"Kenapa Ibu percaya omongannya Ilham sih?" Aku tidak nyaman duduk di kursi riasku yang ada di dalam kamar. Ibu dan beberapa saudara perempuan ibu juga ikut di dalam kamarku, rasanya pengap asli.
"Kenapa emang?" balik Ibu bertanya dengan nada ketusnya yang masih belum runtuh. Ibu terus mengawasiku setelah Ilham pulang ke rumahnya untuk bersiap menikah. "Apa masalahmu?" "Buk, Ilham itu sengklek. Ibu tau bedanya bercanda sama serius enggak sih?" tanyaku nelangsa. Pesimis aku dengan jawaban Ilham, mana mungkin Ilham sudi menikah mendadak kayak gini. Lagian, Ilham juga banyak bercandanya dari seriusnya. Enggak mungkin dia serius perkara begini juga. Ilham itu dari dulu paling seneng pacaran sama cewek bau kencur dan sekarang mau nikahi dia? kayak bukan Ilham saja ini. "Kowe iku dinikahi kok enggak ada roso syukur e?" sungut ibu kesal dengan perasaan pesimisku akan tindakan gegabah Ilham. "Bersyukur enggak jadi perawan tua," "Buk, Rin itu masih muda, enggak tua-tua banget," belaku untuk diriku sendiri. Mungkin di lingkungan rumah, perempuan seusiaku sudah menggendong anak, tapi aku masih sibuk mencari 'hilal' yang enggak pernah ada benernya. "Kenapa sih ibu enggak liat temen-temenku yang lainnya?" "Sek, temen-temenmu yang mana? Tia aja udah mau punya anak dua. Yakup aja sudah nikah, istrinya sudah hamil besar. Kamu gimana? Nyari laki aja enggak ada yang bener," oceh ibu yang membuatku merengut kesal mendengarnya, masa bandinginnya sama temen-temen sekolah SD-ku, maksudku itu ya temen kuliah gitu. "Mbak, gimana kalo enggak datang?" tanyaku pada Mbak Ami yang sedang duduk di sebelahku. Sumpah, aku cemas banget. Aku takut bakal jadi gagal kawin jilid dua. "Kamu ngomong apa sih?" balik Mbak Ami yang bertanya padaku, sebagai isyarat untuk tidak terlalu khawatir dengan Ilham. Ya Allah, masa aku jadi ... "SAH!" "SAH! ALHAMDULILLAH," Hening. Sah apa ya? "Sah apa?" tanyaku pada Mbak Ami bingung. Mbak Ami hanya mengangguk pelan sambil memelukku, mengucapkan selamat untuk kata 'Sah' yang sudah diserukan para lelaki di luar sana tadi. "Wes alhamdulillah," kata ibu yang membuatku semakin bingung. "Ilham sudah ucap ijab kabul, Rin," Mbak Ami menjelaskan karena wajahku yang kebingungan. "Kamu sibuk mikir calon suami tidak datang sampe tidak dengar dia sudah ucap ijab kabul," lanjutnya yang membantuku untuk berdiri dan merapikan kebaya putihku. "Ayo ketemu suamimu!" Ibu dan Mbak Ami membantu untuk berjalan keluar dari rumah, dimana Ilham sedang menungguku di luar. Dia memakai setelah hitam putih dengan jas hitam yang kukenal sekali jas pribadi dia, peci hitam yang bertengger di atas rambut klemisnya. "Ayah titip Rin. Tolong bimbing dia jadi istri yang sholeha." Ayah menyerahkan tanganku pada Ilham dan hanya dibalas dengan anggukan mahfum. Ayah tersenyum dan menepuk sekilas pundak Ilham. Aku bingung harus gimana sekarang? Aku beneran jadi istrinya Ilham? Beneran sudah nikah ini? "Hai, istriku," goda Ilham saat aku mencium punggung tangannya untuk pertama kalinya, mengusap pelan punggungku. "Dalem," ucapku canggung. Sumpah aku harus gimana bersikap kepada Ilham. "Cantiknya istriku ini," godanya lagi yang membantuku untuk duduk di sebelahnya saat ijab kabul. Kami saling menandatangani akte nikah dan memamerkan di depan para tamu yang datang. Dan jangan lupa dengan gaya sengklek Ilham, gimana dia dengan jumawa menunjukkan akte nikahnya. Beberapa para tamu memberikan kami ucapan selamat setelah acara ijab kabul dan tetek