Di depan altar, Gerald berdiri tegap dalam balutan jas hitamnya yang elegan. Tatapannya tetap dingin, nyaris tanpa emosi, namun sesekali ia menarik napas panjang. Hari ini bukanlah sesuatu yang ia nantikan, tetapi seperti yang sudah berkali-kali ia katakan pada dirinya sendiri—ini adalah kewajiban.
Tiba-tiba, pintu utama terbuka lebar, memperlihatkan sosok pengantin wanita yang berjalan perlahan di lorong tengah. Elena menggamit lengan ayahnya, Nathaniel Atmaja, yang menuntunnya dengan penuh wibawa. Gaun putih gadingnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menambah aura elegan yang selalu melekat pada dirinya.
Setiap langkahnya terasa berat. Elena hampir tidak bisa mendengar musik pernikahan yang mengiringinya, tidak peduli dengan tatapan kagum dan tepuk tangan para tamu. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang berjalan terlalu nyata.
Saat akhirnya ia sampai di depan altar, Nathaniel melepaskan genggaman tangannya dan menyerahkan putrinya pada Gerald. Sejenak, mata mereka bertemu. Tidak ada kata-kata, hanya kesadaran bahwa mereka sama-sama tidak menginginkan ini.
"Tersenyumlah," bisik Gerald nyaris tanpa suara, tatapannya tetap mengunci Elena.
Elena mencibir kecil, nyaris tak terlihat oleh siapa pun kecuali Gerald. "Aku tidak tahu kalau kamu juga bisa memberikan perintah di saat seperti ini."
Gerald mendekat sedikit, cukup agar hanya Elena yang bisa mendengar. "Aku tidak memberikan perintah. Aku hanya memastikan kita tidak mempermalukan diri sendiri di depan ratusan orang yang menonton. Atau kamu ingin membuat kekacauan sekarang?"
Elena menarik napas panjang, menahan keinginannya untuk melawan. "Kamu memang tahu bagaimana caranya menekan seseorang."
"Dan kamu tahu bagaimana caranya tetap berdiri meskipun kau ingin lari," balas Gerald dengan nada datar.
Pendeta berdiri di hadapan mereka, membuka kitab suci dan mulai membacakan doa pernikahan. Suaranya mengalun lembut, namun bagi Elena dan Gerald, kata-kata itu terasa hampa. Pernikahan ini bukan tentang cinta, bukan tentang harapan akan masa depan yang bahagia. Ini adalah persatuan yang dibangun di atas kesepakatan bisnis.
Ketika doa selesai, pendeta menatap kedua mempelai. "Gerald Aiden Mahatma, apakah kamu bersedia menerima Elena Maheswari Atmaja sebagai istrimu, dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, hingga maut memisahkan?"
Gerald menatap Elena sejenak sebelum akhirnya berkata dengan nada tenang dan tegas, "Ya, saya bersedia."
Pendeta beralih pada Elena. "Elena Maheswari Atmaja, apakah kamu bersedia menerima Gerald Aiden Mahatma sebagai suamimu, dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, hingga maut memisahkan?"
Tenggorokan Elena terasa kering. Ia bisa merasakan tatapan penuh tekanan dari keluarganya, dari para tamu, dari dunia yang menunggu jawabannya. Ia menutup mata, menarik napas panjang, lalu akhirnya membuka bibirnya dengan suara yang nyaris berbisik.
"Ya, saya bersedia."
Seakan itu adalah isyarat yang telah ditunggu, seorang asisten pendeta menyerahkan kotak beludru berisi cincin pernikahan. Gerald mengambil cincin itu dan menyematkannya di jari manis Elena tanpa ragu sedikit pun. Jemarinya dingin dan kokoh, kontras dengan tangan Elena yang sedikit gemetar saat ia menyematkan cincin di jari manis Gerald.
Saat prosesi selesai, Pastor tersenyum sebelum mengumumkan, "Dengan ini, saya nyatakan kalian telah resmi sebagai suami dan istri. Tuan Gerald, Anda boleh mencium pengantin Anda."
