Share

Luka Yessi

Author: Nay Dinanti
last update Last Updated: 2022-09-27 13:12:22

"Anak kurang ajar! tak tau malu! beraninya kamu mencoreng nama baik keluarga dengan aib yang kamu lakukan itu!" hardik papi saat itu.

Plak! Plak! 

Belum puas papi mencaciku kini tangannya melayang menampar pipi kanan dan kiriku, membuat mami menjerit histeris karenanya.

Sementara Yessa, kakak perempuanku yang karakternya cenderung tomboy, hanya melihatku dari kejauhan dengan tatapan sinis.

Abangku yang bernama Yossi terus menenangkan papi yang kalap. Kalau bukan karena ditahan Bang Yossi, mungkin aku sudah mati bersimbah darah karena ditusuk oleh beliau menggunakan pisau. 

Ya, papi sangat kalap menghajarku sampai berlari ke dapur dan mengambil pisau. Bang Yossi dengan sigap langsung menerjang papi yang hendak melukai putri bungsunya. Abangku yang memang dulunya seorang atlet taekwondo tak menyia-nyiakan kemampuannya itu. Entah bagaimana caranya pisau tersebut dapat terlempar dari tangan papi.

Sedangkan mami menjerit-jerit sembari memelukku, berusaha melindungi putri tersayangnya dari amukan papi. Aku sendiri hanya mematung tak bergerak dalam dekapannya. Rasanya sangat sulit untuk mencerna semuanya.

Rupanya aku yang belakangan sering muntah di pagi hari membuat orang tuaku menjadi curiga dan akhirnya mereka berinisiatif membawaku pada seorang dokter.

Aku sendiri yang memang belum menyadari jika telah berbadan dua, mendadak limbung begitu mendengar vonis dokter tersebut.

Duniaku serasa hancur saat itu juga. Masa depan yang telah kurancang dengan sangat baik di kepala, mendadak hilang begitu saja. Bekasnya pun tidak ada.

Belum hilang rasa syokku, papi mencaci dan menghajarku hingga bertubi-tubi. 

"Harusnya tadi Bang Yossi biarin papi bunuh Yessi, Mi. Biarin Yessi mati aja ditangan papi. Yessi udah bikin malu keluarga," ucapku lirih tak berdaya dalam pelukannya.

Mami yang mendengar hal itu langsung membekap mulutku. 

"Kamu bilang apa, hm? bilang apa barusan? jangan ngaco kalo ngomong. Mami nggak suka kamu ngomong gitu." Mami menangis sembari kian erat memelukku.

Sedangkan papi sudah dibawa masuk ke kamar oleh Bang Yossi untuk menenangkan dirinya.

"Kamu berbuat sama siapa, Nak? siapa yang udah melakukan ini sama kamu? apakah Bram?" tanya mami.

Aku menggeleng. Bram memang kekasihku. Tapi sudah dua minggu ini kami tidak bertemu karena dia keluar kota. 

"Lalu siapa? cerita sama mami, Nak ...," rintih mami pilu.

Sementara aku hanya diam. Lidahku kelu untuk bercerita. Rasanya semuanya sangat gelap, dan membuatku bingung bagaimana hendak menceritakannya dari awal.

Beberapa hari kemudian, Bram memutuskanku begitu saja melalui sebush chat setelah aku mengungkapkan semua yang terjadi padanya. 

Lagi-lagi aku tertawa miris. Lelaki yang kupercaya dengan baik setelah keluargaku itu  juga tega meninggalkan pada saat masalah besar sedang menimpaku. Padahal aku tak pernah memintanya untuk bertanggung jawab, sebab memang bukan dia pelakunya. Hanya sekadar berbagi beban, itu saja.

Brakk!! Brukk!!

Aku tersentak, dan lamunanku seketika buyar mendengar suara pot bunga dibanting. Disusul suara ibu mertuaku yang mengomel sembari menyindirku.

"Mending beres-beres, kerjaan cepet kelar dari pada bengong nggak jelas. Ujung-ujungnya kesambet setan! malah jadi nyusahin orang!" Mertuaku mengomel sembari meletakkan pot bunga dengan sangat kasar. Untung tidak pecah.

