LOGINSetelah menandatangani perjanjian pernikahan itu—sebuah lembaran kertas dingin yang kini mengikat takdirnya—Elena dan Gerald seolah bertransformasi menjadi dua orang asing yang dipaksa berbagi ruang, dibatasi oleh garis-garis tak terlihat yang lebih tebal dari dinding mana pun.
Elena mengikuti Gerald dari belakang, menuju kamar yang telah dibuka pintunya—sebuah kamar tidur utama yang luas, dengan pemandangan kota Jakarta yang gemerlap dari jendela besarnya. Kamar itu begitu rapi, seolah tidak pernah disentuh, menunggu untuk diisi.
"Ini kamarmu," suara Gerald memecah keheningan. Ia berdiri di ambang pintu, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, gestur yang sudah menjadi ciri khasnya—santai namun penuh otoritas. "Aku akan menggunakan kamar di sebelah."
Elena melihat sekeliling. Kamar itu memang luas dan elegan, didominasi warna putih dan abu-abu, palet yang dipilih dengan cermat untuk memberikan kesan modern dan mewah. Namun, bagi Elena, semuanya terasa terlalu sempurna. Seperti pernikahan palsu mereka.
"Kenapa aku mendapat kamar utama?" tanya Elena, dahi berkerut, sedikit tersinggung dengan pengaturan yang seolah-olah sudah diputuskan tanpa partisipasinya. Ini adalah kamar terbesar, dan secara hierarki, seharusnya menjadi milik kepala rumah tangga—Gerald.
Gerald mengangkat bahu, menunjukkan gestur acuh tak acuh. "Kupikir kamu akan lebih membutuhkannya. Lemari di sini lebih besar, dan aku tahu wanita biasanya memiliki lebih banyak barang."
Elena mendengus, sebuah senyum sinis tersungging di bibirnya. "Stereotip."
"Hanya observasi," balas Gerald datar, tanpa ekspresi yang berarti. "Koper-kopermu sudah diantarkan kemarin. Semua sudah disusun di lemari."
Mata Elena membulat sedikit. "Siapa yang menyusun barang-barangku?" Ada sedikit nada kemarahan dalam suaranya.
"Asisten Mamaku, tentunya dengan persetujuan dari Mamamu," jawab Gerald, sama sekali tidak terpengaruh oleh nada protes Elena. Ia menatapnya sejenak. "Kamu bisa mengaturnya ulang jika tidak sesuai keinginanmu."
Elena memutar bola matanya, perasaan kesal memuncak. "Bahkan urusan pribadiku pun harus diatur oleh keluargamu.”
Gerald tidak menggubris komentar sinis itu. "Ada makanan di kulkas jika kamu lapar. Aku akan bekerja di ruang kerjaku." Ia berbalik, hendak meninggalkan kamar, seolah urusan di antara mereka sudah selesai.
"Tunggu," panggil Elena, suaranya sedikit lebih keras dari yang ia duga. Gerald berhenti dan menoleh, alisnya terangkat sedikit, ekspresi bertanya-tanya di wajahnya. "Bagaimana dengan besok?"
"Besok?" Gerald mengulang, seolah pertanyaan itu sangat asing baginya.
"Ya, besok. Apa yang harus kulakukan? Apa ada skrip yang harus kuhafalkan?" tanya Elena dengan nada sarkastis yang jelas. Ia tidak ingin ada kejutan lagi.
Gerald menghela napas, gestur yang menandakan sedikit rasa frustrasi. "Besok kita dapat cuti satu hari, akan aneh rasanya kalau pengantin baru langsung kembali bekerja seperti biasa." Ia berhenti sejenak, memikirkan kata-katanya. "Selain status kita, tidak ada yang berubah, Elena. Kita hanya perlu bersandiwara ketika ada orang lain."
"Dan bagaimana dengan publikasi pernikahan kita? Foto-foto? Media sosial?" Elena menuntut penjelasan lebih lanjut. Ia tahu dunia media. Perusahaan yang baru saja merger ini pasti akan menjadi sorotan utama.
