Beranda / Rumah Tangga / Pernikahan Bisnis Dua CEO / Bab 3 Penyesuain Yang Sulit

Share

Bab 3 Penyesuain Yang Sulit

Penulis: yourayas
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-22 23:46:06

Setelah menandatangani perjanjian pernikahan itu—sebuah lembaran kertas dingin yang kini mengikat takdirnya—Elena dan Gerald seolah bertransformasi menjadi dua orang asing yang dipaksa berbagi ruang, dibatasi oleh garis-garis tak terlihat yang lebih tebal dari dinding mana pun.

Elena mengikuti Gerald dari belakang, menuju kamar yang telah dibuka pintunya—sebuah kamar tidur utama yang luas, dengan pemandangan kota Jakarta yang gemerlap dari jendela besarnya. Kamar itu begitu rapi, seolah tidak pernah disentuh, menunggu untuk diisi.

"Ini kamarmu," suara Gerald memecah keheningan. Ia berdiri di ambang pintu, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, gestur yang sudah menjadi ciri khasnya—santai namun penuh otoritas. "Aku akan menggunakan kamar di sebelah."

Elena melihat sekeliling. Kamar itu memang luas dan elegan, didominasi warna putih dan abu-abu, palet yang dipilih dengan cermat untuk memberikan kesan modern dan mewah. Namun, bagi Elena, semuanya terasa terlalu sempurna. Seperti pernikahan palsu mereka.

"Kenapa aku mendapat kamar utama?" tanya Elena, dahi berkerut, sedikit tersinggung dengan pengaturan yang seolah-olah sudah diputuskan tanpa partisipasinya. Ini adalah kamar terbesar, dan secara hierarki, seharusnya menjadi milik kepala rumah tangga—Gerald.

Gerald mengangkat bahu, menunjukkan gestur acuh tak acuh. "Kupikir kamu akan lebih membutuhkannya. Lemari di sini lebih besar, dan aku tahu wanita biasanya memiliki lebih banyak barang."

Elena mendengus, sebuah senyum sinis tersungging di bibirnya. "Stereotip."

"Hanya observasi," balas Gerald datar, tanpa ekspresi yang berarti. "Koper-kopermu sudah diantarkan kemarin. Semua sudah disusun di lemari."

Mata Elena membulat sedikit. "Siapa yang menyusun barang-barangku?" Ada sedikit nada kemarahan dalam suaranya.

"Asisten Mamaku, tentunya dengan persetujuan dari Mamamu," jawab Gerald, sama sekali tidak terpengaruh oleh nada protes Elena. Ia menatapnya sejenak. "Kamu bisa mengaturnya ulang jika tidak sesuai keinginanmu."

Elena memutar bola matanya, perasaan kesal memuncak. "Bahkan urusan pribadiku pun harus diatur oleh keluargamu.”

Gerald tidak menggubris komentar sinis itu. "Ada makanan di kulkas jika kamu lapar. Aku akan bekerja di ruang kerjaku." Ia berbalik, hendak meninggalkan kamar, seolah urusan di antara mereka sudah selesai.

"Tunggu," panggil Elena, suaranya sedikit lebih keras dari yang ia duga. Gerald berhenti dan menoleh, alisnya terangkat sedikit, ekspresi bertanya-tanya di wajahnya. "Bagaimana dengan besok?"

"Besok?" Gerald mengulang, seolah pertanyaan itu sangat asing baginya.

"Ya, besok. Apa yang harus kulakukan? Apa ada skrip yang harus kuhafalkan?" tanya Elena dengan nada sarkastis yang jelas. Ia tidak ingin ada kejutan lagi.

Gerald menghela napas, gestur yang menandakan sedikit rasa frustrasi. "Besok kita dapat cuti satu hari, akan aneh rasanya kalau pengantin baru langsung kembali bekerja seperti biasa." Ia berhenti sejenak, memikirkan kata-katanya. "Selain status kita, tidak ada yang berubah, Elena. Kita hanya perlu bersandiwara ketika ada orang lain."

