Badanku rasanya sakit semua setelah acara unboxing Ilham, rasa kantuk kalah telak dengan demo perutku yang berteriak minta diisi.
"Aduh," keluhku akan rasa pegal pada pinggangku. "Ham," "Hmm, lima menit lagi," rancaunya yang malah makin lelap dengan posisi tengkurap, mengekspos punggung liatnya hasil dari olahraga. Kesal. Aku memukul punggungnya itu, "Enggak mau sarapan," Hening. Yang ada malah suara ngoroknya yang makin menjadi. "Ya udah. Aku keluar sendirian," aslinya pengen gitu dia bangun terus ngebujuk manja aku yang lagi merajuk. Tapi, zonk. Ilham makin nyenyak tidurnya. Mendengus kesal, aku memilih meninggalkannya dan mengisi perutku yang emang sejak kemarin pagi belum keisi dengan benar. Salahkan aja si Riko. Emang dia dalangnya yang ngebuat aku kayak orang mau sekarat aja kemarin. Saat berada di dapur, sudah ada Budhe Ja yang sedang menghangatkan rawon sisa kemarin dan nasi yang sudah matang di dalam magic com. "Pengantin baru itu bangunnya enggak sepagi ini," godanya yang aku pikir bodo amat. Lagian ngapain di dalam kamar? Nungguin Ilham yang lagi tidur gitu? Walah, mending ngisi perut yang keroncongan ini. "Laper Budhe. Minta makannya," kataku yang tak menggubris godaan Budhe Ja barusan. Aku langsung meminum air putih langsung dari ceretnya, udah pro tanpa gelas ini. "Walah, kemanten anyar kok dapurane ngene?" Budhe Ja mengelus dada melihat aksiku barusan, meletakkan piring yang berisi nasi rawon dengan lauk empal daging juga tempe goreng. "Mana lengah minum air kalo enggak dikokop langsung dari morong (ceret plastik)," kataku yang mengambil sendok dan mulai mengaduk-aduk nasi rawonku. "Iling'o dadi wong wedok kui, Rin," Aku hanya nyengir dan mulai menyuap nasi rawon ke dalam mulutku, sesekali menggigit kerupuk udang yang masih tersisa remahannya. "Ibu mana, Budhe?" "Ibumu belum bangun," jawab Budhe Jam yang memasukkan kantong kresek ke dalam tas kain khas hajatan. "Kalo mau makan nanti, udah Budhe panasin semua. Lauknya Budhe taruh di kulkas," Aku mengangguk mendengar semua penjelasan Budhe Ja, "Jajannya gimana?" "Jajan rewang?" "Iya," Budhe Ja menjentikkan dagunya ke arah dimana jajan hajatan berada, "Ndang ngambil, selak habis," Mendengar itu, aku langsung mengambil baskom dan berlari menuju kamar dimana jajan hajatan tersimpan. Benar saja, semuanya hampir habis tak sisa. Tinggal beberapa saja yang langsung saja aku amankan. "Masih dapet?" Budhe Ja bertanya saat aku sudah kembali ke dudukku dengan baskom yang sudah terisi penuh. "Lumayan, Budhe," jawabku, melanjutkan makanku yang sempat tertunda. "Budhe pulang dulu. Nanti kasih tau ibumu lauknya," katanya yang membopong tas kain hajatan hasil jarahan dari rumah. Halah, mana mungkin Budhe Ja enggak ikutan nyomot, jelas dia sama aja kayak orang-orang rewang lainnya. Selang lima belas menit, ibu baru bangun dan duduk di kursi seberangku. Aku memperhatikan ibu yang masih mengantuk. "Buk," "Apaa ?" "Budhe Ja udah masakin nasi, rawonnya udah dipanasin dan lauknya ada di dalem kulkas," perjelasku sama seperti Budhe Ja, membawa piring kotorku dan mencucinya, membuka kulkas untung mengambil air minum dua literku. "Lah ibu pikir kamu bangun siang nanti," ucap Ibu yang duduk di meja makan, membuka toples berisi kacang goreng. "Ini aja udah siang, Buk," jawabku yang menutup