Apa katanya?
Penyemburan jampi-jampi bermodal Al Fatihah doang bisa buat aku sadar? Sadar apaan? Dari bau jigong dia, pake dikumur-kumur dulu baru disemburin ke wajahku. Iya, langsung ke wajahku. Ehh, inget kejadian itu, pengen banget aku pijek-pijek Ilham. Alhasil, aku ngondok ke dia selama dua hari. Aku childish? Enggak, mana ada yang enggak ngondok disembur air kumuran mulut, bau banget lagi. Kalau sampe besok ada berita koran keluar judulnya 'Nikah sehari, istri memutilasi suami karena semburan jigong' itu adalah aku. Iya, itu aku sangking keselnya sama Ilham. Aku dengan senyum sendiri dikata kesurupan. Mana ada kesurupan modelan aku begini? Enggak level banget dong. Dan setelah seminggu saling ngodok. Bukan, tapi cuman aku doang yang ngondok, enggak mau ngomong sama Ilham. Dia malah enggak ngerasa banget kalo istrinya lagi ngambek, entah kurang peka atau enggak mau tau aja. "Aygong," Aku diam saja mendengar panggilannya, menatap Ilham yang duduk diam di atas kasur, khas bangun tidur. Rambut acakan tanpa pakai baju. Kayaknya kebiasaan dia tidak pakai baju saat tidur, cuman kolor aja. Celana kolor. "Aygong," panggilnya lagi dengan mata yang masih setengah mengantuk. "Dipanggil ini," "Denger kok," jawabku yang masih anteng duduk di atas sofa mengamati gerak-gerik Ilham. Ilham beranjak dari kasur dan menghampiri diriku yang ada di sofa, memelukku erat dengan manja, "Aygong-ku," "Apa?" sahutku. "Mau apa?" Lama banget dia jawab pertanyaanku yang simpel. Aku menatapnya yang nyengir bak bocah sok polos, "Laper," "Di luar ada ibu, minta ambilin makan sama ibu," kataku yang mencoba melepaskan diri. "Lo kan istri gua, ya harusnya lo yang ambilin," katanya yang menciumi pipiku, berakhir aku berteriak karena gigitannya pada pipiku, "Ambilin, ya!" "Bodo. Pergi sana!" Aku mengancamnya sekali lagi kalo mendekat untuk menggigit pipiku. "Cepetan. Abis ini kita pergi ke rumah Budhe Ami, ada acara keluarga disana." Ilham berlari ke arahku dengan cepat dan mengecup bibirku beberapa kali sebelum masuk ke dalam kamar mandi. *** Acara keluarga dimulai sore hari, dimana keluarga besar ibu kebanyakan para ciwi-ciwi genit. Jangan tanya dimana keberadaan si Ilham. Tentu saja dia menjadi primadona yang dikelilingi mereka bak semut dapet gula. "Lho Mbak, kok disini?" Tika bertanya sok kaget melihatku asik duduk santai di kursi taman belakang rumah Budhe Ami. "Emang kenapa?" tanyaku balik tanpa berniat menjawab pertanyaan dia. "Enggak liat lagi menikmati makanan," "Tak pikir jagain Mas Ilham," dia melirik Ilham yang bingung dengan pertanyaan para ciwi-ciwi. "Ngapain dijaga? Udah gede juga," Aku tertawa mendengar pernyataannya si Tika. Emang aku rupa-rupa istri sok protektif? Suka cemburuan? Duh, udah enggak jaman istri-istri begitu. "Kan Mbak Rin pawangnya. Liat tuh disabotase sepupu cewek lho," Aku menegak habis es kopyor berwarna merah itu dan meletakkan gelas itu cukup keras, membuat Tika terperanjat. "Duh! bikin kamu kaget ya?" tanyaku sambil tertawa, membawa gelasku untuk mengambil jenis es lainnya. "Sori, ya." Aku membawa piring sisa makanan yang sudah kuambil dan menuju salah satu kamar kosong di rumah Budhe, kamar yang biasa kupakai kalau lagi nginep disini. Duduk di lantai sambil sandaran pada dipan kasur itu menyenangkan, dibanding ketemu sodara-sodara bertopeng power rangers. "Lah! Kui iki, digolek'i wong tuwo kok yo isok onok kene?" Ibu sudah berdiri di depan pintu kamar. Janga lupa kedua tangannya sudah terlipat di kedua pinggulnya, tinggal goyang dumang. "Apa sih, Buk?" "Ilham itu lho," "Kenapa dia?" Dih, bodo amat aku sama dia. Biarin aja dirujak para saudara ibu disini. "Lho... tak keplak kui engkok. Sakno iku ijenan dianui yang lain," ujar Ibu yang melihat ke arah luar kamar, dimana Ilham masih berada dalam lingkaran saudara perempuan bar bar. "Biarin aja toh, Buk," "Leh... Jan sableng kui iku," Ibu langsung menutup pintu kamar dan suara gemahan maung Ibu terdengar lantang. Dah, Mama macan bermaung. Tak lama kemudian, Ilham masuk ke dalam dan melihatku yang masih asik dengan layar ponselku. "Aygong, tega