Gerald menarik napas perlahan sebelum mendekat, tangannya naik untuk menangkup wajah Elena dengan kelembutan yang hampir bisa menipu siapa pun yang melihatnya. Jemarinya terasa hangat di kulit Elena, seolah memberikan ilusi kenyamanan.
"Coba jangan terlihat terlalu menderita," bisiknya, tepat sebelum bibirnya menyentuh bibir Elena.
Bibir Gerald terasa ringan di bibirnya, tidak menekan terlalu dalam, tetapi juga tidak sekadar menyentuh. Itu adalah ciuman yang terlatih, yang dilakukan bukan karena hasrat, tetapi karena keharusan. Tidak ada desiran perasaan yang menggetarkan dada, tidak ada sentuhan yang membuat hati berdebar karena cinta.
Elena tetap diam, membiarkan Gerald mengontrol momen ini, membiarkan dunia percaya bahwa mereka benar-benar pasangan yang jatuh cinta.
***
Seusai acara, mereka menjalani sesi foto bersama keluarga, menyalami para tamu, dan bertahan dengan senyuman palsu hingga semua rangkaian acara selesai. Namun, tidak ada kata-kata manis, tidak ada kebahagiaan yang terpancar di antara mereka. Hanya ada tuntutan dan kewajiban.
Saat Elena tengah berganti pakaian di ruang rias, pintu diketuk. Ia menoleh dengan malas. "Masuk."
Gerald muncul di ambang pintu, bersandar sebentar sebelum berbicara. "Kita harus pergi."
Elena mengernyit. "Pergi ke mana?"
Gerald memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Apartemen kita. Mulai malam ini, kita tinggal bersama."
Elena menatapnya tajam. "Apa maksudmu?"
Gerald menahan napas sebelum menjelaskan dengan tenang. "Kedua keluarga sudah menyiapkan tempat tinggal untuk kita. Kita tidak bisa tinggal terpisah, setidaknya untuk sementara."
Elena menatapnya tajam, lalu tertawa kecil, tetapi tanpa humor. "Lucu sekali. Aku baru saja menikah dengan pria yang nyaris tidak kukenal, dan sekarang aku harus tinggal bersamanya? Apakah ada bagian lain dari hidupku yang ingin kalian atur?"
Gerald tidak terpengaruh oleh sarkasmenya. "Bukan aku yang memutuskan, Elena. Ini bagian dari kesepakatan keluarga kita. Kamu tahu itu."
Elena menghela napas, menatap pantulan dirinya di cermin. "Jadi, aku tidak punya pilihan?"
Gerald melangkah masuk sedikit lebih jauh, menutup pintu di belakangnya. "Memangnya sejak kamu sampai di gedung ini, kamu pernah punya pilihan?"
Elena mendengus pelan, lalu berdiri dari kursinya. "Fine. Jadi, aku harus pindah ke apartemen itu, tinggal bersamamu, dan berpura-pura menjadi istri yang bahagia?"
Gerald mengangkat bahu. "Kurang lebih begitu. Setidaknya di depan publik. Di balik pintu tertutup, kita bisa menjalani kehidupan kita masing-masing."
Elena menatapnya dengan penuh ketidakpercayaan. "Kamu mengatakan ini dengan begitu tenang, seolah pernikahan ini tidak berarti apa-apa bagimu."
"Karena memang tidak," jawab Gerald jujur. "Pernikahan ini hanya kesepakatan."
Elena mengepalkan tangannya, lalu menutup matanya sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. Akhirnya, ia membuka mata dan berkata dengan suara lebih tenang, tetapi tetap tajam, "Baiklah. Kalau itu yang kamu inginkan, ayo kita pergi. Tapi jangan pernah berpikir bahwa aku akan benar-benar menganggapmu sebagai suamiku."
Gerald menatapnya sejenak sebelum mengangguk. "Percayalah, aku juga tidak menginginkan itu."