Karena tidak mendapatkan izin dari ibu mertua untuk berkunjung ke rumah orang tuaku, aku pun memutuskan duduk-duduk di teras. Tak terasa malah keterusan melamun.

Merasa tidak enak, aku pun dan bergegas bangkit untuk membantunya.  Meskipun sebenarnya aku juga bingung apa yang harus dikerjakan karena tidak ada yang salah dengan kebun bunga mini ini. Semuanya telah tertata cantik dan rapi karena setiap harinya ada tukang kebun yang datang merawat dan membersihkannya.

"Tuh! pot-pot pada dipindahin ke sana! kalo di sini nggak enak dipandang mata. Bikin jelek! sekalian cabutin rumputnya!" rutuknya lagi. Setelah puas mengomel, beliau pun beranjak masuk ke dalam.

Aku menarik napas dalam-dalam dan  kembali berlapang dada. Mencoba berpikir positif jika mungkin mertuaku bersikap seperti itu karena beliau belum mengenalku. Bukankah memang  sebagian orang memiliki karakter seperti itu?

Setelah lebih mengenal satu sama lain, baru sikap kakunya akan mulai melunak. 

Mobil Mas Wira memasuki halaman ketika aku sedang memindahkan pot ketiga. Tumben, jam segini dia sudah pulang. Padahal, selama seminggu menikah dengannya, paling cepat dia pulang jam 8 malam. Itu pun baru sekali.

Bibirku tersenyum ketika menyambutnya turun dari mobil. Meskipun senyumku hanya dibalas dengan raut wajah dingin serta alis yang bertaut. 

Mas Wira menghampiriku sembari menatapku dari atas hingga ke bawah. Membuatku turut serta mengikuti pandangannya dan melihat kedua tanganku yang belepotan tanah akibat mencabuti rumput-rumput kecil di dalam pot. 

"Kamu ngangkatin pot? siapa yang nyuruh?

 bukannya ada Pak Diman yang ngurusin kebun?" tanyanya dengan beruntun.

"Ma—" Ucapanku mendadak terpotong ketika ibu mertuaku berjalan keluar dengan tergopoh-gopoh.

"Eh, Wira udah pulang. Tumben hari ini cepet pulangnya, Nak?" mama tersenyum manis sekali sembari menatap putranya.

"Iya, Ma. Kebetulan kerjaan cepet siap hari ini. Ini kenapa Yessi yang ngerjain? memangnya Pak Diman hari ini nggak masuk?" Mas Wira gantian bertanya pada mamanya.

"Oh .... Ini Yessi udah mama larang nggak usah ngurusin kebun malah ngeyel. Udah Yes, nggak usah dikerjain. Nanti kamu capek." Mama kemudian merangkul dan membawaku masuk ke dalam rumah. 

Hmm, pintar bersandiwara rupanya.

Setelah berada di dalam rumah dan memastikan jika Mas Wira tak melihat, mama lalu mencubit lenganku dengan sedikit keras.

Sontak, aku pun memekik tertahan.

"Aww! sakit, Ma!"

"Makanya kamu jangan goblok jadi orang. Harusnya kamu langsung lari masuk ke dalam rumah waktu mobil Wira sampai!" omel mama dengan suara tertahan sembari memelotot tajam.

Aku menjadi serba salah tak tahu harus menjawab apa, karena kejadiannya memang begitu cepat. Tahu-tahu mobil Mas Wira sampai dan tak ada lagi kesempatan bagiku untuk lari.

Mama langsung berjalan ke dapur begitu melihat Mas Wira telah berdiri di ambang pintu. Aku pun bergegas mengikuti mama sebab ingin mencuci tanganku yang kotor.

***

Di kamar, aku sibuk mengusap lengan yang barusan dicubit oleh mama. Bukan apa-apa, kulitku sangat sensitif jika terkena benturan ataupun cubitan sedikit saja. Akibatnya,  warnanya akan langsung berubah menjadi kebiruan, dan baru hilang setelah beberapa hari.

Itulah sebabnya, ketika menikah dengan Mas Wira, riasan makeup-ku sedikit agak tebal. Tentunya agar dapat menutupi bekas tamparan papi yang tampak membiru di pipi. Meskipun sebelumnya aku pernah mempunyai cita-cita jika menikah nanti ingin menggunakan makeup tipis, agar terkesan alami.