"Dan bagaimana dengan publikasi pernikahan kita? Foto-foto? Media sosial?" Elena menuntut penjelasan lebih lanjut. Ia tahu dunia media. Perusahaan yang baru saja merger ini pasti akan menjadi sorotan utama.

"PR perusahaan sudah mengurusnya," jawab Gerald. "Beberapa foto pernikahan sudah dirilis ke media, dan akan ada pengumuman resmi di akun media sosial besok. Semuanya sudah sesuai rencana."

Elena tertawa kecil, tawa yang hampa dan pahit. "Bahkan itu pun sudah diatur. Sempurna sekali."

Gerald menatapnya beberapa saat, tatapan matanya mengisyaratkan sebuah pemahaman yang tak terucap. "Ini akan lebih mudah jika kita berdua bekerja sama." Ada nada persuasif yang tipis dalam suaranya, sebuah pengakuan implisit bahwa mereka berada di perahu yang sama.

"Tentu, aku akan bekerja sama," Elena melangkah mendekatinya, matanya berkilat penuh tekad. Ia mendekat, memangkas jarak di antara mereka, ingin memastikan pesannya tersampaikan dengan jelas. "Tapi jangan pernah berpikir bahwa aku menerima situasi ini. Aku hanya mentolerirnya." Suaranya rendah, penuh penekanan.

Gerald mengangkat alisnya, tidak terlihat terkejut dengan tantangan Elena. "Kamu pikir aku menerimanya?" Ia balik bertanya, nada suaranya sama tajamnya. "Kita sama-sama terjebak, Elena. Sebagai anak tunggal, kita tidak punya pilihan lain selain menjalani ekspektasi keluarga.”

Anak tunggal. Ya, itulah mereka. Dua pewaris tunggal dari keluarga berpengaruh yang dipaksa bersatu demi kepentingan bisnis. Elena tidak pernah benar-benar memikirkannya sebelumnya, tapi Gerald pun mungkin merasakan tekanan yang sama besarnya, jika tidak lebih. Ada kesamaan tak terduga dalam nasib mereka, sebuah benang tipis yang menghubungkan dua jiwa keras kepala ini.

"Baiklah," Elena akhirnya berkata, rasa lelah mendominasi kemarahannya. "Aku akan menjalani peranku. Tapi dengan syarat-syaratku sendiri."

Gerald memiringkan kepalanya sedikit, ekspresi tertarik muncul di wajahnya. "Dan syarat-syarat itu adalah?"

"Pertama, aku tidak ingin ada campur tangan keluargamu dalam karirku," Elena memulai, suaranya tegas. "Aku tetap akan bekerja seperti biasa, tanpa perlu izinmu atau siapapun. Atmaja Televisi adalah tanggung jawabku sepenuhnya."

Gerald mengangguk. "Wajar. Itu sudah disepakati dalam poin-poin awal perjanjian. Kamu tetap CEO Atmaja Televisi."

"Kedua, aku tidak ingin diharuskan hadir di acara keluargamu kecuali benar-benar penting. Begitupun sebaliknya," lanjut Elena, menatap Gerald lurus. "Aku punya kehidupanku sendiri, dan aku tidak ingin setiap akhir pekanku harus dihabiskan untuk sandiwara keluarga."

Gerald mengangkat alisnya, seolah menimbang permintaan itu. "Aku akan mencoba mengatur itu, tapi tidak bisa menjamin sepenuhnya. Ada beberapa acara penting, terutama acara-acara sosial yang berkaitan dengan Mahatma Entertainment, yang mengharuskan kehadiran kita berdua sebagai pasangan."

Elena mendengus, merasa sebagian kebebasannya tetap dirampas. Ia tidak lagi bisa seenaknya mengatur jadwalnya. "Ketiga," ia melanjutkan, suaranya sedikit lebih rendah, tetapi penuh penekanan, "jangan pernah menyentuhku atau menciumku kecuali memang diperlukan untuk pencitraan. Dan itu pun harus sesingkat mungkin."

