Odelina meminta pelayan untuk membantu melayani Shella dan suaminya. Olivia pun turut membantu kakaknya. Sambil mencari kesempatan, Olivia bertanya pelan, "Shella datang tanpa diundang atau kamu yang undang, Kak?""Nggak diundang," jawab Odelina dengan nada datar. "Sudahlah, toh mereka sudah datang. Aku nggak mau usir mereka demi Russel."Kata Odelina, seorang wanita harus bisa memilih pasangan dengan bijak ketika hendak menjalani pernikahan. Jangan sampai seperti dirinya yang terjebak menikahi orang yang salah sehingga anaknya pun ikut terbebani memiliki keluarga yang seperti itu."Kak, pas Shella kasih amplop itu, kelihatan banget dia nggak rela, loh,” kata Olivia sambil tertawa kecil. "Melihat ekspresi kesalnya itu, aku jadi ingin tertawa. Dia pasti mikir kamu nggak akan terima amplopnya," sambung Olivia.Odelina tersenyum tipis, "Itu amplop dari kakek nenek Russel. Shella sendiri sih nggak mengeluarkan uang sedikit pun. Isinya sepuluh juta. Shella ‘kan pelit, suka sekali mengambil
Setelah berpikir sejenak, Odelina berkata, "Untuk sekarang kayaknya mereka nggak akan berbuat apa-apa. Tapi di masa depan, kita nggak pernah tahu. Kita akan mendidik Russel sebaik mungkin. Biar dia sendiri yang nantinya membuat keputusan. Lagipula, ayahnya sudah memberikan nafkah, aku nggak akan melarang dia untuk berhubungan dengan keluarga Pamungkas.""Kak, kita nggak usah membicarakan itu lagi. Hari ini restoranmu baru buka, kita harus menikmati hari ini agar usahanya lancar," kata Olivia mencoba mengalihkan pembicaraan.Odelina tersenyum, "Semoga kata-katamu membawa keberuntungan, mudah-mudahan restoran ini ramai pengunjung." Odelina sangat yakin dengan filosofi bisnis dan keahlian memasaknya.Seorang pelayan mendekat bersama seorang pria yang tidak dikenal. "Bu Odelina, pria ini ingin sekali bertemu dengan Anda. Dia bilang datang dari Cianter."Dari Cianter? Olivia dan Odelina memandang pria tersebut. Pria itu sopan mengulurkan tangan kanannya kepada Odelina. Setelah berjabat tan
Odelina berkata, “Bantu aku sampaikan terima kasih pada dia.”Pada akhirnya Odelina mengulurkan tangannya dan menerima amplop yang diberikan oleh orang tersebut. Ketika dia pergi ke Cianter lagi, Odelina akan secara pribadi mengembalikan kartu tersebut pada Felicia.“Aku akan sampaikan ucapan Bu Odelina pada beliau. Bu, tugasku sudah selesai dan aku pamit undur diri. Semoga usaha Bu Odelina akan lancar dan sukses terus.”“Pak Vandi mau tinggal untuk makan bersama?”Lelaki itu hanya tersenyum dan berkata, “Bu Odelina tahu sendiri jika sifat Bu Felicia nggak sabar. Aku tidak bisa berlama-lama. Semoga Bu Odelina mengerti,” ujar Vandi. Setelah itu dia mengangguk pada Olivia dan melambaikan tangannya sebelum berbalik pergi.Melihat punggung lelaki itu yang menjauh dengan langkah yakin dan pasti. Bisa terlihat jika Felicia sangat percaya padanya karena meminta lelaki itu yang datang kemari.“Dia kepercayaan Felicia, ya?”Dengan perlahan Odelina menjawab, “Nggak sesederhana orang kepercayaan