Hal itu juga yang sempat menjadi pertanyaan Mas Wira tatkala dia datang melamarku. Saat itu kami diberi kesempatan untuk mengobrol berdua, agar bisa mengenal satu sama lain. Meskipun saat itu aku lebih banyak diam dan menunduk karena fokus pada luka lahir dan batinku.

"Itu kenapa?" tanyanya menunjuk pipiku.

"Ditampar papi" sahutku datar.

Raut wajahnya berubah menjadi rasa iba ketika melihatku. Namun bukan itu yang kubutuhkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
membuat anak haram berani tapi membela diri g berani. ternyata si yessi type wanita pengumbar selangkangan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pernikahan Berselimut Noda   Akhir Dari Sebuah Kisah

    Perlahan namun pasti, kedua mataku akhirnya terbuka. Aku lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menyadari bahwa aku tengah berada di sebuah ruangan yang tampak sangat asing.Sontak aku pun bangun dan terduduk, sembari berusaha mengingat kejadian yang telah menimpaku.Rasa takut kembali menyergap kala kusadari kedua tanganku sudah dalam kondisi terikat.Aku lantas berteriak meminta tolong, namun hanya suara gumaman yang berhasil keluar, mulutku disumpal kain.'Ya Allah, siapa yang telah tega berbuat jahat terhadapku? Apa salahku sampai orang itu tega memperlakukanku seperti ini?' Batinku menjerit.Air mataku sudah tumpah ruah saking takutnya.Di tengah rasa keputus-asaanku, mendadak terdengar suara pintu berderit, menandakan ada orang yang akan masuk. Seorang laki-laki berkepala plontos serta berpenampilan serba hitam telah berdiri di hadapanku. Perawakan dan gayanya persis seperti pemeran penjahat di film-film. Bibirnya yang berwarna hitam menyeringai kala menatapku. Ia lanta

  • Pernikahan Berselimut Noda   Seseorang Yang Menyergap

    POV Yessi."Mas, aku boleh nanya sesuatu sama kamu, nggak?" tanyaku hati-hati."Boleh. Mau nanya apa?" tanyanya seraya mengalihkan tatapan dari ponsel miliknya.Inilah salah satu yang kusukai dari Mas Wira. Sedikit pun tidak pernah merasa keberatan dengan pertanyaan yang hendak kuajukan. Tak peduli jika ia bisa menjawabnya atau tidak, bahkan apabila pertanyaannya itu akan menyinggung perasaannya, ia tak peduli. Yang pasti jika aku meminta izin mau bertanya, ia akan langsung memperbolehkan."Mas kenal sama Bram?" Lelaki itu tak langsung menjawab. Diletakkannya ponselnya di atas meja, lantas sorot matanya menatapku lekat."Kenal. Dia temanku."Jawabannya cukup membuatku terkejut. "Teman? Kok Mas nggak pernah cerita?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi. "Memangnya harus?" Dia malah balik bertanya sambil memamerkan senyum tipis."Eng ... ya nggak harus, sih. Cuman, kan ...." Aku sengaja tak meneruskan kalimatku. Rasa gugup membuatku bingung mengeluarkan kata-kata.Suamiku tertawa melih

  • Pernikahan Berselimut Noda   Yessiku

    Kudapati mama yang tengah duduk santai di teras sembari membaca majalah. Ia tampak terkejut melihat kedatanganku. Mungkin heran karena aku pulang cepat hari ini."Mana Yessi, Ma?!" tanyaku tanpa basa-basi."Nggak tau. Di dalem kali,"jawab mama acuh tak acuh. Ia kembali fokus menatap majalah.Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Tampak Bik Inah mendatangiku dengan tergopoh."Mas! Non Yessi nggak ada," ujarnya panik."Kok bisa? Mungkin di kamarnya?!" sahutku sambil bergegas menaiki anak tangga. Baru dua langkah, seruan Bik Inah sontak menghentikanku."Nggak ada, Mas! Bibik barusan ke kamar nggak ada juga. Non Yessi kabur. Tadi Rahma ngeliat Non Yessi keluar dari pintu samping." Bi Inah kembali menangis."Astaga! Kenapa nggak dilarang??!" Nada suaraku meninggi saking paniknya."Bibik juga nggak tau, Mas. Rahma cuman ngeliat sekilas tadi," jawab Bi Inah takut-takut."Mana Rahma?! Panggilkan dia, Bik!" titahku sambil memijat pelipis. Aku benar-benar tak menyangka jika situasinya akan jadi g

