku.

Tak tahan lagi, aku pun menghambur ke pelukannya. Tak peduli jika tubuh kekarnya menegang karena mungkin terkejut dengan tindakanku. Aku hanya butuh tempat bersandar.

Perlahan, kurasakan tangannya yang bergerak mengelus belakang rambutku. Mencoba menenangkan tangisku yang kian menjadi-jadi.

"Apa yang terjadi denganmu sebenarnya? Kenapa kamu berubah? kamu seperti bukan Yessiku yang dulu," ucapnya lirih.

Aku tak mampu lagi menalar maksud ucapannya. Yang kutahu, aku hanya perlu menumpahkan segala kepiluan yang sejak lama bersarang di dada.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status