Odelina berjalan mendekati lelaki dewasa dan anak kecil itu yang terlihat seperti ayah dan anak. Dia tidak langsung memanggil kedua orang itu bangun, tetapi Odelina memandangi sekitar terlebih dahulu. Para karyawannya sudah membereskan semuanya ketika pulang kerja tadi. Saat ini keadaan restorannya sudah rapi.Hari ini adalah hari pertama pembukaan. Selain mengundang para teman dan keluarganya saja, ada cukup banyak orang yang datang untuk makan. Khusus untuk hari ini, Odelina akan memberikan diskon untuk para pelanggan yang datang serta memberikan sebuah hadiah kecil.Setelah menghitung omset hari ini, keuntungan yang dia dapatkan dari toko sarapannya jauh lebih banyak. Namun karena hari ini adalah hari pembukaan, banyak pula orang yang datang karena demi melihat para tamu yang datang.Odelina percaya bahwa restorannya ini pasti akan melebihi toko sarapannya yang dulu. Setelah satu tujuannya sudah tercapai, dia akan terus melangkah ke tujuannya yang lain.Perempuan itu menarik kursi d
Daniel langsung dengan refleks memeluk bocah dalam pelukannya dan membuka matanya dengan lebar. Melihat sosok yang ada di hadapannya adalah Odelina, lelaki itu menyungging senyum lebar dan bertanya, “Odelina, sudah selesai? Sudah boleh pulang? Russel sudah mengantuk, jadi aku gendong dia agar bisa tidur dulu. Tapi aku ikut ketiduran.”Odelina menarik tangannya yang tadi mengelus wajah Russel. Melihat itu membuat Daniel mengumpat dalam hati. Kenapa dia bisa lambat sekali bergerak? Seharusnya ketika Odelina menarik tangannya tadi, dia menangkap tangan perempuan itu dan memintanya menyentuh wajah Daniel.Selain itu kenapa dia begitu mudah tertidur? Siapa yang tahu Odelina akan diam-diam menciumnya ketika dia tidur tadi. Apakah masih sempat jika sekarang dia pura-pura tidur?“Sudah selesai. Jadi merepotkan Pak Daniel. Sudah malam begini masih harus bantu aku jagain Russel.”“Di antara kita jangan ada rasa sungkan. Aku senang sekali kalau Russel mau sama aku,” ujar Daniel.Dulu bahkan ketik
“Kamu memang suka masak, kamu ingin semua orang bisa makan enak tapi nggak mahal, atau mau perkembangan restoran kamu lebih maju lagi? Dalam hal mengelola restoran ini, kamu harus lebih tegas dan ada caramu sendiri. Jangan sampai pusatnya hancur, begitu hancur maka semuanya juga akan ikut hancur.”“Odelina, aku percaya kamu bisa sukses dan juga jangan buru-buru. Pelan-pelan saja, setiap langkah kita juga bisa dijadikan pelajaran dan pengalaman yang berharga,” ujar Daniel.Odelina mengangguk dan berkata, “Benar yang dikatakan Pak Daniel. Aku akan perlahan-lahan dan nggak terburu-buru. Dari pada nanti jatuh ke jurang dan aku sendiri yang rugi total.”Dia masih muda dan masih bisa berjuang delapan hingga sepuluh tahun. Odelina akan melihat keadaan dulu baru menentukan apakah akan membuka hotel berbintang. Setelah mendorong Daniel keluar dari restoran, Odelina menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan menutup pintu restoran.“Bu Odelina, biarkan saya saja,” ujar anak buah keluarga Lumanto
Hari ini satu anak buah yang lain izin karena ada urusan yang lain dan hanya sisa satu orang saja. Odelina khawatir lelaki itu tidak sanggup menopang Daniel. Anak buah tersebut tidak menolak.Dia dan Odelina bersama-sama membantu Daniel masuk dalam mobil. Setelah itu, Odelina memasangkan sabuk pengaman. Sedangkan anak buahnya mengangkat kursi roda dan meletakkannya di bagasi.Daniel menatap Odelina ketika perempuan itu memasangkan sabuk pengaman. Jarak mereka cukup dekat hingga membuat Daniel nyaris tidak bisa mengendalikan kedua tangannya. Dia ingin sekali memeluk perempuan itu. Namun, pada akhirnya dia tetap mengendalikan keinginannya.Sekarang Odelina semakin mirip dengan keluarganya. Jika dia gegabah, kemungkinan semua usahanya di awal akan sia-sia.“Pak Daniel, sebenarnya kalian nggak perlu mengantarku. Jaraknya nggak jauh.”Daniel menatapnya dalam-dalam dan berkata, “Aku nggak akan tenang kalau nggak melihat kalian berdua masuk rumah.”Setelah berpandangan sejenak dengan lelaki i
