Pintu apartemen itu terbuka dengan suara klik yang pelan. Dari luar, lorong sudah lengang, hanya cahaya lampu kuning pucat yang menemani kepulangan Gerald malam itu. Begitu melangkah masuk, ia langsung disambut aroma harum masakan yang memenuhi ruang tamu. Bukan wangi parfum, bukan juga wangi minuman mahal, melainkan aroma sederhana—bawang putih yang ditumis, daging yang dipanggang, dan sayuran rebus yang menebarkan rasa nyaman.Gerald berdiri sejenak di ambang pintu, menghirup dalam-dalam aroma itu, seakan ingin menyerap semuanya ke dalam dada. Rumah… ini rumahku, batinnya. Bukan sekadar apartemen mewah dengan perabotan mahal, tapi ruang yang kini dipenuhi jejak seorang perempuan bernama Elena—istrinya, rumahnya.“Sayang…” Suara Gerald pelan, nyaris berbisik, seakan takut mengganggu harmoni yang sudah tercipta di dalam.Dari arah dapur, terdengar suara sendok beradu dengan panci, lalu langkah kaki yang ringan. Elena muncul dengan celemek bunga terikat di pinggang, rambutnya dikuncir
Hari itu, cahaya matahari menembus kaca tinggi gedung Mahatma Entertainment, menyoroti ruangan megah di lantai atas yang selama ini menjadi pusat kendali salah satu raksasa perfilman terbesar di negeri itu. Dinding kaca setinggi langit-langit memberikan panorama kota Jakarta yang sibuk; deretan gedung pencakar langit berkilau diterpa matahari pagi.Ruangan Gerald, CEO Maha Pictures—anak perusahaan paling prestisius Mahatma Entertainment—tampak lebih hangat dari biasanya. Sofa kulit cokelat yang baru dipindahkan ke sisi ruangan menambah kesan nyaman, sementara meja kayu mahoni besar di tengah ruangan tampak berkilau setelah dipoles ulang. Tetapi ada satu benda baru yang menjadi pusat perhatian: sebuah bingkai foto pernikahan, berukuran sedang, berdiri tegak di meja kerja.Foto itu menampilkan Gerald dalam balutan jas hitam klasik, berdampingan dengan Elena dalam gaun putih sederhana namun anggun. Tidak ada senyum lebar di sana, hanya senyum tipis. Tapi sorot mata keduanya jelas menunju
Elena duduk berhadapan dengan Gerald, mencoba menjaga jarak seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Namun dari cara Gerald memandangnya, jelas pria itu masih memikirkan momen-momen singkat di kamar tadi.Gerald mengambil garpu, memotong pancake, lalu menatap Elena sambil mengunyah perlahan. “Hmm… enak.”“Habiskan,” balas Elena singkat, menatap piringnya sendiri.Gerald tersenyum samar. “Aku pasti akan habiskan. Pancake ini terlalu sayang kalau dilewatkan.”Elena menunduk, menyembunyikan senyum kecil yang terbit tanpa ia sadari. Ia sibuk menuang madu ke atas pancake miliknya, menatap cairan keemasan yang menetes perlahan, pura-pura tak peduli pada tatapan pria di depannya.Gerald memperhatikan gerakan itu, bahkan caranya menuang madu pun membuat matanya berbinar. Ada kelembutan dalam setiap gestur Elena, hal-hal kecil yang tak pernah ia sadari dulu.“Bagaimana jadwalmu hari ini?” tanya Gerald, kali ini dengan nada lebih serius.Elena mengangkat wajah, mengunyah potongan kecil pancake
Dapur rumah itu dipenuhi aroma manis sejak pagi. Wangi adonan yang dipanggang di atas teflon perlahan bercampur dengan aroma kopi hitam yang baru saja menetes dari mesin pembuat kopi di sudut meja. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar, menyoroti meja dapur yang tertata rapi, sementara kursi tinggi di sisi pulau dapur tampak kosong, menunggu pemiliknya duduk.Elena berdiri di depan kompor dengan celemek krem membungkus gaun kerja sederhananya. Rambut hitamnya ia ikat setengah, sisanya jatuh bebas di bahu. Tangan mungilnya sibuk menuang adonan ke atas pan datar, memperhatikan bulatan pancake yang mulai menggelembung dengan hati-hati. Sesekali ia membalik dengan spatula, memastikan permukaannya berwarna cokelat keemasan yang cantik.Wajahnya masih menyimpan sisa rona merah dari adegan di kamar tadi. Setiap kali ingatan itu muncul—bibinya menyentuh pipi Gerald, lalu ciuman cepat yang pria itu curi—jantungnya kembali berdebar tanpa kendali. Ia mencoba mengalihkan pikiran. Menyiapkan
Elena menutup pintu kamar mandi dengan cepat, lalu bersandar pada daun pintu yang dingin. Kedua tangannya menutupi wajah yang terasa panas seperti bara. “Ya Tuhan…” gumamnya lirih, suaranya hampir pecah. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, melihat pipi merah merona yang tak bisa disembunyikan.“Kenapa aku… melakukan itu?” bisiknya lagi, lebih pada dirinya sendiri. Hatinya berdebar kencang, mengingat bagaimana bibirnya benar-benar menyentuh pipi Gerald meski hanya sekilas. Itu mungkin hanya ciuman kecil, singkat, tapi bagi Elena… rasanya seperti melompati jurang besar. Jurang yang selama ini ia takuti untuk diseberangi.Ia memercikkan air dingin ke wajah, berharap rasa panas itu sedikit reda. Namun semakin ia mencoba menenangkan diri, semakin jelas pula bayangan wajah Gerald yang terlintas di kepalanya—mata hitamnya yang memandang penuh kepuasan, senyum kecilnya yang begitu percaya diri, dan suara beratnya yang menantang agar ia mencium.Elena menutup mata erat-erat, mencoba mengusir
Fajar baru saja menyentuh jendela kamar mereka ketika Elena terbangun lebih dulu. Cahaya matahari masih lembut, menembus tirai tipis warna gading, memercikkan kilau keemasan ke dalam ruangan yang masih dipenuhi aroma samar teh hijau dari malam sebelumnya. Suasana hening, hanya terdengar desiran AC yang bekerja lembut, membuat udara di kamar terasa sejuk dan nyaman.Elena mengerjap perlahan, matanya beradaptasi dengan cahaya samar yang masuk. Ia sadar, tubuhnya berada dalam dekapan erat Gerald. Lengan pria itu melingkar kokoh di pinggangnya, menariknya begitu dekat hingga ia bisa mendengar detak jantungnya yang stabil. Kehangatan tubuh Gerald berpindah ke tubuhnya, seolah menjadi selimut yang jauh lebih lembut daripada kain apa pun.Awalnya, Elena hanya berniat bergeser pelan, tapi kemudian pandangannya jatuh pada wajah Gerald. Dan entah bagaimana, matanya enggan berpaling.Gerald tertidur dengan damai. Wajahnya tampak jauh lebih lembut dibanding ketika ia terjaga, ketika tatapannya ta