baskomku dengan kertas minyak. "Haduh, anak wadonku habis diperawanin bisa ngomong bener, yo," aku mendengus dengan perkataan ibu yang sebenarnya lagi muji apa lagi ngeledek. "Itu tadi apaan, Buk?" "Lah? Kok jadi bloon gini," ujar ibu lagi yang membuatku kesal. Emang tadi itu bukan pujian. "Dari pada ibu makan kacang goreng itu yang bikin asam urat kambuh, liat jajannya di kamar belakang, masih ada apa enggak," ujarku sedikit mengejek ibu, membawa botol minum dan baskom jajanku. "Mungkin aja ibu masih dapet," Dan saat aku menutup pintu kamar, terdengar suara ibu yang mengomel cukup keras dan pedas. Bagaimana tidak, semua jajanan sudah jarah orang-orang rewang tadi pagi-pagi, dan orang yang terakhir adalah Budhe Ja. •••^°^••• Jam tiga sore, Ilham baru bangun dari tidurnya. Dia enggak bangun sama sekali dari terakhir aku keluar mengambil jajanan. Emang enggak lapar apa tidur panjang begitu? "Waduh, nyenyak banget," kataku sarkas padanya yang masih mengerjakan mata, sesekali mengusap wajahnya kasar dan beralih mencari hape-nya, memainkannya cukup lama. Aku? Ya, aku bodo amat aja. Lebih memilih asik menonton drama Korea yang sedari tadi kutonton di depan sofa kamarku. "Istriku," katanya yang sudah ikut duduk di sofa dan memelukku manja. "Udah wangi aja," katanya, mengendus leherku lembut. "Mandi sana, bau banget, Bo-ke," perintahku yang mencoba melepas pelukannya yang malahan tambah erat banget, enggap banget. "Bo-ke?" "Kebo maksudnya," jawabku yang berhasil melepas pelukannya. "Cepetan mandi sana," "Sebentar dong, pengen meluk istriku ini," godanya yang kembali memelukku, "Baskom apaan itu?" Tangannya menunjuk baskom yang ada di meja rias. "Jajan," "Jajan dari mana?" "Dari rumahnya Mbak Ririn," jawabku meliriknya tajam, dan dia hanya tertawa mendengar jawabanku. "Masih nanya?" "Tau kok. Nanya aja sih," "Cerai, hayok!" "Leh, baru nikah beberapa jam yang lalu ini, sehari aja belum kok udah ngajak cerai aja," katanya yang menciumi pipiku. "Duh, istriku kalo marah cantik tambah cantik," "Enggak ada," "Ada ini. Aygong gua," "Apaan?" "Aygong," jawabnya nyengir, mentoel daguku. "Ayang Gudong," Kesal. Tanganku spontan mencubit punggung tangannya, "Mandi sana. Jorok!" "Iya, iya," katanya yang akhir beranjak menuju kamar mandi. Tak lama kemudian, dia membuka pintu kamar mandi dengan badan yang airnya masih menetes. "Tolong handung, Aygong!" "Kenapa enggak bawa sekalian handuknya sih," gerutu yang menarik handuk, membawanya. "Ini!" "Mandi bareng yuk. Sekalian lanjut yang kemarin," Ilham menahan tanganku yang mengulurkan handuk untuknya. "Yuk, Aygong!" "Gua udah mandi. Masa mau mandi lagi?" tolakku yang baru mandi beberapa menit yang lalu sebelum dia bangun. "Enggak papa. Nanti gua pijat yang bagian ini." tangannya memperagakan gaya meremas sok sensual, membuatku malu. Duh, jadi inget malam pertama kemarin malem yang lama-lama kok jadi keenakan. "Apaan?" Aku mendorongnya untuk masuk kembali ke dalam kamar mandi. Aku duduk di sofa lagi dengan wajah yang rasanya panas banget. "Aduh! Jadi inget yang kemarin," gerutuku sendiri sembari mengibaskan tangan di depan wajahku yang terasa makin panas. "Lo kenapa?" Ilham baru keluar dari kamar mandi dengan katok kolor yang enggak ganti sama sekali. "Emang kenapa gua?" tanyaku balik ke dia. Duh, liat Ilham