Odelina sebenarnya menolak Vila yang diberikan oleh Stefan dan Olivia padanya. Oleh karena itu, semua surat administrasi pemindahan nama masih belum bisa dibuat. Odelina juga tidak pernah pindah ke sana.Perempuan itu memilih diam. Melihat reaksi Odelina membuat anak buah tersebut tidak berani berkata-kata. Dia mengantarkan Odelina ke rumahnya dan menatap perempuan itu masuk, lelaki itu berkata,“Bu Odelina, ingat kunci pintunya. Saya pamit dulu.”“Baik, terima kasih. Hati-hati di jalan,” pesan Odelina.Dia meletakkan putranya di sofa dan berjalan keluar lagi. Setelah melihat anak buahnya Daniel sudah tidak ada, Odelina bergegas mengunci pintunya dan kembali ke sofa. Dia menggendong putranya masuk ke kamar.“Tidurnya pulas sekali. Masih belum mandi.” Odelina mencubit wajah mungil putranya tanpa memanggilnya bangun. Besok pagi saja baru memandikan Russel.“Russel.” Odelina membungkuk dan mengecup wajah mungil bocah itu.“Kamu sudah menderita karena ikut Mama. Harus ikut berangkat pagi d
“Terima kasih banyak atas perhatiannya, Non Yohanna. Nenekku sudah berumur 80 tahun lebih, tapi badannya masih segar bugar dan nggak masalah bepergian naik pesawat. Tapi masalahnya anggota keluargaku terlalu banyak, rasanya nggak enak kalau kami semua datang,” kata Ronny. “Atau begini saja, aku coba bilang ke mereka kalau tahun ini aku nggak pulang. Kurasa mereka pasti bisa mengerti.” Sebelum menginjakkan kaki di Aldimo, Ronny sudah memikirkan soal ini. Begitu pun dengan para senior di keluarga Adhitama yang juga sudah mempersiapkan diri andaikan Ronny tidak bisa pulang untuk melewati tahun baru bersama. Di tahun depan, Ronny berniat untuk membawa Yohanna ke pulang ke Mambera untuk mengurus pernikahan mereka. Nenek Sarah memberi waktu satu tahun kepada Rony dan saudara-saudaranya. selama mereka memperlakukan calon istri mereka dengan baik, satu tahun sudah cukup untuk meluluhkan hati seorang wanita. “Soal gaji kerja di libur tahun baru, Non Yohanna sesuaikan saja dengan hari kerjaku
Christian tidak bersuara saat dia ditendang oleh Tommy, tetapi raut wajahnya tidak bisa menutupi rasa sakitnya. Christian mengira Tommy memang ingin belajar,bukan karena paksaan dari kakaknya. Yohanna sangat tegas dalam mendidik mereka, bahkan lebih tegas dari guru-guru mereka di sekolah. Para senior di keluarga saja sampai tidak berani ikut campur ataupun berkomentar di hadapan Yohanna. Tommy melampiaskan kekecewaannya ke nafsu makan. Dia makan banyak sekali, sampai-sampai Yohanna harus menghentikannya karena khawatir akan sakit perut. Tommy sengaja ingin membuat diri sendiri kekenyangan sampai sakit perut, karena dengan begitu dia punya alasan untuk kabur dari tugasnya. Setelah makan, Yohanna berkata kepada Ronny, “Ronny, habis istirahat siang, kamu bikinin dessert untuk bocah-bocah, ya. Oh ya, sisain sedikit untuk Dira juga. Dia paling suka sama dessert buatan kamu. Nanti malam aku nggak makan di rumah, kamu bebas mau pulang atau tetap di sini. Oh ya, aku mau diskusi tentang jadw