bengeknya. "Selamat ya sayang," Mama Annah datang menghampiriku, memelukku lembut sebelum aku sempat mencium punggungnya sebagai menantu. "Maaf ya, Tante," kataku menyesal. "Pasti kaget tiba-tiba Ilham nikahin Rin," Mama Annah hanya tersenyum, menggenggam tanganku, "Apa sih? Enggak juga kok, Rin. Meski awalnya iya kaget juga dengan permintaan Ilham," Omah mengusap lembut lenganku, "Yang penting kalian bisa menjalani rumah tangga dengan baik," "Doain kami dong, Omah," celetuk Ilham yang membuat terperanjat karena ulah nakal tangannya memeluk pinggangku. "Yo jelas didoain yang baik buat kalian," kata Omah melihat Ilham terlihat sumringah. Kami hanya bersiap-siap satu jam saja sebelum naik ke pelaminan, acara resepsi dimulai jam enam. Tentu saja yang paling lama bersiap adalah aku. "Ayo," Ilham membantuku berjalan naik ke panggung pelaminan, sudah banyak tamu yang datang sejak sore setelah acara ijab kabul. "Habis ini kayaknya temenku datang," kata Ilham yang membantuku untuk duduk sebentar di kursi singgasana semalamku. Kami berdua mulai diarahkan oleh fotografer untuk sesi pemotretan diselingi dengan foto bersama dengan para tamu, yang pengen-pengen aja mau foto. "Ham, itu temen-temenmu?" Aku melihat beberapa gerombolan tamu yang memakai setelan baju kantor khas. Kayaknya mereka sekalian datang kesini deh. "Pak Ilham, ganteng banget ya," goda temen kantor Ilham yang cewek, sengaja banget mereka duduk di meja paling depan dekat pelaminan. "Makasih. Kalian juga kucel, enggak enak diliat," sahut Ilham yang membuat temen kantornya yang barusan memujinya langsung cemberut. Emang itu mulut minta diketapel sama bakiak biar tau rasa. "Silakan dinikmati makanannya, ya," ucapku mengalihkan omongan sengklek Ilham pada tamunya sendiri itu. "Hey, bro!" Adit berjalan ke arah kami, memeluk Ilham dan menyalamiku. Adit ini teman Ilham sejak SMA, dan masih awet sampe kerja begini. "Selamat ya, Ham," ucap Adit menjabat tangan Ilham. "Rin, tau gak lo," "Tau apaan?" "Suamimu ini beneran sengklek," katanya yang menatapku seolah antusias. "Tau kok dia sengklek," "Kita semua kaget denger dia mau nikah hari ini," katanya. "Semua langsung dimasukin ke dalam satu grup, sekalian sama pacar-pacarnya," "Maksudnya gimana?" "Ya elah, dibikin pengumuman di satu grup WA sekalian isinya mantan-mantan pacarnya," ujar Adit yang membuatku menatap Ilham bingung, "Dia bilang gini, Rin, 'Buat kalian semua, sori hari ini gua mau nikah dan buat pacar-pacar gua, sori ya gua harus putusin lo semua sekarang. Gua enggak mau ada acara demo-demo dari kalian semua.'" Aku terdiam dan menatap Ilham tak habis pikir dengan tingkahnya yang ajaib itu. "Gua enggak mau ada adegan 'mawar ditangan, melati dipelukan', Rin," belanya untuk dirinya sendiri dengan cengiran tak berdosa itu. Adit terpingkal melihat kami berdua, apalgi Ilham. "Parah lo, ya," kataku tak habis pikir dengan Ilham ini. "Udahlah. mending kita foto aja." Dia mencoba mengalihkan pembicaraan, enggak mau aku semakin mengomel. "Bang, ini nanti fotonya kasih hastag #PerjakaTuaDitinggalKawin," pinta Ilham yang membuat kami berdua melongo —aku dan Adit, tentunya. "Kalo suami gua kasih hastag #RIPPerjaka," timpalku yang membuat beberapa tamu yang memperhatikan kami tertawa. "Tunggu-tunggu, istri gua ini kasih hastag juga #BatalPerawanTua." Aku langsung mencubit lengan Ilham kesal. "Eh, ini namanya KDRT," "Bodo amat. Bikin kesel aja," kataku yang malah mendapat pelukan erat dari Ilham. Lupakan