"PR perusahaan sudah mengurusnya," jawab Gerald. "Beberapa foto pernikahan sudah dirilis ke media, dan akan ada pengumuman resmi di akun media sosial besok. Semuanya sudah sesuai rencana."
Elena tertawa kecil, tawa yang hampa dan pahit. "Bahkan itu pun sudah diatur. Sempurna sekali."
Gerald menatapnya beberapa saat, tatapan matanya mengisyaratkan sebuah pemahaman yang tak terucap. "Ini akan lebih mudah jika kita berdua bekerja sama." Ada nada persuasif yang tipis dalam suaranya, sebuah pengakuan implisit bahwa mereka berada di perahu yang sama.
"Tentu, aku akan bekerja sama," Elena melangkah mendekatinya, matanya berkilat penuh tekad. Ia mendekat, memangkas jarak di antara mereka, ingin memastikan pesannya tersampaikan dengan jelas. "Tapi jangan pernah berpikir bahwa aku menerima situasi ini. Aku hanya mentolerirnya." Suaranya rendah, penuh penekanan.
Gerald mengangkat alisnya, tidak terlihat terkejut dengan tantangan Elena. "Kamu pikir aku menerimanya?" Ia balik bertanya, nada suaranya sama tajamnya. "Kita sama-sama terjebak, Elena. Sebagai anak tunggal, kita tidak punya pilihan lain selain menjalani ekspektasi keluarga.”
Anak tunggal. Ya, itulah mereka. Dua pewaris tunggal dari keluarga berpengaruh yang dipaksa bersatu demi kepentingan bisnis. Elena tidak pernah benar-benar memikirkannya sebelumnya, tapi Gerald pun mungkin merasakan tekanan yang sama besarnya, jika tidak lebih. Ada kesamaan tak terduga dalam nasib mereka, sebuah benang tipis yang menghubungkan dua jiwa keras kepala ini.
"Baiklah," Elena akhirnya berkata, rasa lelah mendominasi kemarahannya. "Aku akan menjalani peranku. Tapi dengan syarat-syaratku sendiri."
Gerald memiringkan kepalanya sedikit, ekspresi tertarik muncul di wajahnya. "Dan syarat-syarat itu adalah?"
"Pertama, aku tidak ingin ada campur tangan keluargamu dalam karirku," Elena memulai, suaranya tegas. "Aku tetap akan bekerja seperti biasa, tanpa perlu izinmu atau siapapun. Atmaja Televisi adalah tanggung jawabku sepenuhnya."
Gerald mengangguk. "Wajar. Itu sudah disepakati dalam poin-poin awal perjanjian. Kamu tetap CEO Atmaja Televisi."
"Kedua, aku tidak ingin diharuskan hadir di acara keluargamu kecuali benar-benar penting. Begitupun sebaliknya," lanjut Elena, menatap Gerald lurus. "Aku punya kehidupanku sendiri, dan aku tidak ingin setiap akhir pekanku harus dihabiskan untuk sandiwara keluarga."
Gerald mengangkat alisnya, seolah menimbang permintaan itu. "Aku akan mencoba mengatur itu, tapi tidak bisa menjamin sepenuhnya. Ada beberapa acara penting, terutama acara-acara sosial yang berkaitan dengan Mahatma Entertainment, yang mengharuskan kehadiran kita berdua sebagai pasangan."
Elena mendengus, merasa sebagian kebebasannya tetap dirampas. Ia tidak lagi bisa seenaknya mengatur jadwalnya. "Ketiga," ia melanjutkan, suaranya sedikit lebih rendah, tetapi penuh penekanan, "jangan pernah menyentuhku atau menciumku kecuali memang diperlukan untuk pencitraan. Dan itu pun harus sesingkat mungkin."
Gerald tersenyum tipis, senyum sinis yang nyaris tidak terlihat, sebuah gurat tipis di sudut bibirnya. "Kamu tidak perlu khawatir soal itu. Aku juga tidak tertarik."
Kata-kata itu, meski seharusnya tidak berarti apa-apa bagi Elena, entah mengapa tetap menggores sedikit harga dirinya. Ia tahu itu adalah kebenaran yang tak terelakkan, namun mendengarnya langsung dari bibir Gerald terasa seperti tamparan. Ia berusaha menyembunyikannya dengan mengangkat bahu, berpura-pura tidak peduli.
