Jasmine mengatur napas sembari mengelus perutnya. Sebesar apapun keinginannya untuk menangis dan menumpahkan semua emosinya, Jasmine berusaha tetap tenang. Walau akhirnya sia-sia.
Ketika Jasmine sibuk dengan perasaannya, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan rumah. Lalu Evano turun dari sana dan segera mengetuk pintu, sebelum akhirnya menghampiri Jasmine yang tengah duduk di ruang tamu.
“Jasmine kamu baik-baik saja?” Evano terlihat khawatir. Kemudian duduk di samping Jasmine.
“Van? Ada apa?” Jasmine menyembunyikan kekalutannya dalam senyuman tipisnya. “Mau ketemu Reiner?”
“Aku sengaja ke sini untuk menemui kamu. Dan memastikan keadaan kamu baik-baik saja.”
“Apa ... kamu sudah tahu rumor yang sedang beredar sekarang?” Jasmine bertanya ragu. Dan diamnya Evano menjadi bukti bahwa pria itu sudah tahu segalanya.
“Aku baik-baik saja,” kilah Jasmine, “tapi bagaimana de
“Nad?” Sarah mengguncang tubuh Nadira yang tengah tertidur. “Nadira?!”“Hmm ... apaan sih, Sar?”“Heh! Lihat itu! Reiner sedang konferensi pers. Kamu tidak penasaran memangnya?”Mendengar nama Reiner, Nadira sontak terlonjak kaget kemudian duduk di samping Sarah. “Sejak kapan?”“Baru.”Nadira meraih remote TV dan meninggikan volume-nya agar bisa mendengar suara Reiner dengan jelas.“Apa istri Reiner benar-benar wanita penghibur, Nad?”Nadira mengedikkan bahu. “Reiner pernah bilang kalau perempuan itu memang bekerja di tempat karaoke. Tapi aku malas membahasnya.”“Cemburu nih?” goda Sarah.“Yeah ... kamu tahu hubunganku dengan Reiner dulu seperti apa. Wajar aku cemburu, ‘kan?”Sarah hanya menanggapi dengan kekehan kecil. Tapi jauh di dalam hati, Sarah tidak setuju dengan cemburunya Nadira. B
Jemari Jasmine memegangi ujung kemeja yang dikenakan Reiner, membuat pria itu tertegun melihatnya. Baru kali ini Jasmine menunjukkan kelemahannya dan ketakutannya di depan Reiner seperti ini.“Aku sudah dengar semuanya dari Mama.” Reiner memeluk Jasmine. “Kamu jangan takut ya. Ada aku yang akan melindungi kamu. Peneror itu cuma ingin membuat kamu takut, Jasmine. Mereka akan senang kalau kamu takut begini.”Jasmine mengangguk. Mendengarkan detak jantung Reiner yang berirama konstan, membuat Jasmine merasa nyaman dan tenang.Ya, seharusnya Jasmine tidak perlu takut. Ada Reiner di sampingnya. Perkara hidup atau mati, semua sudah digariskan.“Reiner, gimana tadi konferensi persnya? Lancar-lancar saja, ‘kan?” Jasmine mendongak menatap pria itu penuh tanya.Reiner mendecakkan lida
Siang itu Jasmine menghabiskan waktu di kebun bunga di belakang rumah. Dia berusaha untuk tidak menonton televisi, atau menyalakanInternet seperti kemarin. Jasmine perlu menenangkan diri.Selain di kebun bunga, Jasmine juga menghabiskan waktunya untuk membaca buku di perpustakaan. Baru setelah itu dia kembali kekamar untuk tidur siang sebelum ibu mertuanya datang.Ting!Ponsel Jasmine berdenting. Tangan Jasmine kemudian terjulur, mengambil ponselnya dari atas nakas.“Hm? Nomor siapa ini?” gumam Jasmine ketika dia mendapati nomor tidak dikenal yang mengiriminya pesan.Jasmine penasaran. Kemudian dibukanya pesan tersebut.[MATI SAJA KAMU! PEREMPUAN JALANG! MURAHAN! KAMU PANTAS MATI!]Tangan Jasmine yang memegangi ponsel mendadak gemetar usai membaca isi pesan tersebut.
Usai Reiner mandi dua puluh menit kemudian, keduanya makan malam bersama di meja makan. Baru setelah itu mereka masuk kembali ke kamar dengan posisi yang sudah siap tidur.Reiner membawa kepala Jasmine agar rebah di dadanya. “Jadi ceritakan sekarang, apa yang membuatmu menangis?” tanyanya sembari memijit pelan pinggang Jasmine.“Reiner ... kenapa kamu menyembunyikannya dariku?”“Maksudmu? Menyembunyikan apa?”“Rumor tentang kita.”Wajah Reiner mendadak berubah menegang. “Dari mana kamu tahu?”“Jadi itu alasannya kamu melarangku menonton televisi dan menggunakan internet?”Sungguh, Jasmine ingin marah karena Reiner memendam masalahnya sendirian. Tapi Jasmine tidak maukemarahannya membuat beban Reiner semakin bertambah.Reiner menghela napas panjang. Tidak ada gunanya lagi dia mengelak. Dia menghirup dalam-dalam aroma floral pada rambut Jasmine, lalu mengecup
Jasmine mengatur napas sembari mengelus perutnya. Sebesar apapun keinginannya untuk menangis dan menumpahkan semua emosinya, Jasmine berusaha tetap tenang. Walau akhirnya sia-sia.Ketika Jasmine sibuk dengan perasaannya, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan rumah. Lalu Evano turun dari sana dan segera mengetuk pintu, sebelum akhirnya menghampiri Jasmine yang tengah duduk di ruang tamu.“Jasmine kamu baik-baik saja?” Evano terlihat khawatir. Kemudian duduk di samping Jasmine.“Van? Ada apa?” Jasmine menyembunyikan kekalutannya dalam senyuman tipisnya. “Mau ketemu Reiner?”“Aku sengaja ke sini untuk menemui kamu. Dan memastikan keadaan kamu baik-baik saja.”“Apa ... kamu sudah tahu rumor yang sedang beredar sekarang?” Jasmine bertanya ragu. Dan diamnya Evano menjadi bukti bahwa pria itu sudah tahu segalanya.“Aku baik-baik saja,” kilah Jasmine, “tapi bagaimana de
Reiner menggerakkan ibu jarinya pada bibir Jasmine dengan memberi sedikit tekanan. “Dan wanita yang kubenci ini sudah membuatku gila. Aku mencandui tubuhnya, aku juga selalu rindu dan tersiksa setiap kali kita jauh.”“Reiner ….”“Ssstt!” Reiner merunduk, lalu melumat bibir Jasmine penuh kelembutan. Tidak lama. Tapi cukup membuat Jasmine terbuai. “Kamu sudah mengerti perasaanku sekarang?”Jasmine terdiam sesaat. Benarkah Reiner mencintainya? Dilihat dari sudut manapun rasanya hal itu sangat mustahil.Bagaimana bisa seorang Reiner jatuh cinta pada wanita seperti dirinya? Jasmine berpikir dengan keras, sepertinya cinta memang benar-benar membuat manusia kehilangan akal sehatnya. Seperti Reiner contohnya.Jasmine tidak ingin percaya, sungguh. Tapi mendengar pengakuan Reiner yang terdengar tulus, entah kenapa Jasmine langsung percaya pada pria ini.“Iya, aku mengerti,” ucap Jasmin