Gerald tersenyum tipis, senyum sinis yang nyaris tidak terlihat, sebuah gurat tipis di sudut bibirnya. "Kamu tidak perlu khawatir soal itu. Aku juga tidak tertarik."

Kata-kata itu, meski seharusnya tidak berarti apa-apa bagi Elena, entah mengapa tetap menggores sedikit harga dirinya. Ia tahu itu adalah kebenaran yang tak terelakkan, namun mendengarnya langsung dari bibir Gerald terasa seperti tamparan. Ia berusaha menyembunyikannya dengan mengangkat bahu, berpura-pura tidak peduli.

"Bagus kalau begitu," kata Elena, memalingkan muka. "Kita akan menjalani pernikahan ini seperti yang tertulis dalam perjanjian itu. Satu tahun, lalu kita bisa berpisah." Ada nada harapan samar dalam suaranya ketika menyebutkan batas waktu itu. Satu tahun. Waktu yang terasa sangat lama, namun juga seperti sebuah penyelamat yang akan datang.

Gerald mengangguk sekali, sebuah konfirmasi tanpa emosi. "Satu tahun." Lalu ia berbalik dan meninggalkan kamar, menutup pintu di belakangnya, meninggalkan Elena sendirian dalam keheningan kamar yang terlalu besar itu.

Elena berjalan ke tepi ranjang, duduk, dan menatap cincin pernikahan yang masih melingkar di jarinya. Cincin itu berkilau di bawah cahaya lampu, simbol palsu dari ikatan yang tak pernah ia inginkan. Ia melepasnya perlahan, meletakkannya di meja nakas. Terlalu berat untuk dikenakan saat ia sendiri.

Sementara itu, Gerald berjalan menuju kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Elena, pikiran berputar di kepalanya. Obrolan singkat barusan dengan Elena, meskipun dipenuhi nada sinis dan sarkastis dari pihak wanita itu, justru memberinya sedikit gambaran mengenai "istrinya" ini.

Elena memang dingin, tegas, dan berpendirian teguh—persis seperti yang ia dengar dari laporan orang kepercayaannya. Tapi ada sesuatu di balik tatapan matanya, sebuah kemarahan yang tertahan dan sedikit kerapuhan yang berusaha ia sembunyikan. Gerald tidak bodoh, ia tahu Elena juga merasa terpaksa, sama sepertinya.

Ia memasuki kamarnya. Berbeda dengan kamar Elena yang didominasi warna putih, kamarnya lebih gelap, dengan sentuhan abu-abu tua dan aksen kayu. Lebih maskulin, lebih sesuai dengan karakternya yang praktis dan tak suka basa-basi. Ia mulai melonggarkan dasi dan menghela napas panjang. Hari pernikahan yang panjang ini akhirnya usai.

Gerald berjalan ke jendela besar kamarnya, menatap pemandangan kota yang kerlap-kerlip. Ia adalah CEO Maha Pictures, sebuah raksasa di industri hiburan. Selama ini, hidupnya diatur oleh jadwal padat, rapat tanpa henti, dan keputusan-keputusan besar yang menentukan nasib ratusan karyawan. Ia selalu bangga akan kemampuannya memisahkan emosi dari logika, sebuah prinsip yang ia pegang teguh.

Namun, pernikahan ini… ini adalah level yang berbeda. Ia tidak pernah membayangkan dirinya terikat dalam ikatan formal seperti ini. "Tidak tertarik," katanya pada Elena tadi. Kata-kata itu memang benar. Ia tidak tertarik pada romansa atau ikatan emosional. Baginya, pernikahan adalah sebuah kontrak, sebuah kesepakatan bisnis yang harus dipenuhi untuk menjaga stabilitas perusahaannya dan keluarganya.

