Share

Bab 2

Penulis: IamEsthe
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-05 13:12:40

"Gimana nasib'e anakmu, Pak?" keluh Ibu yang masih meringis kesal aku gagal nikah. "Anakmu iku jan mesti ruwat (Anak kamu itu memang harus diruwat)," lanjut Ibu yang mengelus dadanya, omelannya masih berlanjut sampai sekarang.

Kalo udah batal nikah, ya udah. Aku harus gimana lagi? Bawa Riko paksa juga percuma. Batang hidungnya aja enggak kelihatan.

"Ibu ini ngomong opo toh? Wes seng tenang," Ayah mulai kesal dengan keluh kesah Ibu yang tiada habisnya. Harusnya ibu juga ngertiin perasaan Rin, yang paling sakit dengan kejadian ini tuh aku. Aku, si pengantin wanita.

"Anak wadonmu iku dadi perawan tua, Pak (Anak perempuan kamu itu sudah jadi perawan tua, Pak)," ujar Ibu yang akhirnya diam karena satu sentakan Ayah, menasehati ibu untuk tidak mengucapkan 'perawan tua' padaku.

Tapi, kayaknya emang aku ditakdirkan buat jadi perawan tua sih. Gatot Mulu kalau masalah percintaan gini.

"Budeh itu yang sabar," ujar Ilham yang sok bener aja ngomongnya, "Ilham bantuin cari calon mantu," katanya.

"Di tempat kerjamu, ya?" Ilham nyengir dengan pertanyaan Ibu. "Budeh ini butuh mantu cepat, kalo bisa sekarang juga yang mau nikahin Rin."

"Waduh, mantu express, ya? Sulit itu," katanya yang terdengar tengil padaku, sebentar dia menatapku dengan jahil.

"Budeh enggak sanggup mesti nanggung malu Rin gagal nikah, Ham," katanya yang terisak lagi. Ibu nangis terus dalam sehari ini, capek banget Ya Allah.

"Budeh nyari yang gimana emang?" Ilham kembali melirikku jahil.

"Apaan?" sewotku dengannya.

"Nyari yang ganteng, bibit, bebet, bobotnya jelas, enggak kayak Riko arang blangsat," jawabku yang setengah menyindirku, aku hanya bisa mencebik mendengarnya.

Benar. Aku akui, aku selalu salah mencari pacar apalagi sekarang ini lebih fatal lagi pasangan hidup yang zonk. Tapi, disindir emak sendiri itu jleb banget.

"Ada enggak ya spek gituan? Ilham nanti pasang di depan pintu ruang kerja kantor aja, Budeh," katanya yang menahan tawanya sendiri. Emang gebrakan sengklek Ilham itu enggak ada habisnya. Emang aku apaan pake ada ditempel di ruangannya? Seenggak lakunya aku gitu di depan mata para lelaki? Emang mereka aja rabun kalo ngeliat kecantikanku ini.

Ibu tiba-tiba saja duduk di depan Ilham dan menggenggam tangannya, bingung dong dia. "Eh, kenapa ini?"

"Ilham udah punya pacar apa belum?"

"Emang kenapa, Budeh?"

"Kamu mau enggak yang nikah sama Ilham?"

"IBU?!" pekikku tak percaya dengan apa yang barusan diucapkan emakku sendiri.

"Ilham?"

"Iya," jawab Ibu yang menatap Ilham serius. "Kalian kan sudah tumbuh besar bersama, lagian keluarga sudah saling kenal. Terus nunggu apa lagi?" ujar Ibu yang membuat Ilham diam tanpa ada ekspresi apapun.

"Ibu jangan ngomong ngawur gitu," Ayah mengusap punggung Ibu, menenangkan pikiran Ibu yang enggak waras banget itu.

Apaan nikah sama Ilham?

Ibu aja enggak tahu sebanyak apa para kencur Ilham ini. Lagian kita berdua ini adalah sahabat sejak kecil, umur kita juga beda jauh banget.

"Buk?!"

