Acara unduh mantun di rumah Ilham dilaksanakan dua Minggu setelah pernikahan mendadak kami. Tentu saja, surat-surat pernikahan kami yang diurus secara express oleh Ilham juga hampir selesai. Jadi, kita secara sah dan resmi menjadi suami istri. Cieelahhh... sold out juga sih aku.
Hmmm.... Unduh mantu di rumah Ilham dilakukan secara siap, padahal pernikahan kami dilakukan secara mendadak banget. Beberapa jam sebelum ijab kabul. Tapi, tak kusangka keluarga Ilham menyiapkan acara unduh mantu untukku dengan baik. "Kamu mau jajan apa?" tanya Oma yang duduk di ambang pintu kamar yang digunakan untuk menyimpan jajanan seserahan unduh mantu dari orangtuaku dan juga beberapa kerabat keluarga Ilham yang datang. "Apa aja sih, Oma," jawabku yang duduk di sebelah Oma setelah menemani Mamah Anna, mertuaku menemui para tamu yang datang. "Oma ambilkan buat kamu makan di dalam kamar," katanya yang memasukkan beberapa jajanan me dalam kardus berwarna cokelat. "Kalo lapar, minta budhe-budhe di belakang makan, Rin," "Iya, Oma," jawabku yang mengamati orang-orang rewang berseliweran di rumah Ilham. Aneh, ya, di rumahku itu rencana udah dirancang jauh hari, eh tetap aja lengah dikit langsung abis semua. Jangan lupakan insiden jajanan habis setelah acara pernikahan ku itu. Pada akhirnya membuat Ibu ngamuk beberapa hari. Tapi, di rumah Ilham semua serba teratur dan sistematis deh, Oma yang menjaga jajanan akhir tidak terjarah para rewang. "Aygong," Ilham duduk di depanku, menatapku cukup lama. "Kamu capek?" "Enggak," dusta ku yang sebenarnya capek campur ngantuk banget ini. "Ke depan aja, nemenin Mamah Anna sendirian," "Bawa masuk ke kamarmu, Ham," perintah Omah yang memberikan kardus makanna. berwarna cokelat itu pada Ilham. "Kasihan dari pagi belum istirahat," "Ayo!" "Tapi,..." "Enggak pa-pa. Tenang aja." Ilham menarik tanganku untuk berdiri sejajar dengannya. Membawaku masuk ke dalam kamarnya. Benar. Aku unduh mantu di pagi hari, dan setelah keluargaku pulang, tamu dari keluarga Ilham tidak ada habisnya, malahan semakin sore semakin banyak sekali. "Udah makan, kan?" "Belum," jawabku yang sudah masuk ke dalam kamar Ilham. Kamar itu sudah berbeda dari terakhir kali aku melihatnya. Kamar itu sekarang didominasi warna putih hitam. Tempat tidur ukuran besar dengan kedua sisinya terdapat meja lampu. Sisi lain ada dua meja, aku tahu satu meja dulu digunakan Ilham sebagai meja belajar dan ketambahan satu meja lagi, yang kini sudah berubah fungsi sebagai meja kerjanya. "Aku ambilin dulu," Ilham menyuruhku duduk di sofa yang ada di kamarnya. Ini itu kamarnya udah berfasilitas ala kamar kos. All in One. Aku mengangguk saja dan mengamati Ilham yang sudah meninggalkan kamar. Dua koper yang berisi barang-barangku sudah ada di sebelah lemari besar. "Berasa ngekos deh," ujarku yang kemudian beranjak, melihat meja kerja Ilham. Ada banyak sekali tumpukan kertas di mejanya dengan dua laptop. Jangan lupa dua ponsel yang jelas bukan ponsel utama si Ilham. "Kok masih ada foto ini sih," gerutuku kala melihat bingkai foto yang berisikan fotoku dengan Ilham yang baru saja merayakan acara ultah Ilham dengan Adit dan aku. Kami memakai pakaian somplak yang pengen banget aku lupain kejadian itu. "Ini, Aygong." Ilham sudah kembali dengan satu piring penuh berisi nasi soto. Aku mendekatinya dan kami makan bersama dalam satu piring sebagai suami istri. Dulu juga sering, tapi kan beda status ya. Tapi sekarang rasanya beda banget dari sebelumnya. "Habis ini tidur aja, Aygong." "Iya," "Capek banget, ya?" Ilham mengusap pipiku yang menggembul akibat nasi soto yang baru saja kusuapkan ke dalam mulutku sendiri. Tak langsung menjawab, "Enggak juga," jawabku setelah berhasil mengunyah sempurna nasi sotoku. "Itu matanya udah sepet," ujar Ilham yang