Reiner lantas menghentikan langkahnya. “Sudah kubilang, aku bisa melakukan apapun untuk mendapatkan keinginanku.” Lalu kembali berjalan. Tetapi lagi-lagi langkahnya terhenti oleh seruan John di belakangnya.
“Baiklah. Aku akan memberi tahu siapa yang sudah menyuruhku,” ujar John pada akhirnya.
“Syaratnya berikan aku uang tiga kali lipat dari yang diberikan orang itu padaku. Maka aku akan menyerahkan semua bukti. Ada rekaman CCTV, dan percakapanku dengan dia di telepon maupun pesan singkat.”
“Deal!”
**
“Ternyata, dugaanku salah?” Reiner menahan tawa, menertawakan diri sendiri yang telah salah menduga. “Kukira Alvin, ternyata ada di luar dugaanku.”
“Apa kita akan ke sana sekarang dan memberi dia pelajaran?” Mike melirik Reine
“Gimana keadaanmu sekarang, Jasmine” tanya Evano.“Sudah baikan. Aku boleh pulang siang ini.”“Syukurlah. Aku sempat khawatir kemarin saat dengar kamu harus dilarikan ke rumah sakit.”Jasmine tersenyum tipis. “Terima kasih sudah menjengukku, Van.”Kemudian meletakkan bunga pemberian Evano di atas rak, bahkan di sana sudah ada beberapa ikat bunga pemberian ibu mertua, Feli dan Kanaya yang datang silih berganti tadi pagi.“Di mana attitude-mu, Van? Memberi bunga pada istri orang lain di depan suaminya sendiri?” berang Reiner tidak suka.“Reiner ... Evano cuma mau menjengukku saja. Kamu jangan verlebihan begitu ah.” Jasmine berusaha menenangkan Reiner. Dia tahu suminya itu pasti akan meradang setelah melihat dia menerima bunga dari Evano
Reiner mengernyitkan dahi ketika samar-samar dia mendengar ponselnya bergetar cukup lama. Tanpa membuka mata, Reiner menjulurkan tangannya untuk meraih ponsel dari rak di samping ranjang.“Ada apa? Kalau tidak ada hal penting yang ingin kamu bicarakan, gajimu akan kupotong. Pagi-pagi kamu sudah menggangguku,” desis Xavir setengah berbisik begitu mengangkat panggilan telepon dari Bayu.Reiner kesal. Untuk apa pagi-pagi begini menelepon? Bayu hampir saja membuat Jasmine terbangun dari tidur lelapnya.“I-iya maafkan saya, Pak. Saya Cuma mau kasih tahu terkait kejadian di restoran itu,” ujar Bayu takut-takut dari seberang.Mata Reiner sontak terbuka nyalang. “Katakan padaku, apa yang kamu temukan?”“Kejadiannya ternyata memang disengaja, Pak. Saya sudah datang menemui pengelola restoran dan meminta rekaman CCTV. Ternyata ada seorang pelayan yang sengaja mengunci pintu toilet, dan membuat lampu di toilet seolah-
“Sebenarnya Jasmine kenapa, Kak? Apa dia punya trauma dengan ruangan sempit atau ....”“Dia phobia gelap, Nay.”Leica dan Kanaya sontak terkejut mendengar fakta yang baru kali ini mereka ketahui.“Jasmine tidak boleh terlalu lama ada di ruangan gelap, atau akibatnya akan seperti ini.” Telapak tangan Reiner mengelus-elus puncak kepala Jasmine dalam posisi berdirinya di samping Leica.“Maafkan Mama. Seharusnya Mama menemani Jasmine tadi kalau tahu akan begini.” Leica menatap Jasmine dengan tatapan nanar.“Bukan salah Mama,” ralat Reiner, “Mama tidak perlu menyalahkan diri sendiri, kalau Jasmine tahu, dia pasti tidak akan suka.”Ya, satu hal yang paling menonjol dalam diri Jasmine adalah perasaannya yang lembut dan kebaikan hatinya. Reiner menyesal karena dulu telah menyia-nyiakan wanita sebaik Jasmine.“Toiletnya terkunci dan lampunya mati?” tanya Reiner
Reiner mengusap wajahnya dengan kasar. Dia benci situasi seperti ini, sungguh. Di satu sisi, perasaannya pada Jasmine telah berkembang.Dan Jasmine adalah istrinya, ibu dari anak-anaknya. Tapi di sisi lain, Reiner merasa bersalah pada Nadira.“Kamu lihat itu, Reiner?!”Reiner mengikuti arah telunjuk Nadira ke salah satu sudut ruangan. Di sana menumpuk barang-barang milik Nadira pemberian dari Reiner.Tas, parfum, pakaian, sepatu bahkan beberapa foto dalam bingkai kecil hingga besar. Semua itu adalah Reiner yang memberikannya sewaktu mereka sering mengunjungi negara lain bersama-sama.“Miniatur drum itu ... kamu ingat janji yang kamu ucapkan sebelum kamu benar-benar pergi meninggalkan panti asuhan dulu?” Nadira mengelap air matanya dengan punggung tangan. “Kamu janji akan selalu melindungiku! Tapi sekarang apa buktinya?”Reiner menatap Nadira dengan sorot mata lelahnya. Semua yang Nadira katakan adalah bena
Jasmine menggedor pintunya sembari berteriak meminta tolong. Namun, detik demi detik berlalu, tubuhnya seketika melemas, tarikan napasnya semakin lama semakin pendek.Bayangan itu kembali muncul berkelebat di depan mata Jasmine, membuat dadanya kian sesak. Tangannya yang menggedor pintu perlahan melemah.Hingga yang bisa Jasmine lakukan saat ini hanya memanggil nama Reiner dalam suara lirihnya.Sekali lagi Leica mengecek arlojinya. Sudah lima belas menit berlalu sejak kepergian Jasmine ke toilet. Tetapi sampai saat ini menantunya itu tak kunjung kembali.“Apa dia baik-baik saja?” gumam Leica yang mulai merasa khawatirLeica tidak bisa menghubungi Jasmine. Sebab sejak peristiwa teror itu Jasmine belum berani memegang ponsel sampai sekarang.Diam pun Leica merasa tidak enak hati. Dia akhirnya memutuskan untuk bangkit, lalu menyusul Jasmine ke toilet.Begitu Leica tiba di depan toilet yang lumayan agak jauh dari tempatnya dud
Kedua tangan Reiner memegangi bahu Jasmine sembari menatap matanya lekat. “Sekarang kita sudah tahu siapa orangnya, Jasmine. Aku janji, tidak akan melepaskan dia. Akan kubuat orang ini menyesal karena telah mengganggu kamu.”Jasmine mengangguk samar. Sudah seharusnya dia percaya danmenyerahkannya pada Reiner. “Tapi kamu harus hati-hati, Jangan sampai membahayakan diri kamu sendiri.”Reiner tersenyum. Dia menangkup kedua pipi Jasmine lalu memagut bibirnya dengan lembut. Meski singkat, tapi berhasil membuat Jasmine terdistraksi.“Kamu jangan mengkhawatirkanku, aku bisa menjaga diri, Jasmine. Kamu pikirkan saja anak-anak kita, ya?” ujar Reiner setelah tautan bibir mereka terlepas.Lagi-lagi Jasmine mengangguk. “Mau kusiapkan air hangat?”“Tunggu dulu sebentar, ada y