"Gimana nasib'e anakmu, Pak?" keluh Ibu yang masih meringis kesal aku gagal nikah. "Anakmu iku jan mesti ruwat (Anak kamu itu memang harus diruwat)," lanjut Ibu yang mengelus dadanya, omelannya masih berlanjut sampai sekarang.
Kalo udah batal nikah, ya udah. Aku harus gimana lagi? Bawa Riko paksa juga percuma. Batang hidungnya aja enggak kelihatan. "Ibu ini ngomong opo toh? Wes seng tenang," Ayah mulai kesal dengan keluh kesah Ibu yang tiada habisnya. Harusnya ibu juga ngertiin perasaan Rin, yang paling sakit dengan kejadian ini tuh aku. Aku, si pengantin wanita. "Anak wadonmu iku dadi perawan tua, Pak (Anak perempuan kamu itu sudah jadi perawan tua, Pak)," ujar Ibu yang akhirnya diam karena satu sentakan Ayah, menasehati ibu untuk tidak mengucapkan 'perawan tua' padaku. Tapi, kayaknya emang aku ditakdirkan buat jadi perawan tua sih. Gatot Mulu kalau masalah percintaan gini. "Budeh itu yang sabar," ujar Ilham yang sok bener aja ngomongnya, "Ilham bantuin cari calon mantu," katanya. "Di tempat kerjamu, ya?" Ilham nyengir dengan pertanyaan Ibu. "Budeh ini butuh mantu cepat, kalo bisa sekarang juga yang mau nikahin Rin." "Waduh, mantu express, ya? Sulit itu," katanya yang terdengar tengil padaku, sebentar dia menatapku dengan jahil. "Budeh enggak sanggup mesti nanggung malu Rin gagal nikah, Ham," katanya yang terisak lagi. Ibu nangis terus dalam sehari ini, capek banget Ya Allah. "Budeh nyari yang gimana emang?" Ilham kembali melirikku jahil. "Apaan?" sewotku dengannya. "Nyari yang ganteng, bibit, bebet, bobotnya jelas, enggak kayak Riko arang blangsat," jawabku yang setengah menyindirku, aku hanya bisa mencebik mendengarnya. Benar. Aku akui, aku selalu salah mencari pacar apalagi sekarang ini lebih fatal lagi pasangan hidup yang zonk. Tapi, disindir emak sendiri itu jleb banget. "Ada enggak ya spek gituan? Ilham nanti pasang di depan pintu ruang kerja kantor aja, Budeh," katanya yang menahan tawanya sendiri. Emang gebrakan sengklek Ilham itu enggak ada habisnya. Emang aku apaan pake ada ditempel di ruangannya? Seenggak lakunya aku gitu di depan mata para lelaki? Emang mereka aja rabun kalo ngeliat kecantikanku ini. Ibu tiba-tiba saja duduk di depan Ilham dan menggenggam tangannya, bingung dong dia. "Eh, kenapa ini?" "Ilham udah punya pacar apa belum?" "Emang kenapa, Budeh?" "Kamu mau enggak yang nikah sama Ilham?" "IBU?!" pekikku tak percaya dengan apa yang barusan diucapkan emakku sendiri. "Ilham?" "Iya," jawab Ibu yang menatap Ilham serius. "Kalian kan sudah tumbuh besar bersama, lagian keluarga sudah saling kenal. Terus nunggu apa lagi?" ujar Ibu yang membuat Ilham diam tanpa ada ekspresi apapun. "Ibu jangan ngomong ngawur gitu," Ayah mengusap punggung Ibu, menenangkan pikiran Ibu yang enggak waras banget itu. Apaan nikah sama Ilham? Ibu aja enggak tahu sebanyak apa para kencur Ilham ini. Lagian kita berdua ini adalah sahabat sejak kecil, umur kita juga beda jauh banget. "Buk?!" "Diem kamu!" ketus Ibu yang tak mau dengar protesku ataupun Ayah, selalu kepala keluarga dalam KK doang. "Budeh yang akan ngomong sama Mama dan Omah kamu, biar Budeh yang jelasin semuanya," katanya yang menawarkan solusi mudah untuk Ilham. "Semua udah siap, tinggal kamu akad terus naik pelaminan. Enggak perlu mikir apapun." Ilham tertawa pelan saking stoknya, "Ilham disini niatnya jadi Kembang Mayang, bukan jadi pengantin pria," katanya yang mengingatkan keberadaan awalnya ada di pernikahan ini. Bagus. Ditolak semua tawaran ibu, Ham. Jangan sampe terlena dengan tawaran sok manis Ibu. "Mahar berapapun enggak apa. Budeh enggak pernah protes masalah itu, pokoknya nikah sama Rin. Gitu aja," kata Ibu yang biasanya sok high class soal mantu impian itu akhirnya runtuh, seruntuhnya dalam sehari. "Jangan ngerasa enggak enak sama ibu. Tolak aja, enggak apa, Ham," kataku yang mencoba membuyarkan rayuan maut Ibu. Ilham tertawa kecil mendengar kata-kata dariku, "Kenapa harus nolak?" "Kasian pacarmu itu," jawabku, bingung juga