***
Setibanya di apartemen, Elena melepas high heels-nya dengan kasar, lalu berjalan ke ruang tamu tanpa menghiraukan Gerald. Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa, matanya menatap kosong ke langit-langit.
"Jadi, kita harus tinggal di sini bersama?" tanyanya tanpa menoleh.
Gerald melepas jasnya dan menggantungnya dengan rapi. "Bisakah kamu berbicara dengan santai? Bicaramu terlalu formal,” protes Gerald yang sudah menahannya sejak acara pernikahan.
Elena mendengus. “Aku terbiasa berbicara formal dan tertata dengan orang tuaku,” balas Elena memandang Gerald yang mendekat. “Lagipula, memang sudah seharusnya aku menjaga bicaraku dengan orang asing sepertimu.”
Gerald melirik sekilas dengan tatapannya yang tajam, sudah malas menanggapi pemberontakan perempuan ini yang tidak ada lelahnya sedari tadi. “Baiklah, jika memang gaya bicaramu seperti ini, aku akan mengikuti,” ujar Gerald yang sebenarnya tidak kesusahan berbicara formal, karena ini sudah menjadi kebiasaannya juga.
Gerald menghela napas. “Soal tinggal bersama, itu sudah jelas. Keluarga kita tidak akan membiarkan kita tinggal terpisah setelah semua ini."
Elena menghela napas, lalu menoleh ke arah Gerald. "Aku ingin membuat satu hal jelas sejak awal. Kita mungkin sudah menikah di atas kertas, tetapi aku tidak akan menjalani pernikahan ini sebagai istri yang sebenarnya."
Gerald menatapnya tanpa ekspresi. "Itu juga bukan sesuatu yang aku inginkan. Karena itu, aku pikir kita harus membuat perjanjian."
Elena mengangkat alisnya. "Perjanjian?"
Gerald berjalan ke meja, mengambil sebuah dokumen yang telah ia siapkan sebelumnya, lalu menyerahkannya pada Elena. "Ini perjanjian formal. Aku ingin semuanya jelas dan tertulis diatas kertas."
Elena membaca dokumen itu dengan seksama. Beberapa poin utama tertulis dengan rapi:``1
1. Kedua pihak akan tinggal dalam satu apartemen yang telah disediakan oleh keluarga, dengan ketentuan bahwa masing-masing pihak akan menggunakan kamar secara terpisah.
2. Kedua pihak berkewajiban untuk menampilkan citra sebagai pasangan yang harmonis di hadapan publik, termasuk dalam acara keluarga, pertemuan bisnis, serta situasi lain yang mengharuskan kehadiran bersama.
3. Tidak ada kewajiban bagi salah satu pihak untuk menjalankan peran suami atau istri dalam aspek pribadi, namun tidak terbatas pada hubungan fisik atau emosional.
4. Masing-masing pihak berhak atas kehidupan pribadi mereka tanpa campur tangan dari pihak lainnya, selama hal tersebut tidak mencoreng nama baik keluarga atau menimbulkan skandal yang dapat berdampak pada kesepakatan pernikahan ini.
5. Perjanjian ini berlaku selama satu tahun sejak tanggal ditandatangani. Setelah periode tersebut, kedua pihak akan melakukan evaluasi bersama untuk menentukan langkah selanjutnya, termasuk kemungkinan pembubaran pernikahan secara hukum.
6. Kedua pihak sepakat untuk tidak membocorkan isi perjanjian ini kepada pihak ketiga tanpa persetujuan bersama, kecuali jika diwajibkan oleh hukum atau dalam keadaan darurat yang memerlukan konsultasi hukum.
Elena mengangkat wajahnya. "Jadi ini yang kamu inginkan? Sebuah pernikahan palsu yang diatur seformal mungkin?"
Gerald mengangguk. "Lebih tepatnya, ini adalah pernikahan bisnis. Aku hanya ingin memastikan semuanya tetap terkendali. Jika kita sama-sama ingin mendapatkan keuntungan dari pernikahan ini, kita harus melakukannya dengan cara yang tidak menyulitkan satu sama lain."