  • Pernikahan Berselimut Noda   Membuatnya Yakin

    Malam itu ponselku tiba-tiba berdering. Alisku bertaut menatap sebaris angka yang tertera di layar ponsel. Feelingku langsung tidak enak. Mungkin karena beberapa hari ini sering diteror.[Halo!] kujawab panggilan tersebut.Terdengar suara kekehan tawa seorang pria di seberang sana. Aku mengenali suaranya. Dia merupakan orang yang tempo hari menerorku. Kebetulan Yessi sedang keluar kamar. Aku bergegas menuju balkon sebelum ia kembali.[Breng*ek!! Aku tau siapa dirimu. Kau jangan macam-macam. Aku bisa melaporkanmu ke polisi!] ancamku.[Silakan. Aku tidak takut. Yang jelas kau harus tau mengenai satu hal, bahwa akulah yang pertama kali meniduri istrimu. Bukan kau! Sepertinya akan jadi menarik kalau aku juga meneror istrimu,] ejeknya seraya terkekeh.[Ba*ing*n! Jangan pernah ganggu istriku! Kau hanya bisa merusaknya saja! Ke mana pun kau lari, aku akan terus mengejarmu!][Haha! Kau pikir aku takut dengan ancamanmu. Kau harus tau satu hal! Aku tidak akan melepaskan kalian begitu saja! Te

  • Pernikahan Berselimut Noda   Mencari Peneror

    "Bram!" Pria itu lantas menoleh ketika aku memanggilnya. Senyum sinis mengembang di salah satu sudut bibirnya ketika melihatku."Sudah lama tidak kelihatan, sekali ketemu udah jadi suami orang. Gimana enak teman makan teman?" sindirnya.Rupanya ia telah mendengar kabar pernikahanku dengan Yessi. Entah dari mana dia tahu. Padahal kami tidak mengundangnya. "Kami dijodohkan. Aku juga tidak tau kalau jadinya akan seperti ini. Maafkan aku kalau kau tidak berkenan."Bram membuang ludah tepat di depanku. "Cuih! Jelas saja aku tidak berkenan. Tak kusangka kau ternyata seorang pecundang. Pagar makan tanaman. Kau tidak pantas disebut sebagai teman!" ucapnya marah. Setelahnya ia berlalu begitu saja. Padahal aku ingin bertanya sesuatu mengenai Yessi. Apakah sebelum kami menikah ia pernah bertemu dengan Yessi? Aku tidak menuduh Bram yang melakukannya. Namun, setidaknya ia pasti tahu ke mana saja Yessi pergi dan dengan siapa perginya sebelum peristiwa itu terjadi.***"Saudari Yessi mengalami t

  • Pernikahan Berselimut Noda   Segala Bentuk Asumsi

    "Dengar Wira! Saya titipkan anak saya. Dalam artian, saya tidak ingin kalau anak saya sampai terluka barang secuil pun," pesan calon ayah mertuaku sembari menyodorkan amplop cokelat tebal ke hadapanku.***Pernikahanku dengan Yessi memang berjalan lancar, namun tidak dengan hatiku. Rasa sesak terus-menerus kurasakan hingga napasku nyaris tersendat-sendat sepanjang kami duduk bersanding di pelaminan. Kulihat wajahnya muram. Ah, terang saja. Mungkin ia juga terpaksa menerima pernikahan ini. Karena setahuku ia juga masih memiliki kekasih. Berharap menikah dengan Bram, namun malah dijodohkan denganku. Tidak ada malam pertama. Menggauli gadis yang sedang mengandung anak orang lain, siapa yang selera? Yang ada, aku malah semakin merasa benci dengannya. Meskipun aku tak memungkiri jika ayahnya telah banyak berjasa pada keluargaku, namun tetap saja keegoisanku mengalahkan segalanya.Kami tidak tidur bersama. Aku memilih tidur di sofa, sementara dia kubiarkan tidur di ranjangku.Hingga pada

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status