kenapa dia nanya begitu. "Pacar yang mana?" "Kamu ya...," "Diem kamu! Diem aja," sentak Ibu yang mendengar aku mencoba membuat Ilham bingung. "Buk, dengerin. Kenapa sampai segininya?" tanya Ayah yang bingung dengan kegigihan Ibu merayu Ilham untuk menikahiku. "Kamu juga, Pak. Diem juga," sentak Ibu yang mulai kesal. "Jangan ada yang bicara selain Ibu sama Ilham." "Buk, ini enggak bener," kataku yang akhirnya memelas. Mana mungkin Ilham ya g harus bertanggungjawab menikahi karena Riko kabur begini. "Tolong, Buk," Ilham yang diam saja, akhirnya bersuara yang akhirnya membuat semuanya bagaikan disambar petir seharian penuh. "Ilham mau nikah sama Rin." Satu kata yang diucapkan Ilham itu membuatku duduk lemas. Bibirku langsung keluh tak bisa sedikitpun mengeluarkan suara. Apa sih yang sedang dia pikirin? Ini bukan lelucon lucu yang bisa dimainin seenaknya saja. "Mahar berapapun yang ada di dompetmu, enggak apa," kata Ibu yang akhirnya bisa sumringah dengan cerah, tapi tidak denganku. Ilham merogoh saku celananya dan mengeluarkan uang sepuluh ribu, diperlihatkannya di depan Ibu, " Gimana dong, Budeh. Sepuluh ribu doang, tadi abis Ilham beliin cilok." "Enggak masalah," kata Ibu yang meminta hapenya untuk menelpon keluarga Ilham dan menjelaskan segalanya dengan rinci. "Kamu sudah yakin?" Ayah duduk di samping Ilham, menatapnya diam. "Sudah, Pakde," sahutnya yang lagi-lagi nyengir tanpa rasa bersalah. "Mikirnya kok sebentar. Ingat, menikah itu bukan sekedar hal lucuan," lanjut Ayah yang kayaknya sama sekali tidak percaya dengan kesediaan Ilham mengantikan posisi Riko untuk menikahiku. "Kamu sebaiknya pulang aja deh," kataku bingung dengan apa yang terjadi semakin rumit saja. "Disini Ilham enggak sedang bercanda, aku serius dengan keputusanku," kata-katanya membuatku dan Ayah diam. Kepalaku sudah menunduk, bersandar lemas pada kedua tanganku. Semua rasa bercampur aduk sampe aku bingung buat memilah mana yang benar untuk rangakaian kejadian hari ini. Hidupku kayaknya udah game over, deh. Capek banget.Liat hujan di pagi hari dengan kasur tidur yang asing itu agak gimana, ya? Aneh aja begitu tapi tetap syahdu sih. Apalagi harus terbiasa dengan orang lain yang tidur di sebelah kamu, tangannya aktif banget sentuh sana sini. Geli? Iya. Apalagi risih? Iya banget. Tapi mau gimana lagi, ini yang ngelakuin suami sendiri. "Udah bangun 'kan?" Tanya Ilham yang terdengar serak sekali di telinga kiriku, dan jangan lupakan tangan aktifnya yang sudah melingkar erat pada pinggangku. Eits, jangan lupa jemarinya yang aktif mengusap perutku ini. Ilham mengecup sisi kepalaku, dan menyadarkan kepalanya pada kepala ranjang besar miliknya. "Aku kemarin pengen banget jajan ke pasar," kataku yang masih menatap hujan di pagi hari, bukannya reda malah tambah deras. Behhh, syahdu banget ditambah bikin badan ini malas bergerak. Tidur cantik di atas kasur aja rasanya. "Mau pergi sekarang?" "Hujan," "Pake mobil, aku keluarin mobilnya," katanya yang menatapku lekat. Aku menggeleng pelan dan membalas t
Acara unduh mantun di rumah Ilham dilaksanakan dua Minggu setelah pernikahan mendadak kami. Tentu saja, surat-surat pernikahan kami yang diurus secara express oleh Ilham juga hampir selesai. Jadi, kita secara sah dan resmi menjadi suami istri. Cieelahhh... sold out juga sih aku. Hmmm.... Unduh mantu di rumah Ilham dilakukan secara siap, padahal pernikahan kami dilakukan secara mendadak banget. Beberapa jam sebelum ijab kabul. Tapi, tak kusangka keluarga Ilham menyiapkan acara unduh mantu untukku dengan baik. "Kamu mau jajan apa?" tanya Oma yang duduk di ambang pintu kamar yang digunakan untuk menyimpan jajanan seserahan unduh mantu dari orangtuaku dan juga beberapa kerabat keluarga Ilham yang datang. "Apa aja sih, Oma," jawabku yang duduk di sebelah Oma setelah menemani Mamah Anna, mertuaku menemui para tamu yang datang. "Oma ambilkan buat kamu makan di dalam kamar," katanya yang memasukkan beberapa jajanan me dalam kardus berwarna cokelat. "Kalo lapar, minta budhe-budhe