Elena menyipitkan mata. "Dan kamu benar-benar yakin tidak akan ada masalah?"
Gerald menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Kita hanya harus memainkan peran kita dengan baik. Tidak ada yang perlu dibuat rumit."
Elena menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya mengambil pena di meja dan menandatangani perjanjian itu. "Baiklah. Kalau begitu, kita sepakat."
Gerald mengambil dokumen itu kembali, menandatanganinya, lalu melipatnya dengan rapi. "Satu tahun, Elena. Setelah itu, kita bisa pergi ke arah kita masing-masing."
Elena mengangguk kecil. "Satu tahun."
Mereka bertukar pandang sejenak, menyadari bahwa meskipun sekarang mereka terikat dalam ikatan pernikahan, nyatanya mereka tetaplah dua orang asing yang terjebak dalam permainan keluarga mereka.
***
Suasana set semakin ramai menjelang siang. Kru bekerja tanpa henti, suara sutradara memandu lewat pengeras suara, kamera besar berputar di atas dolly, dan aktor-aktor menunggu giliran mereka di kursi panjang. Udara dalam ruangan yang dipenuhi lampu sorot terasa panas dan pengap, membuat keringat mudah menempel di dahi.Elena berdiri di samping Gerald, memperhatikan jalannya syuting dengan mata penuh konsentrasi. Ia mencoba memahami dinamika di balik layar—bagaimana setiap kru bekerja, bagaimana timing diatur dengan cermat, dan bagaimana satu adegan bisa memakan waktu begitu lama untuk diambil sempurna.Namun, Gerald yang berdiri sedikit lebih dekat dari seharusnya tidak hanya memperhatikan jalannya syuting. Ia lebih sering melirik Elena. Dari cara istrinya sesekali mengibaskan tangan ke leher, hingga gerakan kecilnya mengelap keringat dengan tisu. Ia tahu Elena tidak terbiasa berada di ruangan panas penuh lampu seperti ini.Gerald mendekat, suaranya rendah. “Kamu kepanasan?”Elena men
Pagi itu, setelah sarapan sederhana dan Elena menyerahkan agendanya kepada Rani, mereka berdua melangkah keluar apartemen. Mobil hitam dengan sopir pribadi sudah menunggu di depan. Gerald membuka pintu, mempersilakan Elena masuk lebih dulu sebelum ia menyusul.Di dalam mobil, suasana cukup tenang. Jakarta sudah mulai padat, suara klakson dan riuh lalu lintas terdengar dari balik kaca mobil yang tertutup rapat. Elena menatap keluar jendela, memperhatikan deretan gedung tinggi yang berjejer, sementara Gerald sesekali melirik istrinya dengan senyum kecil.“Apa kamu gugup?” tanya Gerald tiba-tiba.Elena menoleh. “Gugup? Untuk apa?”“Untuk datang ke lokasi syuting. Kamu tahu, ini bukan hanya sekadar menonton. Sebagai Co-Producer, semua orang akan melihatmu sebagai bagian penting dari proyek ini. Mereka akan memperhatikan.”Elena menarik napas, lalu menghela pelan. “Aku tidak terbiasa dengan sorotan semacam itu. Aku lebih nyaman mengurus televisi, rapat di ruang meeting, bukan berdiri di te
Kamar apartemen itu terasa tenang. Lampu kamar dipasang dalam mode redup, memberikan cahaya lembut kekuningan yang membuat suasana terasa damai. Tirai sudah tertutup rapat, menyingkirkan keramaian kota Jakarta di luar. Di atas meja nakas, segelas air putih dan buku yang terbuka separuh halaman tergeletak, seakan menunggu untuk dibaca kembali.Gerald duduk di tepi ranjang, masih mengenakan kemeja rumah abu-abu muda yang tadi ia kenakan setelah mandi. Rambutnya sudah kering, meski sedikit acak karena ia mengusapnya dengan handuk seadanya. Namun, matanya tak lepas dari pintu kamar mandi yang tertutup. Ia mendengar suara air berhenti, lalu bunyi pintu berderit pelan.Elena keluar, tubuhnya dibalut piyama satin berwarna biru muda. Rambut panjangnya masih basah, menjuntai di bahu dan punggung, meneteskan air ke kain tipis yang ia kenakan. Wajahnya bersih tanpa riasan, terlihat segar dan alami. Sebenarnya, ia tampak lebih cantik dalam kesederhanaan itu.Elena berjalan menuju meja rias, menga