enggak pake baju gini jadi inget lagi. Malu banget kalo diinget lagi, ternyata aku juga mau aja diperawanin. "Lo enggak gila 'kan? Apa kena ilmu hitam tiba-tiba," katanya yang membuatku menatapnya. "Yakin?" "Gua enggak gila dan kena begituan ya," kataku yang memalingkan wajah, menyentuh kedua pipiku yang masih kerasa hangat. "Aygong!" "Ap—" BYUURRRRR! "I—ini..." "Wih, langsung sadar," katanya dengan botol minum yang kubawa tadi di tangannya, dia kembali meminumnya dan kedua pipinya kembali menggembul. "TELEN, ENGGAK?" perintahku panik jika dia kembali menyemburkan air ke arahku lagi —lebih tepatnya, wajahku. "AWAS LO KALO—" BYUUUURRR! Dua kali. "ILHAM NOOR SYARIEF!"Liat hujan di pagi hari dengan kasur tidur yang asing itu agak gimana, ya? Aneh aja begitu tapi tetap syahdu sih. Apalagi harus terbiasa dengan orang lain yang tidur di sebelah kamu, tangannya aktif banget sentuh sana sini. Geli? Iya. Apalagi risih? Iya banget. Tapi mau gimana lagi, ini yang ngelakuin suami sendiri. "Udah bangun 'kan?" Tanya Ilham yang terdengar serak sekali di telinga kiriku, dan jangan lupakan tangan aktifnya yang sudah melingkar erat pada pinggangku. Eits, jangan lupa jemarinya yang aktif mengusap perutku ini. Ilham mengecup sisi kepalaku, dan menyadarkan kepalanya pada kepala ranjang besar miliknya. "Aku kemarin pengen banget jajan ke pasar," kataku yang masih menatap hujan di pagi hari, bukannya reda malah tambah deras. Behhh, syahdu banget ditambah bikin badan ini malas bergerak. Tidur cantik di atas kasur aja rasanya. "Mau pergi sekarang?" "Hujan," "Pake mobil, aku keluarin mobilnya," katanya yang menatapku lekat. Aku menggeleng pelan dan membalas t
Acara unduh mantun di rumah Ilham dilaksanakan dua Minggu setelah pernikahan mendadak kami. Tentu saja, surat-surat pernikahan kami yang diurus secara express oleh Ilham juga hampir selesai. Jadi, kita secara sah dan resmi menjadi suami istri. Cieelahhh... sold out juga sih aku. Hmmm.... Unduh mantu di rumah Ilham dilakukan secara siap, padahal pernikahan kami dilakukan secara mendadak banget. Beberapa jam sebelum ijab kabul. Tapi, tak kusangka keluarga Ilham menyiapkan acara unduh mantu untukku dengan baik. "Kamu mau jajan apa?" tanya Oma yang duduk di ambang pintu kamar yang digunakan untuk menyimpan jajanan seserahan unduh mantu dari orangtuaku dan juga beberapa kerabat keluarga Ilham yang datang. "Apa aja sih, Oma," jawabku yang duduk di sebelah Oma setelah menemani Mamah Anna, mertuaku menemui para tamu yang datang. "Oma ambilkan buat kamu makan di dalam kamar," katanya yang memasukkan beberapa jajanan me dalam kardus berwarna cokelat. "Kalo lapar, minta budhe-budhe
Apa katanya? Penyemburan jampi-jampi bermodal Al Fatihah doang bisa buat aku sadar? Sadar apaan? Dari bau jigong dia, pake dikumur-kumur dulu baru disemburin ke wajahku. Iya, langsung ke wajahku. Ehh, inget kejadian itu, pengen banget aku pijek-pijek Ilham. Alhasil, aku ngondok ke dia selama dua hari. Aku childish? Enggak, mana ada yang enggak ngondok disembur air kumuran mulut, bau banget lagi. Kalau sampe besok ada berita koran keluar judulnya 'Nikah sehari, istri memutilasi suami karena semburan jigong' itu adalah aku. Iya, itu aku sangking keselnya sama Ilham. Aku dengan senyum sendiri dikata kesurupan. Mana ada kesurupan modelan aku begini? Enggak level banget dong. Dan setelah seminggu saling ngodok. Bukan, tapi cuman aku doang yang ngondok, enggak mau ngomong sama Ilham. Dia malah enggak ngerasa banget kalo istrinya lagi ngambek, entah kurang peka atau enggak mau tau aja. "Aygong," Aku diam saja mendengar panggilannya, menatap Ilham yang duduk diam di atas kas