Apa katanya? Penyemburan jampi-jampi bermodal Al Fatihah doang bisa buat aku sadar? Sadar apaan? Dari bau jigong dia, pake dikumur-kumur dulu baru disemburin ke wajahku. Iya, langsung ke wajahku. Ehh, inget kejadian itu, pengen banget aku pijek-pijek Ilham. Alhasil, aku ngondok ke dia selama dua hari. Aku childish? Enggak, mana ada yang enggak ngondok disembur air kumuran mulut, bau banget lagi. Kalau sampe besok ada berita koran keluar judulnya 'Nikah sehari, istri memutilasi suami karena semburan jigong' itu adalah aku. Iya, itu aku sangking keselnya sama Ilham. Aku dengan senyum sendiri dikata kesurupan. Mana ada kesurupan modelan aku begini? Enggak level banget dong. Dan setelah seminggu saling ngodok. Bukan, tapi cuman aku doang yang ngondok, enggak mau ngomong sama Ilham. Dia malah enggak ngerasa banget kalo istrinya lagi ngambek, entah kurang peka atau enggak mau tau aja. "Aygong," Aku diam saja mendengar panggilannya, menatap Ilham yang duduk diam di atas kas
Badanku rasanya sakit semua setelah acara unboxing Ilham, rasa kantuk kalah telak dengan demo perutku yang berteriak minta diisi. "Aduh," keluhku akan rasa pegal pada pinggangku. "Ham," "Hmm, lima menit lagi," rancaunya yang malah makin lelap dengan posisi tengkurap, mengekspos punggung liatnya hasil dari olahraga. Kesal. Aku memukul punggungnya itu, "Enggak mau sarapan," Hening. Yang ada malah suara ngoroknya yang makin menjadi. "Ya udah. Aku keluar sendirian," aslinya pengen gitu dia bangun terus ngebujuk manja aku yang lagi merajuk. Tapi, zonk. Ilham makin nyenyak tidurnya. Mendengus kesal, aku memilih meninggalkannya dan mengisi perutku yang emang sejak kemarin pagi belum keisi dengan benar. Salahkan aja si Riko. Emang dia dalangnya yang ngebuat aku kayak orang mau sekarat aja kemarin. Saat berada di dapur, sudah ada Budhe Ja yang sedang menghangatkan rawon sisa kemarin dan nasi yang sudah matang di dalam magic com. "Pengantin baru itu bangunnya enggak sepagi i
"Kenapa Ibu percaya omongannya Ilham sih?" Aku tidak nyaman duduk di kursi riasku yang ada di dalam kamar. Ibu dan beberapa saudara perempuan ibu juga ikut di dalam kamarku, rasanya pengap asli. "Kenapa emang?" balik Ibu bertanya dengan nada ketusnya yang masih belum runtuh. Ibu terus mengawasiku setelah Ilham pulang ke rumahnya untuk bersiap menikah. "Apa masalahmu?" "Buk, Ilham itu sengklek. Ibu tau bedanya bercanda sama serius enggak sih?" tanyaku nelangsa. Pesimis aku dengan jawaban Ilham, mana mungkin Ilham sudi menikah mendadak kayak gini. Lagian, Ilham juga banyak bercandanya dari seriusnya. Enggak mungkin dia serius perkara begini juga. Ilham itu dari dulu paling seneng pacaran sama cewek bau kencur dan sekarang mau nikahi dia? kayak bukan Ilham saja ini. "Kowe iku dinikahi kok enggak ada roso syukur e?" sungut ibu kesal dengan perasaan pesimisku akan tindakan gegabah Ilham. "Bersyukur enggak jadi perawan tua," "Buk, Rin itu masih muda, enggak tua-tua banget," be
"Gimana nasib'e anakmu, Pak?" keluh Ibu yang masih meringis kesal aku gagal nikah. "Anakmu iku jan mesti ruwat (Anak kamu itu memang harus diruwat)," lanjut Ibu yang mengelus dadanya, omelannya masih berlanjut sampai sekarang. Kalo udah batal nikah, ya udah. Aku harus gimana lagi? Bawa Riko paksa juga percuma. Batang hidungnya aja enggak kelihatan. "Ibu ini ngomong opo toh? Wes seng tenang," Ayah mulai kesal dengan keluh kesah Ibu yang tiada habisnya. Harusnya ibu juga ngertiin perasaan Rin, yang paling sakit dengan kejadian ini tuh aku. Aku, si pengantin wanita. "Anak wadonmu iku dadi perawan tua, Pak (Anak perempuan kamu itu sudah jadi perawan tua, Pak)," ujar Ibu yang akhirnya diam karena satu sentakan Ayah, menasehati ibu untuk tidak mengucapkan 'perawan tua' padaku. Tapi, kayaknya emang aku ditakdirkan buat jadi perawan tua sih. Gatot Mulu kalau masalah percintaan gini. "Budeh itu yang sabar," ujar Ilham yang sok bener aja ngomongnya, "Ilham bantuin cari calon mant