"Diem kamu!" ketus Ibu yang tak mau dengar protesku ataupun Ayah, selalu kepala keluarga dalam KK doang.

"Budeh yang akan ngomong sama Mama dan Omah kamu, biar Budeh yang jelasin semuanya," katanya yang menawarkan solusi mudah untuk Ilham. "Semua udah siap, tinggal kamu akad terus naik pelaminan. Enggak perlu mikir apapun."

Ilham tertawa pelan saking stoknya, "Ilham disini niatnya jadi Kembang Mayang, bukan jadi pengantin pria," katanya yang mengingatkan keberadaan awalnya ada di pernikahan ini.

Bagus. Ditolak semua tawaran ibu, Ham.

Jangan sampe terlena dengan tawaran sok manis Ibu.

"Mahar berapapun enggak apa. Budeh enggak pernah protes masalah itu, pokoknya nikah sama Rin. Gitu aja," kata Ibu yang biasanya sok high class soal mantu impian itu akhirnya runtuh, seruntuhnya dalam sehari.

"Jangan ngerasa enggak enak sama ibu. Tolak aja, enggak apa, Ham," kataku yang mencoba membuyarkan rayuan maut Ibu.

Ilham tertawa kecil mendengar kata-kata dariku, "Kenapa harus nolak?"

"Kasian pacarmu itu," jawabku, bingung juga kenapa dia nanya begitu.

"Pacar yang mana?"

"Kamu ya...,"

"Diem kamu! Diem aja," sentak Ibu yang mendengar aku mencoba membuat Ilham bingung.

"Buk, dengerin. Kenapa sampai segininya?" tanya Ayah yang bingung dengan kegigihan Ibu merayu Ilham untuk menikahiku.

"Kamu juga, Pak. Diem juga," sentak Ibu yang mulai kesal. "Jangan ada yang bicara selain Ibu sama Ilham."

"Buk, ini enggak bener," kataku yang akhirnya memelas. Mana mungkin Ilham ya g harus bertanggungjawab menikahi karena Riko kabur begini. "Tolong, Buk,"

Ilham yang diam saja, akhirnya bersuara yang akhirnya membuat semuanya bagaikan disambar petir seharian penuh.

"Ilham mau nikah sama Rin." Satu kata yang diucapkan Ilham itu membuatku duduk lemas. Bibirku langsung keluh tak bisa sedikitpun mengeluarkan suara.

Apa sih yang sedang dia pikirin? Ini bukan lelucon lucu yang bisa dimainin seenaknya saja.

"Mahar berapapun yang ada di dompetmu, enggak apa," kata Ibu yang akhirnya bisa sumringah dengan cerah, tapi tidak denganku.

Ilham merogoh saku celananya dan mengeluarkan uang sepuluh ribu, diperlihatkannya di depan Ibu, " Gimana dong, Budeh. Sepuluh ribu doang, tadi abis Ilham beliin cilok."

"Enggak masalah," kata Ibu yang meminta hapenya untuk menelpon keluarga Ilham dan menjelaskan segalanya dengan rinci.

"Kamu sudah yakin?" Ayah duduk di samping Ilham, menatapnya diam.

"Sudah, Pakde," sahutnya yang lagi-lagi nyengir tanpa rasa bersalah.

"Mikirnya kok sebentar. Ingat, menikah itu bukan sekedar hal lucuan," lanjut Ayah yang kayaknya sama sekali tidak percaya dengan kesediaan Ilham mengantikan posisi Riko untuk menikahiku.

"Kamu sebaiknya pulang aja deh," kataku bingung dengan apa yang terjadi semakin rumit saja.

"Disini Ilham enggak sedang bercanda, aku serius dengan keputusanku," kata-katanya membuatku dan Ayah diam.

Kepalaku sudah menunduk, bersandar lemas pada kedua tanganku. Semua rasa bercampur aduk sampe aku bingung buat memilah mana yang benar untuk rangakaian kejadian hari ini.

Hidupku kayaknya udah game over, deh.