mengusap lembut sebelah mataku, dan kami kembali menghabiskan nasi soto dalan diam. Setelahnya, Ilham berpamitan kembali menemui tamunya yang tak ada habisnya. Memintaku untuk segera istirahat. Gini ya jadi istri dan menantu pertama di keluarga suami kamu. Nanti anakku jadi cucuk pertama yang bakal disayang kali, ya? Iya, dong. Kan Ilham anak pertama, belum menghasilkan cucu, selain gebetan kencur. Sendirian, aku memilih membuka koperku dan mengambil dasterku. Mandi dan segera tidur. Badanku butuh untuk diistirahatkan sekarang ini. Huuuu... Kata-kata Mamah Anna, masih terngiang di telingaku setelah acara unduh mantu tadi pagi. Ekspresi bagaimana senangnya dia mendapati Ilham menikahiku, meski nikahnya mendadak banget kayak kilat. Tapi Mamah Anna tetap bersyukur aku jadi menantunya. Duh, status Mamah temanku menjadi Mamah mertuaku itu agak aneh untukku saat ini. Bagaimana tidak? Semuanya serba mendadak sekali sampai rasanya syok dengan perubahan sekarang. Kalo bukan gara-gara Riko blangsat itu, semua ini tidak akan menjadi seperti ini. Bersyukur juga enggak kacau dan enggak ada drama-drama kayak di sinetron. Takutnya pernikahan mendadakku ini dikira hamidun. Hamidun? "Hamil? Anak Ilham?" gumanku yang mengusap perut rataku berisikan nasi soto yang dibawakan Ilham barusan. "Enggak bisa bayangin hamil anaknya Ilham," geliku sendiri dan memilih masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri dan tidur sampai besok pagi. Haaa... Hari pertama menjadi menantu di rumah Keluarga Noor Syarief. Semoga kehidupan pernikahanku adem ayem tanpa ada drama-drnaa tetek bengek yang bikin aku muak.Liat hujan di pagi hari dengan kasur tidur yang asing itu agak gimana, ya? Aneh aja begitu tapi tetap syahdu sih. Apalagi harus terbiasa dengan orang lain yang tidur di sebelah kamu, tangannya aktif banget sentuh sana sini. Geli? Iya. Apalagi risih? Iya banget. Tapi mau gimana lagi, ini yang ngelakuin suami sendiri. "Udah bangun 'kan?" Tanya Ilham yang terdengar serak sekali di telinga kiriku, dan jangan lupakan tangan aktifnya yang sudah melingkar erat pada pinggangku. Eits, jangan lupa jemarinya yang aktif mengusap perutku ini. Ilham mengecup sisi kepalaku, dan menyadarkan kepalanya pada kepala ranjang besar miliknya. "Aku kemarin pengen banget jajan ke pasar," kataku yang masih menatap hujan di pagi hari, bukannya reda malah tambah deras. Behhh, syahdu banget ditambah bikin badan ini malas bergerak. Tidur cantik di atas kasur aja rasanya. "Mau pergi sekarang?" "Hujan," "Pake mobil, aku keluarin mobilnya," katanya yang menatapku lekat. Aku menggeleng pelan dan membalas t
Acara unduh mantun di rumah Ilham dilaksanakan dua Minggu setelah pernikahan mendadak kami. Tentu saja, surat-surat pernikahan kami yang diurus secara express oleh Ilham juga hampir selesai. Jadi, kita secara sah dan resmi menjadi suami istri. Cieelahhh... sold out juga sih aku. Hmmm.... Unduh mantu di rumah Ilham dilakukan secara siap, padahal pernikahan kami dilakukan secara mendadak banget. Beberapa jam sebelum ijab kabul. Tapi, tak kusangka keluarga Ilham menyiapkan acara unduh mantu untukku dengan baik. "Kamu mau jajan apa?" tanya Oma yang duduk di ambang pintu kamar yang digunakan untuk menyimpan jajanan seserahan unduh mantu dari orangtuaku dan juga beberapa kerabat keluarga Ilham yang datang. "Apa aja sih, Oma," jawabku yang duduk di sebelah Oma setelah menemani Mamah Anna, mertuaku menemui para tamu yang datang. "Oma ambilkan buat kamu makan di dalam kamar," katanya yang memasukkan beberapa jajanan me dalam kardus berwarna cokelat. "Kalo lapar, minta budhe-budhe