bener Lo itu," "Apaan sih?" "Gua dicabein sepupu lo," Aku tergelak mendengar aduan Ilham. Biasanya seneng banget kalo digodain cewek, kenapa sekarang sok kiep gini sih? "Aduh, aduh," Aku mengusap perutku yang terasa kram akibat tertawa terlalu keras. Duh! Kayak bukan Ilham aja kalo gini itu. Ilham duduk di atas dipan, mengusap kepalaku. "Insaf ini. Udah cukup Ririn Haryani aja," katanya yang membuatku geli. "Enggak ada duanya," bisiknya menggoda tepat di telingaku dan mencium pipiku dua kali. "Apaan? Sok romantis banget," Aku salting banget. Kenapa dia tiba-tiba ngomong begitu? Bikin sport jantung aja. Aku berteriak kaget saat Ilham mengangkat tubuhku dan membantingnya ke atas kasur. Aduh, punggungku sakit banget weh. Buyar... "Beneran itu," katanya yang sudah menindih tubuhku, tangannya yang sebagai tumpuan tubuhnya membelai kedua sisi pipiku, sesekali memainkan anak rambutku. "Ngapain cari yang lain, kalo yang dirumah speknya udah ngalahin bidadari," Tak tahan, aku kembali tertawa mendengar gombalannya. Aku? Spek bidadari? Dari mana coba? "Kenapa enggak mau ngaca buat diri sendiri?" Aku terdiam mendengar pertanyaan Ilham yang terdengar serius itu. Menatap matanya lekat-lekat. "Ya, karena aku enggak sebegitunya," jawabku ngasal, dan gak ngasal juga sih. "Sesekali ngaca buat diri lo sendiri, Aygong," katanya yang entah kapan sudah mendarat tepat pada ceruk leherku, menciumi selangka. Aku melenguh akan sensasi geli yang mengairahkan. Rasa geli yang memicu rasa panas tubuh. Ilham kembali mengangkat kepalanya, menatapku sebentar sebelum menggulum bibirku dengan rakus. Tangannya pun mulai aktif merayap menyentuh setiap tubuhku. "Aahhh, Ham..." Ilham semakin aktif menyentuh setiap inci tubuhku, menyala hasrat panas alami yang baru aku sadari itu. Lenguhanku semakin keras kala bibirnya turun menyentuh perut rataku. Tangannya mengusap pelan perutku dan menciuminya dengan intens. "Hamm..." Aku tak bisa membendung hasrat itu, kedua tanganku sudah mencengkram rambut kepalanya, seakan menahan hasrat panas itu. Dan inilah 'malam kami' untuk kedua kalinya sebagai pengantin baru. Tak memperdulikan orang-orang yang masih asik di luar sana. Hanya ada kami berdua, menikmati cumbuan panas yang menggairahkan.Liat hujan di pagi hari dengan kasur tidur yang asing itu agak gimana, ya? Aneh aja begitu tapi tetap syahdu sih. Apalagi harus terbiasa dengan orang lain yang tidur di sebelah kamu, tangannya aktif banget sentuh sana sini. Geli? Iya. Apalagi risih? Iya banget. Tapi mau gimana lagi, ini yang ngelakuin suami sendiri. "Udah bangun 'kan?" Tanya Ilham yang terdengar serak sekali di telinga kiriku, dan jangan lupakan tangan aktifnya yang sudah melingkar erat pada pinggangku. Eits, jangan lupa jemarinya yang aktif mengusap perutku ini. Ilham mengecup sisi kepalaku, dan menyadarkan kepalanya pada kepala ranjang besar miliknya. "Aku kemarin pengen banget jajan ke pasar," kataku yang masih menatap hujan di pagi hari, bukannya reda malah tambah deras. Behhh, syahdu banget ditambah bikin badan ini malas bergerak. Tidur cantik di atas kasur aja rasanya. "Mau pergi sekarang?" "Hujan," "Pake mobil, aku keluarin mobilnya," katanya yang menatapku lekat. Aku menggeleng pelan dan membalas t
Acara unduh mantun di rumah Ilham dilaksanakan dua Minggu setelah pernikahan mendadak kami. Tentu saja, surat-surat pernikahan kami yang diurus secara express oleh Ilham juga hampir selesai. Jadi, kita secara sah dan resmi menjadi suami istri. Cieelahhh... sold out juga sih aku. Hmmm.... Unduh mantu di rumah Ilham dilakukan secara siap, padahal pernikahan kami dilakukan secara mendadak banget. Beberapa jam sebelum ijab kabul. Tapi, tak kusangka keluarga Ilham menyiapkan acara unduh mantu untukku dengan baik. "Kamu mau jajan apa?" tanya Oma yang duduk di ambang pintu kamar yang digunakan untuk menyimpan jajanan seserahan unduh mantu dari orangtuaku dan juga beberapa kerabat keluarga Ilham yang datang. "Apa aja sih, Oma," jawabku yang duduk di sebelah Oma setelah menemani Mamah Anna, mertuaku menemui para tamu yang datang. "Oma ambilkan buat kamu makan di dalam kamar," katanya yang memasukkan beberapa jajanan me dalam kardus berwarna cokelat. "Kalo lapar, minta budhe-budhe