Mahatma Entertainment sedang dalam fase ekspansi besar-besaran, dan akuisisi Atmaja Televisi adalah langkah strategis untuk memperkuat posisi mereka di pasar media. Syarat pernikahan ini awalnya terasa absurd, namun ayahnya, Darius Mahatma, seorang pria yang juga keras kepala dan visioner, melihat ini sebagai sebuah kesempatan untuk menciptakan aliansi yang tak terpisahkan.

"Pernikahan ini akan mengikat mereka lebih kuat dari sekadar perjanjian di atas kertas, Gerald," kata Papanya—Darius beberapa waktu lalu. "Akan ada nama Mahatma di belakang nama Atmaja. Publik akan melihat kita sebagai satu kesatuan, tidak akan ada ruang bagi pesaing untuk menembus."

Gerald memahami logika itu. Ia adalah seorang pria yang hidup dengan logika. Dan logika mengatakan, ini adalah keputusan yang tepat, meskipun melibatkan pengorbanan personal. Elena. Wanita itu, dengan mata tajam dan bibir sinisnya, memang merepotkan. Tapi ia juga seorang profesional.

Ia meraih ponselnya, mengecek email. Beberapa notifikasi terkait berita pernikahan mereka sudah masuk. Foto-foto yang dirilis PR menampilkan mereka berdua dengan senyum sempurna, ciuman yang tampak tulus, seolah tidak ada paksaan di baliknya. Gerald tersenyum tipis, sebuah senyum penuh perhitungan. Publik akan menelannya mentah-mentah.

Ia harus memastikan batasan-batasan mereka tetap jelas. Tidak ada campur tangan. Tidak ada emosi. Satu tahun. Itu adalah kesepakatan. Dan ia, sebagai CEO Maha Pictures, akan memastikan perjanjian itu dipatuhi.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 5 Percakapan Ruang Televisi

    Setelah sarapan, Elena berjalan lurus menuju kamar, meninggalkan Gerald yang masih berada di meja makan. Di kamar, ia berdiri, membuka lemari. Ia memilih celana jeans gelap dan kemeja oversize berwarna krem, pakaian santai yang nyaman, sesuatu yang ia butuhkan untuk meredakan ketegangan di dadanya.Saat ia kembali ke luar kamar dengan pakaian santai, Gerald sudah berdiri di dekat jendela ruang tengah, berbicara di telepon dengan suara rendah namun serius. Suaranya terdengar seperti perintah, penuh wibawa, dan sedikit kesal, khas seorang pemimpin yang terbiasa memberi arahan.“Tidak, tunda semua jadwal hari ini. Aku tidak peduli berapa kerugiannya, handle saja dulu,” katanya dengan nada pendek dan tegas, tidak memberi ruang untuk bantahan. “Aku baru saja menikah, hari ini adalah hari liburku, jadi jangan ganggu aku.”Elena berhenti, mendengarkan tanpa niat mencuri dengar. Namun satu kalimat Gerald membuatnya menahan napas, sebuah gelombang keheranan kecil menerpanya.Aku baru saja meni

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 4 Pagi Pertama

    Keesokan paginya setelah pernikahan, Elena terbangun dengan perasaan aneh yang tak bisa ia deskripsikan dengan kata-kata. Rasanya seperti baru saja melewati mimpi panjang yang tidak sepenuhnya nyata. Ia membuka matanya perlahan, memandangi langit-langit putih di atasnya yang asing. Bukan kamarnya. Bukan tempat tidur yang biasa ia gunakan.Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menyusun potongan-potongan kesadaran. Lalu kenyataan menghantamnya—ia tidak berada di rumahnya sendiri. Ini adalah apartemen baru, kamar baru, dan yang paling sulit diterima: status barunya. Ia adalah istri seseorang. Istri dari Gerald Aiden Mahatma.Sinar matahari pagi menyelinap masuk dari celah tirai yang belum tertutup sempurna, menciptakan bayangan halus di lantai kayu. Udara kamar itu masih membawa aroma cat baru dan sedikit wangi lavender dari diffuser di sudut ruangan. Elena melirik jam di meja samping tempat tidur. Pukul 6:15 pagi. Biasanya, pada jam ini, ia sudah mulai bersiap untuk ke kantor, memb