Capek banget.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pernikahan Dadakan dengan Sahabatku   Bab 3

    "Kenapa Ibu percaya omongannya Ilham sih?" Aku tidak nyaman duduk di kursi riasku yang ada di dalam kamar. Ibu dan beberapa saudara perempuan ibu juga ikut di dalam kamarku, rasanya pengap asli. "Kenapa emang?" balik Ibu bertanya dengan nada ketusnya yang masih belum runtuh. Ibu terus mengawasiku setelah Ilham pulang ke rumahnya untuk bersiap menikah. "Apa masalahmu?" "Buk, Ilham itu sengklek. Ibu tau bedanya bercanda sama serius enggak sih?" tanyaku nelangsa. Pesimis aku dengan jawaban Ilham, mana mungkin Ilham sudi menikah mendadak kayak gini. Lagian, Ilham juga banyak bercandanya dari seriusnya. Enggak mungkin dia serius perkara begini juga. Ilham itu dari dulu paling seneng pacaran sama cewek bau kencur dan sekarang mau nikahi dia? kayak bukan Ilham saja ini. "Kowe iku dinikahi kok enggak ada roso syukur e?" sungut ibu kesal dengan perasaan pesimisku akan tindakan gegabah Ilham. "Bersyukur enggak jadi perawan tua," "Buk, Rin itu masih muda, enggak tua-tua banget," be

  • Pernikahan Dadakan dengan Sahabatku   Bab 2

    "Gimana nasib'e anakmu, Pak?" keluh Ibu yang masih meringis kesal aku gagal nikah. "Anakmu iku jan mesti ruwat (Anak kamu itu memang harus diruwat)," lanjut Ibu yang mengelus dadanya, omelannya masih berlanjut sampai sekarang. Kalo udah batal nikah, ya udah. Aku harus gimana lagi? Bawa Riko paksa juga percuma. Batang hidungnya aja enggak kelihatan. "Ibu ini ngomong opo toh? Wes seng tenang," Ayah mulai kesal dengan keluh kesah Ibu yang tiada habisnya. Harusnya ibu juga ngertiin perasaan Rin, yang paling sakit dengan kejadian ini tuh aku. Aku, si pengantin wanita. "Anak wadonmu iku dadi perawan tua, Pak (Anak perempuan kamu itu sudah jadi perawan tua, Pak)," ujar Ibu yang akhirnya diam karena satu sentakan Ayah, menasehati ibu untuk tidak mengucapkan 'perawan tua' padaku. Tapi, kayaknya emang aku ditakdirkan buat jadi perawan tua sih. Gatot Mulu kalau masalah percintaan gini. "Budeh itu yang sabar," ujar Ilham yang sok bener aja ngomongnya, "Ilham bantuin cari calon mant

  • Pernikahan Dadakan dengan Sahabatku   Bab 1

    “Buk, buk...,” Ayah berusaha menyadarkan ibu dengan menepuk pelan pipi kirinya yang gembul. Jika ibu sudah sadar, Ayah pasti kena omelan maut dari ibu karena sudah menyentuh dempul mahalnya. “Bangun, buk.”“Pak...,” suara lirih ibu dengan mata yang masih terpejam. Genggaman tangan Ayah semakin erat kala ibu terisak pilu, “piye Iki anakmu, Pak? (Bagaimana anak kamu ini, Pak?)” “Wes, Buk (Sudah, Buk),” Ayah mencoba menenangkan ibu yang masih terkulai di sofa. Beberapa orang yang rewang di rumah membuatkan teh hangat dan menggosokkan minyak kayu putih di dada ibu. Iya, ibu syok saat tahu calon suamiku tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi di hari H pernikahanku. “Piye kuadene iki (Bagaimana resepsinya ini)?” Ibu masih meratapi kegagalanku menikah. “Enggak sanggup aku mikir semuanya, Pak,” “Enggak usah dipikir. Ibu yang tenang,” ucap Ayah mencoba menenangkan kepanikan ibu. Bagaimanapun, tidak ada orangtua manapun yang tidak sedih jika anaknya gagal menikah tepat di hari bahagianya, da

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status