"Bagus kalau begitu," kata Elena, memalingkan muka. "Kita akan menjalani pernikahan ini seperti yang tertulis dalam perjanjian itu. Satu tahun, lalu kita bisa berpisah." Ada nada harapan samar dalam suaranya ketika menyebutkan batas waktu itu. Satu tahun. Waktu yang terasa sangat lama, namun juga seperti sebuah penyelamat yang akan datang.
Gerald mengangguk sekali, sebuah konfirmasi tanpa emosi. "Satu tahun." Lalu ia berbalik dan meninggalkan kamar, menutup pintu di belakangnya, meninggalkan Elena sendirian dalam keheningan kamar yang terlalu besar itu.
Elena berjalan ke tepi ranjang, duduk, dan menatap cincin pernikahan yang masih melingkar di jarinya. Cincin itu berkilau di bawah cahaya lampu, simbol palsu dari ikatan yang tak pernah ia inginkan. Ia melepasnya perlahan, meletakkannya di meja nakas. Terlalu berat untuk dikenakan saat ia sendiri.
Sementara itu, Gerald berjalan menuju kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Elena, pikiran berputar di kepalanya. Obrolan singkat barusan dengan Elena, meskipun dipenuhi nada sinis dan sarkastis dari pihak wanita itu, justru memberinya sedikit gambaran mengenai "istrinya" ini.
Elena memang dingin, tegas, dan berpendirian teguh—persis seperti yang ia dengar dari laporan orang kepercayaannya. Tapi ada sesuatu di balik tatapan matanya, sebuah kemarahan yang tertahan dan sedikit kerapuhan yang berusaha ia sembunyikan. Gerald tidak bodoh, ia tahu Elena juga merasa terpaksa, sama sepertinya.
Ia memasuki kamarnya. Berbeda dengan kamar Elena yang didominasi warna putih, kamarnya lebih gelap, dengan sentuhan abu-abu tua dan aksen kayu. Lebih maskulin, lebih sesuai dengan karakternya yang praktis dan tak suka basa-basi. Ia mulai melonggarkan dasi dan menghela napas panjang. Hari pernikahan yang panjang ini akhirnya usai.
Gerald berjalan ke jendela besar kamarnya, menatap pemandangan kota yang kerlap-kerlip. Ia adalah CEO Maha Pictures, sebuah raksasa di industri hiburan. Selama ini, hidupnya diatur oleh jadwal padat, rapat tanpa henti, dan keputusan-keputusan besar yang menentukan nasib ratusan karyawan. Ia selalu bangga akan kemampuannya memisahkan emosi dari logika, sebuah prinsip yang ia pegang teguh.
Namun, pernikahan ini… ini adalah level yang berbeda. Ia tidak pernah membayangkan dirinya terikat dalam ikatan formal seperti ini. "Tidak tertarik," katanya pada Elena tadi. Kata-kata itu memang benar. Ia tidak tertarik pada romansa atau ikatan emosional. Baginya, pernikahan adalah sebuah kontrak, sebuah kesepakatan bisnis yang harus dipenuhi untuk menjaga stabilitas perusahaannya dan keluarganya.
Mahatma Entertainment sedang dalam fase ekspansi besar-besaran, dan akuisisi Atmaja Televisi adalah langkah strategis untuk memperkuat posisi mereka di pasar media. Syarat pernikahan ini awalnya terasa absurd, namun ayahnya, Darius Mahatma, seorang pria yang juga keras kepala dan visioner, melihat ini sebagai sebuah kesempatan untuk menciptakan aliansi yang tak terpisahkan.
"Pernikahan ini akan mengikat mereka lebih kuat dari sekadar perjanjian di atas kertas, Gerald," kata Papanya—Darius beberapa waktu lalu. "Akan ada nama Mahatma di belakang nama Atmaja. Publik akan melihat kita sebagai satu kesatuan, tidak akan ada ruang bagi pesaing untuk menembus."