Yohanna menyudahi percakapan dia dengan teman baiknya dan masuk ke ruang makan. Dua adik dan ibunya sudah duduk di tempat mereka masing-masing. Di depan mereka sudah tersedia semangkuk sup hangat yang menunggu untuk segera dinikmati. Di tempat duduk yang biasa Yohanna tempati juga sudah tersedia semangkuk sup, sama seperti yang diberikan untuk yang lain, yang disajikan langsung oleh Ronny. Setelah Ronny memanggil Yohanna untuk makan, dia langsung kembali ke dapur karena di dapur masih ada dua lauk lagi yang harus dia masak agar hidangannya lengkap. Seusai makan siang, Yohanna beristirahat sejenak karena sebentar lagi dia harus segera kembali ke kantor. Sejujurnya Ronny juga sedikit lelah, tetapi dia masih harus melayani tunangannya itu, dan baru bisa benar-benar beristirahat ketika Yohanna sudah berangkat kerja. Di malam harinya, jika Yohanna tidak makan di rumah, Ronny diberi kebebasan untuk bekerja atau terus beristirahat karena keluarga Pangestu masih memiliki koki yang lain untuk
“Bawa juga suami kamu biar dia nggak salah paham. Takutnya nanti dia pikir kamu datang ke rumahku untuk selingkuh.” “... oke. Aku bakal ajak dia juga. Aku mau lihat cowok kayak apa sih yang punya suara merdu begitu. Seharusnya nggak jelek, ‘kan?” Setelah sejenak terdiam, Yohanna membalas, “Kayaknya mending kamu nggak usah datang, deh. Takutnya kalau kamu datang dan ketemu dia, kamu bakal menyesal sudah menikah karena kamu sudah nggak bisa lagi ngejar-ngejar cowok ganteng.” “Wah, berarti dia pasti ganteng banget, nih. Aku jadi makin nggak sabar main ke rumah kamu. Bisa bikin kamu ngomong begitu berarti dia pasti punya muka yang menarik. Yohanna, kalau kamu sudah nggak mau pakai koki yang ini lagi, jangan lupa kabari aku, ya. Biar aku yang pakai dia. Selama ada koki ganteng di rumahku, aku nggak bakal pernah kelaparan lagi.” “Untuk sekarang, aku masih bisa makan masakannya dia, masih belum muak. Dia memang dari dulu hobinya memasak. Mungkin di zaman dulu dia sempat hidup jadi koki bu
Masalahnya, dengan harta dan kedudukan yang ketua kelas miliki sekarang pun, jarak antara dia dan Yohanna masih terlalu jauh. Yohanna berpikir sejenak dan menjawab, “Ketua kelas kita mukanya yang kayak gimana? Aku nggak ingat sama sekali.” Ketika masih bersekolah, ada banyak sekali kaum pria yang berusaha mendekati Yohanna, tetapi Yohanna sedikit pun tidak memiliki perasaan terhadap mereka. Jadi setiap hari dia hanya memasang wajah yang kaku dan dingin. Dari situ dia mendapat julukan “Ice Princess”, dan makin sedikit orang yang berani mendekatinya. Karena terlalu banyak pria yang menyukainya, Yohanna tidak ingat seperti apa wajah mereka semua. Itu karena Yohanna tahu, mereka bukanlah pria yang dia inginkan. Jadi tidak aneh jika Yohanna tidak ingat seperti apa paras ketua kelasnya. “... ketua kelas kita itu dianggap sebagai cowok terganteng di kelas. Masa kamu nggak ingat? Kita kan sekelas sama dia selama dua tahun, lho,” ujar Ruth. “Cowok yang sekelas sama aku selama dua tahun kan
“Sebentar lagi kan tahun baru, yang tua-tua setiap hari kerjanya telepon aku minta aku cepat pulang. Makanya sekarang aku sudah pulang.” Setelah Ruth menjawab pertanyaan Yohanna, sekarang gantian giliran dia yang bertanya, “Kamu kan baru pulang dari perjalanan bisnis, masa sudah langsung ke kantor lagi tanpa istirahat? Kamu terlalu keras kerjanya, kan kamu punya banyak adik-adik yang bisa bantu kamu. Bagi saja tugas kamu sebagian ke mereka. Jangan semuanya kamu tanggung sendiri. Nggak perlu bikin capek diri sendiri.” Ruth sangat memedulikan Yohanna. Mereka berdua adalah teman baik, tetapi semenak Yohanna mengambil alih bisnis keluarga, mereka jadi jarang bertemu karena Yohanna terlalu sibuk. Sering kali mereka hanya berhubungan melalui chat untuk tetap menjaga pertemanan. Untung saja mereka adalah teman sekelas sejak SD. dengan pertemanan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun, tentu tidak akan putus hanya karena Yohanna sibuk bekerja. Yohanna juga sering menjalin hubungan kerja