Badanku rasanya sakit semua setelah acara unboxing Ilham, rasa kantuk kalah telak dengan demo perutku yang berteriak minta diisi. "Aduh," keluhku akan rasa pegal pada pinggangku. "Ham," "Hmm, lima menit lagi," rancaunya yang malah makin lelap dengan posisi tengkurap, mengekspos punggung liatnya hasil dari olahraga. Kesal. Aku memukul punggungnya itu, "Enggak mau sarapan," Hening. Yang ada malah suara ngoroknya yang makin menjadi. "Ya udah. Aku keluar sendirian," aslinya pengen gitu dia bangun terus ngebujuk manja aku yang lagi merajuk. Tapi, zonk. Ilham makin nyenyak tidurnya. Mendengus kesal, aku memilih meninggalkannya dan mengisi perutku yang emang sejak kemarin pagi belum keisi dengan benar. Salahkan aja si Riko. Emang dia dalangnya yang ngebuat aku kayak orang mau sekarat aja kemarin. Saat berada di dapur, sudah ada Budhe Ja yang sedang menghangatkan rawon sisa kemarin dan nasi yang sudah matang di dalam magic com. "Pengantin baru itu bangunnya enggak sepagi i
"Kenapa Ibu percaya omongannya Ilham sih?" Aku tidak nyaman duduk di kursi riasku yang ada di dalam kamar. Ibu dan beberapa saudara perempuan ibu juga ikut di dalam kamarku, rasanya pengap asli. "Kenapa emang?" balik Ibu bertanya dengan nada ketusnya yang masih belum runtuh. Ibu terus mengawasiku setelah Ilham pulang ke rumahnya untuk bersiap menikah. "Apa masalahmu?" "Buk, Ilham itu sengklek. Ibu tau bedanya bercanda sama serius enggak sih?" tanyaku nelangsa. Pesimis aku dengan jawaban Ilham, mana mungkin Ilham sudi menikah mendadak kayak gini. Lagian, Ilham juga banyak bercandanya dari seriusnya. Enggak mungkin dia serius perkara begini juga. Ilham itu dari dulu paling seneng pacaran sama cewek bau kencur dan sekarang mau nikahi dia? kayak bukan Ilham saja ini. "Kowe iku dinikahi kok enggak ada roso syukur e?" sungut ibu kesal dengan perasaan pesimisku akan tindakan gegabah Ilham. "Bersyukur enggak jadi perawan tua," "Buk, Rin itu masih muda, enggak tua-tua banget," be
"Gimana nasib'e anakmu, Pak?" keluh Ibu yang masih meringis kesal aku gagal nikah. "Anakmu iku jan mesti ruwat (Anak kamu itu memang harus diruwat)," lanjut Ibu yang mengelus dadanya, omelannya masih berlanjut sampai sekarang. Kalo udah batal nikah, ya udah. Aku harus gimana lagi? Bawa Riko paksa juga percuma. Batang hidungnya aja enggak kelihatan. "Ibu ini ngomong opo toh? Wes seng tenang," Ayah mulai kesal dengan keluh kesah Ibu yang tiada habisnya. Harusnya ibu juga ngertiin perasaan Rin, yang paling sakit dengan kejadian ini tuh aku. Aku, si pengantin wanita. "Anak wadonmu iku dadi perawan tua, Pak (Anak perempuan kamu itu sudah jadi perawan tua, Pak)," ujar Ibu yang akhirnya diam karena satu sentakan Ayah, menasehati ibu untuk tidak mengucapkan 'perawan tua' padaku. Tapi, kayaknya emang aku ditakdirkan buat jadi perawan tua sih. Gatot Mulu kalau masalah percintaan gini. "Budeh itu yang sabar," ujar Ilham yang sok bener aja ngomongnya, "Ilham bantuin cari calon mant