Gerald memahami logika itu. Ia adalah seorang pria yang hidup dengan logika. Dan logika mengatakan, ini adalah keputusan yang tepat, meskipun melibatkan pengorbanan personal. Elena. Wanita itu, dengan mata tajam dan bibir sinisnya, memang merepotkan. Tapi ia juga seorang profesional.
Ia meraih ponselnya, mengecek email. Beberapa notifikasi terkait berita pernikahan mereka sudah masuk. Foto-foto yang dirilis PR menampilkan mereka berdua dengan senyum sempurna, ciuman yang tampak tulus, seolah tidak ada paksaan di baliknya. Gerald tersenyum tipis, sebuah senyum penuh perhitungan. Publik akan menelannya mentah-mentah.
Ia harus memastikan batasan-batasan mereka tetap jelas. Tidak ada campur tangan. Tidak ada emosi. Satu tahun. Itu adalah kesepakatan. Dan ia, sebagai CEO Maha Pictures, akan memastikan perjanjian itu dipatuhi.
***
Hujan masih mengguyur saat lampu-lampu mobil polisi memantul di genangan air di depan gudang tua itu. Sirene terus meraung, namun bagi Gerald, semua suara terasa jauh—seolah dunia tiba-tiba mengecil hanya menyisakan satu hal di pelukannya: Elena.Ia baru saja merengkuhnya ketika tubuh itu tiba-tiba kehilangan tenaga.“Lena?” bisiknya panik.Tidak ada jawaban. Napas Elena melemah, matanya terpejam, kepalanya bersandar lemah di dada Gerald.“Lena!” serunya lagi, kali ini lebih keras. Tapi tubuh di pelukannya hanya jatuh semakin berat.Gerald langsung berjongkok, menepuk pipi Elena pelan. “Sayang, buka matamu. Lena, dengar aku, ini aku.”Masih tak ada reaksi. Panik melesat seperti arus listrik ke seluruh tubuhnya. Dengan satu gerakan, ia mengangkat Elena ke dalam gendongan. Tubuh itu terasa ringan sekali—terlalu ringan untuk ukuran wanita yang biasanya penuh semangat dan kehidupan.Lucas yang baru keluar dari gudang terkejut melihat Gerald membawa Elena. “Pak! Tim medis di jalan, mereka—
Hujan turun deras, seperti tirai kelabu yang memisahkan dunia nyata dari mimpi buruk. Langit di atas Jakarta berwarna abu-abu pekat, petir menyambar jauh di horizon, dan angin berdesir membawa aroma logam, tanah, dan ketakutan.Di dalam sebuah gudang tua di kawasan industri yang sudah lama terbengkalai, lampu-lampu redup bergoyang tertiup angin dari celah atap yang bocor. Bayangan panjang menari di dinding karatan, menciptakan kesan menyeramkan yang membuat udara di sana semakin berat.Elena duduk di kursi besi, kedua tangannya diikat. Pergelangan tangannya perih, tapi ia terus berusaha melepaskan diri. Tubuhnya gemetar—bukan hanya karena dingin, tapi juga karena adrenalin yang membuncah tanpa henti. Napasnya pendek dan cepat, dadanya naik turun dalam irama ketakutan yang teratur.Leo berdiri tak jauh darinya, siluetnya tampak samar di bawah cahaya lampu yang bergetar. Wajahnya separuh tertutup bayangan, tapi matanya memantulkan sinar yang tak bisa disalahartikan: obsesi dan amarah yan
Bau logam dan lembap memenuhi udara. Ruangan itu sepi, hanya terdengar suara tetes air yang jatuh dari pipa tua di langit-langit. Lampu gantung di atas kepala berkedip pelan, seakan ikut berjuang untuk tetap hidup.Udara dingin menggigit kulit. Lantai semen yang basah memantulkan cahaya kekuningan yang redup, membentuk bayangan rapuh dari tubuh Elena yang duduk di kursi besi di tengah ruangan. Tangannya terikat erat di belakang punggung, pergelangannya memerah karena tali kasar yang terus menggesek kulitnya. Nafasnya berat, tersengal, sementara keringat dan darah yang mengering di pelipisnya menyatu dengan debu.Rambut panjangnya menjuntai berantakan, menutupi sebagian wajahnya yang kini tampak pucat di bawah cahaya lampu yang tak stabil. Ia tidak tahu sudah berapa lama berada di sana — jam, hari, atau mungkin minggu. Semua terasa kabur, bercampur menjadi satu kesatuan waktu yang tak berujung. Yang ia tahu hanya rasa nyeri yang datang dan pergi, nyeri yang merambat bukan hanya di t