Apa katanya? Penyemburan jampi-jampi bermodal Al Fatihah doang bisa buat aku sadar? Sadar apaan? Dari bau jigong dia, pake dikumur-kumur dulu baru disemburin ke wajahku. Iya, langsung ke wajahku. Ehh, inget kejadian itu, pengen banget aku pijek-pijek Ilham. Alhasil, aku ngondok ke dia selama dua hari. Aku childish? Enggak, mana ada yang enggak ngondok disembur air kumuran mulut, bau banget lagi. Kalau sampe besok ada berita koran keluar judulnya 'Nikah sehari, istri memutilasi suami karena semburan jigong' itu adalah aku. Iya, itu aku sangking keselnya sama Ilham. Aku dengan senyum sendiri dikata kesurupan. Mana ada kesurupan modelan aku begini? Enggak level banget dong. Dan setelah seminggu saling ngodok. Bukan, tapi cuman aku doang yang ngondok, enggak mau ngomong sama Ilham. Dia malah enggak ngerasa banget kalo istrinya lagi ngambek, entah kurang peka atau enggak mau tau aja. "Aygong," Aku diam saja mendengar panggilannya, menatap Ilham yang duduk diam di atas kas
Badanku rasanya sakit semua setelah acara unboxing Ilham, rasa kantuk kalah telak dengan demo perutku yang berteriak minta diisi. "Aduh," keluhku akan rasa pegal pada pinggangku. "Ham," "Hmm, lima menit lagi," rancaunya yang malah makin lelap dengan posisi tengkurap, mengekspos punggung liatnya hasil dari olahraga. Kesal. Aku memukul punggungnya itu, "Enggak mau sarapan," Hening. Yang ada malah suara ngoroknya yang makin menjadi. "Ya udah. Aku keluar sendirian," aslinya pengen gitu dia bangun terus ngebujuk manja aku yang lagi merajuk. Tapi, zonk. Ilham makin nyenyak tidurnya. Mendengus kesal, aku memilih meninggalkannya dan mengisi perutku yang emang sejak kemarin pagi belum keisi dengan benar. Salahkan aja si Riko. Emang dia dalangnya yang ngebuat aku kayak orang mau sekarat aja kemarin. Saat berada di dapur, sudah ada Budhe Ja yang sedang menghangatkan rawon sisa kemarin dan nasi yang sudah matang di dalam magic com. "Pengantin baru itu bangunnya enggak sepagi i
"Kenapa Ibu percaya omongannya Ilham sih?" Aku tidak nyaman duduk di kursi riasku yang ada di dalam kamar. Ibu dan beberapa saudara perempuan ibu juga ikut di dalam kamarku, rasanya pengap asli. "Kenapa emang?" balik Ibu bertanya dengan nada ketusnya yang masih belum runtuh. Ibu terus mengawasiku setelah Ilham pulang ke rumahnya untuk bersiap menikah. "Apa masalahmu?" "Buk, Ilham itu sengklek. Ibu tau bedanya bercanda sama serius enggak sih?" tanyaku nelangsa. Pesimis aku dengan jawaban Ilham, mana mungkin Ilham sudi menikah mendadak kayak gini. Lagian, Ilham juga banyak bercandanya dari seriusnya. Enggak mungkin dia serius perkara begini juga. Ilham itu dari dulu paling seneng pacaran sama cewek bau kencur dan sekarang mau nikahi dia? kayak bukan Ilham saja ini. "Kowe iku dinikahi kok enggak ada roso syukur e?" sungut ibu kesal dengan perasaan pesimisku akan tindakan gegabah Ilham. "Bersyukur enggak jadi perawan tua," "Buk, Rin itu masih muda, enggak tua-tua banget," be
"Gimana nasib'e anakmu, Pak?" keluh Ibu yang masih meringis kesal aku gagal nikah. "Anakmu iku jan mesti ruwat (Anak kamu itu memang harus diruwat)," lanjut Ibu yang mengelus dadanya, omelannya masih berlanjut sampai sekarang. Kalo udah batal nikah, ya udah. Aku harus gimana lagi? Bawa Riko paksa juga percuma. Batang hidungnya aja enggak kelihatan. "Ibu ini ngomong opo toh? Wes seng tenang," Ayah mulai kesal dengan keluh kesah Ibu yang tiada habisnya. Harusnya ibu juga ngertiin perasaan Rin, yang paling sakit dengan kejadian ini tuh aku. Aku, si pengantin wanita. "Anak wadonmu iku dadi perawan tua, Pak (Anak perempuan kamu itu sudah jadi perawan tua, Pak)," ujar Ibu yang akhirnya diam karena satu sentakan Ayah, menasehati ibu untuk tidak mengucapkan 'perawan tua' padaku. Tapi, kayaknya emang aku ditakdirkan buat jadi perawan tua sih. Gatot Mulu kalau masalah percintaan gini. "Budeh itu yang sabar," ujar Ilham yang sok bener aja ngomongnya, "Ilham bantuin cari calon mant