Adit yang berdiri mojok dari kita, bak pemeran figuran yang ada di sinetron. "Cieelah yang pengantin baru dadakan, enggak buntingkan lo, Rin?" "Enak aja," sungutku yang membuat Adit menjerit kesakitan akibat cubitan mautku pada pinggangnya. "Aduh, itu tangan apa tang sih, ya?" keluhnya. "Bodo amat. Awas lo bilang gua bunting lagi." "Belum gua unboxing, Dit. Nanti malam," katanya sambil mengangkat kedua alisnya padaku. Itu kode buat malam pertama, ya? Unboxing ya?"Kenapa Ibu percaya omongannya Ilham sih?" Aku tidak nyaman duduk di kursi riasku yang ada di dalam kamar. Ibu dan beberapa saudara perempuan ibu juga ikut di dalam kamarku, rasanya pengap asli. "Kenapa emang?" balik Ibu bertanya dengan nada ketusnya yang masih belum runtuh. Ibu terus mengawasiku setelah Ilham pulang ke rumahnya untuk bersiap menikah. "Apa masalahmu?" "Buk, Ilham itu sengklek. Ibu tau bedanya bercanda sama serius enggak sih?" tanyaku nelangsa. Pesimis aku dengan jawaban Ilham, mana mungkin Ilham sudi menikah mendadak kayak gini. Lagian, Ilham juga banyak bercandanya dari seriusnya. Enggak mungkin dia serius perkara begini juga. Ilham itu dari dulu paling seneng pacaran sama cewek bau kencur dan sekarang mau nikahi dia? kayak bukan Ilham saja ini. "Kowe iku dinikahi kok enggak ada roso syukur e?" sungut ibu kesal dengan perasaan pesimisku akan tindakan gegabah Ilham. "Bersyukur enggak jadi perawan tua," "Buk, Rin itu masih muda, enggak tua-tua banget," be
"Gimana nasib'e anakmu, Pak?" keluh Ibu yang masih meringis kesal aku gagal nikah. "Anakmu iku jan mesti ruwat (Anak kamu itu memang harus diruwat)," lanjut Ibu yang mengelus dadanya, omelannya masih berlanjut sampai sekarang. Kalo udah batal nikah, ya udah. Aku harus gimana lagi? Bawa Riko paksa juga percuma. Batang hidungnya aja enggak kelihatan. "Ibu ini ngomong opo toh? Wes seng tenang," Ayah mulai kesal dengan keluh kesah Ibu yang tiada habisnya. Harusnya ibu juga ngertiin perasaan Rin, yang paling sakit dengan kejadian ini tuh aku. Aku, si pengantin wanita. "Anak wadonmu iku dadi perawan tua, Pak (Anak perempuan kamu itu sudah jadi perawan tua, Pak)," ujar Ibu yang akhirnya diam karena satu sentakan Ayah, menasehati ibu untuk tidak mengucapkan 'perawan tua' padaku. Tapi, kayaknya emang aku ditakdirkan buat jadi perawan tua sih. Gatot Mulu kalau masalah percintaan gini. "Budeh itu yang sabar," ujar Ilham yang sok bener aja ngomongnya, "Ilham bantuin cari calon mant
“Buk, buk...,” Ayah berusaha menyadarkan ibu dengan menepuk pelan pipi kirinya yang gembul. Jika ibu sudah sadar, Ayah pasti kena omelan maut dari ibu karena sudah menyentuh dempul mahalnya. “Bangun, buk.”“Pak...,” suara lirih ibu dengan mata yang masih terpejam. Genggaman tangan Ayah semakin erat kala ibu terisak pilu, “piye Iki anakmu, Pak? (Bagaimana anak kamu ini, Pak?)” “Wes, Buk (Sudah, Buk),” Ayah mencoba menenangkan ibu yang masih terkulai di sofa. Beberapa orang yang rewang di rumah membuatkan teh hangat dan menggosokkan minyak kayu putih di dada ibu. Iya, ibu syok saat tahu calon suamiku tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi di hari H pernikahanku. “Piye kuadene iki (Bagaimana resepsinya ini)?” Ibu masih meratapi kegagalanku menikah. “Enggak sanggup aku mikir semuanya, Pak,” “Enggak usah dipikir. Ibu yang tenang,” ucap Ayah mencoba menenangkan kepanikan ibu. Bagaimanapun, tidak ada orangtua manapun yang tidak sedih jika anaknya gagal menikah tepat di hari bahagianya, da