Satu jam kemudian.Jakarta diguyur hujan deras. Lampu-lampu jalan berpendar buram di balik kaca mobil yang dipenuhi titik air.Gerald duduk di kursi belakang, ponsel di tangannya terus berdering. Lucas di depan sedang menelpon orang-orang kepercayaannya, menyebarkan perintah langsung dari Gerald Mahatma: Cari Elena. Gunakan semua sumber daya. Aku tidak peduli berapa biayanya.Gerald sendiri hanya diam, matanya menatap keluar jendela, tapi pikirannya berlari jauh. Tangannya menggenggam cincin pernikahan di jari manisnya. Ia menahan napas panjang, seolah mencoba bertahan dari kepanikan yang menelan seluruh tubuhnya.“Pak…” Lucas menoleh. “Saya sudah hubungi tim keamanan internal Maha Pictures, juga pihak keamanan apartemen. Semua disiagakan. Bahkan saya sudah kontak teman saya di kepolisian.”Gerald masih diam. Lalu, perlahan ia berkata, suaranya nyaris bergetar. “Kalau dia terluka, Lucas…” Ia berhenti sebentar, lalu menatap bawahannya dengan tatapan yang belum pernah terlihat sebelu
Langit Jakarta sore itu tampak mendung, awan kelabu menggantung berat di atas gedung-gedung tinggi. Hujan seperti menahan diri di udara, menunggu waktu untuk turun. Suasana di Atmaja Televisi pun sama suramnya — sibuk, tapi menegangkan tanpa alasan yang jelas.Elena baru saja menyelesaikan rapat dengan tim acara. Ia tampak sedikit lelah, namun tetap menjaga senyum. Beberapa kru menyapanya saat ia keluar dari ruang meeting lantai lima, dan Elena sempat melambaikan tangan dengan sopan.“El, mau gue bantu bawain dokumennya?” tanya Rani, sekretaris pribadinya.Elena menggeleng lembut. “Gak usah, Ran. Lo istirahat saja. Gue cuma mau turun ke lobby sebentar.”Rani mengangguk. “Oke, El.”Elena melangkah ke lift dengan tumpukan berkas di tangan. Pikirannya masih sibuk menimbang revisi rundown untuk acara mendatang. Ia bahkan tidak memperhatikan ketika seseorang mengenakan topi hitam dan masker wajah berdiri di dekat lift bersamanya — hanya sekadar mengira itu tamu kantor.Lift turun perlahan.
Udara di kota itu terasa hangat dan lembap, menyelimuti seluruh area hotel tempat Gerald menginap. Dari jendela kamar lantai dua belas, terlihat gemerlap lampu kota yang tak pernah benar-benar gelap. Tapi bagi Gerald, pemandangan itu tak memberi ketenangan apa pun.Ia duduk di tepi ranjang, menatap layar laptop yang penuh laporan produksi film. Di depannya, beberapa berkas terbuka, tapi matanya kosong — pikirannya tak sepenuhnya di sini.Sebuah pesan dari Elena muncul di layar ponsel.Elena: “Sudah selesai meeting-nya?”Elena: “Jangan lupa makan malam, ya.”Gerald tersenyum tipis, lalu mengetik cepat.Gerald: “Sudah. Aku mau makan habis ini. Kamu sudah makan, Sayang?”Tak lama, balasan muncul.Elena: “Sudah. Jangan khawatir.”Namun entah kenapa, Gerald tetap tidak bisa berhenti khawatir.Ia menatap layar ponsel itu lama, jari-jarinya mengetuk ringan meja.Biasanya, setiap kali Elena mengirim pesan, ada sedikit emoji atau tanda yang menunjukkan perasaannya — entah senyum, tanda hati, a