Apa katanya? Penyemburan jampi-jampi bermodal Al Fatihah doang bisa buat aku sadar? Sadar apaan? Dari bau jigong dia, pake dikumur-kumur dulu baru disemburin ke wajahku. Iya, langsung ke wajahku. Ehh, inget kejadian itu, pengen banget aku pijek-pijek Ilham. Alhasil, aku ngondok ke dia selama dua hari. Aku childish? Enggak, mana ada yang enggak ngondok disembur air kumuran mulut, bau banget lagi. Kalau sampe besok ada berita koran keluar judulnya 'Nikah sehari, istri memutilasi suami karena semburan jigong' itu adalah aku. Iya, itu aku sangking keselnya sama Ilham. Aku dengan senyum sendiri dikata kesurupan. Mana ada kesurupan modelan aku begini? Enggak level banget dong. Dan setelah seminggu saling ngodok. Bukan, tapi cuman aku doang yang ngondok, enggak mau ngomong sama Ilham. Dia malah enggak ngerasa banget kalo istrinya lagi ngambek, entah kurang peka atau enggak mau tau aja. "Aygong," Aku diam saja mendengar panggilannya, menatap Ilham yang duduk diam di atas kas
Badanku rasanya sakit semua setelah acara unboxing Ilham, rasa kantuk kalah telak dengan demo perutku yang berteriak minta diisi. "Aduh," keluhku akan rasa pegal pada pinggangku. "Ham," "Hmm, lima menit lagi," rancaunya yang malah makin lelap dengan posisi tengkurap, mengekspos punggung liatnya hasil dari olahraga. Kesal. Aku memukul punggungnya itu, "Enggak mau sarapan," Hening. Yang ada malah suara ngoroknya yang makin menjadi. "Ya udah. Aku keluar sendirian," aslinya pengen gitu dia bangun terus ngebujuk manja aku yang lagi merajuk. Tapi, zonk. Ilham makin nyenyak tidurnya. Mendengus kesal, aku memilih meninggalkannya dan mengisi perutku yang emang sejak kemarin pagi belum keisi dengan benar. Salahkan aja si Riko. Emang dia dalangnya yang ngebuat aku kayak orang mau sekarat aja kemarin. Saat berada di dapur, sudah ada Budhe Ja yang sedang menghangatkan rawon sisa kemarin dan nasi yang sudah matang di dalam magic com. "Pengantin baru itu bangunnya enggak sepagi i
"Kenapa Ibu percaya omongannya Ilham sih?" Aku tidak nyaman duduk di kursi riasku yang ada di dalam kamar. Ibu dan beberapa saudara perempuan ibu juga ikut di dalam kamarku, rasanya pengap asli. "Kenapa emang?" balik Ibu bertanya dengan nada ketusnya yang masih belum runtuh. Ibu terus mengawasiku setelah Ilham pulang ke rumahnya untuk bersiap menikah. "Apa masalahmu?" "Buk, Ilham itu sengklek. Ibu tau bedanya bercanda sama serius enggak sih?" tanyaku nelangsa. Pesimis aku dengan jawaban Ilham, mana mungkin Ilham sudi menikah mendadak kayak gini. Lagian, Ilham juga banyak bercandanya dari seriusnya. Enggak mungkin dia serius perkara begini juga. Ilham itu dari dulu paling seneng pacaran sama cewek bau kencur dan sekarang mau nikahi dia? kayak bukan Ilham saja ini. "Kowe iku dinikahi kok enggak ada roso syukur e?" sungut ibu kesal dengan perasaan pesimisku akan tindakan gegabah Ilham. "Bersyukur enggak jadi perawan tua," "Buk, Rin itu masih muda, enggak tua-tua banget," be
"Gimana nasib'e anakmu, Pak?" keluh Ibu yang masih meringis kesal aku gagal nikah. "Anakmu iku jan mesti ruwat (Anak kamu itu memang harus diruwat)," lanjut Ibu yang mengelus dadanya, omelannya masih berlanjut sampai sekarang. Kalo udah batal nikah, ya udah. Aku harus gimana lagi? Bawa Riko paksa juga percuma. Batang hidungnya aja enggak kelihatan. "Ibu ini ngomong opo toh? Wes seng tenang," Ayah mulai kesal dengan keluh kesah Ibu yang tiada habisnya. Harusnya ibu juga ngertiin perasaan Rin, yang paling sakit dengan kejadian ini tuh aku. Aku, si pengantin wanita. "Anak wadonmu iku dadi perawan tua, Pak (Anak perempuan kamu itu sudah jadi perawan tua, Pak)," ujar Ibu yang akhirnya diam karena satu sentakan Ayah, menasehati ibu untuk tidak mengucapkan 'perawan tua' padaku. Tapi, kayaknya emang aku ditakdirkan buat jadi perawan tua sih. Gatot Mulu kalau masalah percintaan gini. "Budeh itu yang sabar," ujar Ilham yang sok bener aja ngomongnya, "Ilham bantuin cari calon mant