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 3 Penyesuain Yang Sulit

    Setelah menandatangani perjanjian pernikahan itu—sebuah lembaran kertas dingin yang kini mengikat takdirnya—Elena dan Gerald seolah bertransformasi menjadi dua orang asing yang dipaksa berbagi ruang, dibatasi oleh garis-garis tak terlihat yang lebih tebal dari dinding mana pun.Elena mengikuti Gerald dari belakang, menuju kamar yang telah dibuka pintunya—sebuah kamar tidur utama yang luas, dengan pemandangan kota Jakarta yang gemerlap dari jendela besarnya. Kamar itu begitu rapi, seolah tidak pernah disentuh, menunggu untuk diisi."Ini kamarmu," suara Gerald memecah keheningan. Ia berdiri di ambang pintu, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, gestur yang sudah menjadi ciri khasnya—santai namun penuh otoritas. "Aku akan menggunakan kamar di sebelah."Elena melihat sekeliling. Kamar itu memang luas dan elegan, didominasi warna putih dan abu-abu, palet yang dipilih dengan cermat untuk memberikan kesan modern dan mewah. Namun, bagi Elena, semuanya terasa terlalu sempurna. Seperti per

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 2 Janji Yang Terpaksa

    Di depan altar, Gerald berdiri tegap dalam balutan jas hitamnya yang elegan. Tatapannya tetap dingin, nyaris tanpa emosi, namun sesekali ia menarik napas panjang. Hari ini bukanlah sesuatu yang ia nantikan, tetapi seperti yang sudah berkali-kali ia katakan pada dirinya sendiri—ini adalah kewajiban.Tiba-tiba, pintu utama terbuka lebar, memperlihatkan sosok pengantin wanita yang berjalan perlahan di lorong tengah. Elena menggamit lengan ayahnya, Nathaniel Atmaja, yang menuntunnya dengan penuh wibawa. Gaun putih gadingnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menambah aura elegan yang selalu melekat pada dirinya.Setiap langkahnya terasa berat. Elena hampir tidak bisa mendengar musik pernikahan yang mengiringinya, tidak peduli dengan tatapan kagum dan tepuk tangan para tamu. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang berjalan terlalu nyata.Saat akhirnya ia sampai di depan altar, Nathaniel melepaskan genggaman tangannya dan menyerahkan putrinya pada Gerald. Sejenak, mata mereka bertemu. Tid

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 1 Pernikahan Tanpa Peringatan

    Elena Maheswari Atmaja baru saja kembali dari perjalanan bisnis yang melelahkan di Singapura, membawa serta harapan baru untuk Atmaja Televisi, perusahaan media yang telah dibangun oleh keluarganya dengan susah payah.Sebagai putri tunggal Nathaniel Atmaja dan Devina Adeline Pramesti, Elena memikul beban besar di pundaknya.Posisi CEO Atmaja Televisi telah membentuknya menjadi seorang wanita yang dingin, tegas, dan berpendirian teguh, kualitas yang sangat dibutuhkan mengingat kondisi finansial perusahaan yang sedang merosot tajam dan hampir di ambang kebangkrutan.Namun, alih-alih sambutan hangat dan istirahat yang layak, Elena dikejutkan oleh kedatangan beberapa pria berbadan tegap yang langsung membawanya ke mobil tanpa banyak penjelasan. Perasaan tidak enak mulai menghantuinya sepanjang perjalanan, menggerogoti ketenangannya. Pikirannya dipenuhi pertanyaan, firasat buruk merayap di benaknya. Apa yang sedang terjadi? Apakah ada masalah di kantor yang begitu genting hingga ia harus d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status