Yohanna harus membahas masalah pendidikan adiknya dengan kedua orang tuanya. Dia hanya punya satu adik kandung, jadi dia akan sangat mementingkan pendidikan adiknya. Sesibuk apa pun pekerjaan Yohanna, dia akan selalu meluangkan waktu untuk bertanya tentang kegiatan belajar adiknya. Apabila Tommy melakukan kesalahan dan malah dimanja oleh orang tuanya, maka Yohanna yang mau tidak mau harus memarahinya. Tidak peduli Tommy menangis atau merengek manja, kalau sampai Yohanna tahu adiknya bersalah, dia akan memberi pelajaran tegas agar kesalahan itu tidak terulang lagi. Lalu Yohanna juga akan menyuruh Tommy untuk menuliskan apa saja kesalahannya di atas kertas. Apabila orang tua atau om tante juga melindungi Tommy, mereka juga harus ikut menulis kesalahan mereka. Lihat saja siapa yang masih berani melindungi Tommy ketika dia berbuat kenakalan. Namun tentu Yohanna tidak akan menegur jika Tommy melakukan kenakalan kecil yang masih bisa diterima. Sebagai anak kecil, khususnya anak lelaki, waj
Yohanna spontan tersenyum mendengar ucapan manis adik-adiknya. “Berhubung kalian berdua sudah berbaik hati, kalau begitu aku panggil kakak-kakak yang lain untuk pergi belanja bareng. Siapkan dompet kalian, ya. Aku sudah lama nggak pergi belanja, lho. Kalau sudah pergi belanja nanti, apa pun yang aku suka langsung kubeli.” Kedua kakak beradik itu mengangguk, dan Tommy menyahut, “Biasanya Kak Yohanna sibuk kerja, jadi nggak ada salahnya sesekali belanja. Anggap saja waktu untuk bersantai.” Di antara semua anggota keluarga Pangestu, Yohanna memiliki pekerjaan yang paling sibuk dan paling melelahkan. Sejauh yang bisa Tommy ingat, dia tidak pernah satu kali pun melihat kakaknya pergi berbelanja atau pergi berlibur. Setiap hari dia harus bekerja di kantor, menemui klien, dan pergi dinas ke luar kota. Bahkan di akhir pekan pun Yohanna belum bisa bersantai. Terkadang dia masih harus menemani partner bisnis bermain golf, memancing atau berenang. Namun, hanya partner bisnis penting yang bisa
“Oke! Nanti aku beliin Kakak baju baru,” ucap Tommy. Tommy sama sekali tidak kekurangan uang saku. Ketika tahun baru tiba, para orang tua akan memberikan sejumlah uang yang dimasukkan ke dalam amplop merah. Sebagian yang itu Tommy serahkan kepada ibunya, dan sebagian lagi dia pakai sendiri untuk membeli barang apa pun yang dia inginkan. Dia juga sangat pandai dalam mencatat keuangannya, dia ingat untuk apa saja uangnya dipakai, atau barang-barang apa saja yang dia beli. Yohanna membungkukkan badannya sedikit dan mencubit pipi adiknya. Mata dan alisnya membentuk setengah lingkaran seperti sedang tersenyum. “Kamu belajar yang benar dan harus nurut sama aku saja aku sudah senang. Nggak perlu beliin aku baju baru. Aku punya uang untuk beli baju baru sendiri.” Di lemari baju Yohanna masih banyak baju baru yang bahkan belum sempat dia kenakan. Biasanya dia sehari-hari mengenakan jas kerja, dan hanya mengenakan pakaian santainya di akhir pekan atau ketika sedang beristirahat di rumah. Ibu