Gerald keluar dari kamar dengan kemeja rumah berwarna abu-abu muda dan celana panjang santai. Rambutnya masih agak basah, sebagian meneteskan air, membuat wajahnya tampak lebih segar. Ia mengusap lehernya dengan handuk kecil sambil melangkah ke ruang makan.Elena sudah menata meja. Sup ayam bening mengepul di mangkuk besar, ikan bakar tersaji dengan sambal kecap dan irisan cabai merah, serta sayur jagung manis yang tampak segar. Nasi hangat di dalam penanak masih mengeluarkan aroma gurih. Di sisi meja, ia menaruh dua gelas air putih dan segelas teh manis hangat untuk Gerald.Saat Gerald muncul, Elena menoleh. Sekilas matanya menangkap perubahan sosok pria itu—lebih santai, lebih hangat, tidak lagi penuh bayangan kerja seperti biasanya. “Sudah segar?” tanyanya, mencoba terdengar biasa.Gerald mendekat, senyumnya tulus. “Segar sekali. Tapi lebih segar lagi karena tahu kamu sudah menyiapkan ini semua.” Ia menarik kursi, tapi sebelum duduk, ia menatap Elena sebentar, lalu—dengan spontan—m
Pintu apartemen itu terbuka dengan suara klik yang pelan. Dari luar, lorong sudah lengang, hanya cahaya lampu kuning pucat yang menemani kepulangan Gerald malam itu. Begitu melangkah masuk, ia langsung disambut aroma harum masakan yang memenuhi ruang tamu. Bukan wangi parfum, bukan juga wangi minuman mahal, melainkan aroma sederhana—bawang putih yang ditumis, daging yang dipanggang, dan sayuran rebus yang menebarkan rasa nyaman.Gerald berdiri sejenak di ambang pintu, menghirup dalam-dalam aroma itu, seakan ingin menyerap semuanya ke dalam dada. Rumah… ini rumahku, batinnya. Bukan sekadar apartemen mewah dengan perabotan mahal, tapi ruang yang kini dipenuhi jejak seorang perempuan bernama Elena—istrinya, rumahnya.“Sayang…” Suara Gerald pelan, nyaris berbisik, seakan takut mengganggu harmoni yang sudah tercipta di dalam.Dari arah dapur, terdengar suara sendok beradu dengan panci, lalu langkah kaki yang ringan. Elena muncul dengan celemek bunga terikat di pinggang, rambutnya dikuncir
Hari itu, cahaya matahari menembus kaca tinggi gedung Mahatma Entertainment, menyoroti ruangan megah di lantai atas yang selama ini menjadi pusat kendali salah satu raksasa perfilman terbesar di negeri itu. Dinding kaca setinggi langit-langit memberikan panorama kota Jakarta yang sibuk; deretan gedung pencakar langit berkilau diterpa matahari pagi.Ruangan Gerald, CEO Maha Pictures—anak perusahaan paling prestisius Mahatma Entertainment—tampak lebih hangat dari biasanya. Sofa kulit cokelat yang baru dipindahkan ke sisi ruangan menambah kesan nyaman, sementara meja kayu mahoni besar di tengah ruangan tampak berkilau setelah dipoles ulang. Tetapi ada satu benda baru yang menjadi pusat perhatian: sebuah bingkai foto pernikahan, berukuran sedang, berdiri tegak di meja kerja.Foto itu menampilkan Gerald dalam balutan jas hitam klasik, berdampingan dengan Elena dalam gaun putih sederhana namun anggun. Tidak ada senyum lebar di sana, hanya senyum tipis. Tapi sorot mata keduanya jelas menunju